Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negasi
MENU
About Us  

Rayna dan Zoya masih berlari menjauh dari tempat perkara. Sambil terengah, Zoya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Rayna. 

"Rayna! Stop. Lo lari ... dari apa, sih? Jin?" 

Rayna mengangguk cepat. Di tengah sengalan napasnya, ia berusaha menyahut, "Iyaa. Gue yakin banget ... sekelebat bayangan putih tadi ... itu jin jahat. Dia ... ngikutin gue dari ... hutan."

"STOP, RAYNA! BAYANGAN ... ITU BUKAN JIN," teriak Zoya frustrasi. 

"Hah? Gimana?"

"Berhenti dulu!"

Perlahan Rayna dan Zoya mulai mengurangi kecepatan gerak kakinya. Mereka berhenti di bawah sebuah taman. Rayna mengatur napas sambil memegangi perutnya yang terasa cukup keram karena sudah banyak berlari hari ini. Sedangkan Zoya langsung terduduk lesu dengan kaki berselonjor. Ia menatap Rayna tajam. 

"Lo terlalu penakut. Sama jin aja takut. Selama ini lo hidup di mana, sih? Ruang isolasi?" ucapnya sinis dengan napas yang sudah lumayan teratur. 

Rayna balik memandang Zoya tajam.

Oh, hello! Manusia normal dari belahan dunia mana yang bisa langsung biasa aja pas lihat jin keliaran di depan mata? Lagipula mana gue tahu kalau wujud asli jin ternyata semenyeramkan itu?

"Gue bukan takut. Gue mau nyelametin elo. Nyelametin kita," sahutnya tegas, walaupun ada sedikit bumbu-bumbu kebohongan di dalamnya. Gengsi dong jika harus bilang bahwa dirinya memang merasa takut setiap melihat atau berdekatan dengan para jin di sini. 

Sebagai manusia normal dari lahir hingga usianya sebesar ini, Rayna tidak pernah melihat wujud asli jin. Ia hanya melihat bentuk jin di kartun atau film. Visual jin di kartun jelas tidak seseram jin di sini. Kalau jin di film horror, seram juga sih, tapi itu kan hanya film, tidak nyata. Jadi, Rayna tidak akan setakut ini jika hanya melihatnya di layar kaca. Sedangkan di sini, jin-jinnya benar-benar nyata, bahkan katanya itu wajar? Artinya selama ia masih di sini, selama itu lah dirinya juga resmi hidup berdampingan dengan jin-jin kasat mata. Parahnya lagi hal itu berlangsung dalam hidupnya tanpa ada mode trial terlebih dahulu. Jelas ini sangat aneh bagi newbie sepertinya. 

"Hallah. Lagian bayangan putih yang lo bilang jin tadi, itu temen gue. Ngapain kabur? Buang-buang waktu!" Zoya bersungut. 

Rayna membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya juga terbelalak. "Lo temenan sama jin?"

"Ya enggak lahh!"

"Terus?"

"Dia manusia."

Mata Rayna makin terbelalak. "Kok bisa?"

"Bisa apanya?"

"Ter ... bang. Kok bisa terbang?" tanya Rayna amazed. Manusia bisa terbang tanpa menggunakan pesawat? 

"Ya bisa lah. Pakai Jet Walkers ACS." 

"Hah, gimana-gimana?"

Zoya menghela napas malas setelah melihat wajah bingung Rayna. Ia mencoba menjelaskan secara singkatnya. "Jet Walkers itu bisa ngasih kita gaya angkat sesuai hukum fisika. Mirip kayak jet pada umumnya." Sebelah alisnya terangkat. "Lo nggak tahu?"

Rayna menggeleng dengan satu cengiran.

"ACS-nya?"

"Air Compression Series. Seri terbaru Jet Walkers dari Departemen Teknologi."

Meskipun belum pernah melihat betuknya, tapi penjelasan itu masuk akal di kepalanya. Jadi, dia tidak akan mendebat. "Terus, sekarang dia di mana?"

