Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Semakin dekat jarak antara kedua muatan maka gaya listrik menjadi semakin besar.

***

Tentu saja Ruby punya alasan kuat untuk tidak datang ke pesta ulang tahun Cleopatra. Selain karena ia tidak menyukai berada di tengah keramaian, hari ini ia akan menjalani ujian kenaikan tingkat aikido. Teman sekolahnya tidak ada yang tahu kalau Ruby bisa bela diri. Dan hal itu bukan sesuatu yang perlu diberitahu, menurutnya.

Saat masih kecil, Ruby tidak mengerti kenapa Gamal memilihkan aikido sebagai bekalnya mempertahankan diri. Namun, setelah mengenal aikido dari dekat, Ruby menangkap maksud tersirat dia dimasukkan ke sini. Aikido cocok dengan dia yang tidak suka berkonflik. Seni bela diri Jepang yang dipelajarinya menekankan prinsip kelembutan, bagaimana untuk mengasihi serta membimbing lawan. Prinsip tersebut diterapkan pada gerakan yang tidak menangkis serangan atau melawan kekuatan dengan kekuatan tetapi mengarahkan serangan untuk kemudian menaklukkan lawan. 

Aikido memang menekankan harmonisasi dan keselarasan antara energi seseorang dengan alam semesta. Bela diri ini juga yang mengajarkan Ruby berani jatuhkan diri ke bumi, membanting diri, berguling, melompati rintangan.

Sekilas, orang berpikir aikido mengandalkan kuncian dan bantingan. Padahal sebenarnya tidak juga, aikido yang Ruby tahu mengajarkan mengelak dan mengunci penyerang sampai tak berkutik sehingga mau tidak mau orang tersebut hanya bisa melepaskan diri dengan cara yang terlihat menyeramkan yaitu terbanting.

Tidak banyak yang tahu bedanya aikido dengan jenis bela diri yang lain. Bela diri ini bukanlah olahraga kompetisi. Tidak ada pertandingan siapa lawan siapa untuk kenaikan sabuk. Tidak akan pernah masuk pesta olahraga mana pun. Mungkin karena itulah Gamal memasukkannya ke sini, Gamal ingin Ruby memiliki ilmu bela diri tanpa merasa khawatir akan kompetisi saat kenaikan sabuk.

Hari ini, semenjak pukul sepuluh, Ruby telah tiba di dojo mengikuti ujian kenaikan tingkat. Ia dan peserta lain memeragakan berbagai teknik yang diminta pengujinya. Ujian berjalan padat sampai siang hari karena selain ada kelas dewasa juga ada kelas anak-anak. 

"Yame." Sensei meminta peserta berhenti dan menyelesaikan gerakan lalu memberi titah lagi, "Seiza... Mokuso..."

Ruby dan semua rekannya duduk berlutut untuk meditasi, diam sesaat sambil memejamkan mata, menyelaraskan pernapasan juga berterima kasih kepada Maha Pencipta. Sensei menitahkan agar saling memberi hormat. "Rei." 

"Arigato Gozaimashita," ujar Ruby dan peserta lain. Mereka berterima kasih kepada semua pengujinya sambil sedikit membungkukkan badan. Jika ujian ini dinilai lancar, maka sabuk biru Ruby akan berubah menjadi cokelat. Dojo ini memiliki kebiasaan sehabis ujian, para peserta tidak langsung pulang setelah ujian berakhir. Sensei selalu menyiapkan penganan dan mereka terbiasa menikmati makanan yang ada bersama-sama, bercerita tentang banyak hal.

"By! Selamat bertambah umur. Udah tujuh belas tahun aja," ujar Sensei sambil menyorongkan piring berisi kue buatan istrinya. "Rencana mau kuliah di mana? Di Jepang aja gih, biar Yuriko ada temennya."

Ruby tersenyum singkat dan meraih kue talam yang tersusun. Sembari berterimakasih atas ucapan yang ada, ia juga memikirkan pertanyaan Sensei. Itu mengganggu, membuatnya hanya kedikkan bahu. "Jepang? Susah ngerti kanjinya. Padahal Ruby udah pelajari bahasa Jepang."

