Dengan perasaan gelisah dan khawatir terjadi sesuatu pada Mireya, Leo kendarai motor dengan kecepatan sedikit kencang menuju Sekolah. Setelah memarkirkan motor, Leo dengan langkah sedikit cepat sampai di Kelas Mireya. Menghampiri Kinanti yang tengah terduduk di kursinya dengan wajah bertanya-tanya, ada apa Leo ke kelasnya di saat Mireya belum datang?
"Mireya sudah datang?" tanya Leo.
"Belum."
Leo menghela nafas panjang beriringan dengan munculnya momen saat Audry ingin mengakhiri hidupnya. Leo sungguh tidak ingin Mireya berpikiran seperti Audry, karena hidup ini terus memaksa untuk bertahan dari segala macam luka.
Melihat wajah tegang dan serius Leo, Kinanti pun merasa jika ada sesuatu. "Apa ada sesuatu sama Mireya?" tanya Kinanti yang tidak mengharapkan hal buruk terjadi pada sahabatnya yang belum lama ini terlihat bahagia.
"Sebelum ke sekolah, aku ke Rumah Mireya ingin menjemputnya, tapi Kakaknya bilang kalau dia gak di Rumah."
Kinanti sontak memasang wajah khawatir dan bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Mireya hingga pergi dari Rumah.
"Apa kamu tahu tempat yang mungkin didatangi Mireya?" tanya Leo yang dijawab gelengan kepala Kinanti yang lemah.
Di sisi lain, terdapat Mireya dengan koper pink softnya itu, yang berdiri di depan sebuah Rumah sederhana. Berdiri tenang di tengah pedesaan yang asri, dikelilingi hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang yang seolah memeluk Rumah itu dengan kehangatan. Bangunannya sederhana, berdinding kayu tua yang sudah menghitam dimakan waktu namun masih kokoh berdiri. Atapnya dari genteng tanah liat yang terlihat hangat saat sore menjelang, memantulkan cahaya oranye matahari senja.
Halaman Rumahnya luas dan beralaskan tanah, dipenuhi rerumputan liar yang sesekali ditebas pemilik Rumah saat pagi. Beberapa jenis tanaman bunga yang terlihat dirawat dengan begitu baik. Di sisi Rumah, terdapat bangku kayu panjang di bawah pohon mangga, tempat favorit Pemilik Rumah saat mengupas buah sambil menatap langit. Jendela-jendela Rumah dibiarkan terbuka lebar, memperlihatkan tirai tipis berwarna putih yang bergoyang lembut tertiup angin desa.
Suasana di sekitar Rumah begitu damai. Hanya terdengar suara gemericik air dari sungai kecil di belakang Rumah dan nyanyian burung-burung pagi. Setiap sudut Rumah ini menyimpan aroma nostalgia, tempat di mana Mireya selalu merasa tenang, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota dan luka yang terus menghantui.
Pintu Rumah terbuka menampakkan seorang wanita lansia yang rambutnya sudah sepenuhnya memenuhi. Melihat Mireya di depan sana, senyumnya merekah. Wajah yang terlihat penuh kerinduan di sana. Dengan koper yang ditariknya Mireya berjalan ke arah wanita lansia itu yang juga berjalan ke arah Mireya, tanpa menghilangkan senyumnya.
Kedua itu saling berpelukan setelah sekian lama tidak bertemu. Sungguh terlihat momen melepas rindu. "Nenek apa kabar?" tanya Mireya sembari melepas pelukannya.
"Seperti yang kamu lihat, Nenek baik. Kamu sendiri? Bagaimana dengan sekolah kamu?" tanya Nenek dengan nada lembut.
"Semuanya baik." Seraya tersenyum. Ya, Mireya memilih merahasiakan apa yang sedang terjadi.
Nenek Mireya membawa cucu satu-satunya itu ke dalam Rumah yang hanya terdapat dua Kamar tidur, Dapur dan Ruang Tamu. Mireya mendudukkan diri di sofa panjang bersama Nenek-nya yang menggenggam kedua tangan Mireya. "Nenek pikir baru akan bertemu kamu saat pernikahan kamu," ucap Nenek-nya dengan wajah bahagia karena akhirnya bertemu dengan sang cucu, namun terselip kesedihan juga di sana.