Tidak lama setelah Rayna bertanya, muncul sekelibat putih yang terbang cepat menuju ke arah mereka. Sekelibat bayangan putih yang sekarang Rayna tahu bahwa itu bukan jin jahat, melainkan teman Zoya. Seorang manusia, sama seperti dirinya. 

Bayangan putih itu kini sudah berada satu meter di depan mereka. Masih sambil melayang-layang di udara, bayangan itu perlahan mengurangi ketinggiannya dan kemudian menapak di atas tanah. 

Wujud transparan yang tampak sedikit berkilau dalam kegelapan itu membuka tabirnya. Di dalamnya ternyata ada seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengan Rayna dan Zoya. Wajah itu tampak damai dengan senyum mengembang sempurna di bibirnya.

"Lama banget sih lo?!" Zoya memprotes laki-laki itu. 

"Sorry deh. Lo kan tahu kalau gue rabun ayam. Kacamata gue ketinggalan di hutan gara-gara buru-buru ngejar lo."

Zoya berdecak dan memutar bola matanya malas. "Terus alat-alat kita di mana?"

"Masih di hutan. Lagi diberesin si El. Sebentar lagi dia nyusul ke sini."

Zoya menaikkan kedua alisnya cepat untuk menanggapi. Sedangkan laki-laki itu kini mulai berfokus pada Rayna. Ia memandang bingung karena baru pertama kali melihat Zoya bersama dengan orang asing. 

"Lo beneran manusia?" Tanpa basa-basi, Rayna langsung memastikan kalau yang di hadapannya betulan manusia seperti dirinya dan Zoya. 

Dahi Darren berkerut. "Of course! Emang muka gue mirip jin ya?"

Mata Rayna membulat sebentar. "Eh sorry, bukan gitu maksudnya," tukasnya cepat.

Laki-laki itu tertawa renyah. "Gue bercanda. Santai aja. Gue nggak sumbu pendek kayak Zoya kok." Kekehannya muncul kembali dan langsung mendapat sorotan mata tajam dari Zoya. 

"Tapi, itu?" Rayna menunjuk kain yang dipegang laki-laki itu. Kain yang ketika digunakan bisa membuat tubuh laki-laki itu menjadi tampak putih transparan. 

Laki-laki itu melihat benda yang dipegangnya. "Oh, ini? Tabir Kamuflase. Cermin, tapi bentuknya kain. Sesuai namanya, tabir ini bisa buat orang yang pakai ini seakan-akan berkamuflase menjadi tembus pandang. Padahal aslinya cuma memantulkan bayangan dari cermin itu sendiri. Supaya nggak kelihatan banget kalau ini cermin, kita bisa atur tingkatan blurnya. Jadi, bisa kelihatan kayak transparan. Apalagi kalau yang pakai lagi di kecepatan tinggi, bisa bener-bener kelihatan transparan."

Rayna mengangguk pelan. Ternyata di balik sosok seram yang tadi ia takuti, terdapat sebuah teknologi canggih di dalamnya. Setelah selesai dengan Tabir Kamuflase, Rayna beralih pada sepatu yang digunakan laki-laki itu. Sepatu hitam berkilau dengan desain futuristik dan inisial logo JW sangat menarik perhatian Rayna. "Itu pasti Jet Walkers Air Compression Series?" ucapnya sambil menunjuk sepatu milik laki-laki itu. 

"That's right! Lo punya juga? Keren! Lo ikut pelatihan di mana? Kok gue nggak pernah lihat lo?" Laki-laki itu bertanya pada Rayna dengan antusias. 

"Pelatihan apa?"

"Mengoperasikan Jet Walkers."

"Hah?"

"Lah, lo nggak punya sertifikat keahlian pengoperasian Jet Walkers? Terus, gimana lo bisa punya JW ACS?"

Rayna menggeleng. "Emang sejak kapan gue bilang punya Jet Walkers ACS? Gue tahu itu karena dikasih tau Zoya tadi," ujarnya polos. 

Laki-laki itu melongo. Kemudian, tertawa garing. Tangan kanannya menepuk dahi keras-keras. "Bener juga. Lo kan nggak bilang ya? Sorry, gue emang suka terlalu antusias. Jarang banget yang tahu soal teknologi yang satu ini. Jadi, gue pikir lo punya juga." Ia meringis memperlihatkan barisan giginya yang rapih. 

Rayna tertawa kecil. Ternyata manusia di hadapannya lucu juga ya. 

"Enggak apa-apa. Gue juga suka gitu kok. Terus cara kerjanya gimana? Gue pernah lihatnya yang di atas air." Rayna masih penasaran soal teknologi di balik melayangnya laki-laki itu. 

"Mirip kayak jetpack pada umumnya. Mesinnya menghasilkan gaya dorong ke atas. Tapi, ACS ini lebih canggih karena udah dibekali mesin yang bisa langsung mengkonversi udara dari luar masuk ke sistem buat jadi udara yang juga dipakai mendorong tubuh penggunanya ke atas. Udaranya dikompresi dan sistemnya bisa reversible. Jadi, bentuknya jauh lebih ramping dibanding series yang lain. Kita juga nggak perlu bawa-bawa tabung udara di punggung kita."

"Oke, terus sayap kecil itu? Ada fungsinya juga atau cuma hiasan?" tunjuk Rayna pada sepasang sayap kecil yang melekat di tiap sepatu. 

"Ada fungsinya. Sayap ini bisa membantu menstabilkan gerak lateral. Jadi, kalau pengguna tiba-tiba belok tajam, sayap ini bisa bantu menyeimbangkan posisi tubuh kita. Sayap ini juga udah dilengkapi accelerometer, buat bantu kita mendeteksi perubahan kecepatan. Selain itu, berfungsi juga sebagai airbrake untuk memperlambat saat mendarat."

Rayna mengangguk paham. Akan tetapi, ia masih penasaran dengan kemudi alat itu. "Terus, gimana cara ngendaliinnya? Misal mau ke kanan atau ke kiri. Apa pakai sensor keseimbangan?"

"Benar. Ada sensor gyroscope yang tersemat di sini. Jadi, kita cukup condongkan sedikit tubuh kita ke arah yang mau kita tuju, nanti sistem akan membaca perubahan sudutnya. Pada sudut tertentu, konfirmasi arah gerak akan tercapai dan membuat jetpack ini membawa terbang ke arah yang kita mau tadi."

Rayna sangat antusias mendengar penjelasan teknis dari laki-laki di hadapannya. Ternyata teknologi yang digunakan jauh lebih canggih dibanding yang ia bayangkan. "Semua orang yang punya ini harus pegang sertifikasi keahlian, karena nggak semua orang bisa ngoperasiin alat ini. Agak sulit buat newbie. Makanya pembeliannya bener-bener diatur Departemen Teknologi banget." Laki-laki itu kembali bersuara.

"Wah, keren banget ya. Jujur, gue baru pertama kali denger ada alat-alat secanggih itu. Sekaligus pertama kali juga bisa lihat rupa jin sebenernya. Tapi bagian lihat jin itu nggak keren, sih."

"Jelas. Dunia kita, dunia manusia, kan ada di dimensi yang lebih tinggi. Jadi, wajar aja kalau teknologi kita jauh lebih maju dibanding dunia jin. Kita juga bisa akses kehidupan mereka, tapi nggak sebaliknya."

Maksudnya, dia juga mikir rules dunia ini wajar? Aneh. 

"Tapi, ini aneh sih." Wajah Darren tiba-tiba berubah serius. Sorot matanya seperti menerawang jauh wajah Rayna. 

"Apanya? Dunia ini?" Rayna tersenyum lebar. Akhirnya ada yang sependapat dengannya. Ia melanjutkan ucapannya, "Sama! Gue juga mikir begitu." Rayna menjawab dengan semangat. 

"Sorry to say, tapi maksud gue yang aneh itu lo, sih."

"Hah? Gue?"