"Maaf ya, Nek. Baru sekarang aku datang." Mireya merasa bersalah. Semenjak Mama-nya tidak ada Mireya tidak pernah sekali pun mengunjungi Mama-nya. Seharusnya Mireya ingat dengan wanita yang sudah melahirkan Mama-nya.
"Gakpapa, yang penting sekarang Mireya di sini."
Mireya melihat sekeliling di mana masih sama dengan terakhir kali Mireya berada di sana. Manik matanya pun fokus pada bingkai foto yang ada di samping televisi. Mireya mengambil beberapa langkah hingga di depan bingkai foto yang memperlihatkan fotonya saat masih tk bersama Mama-nya. Mireya ambil foto itu dengan hati yang sakit.
Kalau saja Mireya tidak mendengar percakapan Cyntia dengan Papa-nya, Mireya tidak akan pernah tahu bahwa ia penyebab wanita yang paling ia sayang itu pergi meninggalkan dunia ini.
"Apa kamu ingat sesaat sebelum foto?" tanya Nenek-nya yang sudah berdiri di samping Mireya, ikut memandangi foto itu.
"Apa sesuatu terjadi? Aku gak bisa mengingatnya," jawab Mireya sembari menatap lembut Nenek-nya.
"Kamu menangis gak mau difoto terus Mama kamu menjanjikan akan membelikan ice cream strawberry, dan tangis kamu pun berhenti," cerita Nenek-nya dengan wajah bahagia sembari mengingat momen saat itu.
Mireya tersenyum. "Aku pasti sangat menyukai ice cream strawberry."
"Nenek rasa seperti itu karena pernah Nenek membelikan ice cream cokelat ehh kamu malah nangis."
Obrolan ringan bersama Nenek-nya itu sedikit mengurangi rasa sakit yang ada. Nenek-nya berhasil mengingatkan Mireya bahwa sebelum hatinya sehancur ini Mireya pernah merasakan kebahagiaan yang sempurna.
"Nenek buatkan susu jahe kesukaan kamu yaa?"
"Boleh, Nek."
"Kalau gitu, Nenek buatkan dulu. Kalau mau istirahat kamu bisa tiduran di Kamar Mama kamu. Nenek selalu membersihkannya takut sewaktu-waktu kamu datang."
"Iya, Nek."
Nenek-nya tinggalkan Mireya yang kembali menatap foto itu. Apa yang sudah aku lakukan sampai membuat Mama pergi secepat ini?
Mireya letakkan kembali bingkai di tempat semula, melangkah masuk ke dalam salah satu Kamar yang pintunya tertutup. Kamar dengan kasur ukuran satu orang itu masih terlihat sama. Bahkan meja belajar yang dahulu Mama-nya gunakan masih ada lengkap dengan beberapa buku pelajaran. Mireya yang sudah ada di depan meja belajar, mengambil sebuah sketchbook. Membukanya yang memperlihatkan gambar-gambar yang dibuat Mama-nya.
Sampai di lembar terakhir Mireya menemukan gambar dirinya saat masih kecil yang tengah duduk di bangku kayu panjang, bawah pohon mangga. Mireya kecil yang tengah asik makan ice cream gagang. Mireya tidak ingat bahwa Mama-nya sempat menggambarnya.
Di pojok bawah kertas terdapat tulisan di mana pun kamu berada Mama berharap kamu selalu bahagia, ada atau nggaknya Mama di samping kamu.
Pesan singkat itu pun mampu membuat Mireya meneteskan air matanya. "Mireya," panggil Nenek-nya sembari berjalan menghampiri Mireya yang buru-buru menghapus air mata. Menutup buku yang ia letakkan kembali di meja.
Menoleh ke arah Neneknya, tersenyum. Nenek-nya menyodorkan gelas berisi susu jahe yang diterima Mireya. "Apa di Rumah kamu juga sering meminum susu jahe?" tanya Neneknya.
Mireya menggelengkan kepala. Semenjak Mama-nya tidak ada, ada hal-hal yang biasa dilakukan Mama-nya untuk Mireya, Mireya sudah tidak pernah melakukannya lagi termasuk minum susu jahe yang biasanya Mama-nya yang membuatkan.
"Nenek harus ke warung dulu, kamu istirahat saja."
"Iya."
Mireya mendudukkan diri di tepi kasur, meneguk sekali susu jahe yang rasanya tidak berubah sedikit pun, dan sama persis dengan buatan Mama-nya.