Darren menaikkan kedua alisnya. Ia mengubah posisi berdirinya. "Gini ya, lo kan manusia, tapi kenapa kelihatan kaget banget lihat sistem dunia ini bekerja? Dari mulai teknologi, sampai ... apa tadi lo bilang? Baru pertama kali ngelihat jin? Gimana bisa? Itu kan pengetahuan umum manusia sejak lahir."

"Nahh! Itu juga yang gue bilang ke dia." Setelah diam terlalu lama, Zoya akhirnya angkat bicara. Ia memandang Rayna dengan tatapan menyelidik. Suaranya kembali terdengar. Pandangannya beralih pada temannya yang berdiri di sebelahnya. "Dia aneh, Ren."

Fix! Dia sama kayak Zoya. 

Rayna pikir bertemu dengan laki-laki itu bisa membantunya untuk bisa mengungkap tabir di balik keanehan yang ia alami. Namun, sepertinya akan sama saja. Laki-laki itu ... mungkin juga kurang waras.

Tapi, penjelasan ilmiahnya sangat masuk akal dan bisa diterima otak gue. Emangnya mungkin ya orang nggak waras bisa paham bahkan bisa mengendalikan teknologi super canggih itu? Kayak nggak mungkin sih. Tapi, kalau mereka waras, masa iya sih gue yang nggak waras? Tapi rules manusia bisa lihat jin dan nggak sebaliknya itu terlalu aneh buat bisa masuk ke akal gue. 

Sebuah prasangka muncul kembali di kepalanya. Mungkinkah Zoya dan temannya dulu adalah manusia yang terjebak sepertinya? Dan apakah semua orang yang terjebak di sini akan menjadi aneh juga seperti mereka? Semacam sebuah mekanisme keamanan dari dunia ini ... atau mungkin penghancuran dari dunia ini? 

Kayaknya gue ikutin dulu aja deh logika mereka buat nyari tahu lebih dalam lagi soal dunia ini. 

"Oh iya, omong-omong, kita belum kenalan nama lengkap ya, Zoy. Nama lengkap lo siapa?" Rayna berusaha mengalihkan topik. 

"Kepo banget ya?" Seperti biasa, Zoya masih menjawab dengan nada ketus. Laki-laki yang berdiri di sebelahnya lantas menyenggol Zoya dengan lengannya. 

"Ohh, jadi kalian baru kenal juga? Gue kira tadi lo temen barunya Zoya. By the way, Dia Zoya Kaelana Arwen, dari kota Neoterra." Laki-laki itu mengambil alih perkenalan Zoya. Sambil tersenyum, dia melanjutkan, "kita juga udah ngobrol panjang lebar, tapi belum kenalan. Gue Darren. Darren Vale Orion, asli dari kota ini, Neoterra, sama kayak Zoya," kata Darren memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya pada Rayna. 

Ohh, jadi nama kota ini Neoterra? Keren juga. 

Rayna tersenyum lebar pada Darren. Ia tidak membalas uluran tangan Darren, tapi sebagai gantinya, ia meletakkan tangan kanannya menyilang di dada sebagai sapaan. Darren tersenyum malu. Ia menarik uluran tangannya, lalu ikut meletakkan tangan kanannya di dada, sama seperti Rayna.

"Jujur, gue seneng banget bisa kenal lo, Darren. Lo asik banget diajak ngobrol, bukan sok asik. Kayaknya kita cocok jadi temen. Gue Rayna. Rayna Adiba Larasati, dari kota ...." Rayna terdiam. Senyum lebar Rayna lambat laun memudar dan berganti menjadi aura ketegangan. 

Sebentar, gue dari kota apa ya? Kok gue nggak bisa inget? 

"Oke, Rayna, dari mana?" tanya Darren lembut sambil terus memperhatikan wajah Rayna yang semakin tegang. 

"Gue dari...." Alis mata Rayna saling bertaut. Bola matanya bergerak ke atas seperti mencari lembaran data yang sedang hilang. 

"Gue ... Gue nggak bisa inget. GUE NGGAK INGET ASAL GUE!" Wajahnya tampak gusar. Rayna kini benar-benar panik.

Bagaimana tidak? Ia bisa ingat namanya, panggilannya, beberapa hukum-hukum fisika yang berlaku, bahkan penjelasan Darren tadi pun dapat dicerna dengan mudah menunjukkan bahwa ada data soal sensor-sensor itu di otaknya. Namun, ketika mencoba mengingat asalnya, ingatannya selalu terhenti.

Semakin diingat, Rayna menjadi semakin gemas sendiri. Jika data tidak penting seperti dentuman sound horeg milik tetangganya saja bisa diingat, kenapa justru data sepenting identitas, kecuali nama dan panggilannya, malah menghilang begitu saja? Seolah server ingatannya selalu mengeluarkan pelang besar bertuliskan "EMPTY" di depan matanya setiap kali dirinya mencoba meminta akses informasi itu. 

"Tuh kan." Zoya bersuara. Matanya menatap Rayna menyelidik sesaat. "Dia aneh, Ren!" ucapnya pada Darren yang berada tepat di sampingnya. 

Masa bodoh dengan tatapan maut Zoya, ada hal yang saat ini jauh lebih penting untuk Rayna pikirkan. Soal ingatannya yang terhapus. 

Apa gue juga udah kena penghapusan memori sebagai mekanisme dunia ini? 

Rayna kembali memikirkan kemungkinan yang tadi sempat terlintas. Benarkah ada mekanisme pertahanan atau justru penghancuran dari dunia ini? Atau apakah ada kemungkinan lain soal hilangnya beberapa ingatannya? 

Ia menghela napas panjang. Dirinya memang panik, tetapi panik terus-menerus tak akan menghasilkan apa pun, kan? Ia harus bisa berpikir jernih agar tidak semakin memperburuk masalah. 

Oke, kalau bener gue kehilangan ingatan karena mekanisme di dunia ini, gue harus catet kejadian hari ini. Kejadian pertama kali gue sadar, harus gue inget sampai kapan pun. 

Rayna menengok ke kanan-kiri, mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai note. Dirinya harus mencatat tanggal hari ini, dan siapa dirinya. 

"Cari apa, Ray?" Darren mengernyitkan dahinya. 

"Sesuatu buat jadi notes. Lo punya pulpen dan kertas?"

"Di sini kita nggak pakai kertas fisik."

Kini ganti Rayna yang mengernyit. "Terus pakai apa?"

Darren mengeluarkan sebuah chip. Setelah menekan sebuah tombol, chip itu mengeluarkan cahaya terang dan membentuk gambar seperti sebuah kertas. 

"Hologram?"

"Ya. Demi lingkungan yang lebih bersih dan sehat, udah lama banget kita pakai ini sebagai pengganti kertas. Hologram Notes."

Teknologi itu terlalu futuristik. Rayna yakin belum pernah mendengar apalagi melihatnya sebelum ini. Ia terdiam, entah karena merasa semakin yakin bahwa dirinya bukan berasal dari dunia ini, atau justru harus mulai percaya bahwa mungkin dirinya memang manusia dari dunia ini, tapi sedang mengalami amnesia? Ah, Rayna semakin bingung. 

"Gue pinjem boleh?"

"Ya. Pakai aja. Ini pulpennya," sahut Darren sambil menyodorkan sebuah pena portabel yang juga bisa memunculkan cahaya hologram. 

Rayna meraih pena dan chip hologram tersebut. Sebelum berbalik badan untuk menuliskan sesuatu, Rayna menyempatkan bertanya tanggal hari ini pada Darren. 

26 Mei 2025

Gue, Rayna Adiba Larasati. Panggilan gue Rayna. Gue suka telur dadar. Suka juga jus alpukat. Pertama kali gue dateng ke sini gue pakai kebaya putih dengan rok songket warna biru muda. Gue kehilangan ingatan soal asal-usul gue, tapi gue inget hari ini, hari pertama gue sadar, gue bangun di sebuah hutan, bertemu jin aneh yang bisa gue lihat dan mereka nggak bisa lihat gue. Gue merasa ini aneh. Entah emang gue manusia sini yang kehilangan ingatan, atau mungkin gue nggak berasal dari sini. Dua kemungkinan itu yang paling mungkin terjadi. Gue harus ingat hari ini. Nggak boleh ada yang hilang lagi dari ingatan gue mulai hari ini. 

Selesai menulis, Rayna menyentuh tombol "save". Kemudian, ia memberikan kembali pada Darren. 

"Makasih, Darren. Gue titip catatan gue. Next time, boleh gue pinjem lagi?"

"Of course. Lo bawa aja. Gue masih punya banyak di rumah. Yang lo pakai tadi, memorinya cukup besar. Jadi, bisa lo pakai berkali-kali. Bahkan mungkin masih aman lo pakai 5 tahun ke depan."

"Serius?"

"Iya. Bawa aja."

Senyum Rayna mengembang sempurna. Ia memang sedang tertimpa masalah yang sangat membingungkan, di tengah ketakutan, dan di tengah intimidasi Zoya. Akan tetapi, ada satu hal yang ia sadari. Selalu ada hal yang bisa disyukuri di dalam hidup ini, bahkan di situasi buruk sekalipun.

"Lo pura-pura ya? Setelah ngacauin produksi konten gue, lo mau ngapain lagi dengan pura-pura nggak inget tempat tinggal lo sendiri dan drama kepanikan ini?" Zoya berkata sinis dan sedikit berteriak pada Rayna, membuyarkan senyum Rayna secara spontan. 

"Zoyy. Ini udah malem." Darren menghentikan konfrontasi dari Zoya. Ia sudah malas dengan keributan. 

Rayna membuka mulut untuk mengklarifikasi. Juga karena sudah kali ia dituduh sebagai pengacau, Rayna ingin bertanya soal produksi konten apa yang dimaksud Zoya. Namun, sebelum sempat menjawab, muncul suara deru mesin di jalan raya lengang sebelah taman tempat mereka berdiri. Sebuah mobil dengan desain yang sangat unik berhenti tak jauh dari mereka. Keindahan sorot cahaya lampu biru berkilauan dari mobil itu membuat Rayna terpaku sejenak. Sangat indah. 

"El?" Zoya menyipitkan mata untuk memfokuskan pandangan. Orang yang disebut El keluar dari mobil dan berjalan ke arah mereka. 

Oh, jadi El itu perempuan. Gue kira laki-laki. Strong women juga ya dia ditinggal sendirian di hutan. Gue aja udah lari kocar-kacir tadi. 

Kira-kira begitu lah first impression Rayna terhadap orang yang dipanggil El. 

"El? Semua alatnya aman?" Zoya bertanya pada El, memastikan alat-alatnya dapat digunakan lagi di waktu lain. 

"Semuanya udah gue bawa di mobil. Tapi, ada satu masalah."

"Apa?" Sekarang ganti Darren yang bertanya. 

"Lampu sorot kita mati. Mungkin karena tadi sempet korslet."

"What? Mati? Terus gimana kita bisa lanjutin konten tadi? Tanpa lampu itu, kita nggak bisa bikin konten penampakan lagi," ucap Zoya panik. Tatapan mata tajamnya lagi-lagi melayang ke wajah Rayna. "Ini semua karena lo. Gara-gara lo yang tiba-tiba teriak, produksi konten gue jadi terhambat." 

Rayna mengerutkan kening, tidak paham dengan apa yang diucapkan Zoya. Pertama dituduh menjadi pengacau produksi konten, lalu ada lagi kosa kata aneh yang muncul, yaitu konten penampakan?

Maksudnya gimana? Mereka ini paranormal yang suka nyari-nyari penampakan atau gimana? Tapi, tanpa dicari kan katanya para jin juga udah keliatan pakai mata normal. 

"Lo..." telunjuk Zoya mengarah pada Rayna. "Lo tunggu di sini. Jangan kabur. Gimana pun, lo harus tanggung jawab." Matanya nyalang terhadap Rayna.

"Darren, lo periksa sekarang lampunya. Gue nggak mau produksi kita sampai mangkrak," ucap Zoya serius. Ia kemudian menarik lengan baju Darren untuk mengikuti langkahnya ke arah mobil mereka terparkir, meninggalkan Rayna dan El di sana berdua. 

Beberapa menit berlalu, Rayna dan El masih sama-sama terdiam dalam keheningan. Tak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif memulai percakapan. Rayna sebenarnya ingin memulai, tetapi mengingat sikap Zoya yang begitu bar-bar, Rayna takut orang di sampingnya ini sama seperti itu dan takut dirinya malah dicap sok kenal sok dekat, meskipun nyatanya memang iya. Padahal, ia kan harus membangun citra yang baik di depan mereka. Demi mendapatkan informasi soal dunia aneh ini.

Harapan berteman baik dengan Zoya sudah pupus setelah melihat sikap Zoya yang mirip seperti barong: dingin, seram, dan sangat tidak ramah. Akan tetapi, dia sudah berhasil berteman dengan Darren. Mungkin jika ia bisa berteman juga dengan orang di sampingya, dirinya bisa saja masuk ke dalam lingkaran mereka. 

Bunyi jangkrik dan nyamuk yang terngiang di telinganya perlu didistraksi. Semakin lama saling terdiam, semakin besar juga rasa Rayna ingin mengajak bicara orang di sebelahnya. Satu perkenalan harusnya bukan momen yang buruk kan? 

Rayna menyodorkan tangan kanannya. Dihiasi dengan senyum yang merekah di wajahnya, ia memberanikan diri untuk berkenalan dengan El. "Eum, hai ... lo El yaa? Kenalin, gue Rayna. Anyway, lo keren deh. Udah gitu cantik banget. Pakai skincare apa?" 

Mata Rayna sempat melebar sejenak. Lalu, refleks menghela napas singkat. Ia sadar telah melakukan kesalahan. 

"Eh, sorry! Gu-gue nggak bermaksud kepo. Refleks aja tadi. Kalau lo nggak nyaman, nggak apa-apa nggak perlu dijawab," tukasnya cepat sambil memperlihatkan cengiran awkward-nya. 

Rayna, kan tadi cuma mau basa-basi kenalan. Kenapa lo malah jadi basa-basi-busuk nanyain skincare-nya segala? 

Ia merutuki perbuatannya. Sekarang bagaimana jika El malah ilfeel padanya dan ikutan menjadi barong seperti Zoya? Bisa hilang kesempatan besarnya masuk ke circle mereka. 

Namun, di luar prediksi Rayna, El malah tertawa mendengar pertanyaan itu. "Ah, nggak apa-apa. Lo juga cantik. Lucu juga, deh. Mirip kayak Darren," katanya merespon pertanyaan Rayna soal penilaian soal dirinya. Setelah itu, ia langsung membalas jabatan tangan Rayna dengan senyum lebar. "Gue Ezrielle. Panggil aja El atau apa pun senyaman lo. Seneng bisa ketemu lo, Rayna."

Rayna sangat lega mendapat respon positif dari El. Tapi, tunggu, tadi El bilang kalau Rayna mirip Darren? Padahal Rayna pikir justru El yang sangat mirip dengan Darren. Jika dilihat lebih fokus, wajah El ini cukup mirip dengan Darren.

"Tapi kalau dilihat-lihat, menurut gue malah bukan gue deh yang mirip Darren, tapi lo. Wajah lo itu setipe sama Darren. Mirip banget! Suer nggak bohong." Rayna mencoba menyanggah pernyataan El sebelumnya. 

"Masa, sih? Enggak ah."

"Serius! Lo mirip banget tau sama Darren. Eh, jadi kepikiran sesuatu."

Mata El menyipit. "Apa?" 

"Kata orang, kalau mirip, itu bisa jodoh loh."

El terkekeh. Tangannya menyenggol lengan Rayna pelan. "Lo lucu deh, Ray. Ada-ada aja."

"Loh, gue serius ini, El."

"Tapi nggak mungkin, Ray."

"Kenapa? Jodoh kan nggak ada yang tahu. Siapa tahu jodoh lo emang udah ada di deket lo dari dulu. Ada di sekitaran lo. Bisa jadi besti lo sendiri. Darren contohnya. Cieee, El," Rayna masih terus menjodohkan El dengan Darren. Sedangkan tawa El makin keras hingga sempat mengeluarkan air mata karena mendengar semua itu. 

Saat tawa El mulai mereda dan bergerak mengusap air mata, Rayna kembali bertanya, "Kenapa?"

El menghela napas beberapa kali untuk membuatnya teratur. Ia kemudian menatap mata Rayna dengan tatapan serius. "Kalau gue sama Darren, nanti jadi dosa."

"Hah, dosa?" Dahi Rayna berkerut, lalu wajahnya sontak berubah seperti menyadari sesuatu. "Beda agama?"

El menggeleng. "Darren itu kembaran gue."

Mata Rayna sontak terbelalak lebar. Bibirnya yang semula tertutup rapat kini sudah terbuka seperti sebuah terowongan.

"Kenalin, gue Ezrielle Valecia Oriona," ucapnya mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar. 

Waduh! Salah mutlak ini gue. Pliss siapa pun tolong tutupin muka gue pakai tutup panci jumbo! Gue malu banget. AAAAAAAAAAAK. 

-• To be continued •-

___________________________________

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Elevator to Astral World
2690      1392     2     
Horror
Penasaran akan misteri menghilangnya Mamanya pada kantornya lebih dari sedekade lalu, West Edgeward memutuskan mengikuti rasa keingintahuannya dan berakhir mencoba permainan elevator yang dikirimkan temannya Daniel. Dunia yang dicapai elevator itu aneh, tapi tak berbahaya, hingga West memutuskan menceritakannya kepada saudara sepupunya Riselia Edgeward, seorang detektif supernatural yang meny...
3.12am
636      366     2     
Short Story
the story of a girl that has been experiencing weird things in her house and around her. she tried fixing the situation, she fixed it. but can she end it?
Mysterious Call
494      328     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Revenge
2170      1019     1     
Inspirational
Di pagi yang indah di Tokyo, Azurinee Forcas dan kakaknya, Kak Aira, mengalami petualangan tak terduga ketika hasrat Rinee untuk menikmati es krim bertabrakan dengan seorang pria misterius. Meskipun pertemuan itu berakhir tanpa tanggung jawab dari pria itu, kekecewaan Rinee membuka pintu bagi peluang baru. Saat melihat brosur pertukaran pelajar gratis di tepi jalan, Rinee merasa tertarik untuk me...
Di Paksa Nikah
782      416     0     
Romance
Jafis. Sang Putra Mahkota royal family Leonando. Paras tampan nan rupawan. Pebisnis muda terkemuka. Incaran emak-emak sosialita untuk menjadi menantunya. Hingga jutaan kaum hawa mendambakannya untuk menjadi pendamping hidup. Mereka akan menggoda saat ada kesempatan. Sayangnya. Sang putra mahkota berdarah dingin. Mulut bak belati. Setiap ada keinginan harus segera dituruti. Tak bisa tunggu at...
My Halloween Girl
1051      573     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
Penasaran ?
519      374     3     
Short Story
Penasaran yang berlebihan, membunuhmu.
The Past or The Future
451      359     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Kanvas Putih
151      132     0     
Humor
Namaku adalah Hasywa Engkak, yang berarti pengisi kehampaan dan burung hitam kecil. Nama yang memang sangat cocok untuk kehidupanku, hampa dan kecil. Kehidupanku sangat hampa, kosong seperti tidak ada isinya. Meskipun masa depanku terlihat sangat tertata, aku tidak merasakannya. Aku tidak bahagia. Wajahku tersenyum, tetapi hatiku tidak. Aku hidup dalam kebohongan. Berbohong untuk bertahan...
Melting Point
5760      1248     3     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...