Sensei tertawa sambil menilik murid yang dikenalnya sejak umur empat tahun. "Di sini kita kan sering pakai bahasa Jepang?"

"Coba huruf kanjinya diganti aksara Jawa." Ruby mulai berandai. Ia sebenarnya suka Jepang apalagi dengan kebudayaannya. 

Kepala Sensei kembali terangguk, pria tua itu tertawa. "Jangan nyerah. Ada pepatah bilang, Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Kenapa?"

Murid-murid Sensei yang terdiri dari belasan orang dewasa itu menunggu kelanjutannya. 

"Zaman Nabi Muhammad dahulu, menuju ke China sangat jauh dan susah. Harus melewati jalur sutra dulu, menghadapi perompak di gurun. Belum lagi lelah, haus dan kehabisan perbekalan. Jadi, Nabi meminta kita untuk terus belajar meski banyak sekali tantangannya."

"Jangan takut jatuh, jangan takut belajar. Jatuh sekali membuat kita jadi belajar, jatuh berkali-kali membuat kita semakin pintar. Budoka itu pantang menyerah. Jadi, jangan lupa bangkit setelah jatuh. Keenakan jatuh terus malah bikin ketiduran," gurau Sensei kepada yang lain.

"Matrasnya enak sih, Sei. Makanya tidur," ujar yang lain diselingi tawa. 

"Ah, lo aja itu yang males! Baru jatuh dua puluh kali langsung lemah," balas Sensei tergelak.

Peserta lainnya masih sibuk bercerita hal lain kepada Sensei. Ruby yang mengusap handuk di muka, mulai memeriksa ponselnya. Tumben, tanda notifikasi grup WhatsApp kelas tidak berhenti dari semalam. Pesan yang biasanya hanya puluhan, hari ini sampai ribuan. Mau tak mau, Ruby membuka grup yang pemberitahuannya sudah dimatikan untuk satu tahun ke depan.

Sesuatu terasa mengentak dada Ruby, seperti baru saja terbanting oleh musuh di luar kondisi siaganya. Seseorang membagikan berita viral di Buletin Online Sekolah, yang biasa mereka sebut BOS, portal berita daring yang dikelola satu organisasi di sekolah. Berita itu tentang tangkapan layar dari status Rimba, tetapi yang menjadi fokusnya adalah kenapa fotonya yang diunggah Rimba? Sejak kapan Rimba punya foto dia? Dan kata-kata ini? Astaga! Apakah Rimba belum selesai juga merundungnya?

Tanpa tergerak mengomentari, Ruby pilih menutup percakapan grup. Ia menyimak pembicaraan Sensei sebentar lalu beranjak ke toilet, mengganti baju. Dengan selesainya urusan mikroskop beberapa waktu lalu, Ruby pikir kejailan Rimba akan selesai. Toh, mereka sudah membicarakan kesalahpahaman yang terjadi. Akan tetapi, rupanya tidak, cowok itu masih saja menjadikannya objek bercanda.

***

Ruby bangkit dari tiduran dan membuka laptop, ingin mencari tahu keterangan tentang pengumuman olimpiade sains yang dibacanya di Mading tempo hari. Pak Iksun kemarin memanggilnya dan menawari untuk ikut penyaringan OSN Fisika. Memang perhelatannya sendiri baru dimulai bulan Juli tahun depan, tetapi tahap seleksi tingkat sekolah akan dimulai. Namun, bukannya lanjut mencari di mesin pencarian, Ruby yang semakin merindukan Mentari malah berkutat dengan tulisan sendiri.

Sebelum Lenyap

Maka, izinkan aku tetap mengingat sosoknya. Menyapanya dalam keheningan ingatan usang yang tak ingin lekang. Mematri kenangan monumental sebagai peninggalan yang dapat dikunjungi sewaktu-waktu. 

Izinkan penggalan kisah-kisah tetap hidup di kepala. Tolong jangan kemas pergi sebab hanya itu tempat tersisa untuk pulang. 

Di titik-titik harapan terbuang.

Di titik ketidakmungkinan absolut hanya bisa disemogakan.

Mengenangnya menjadi hujan dalam kemarau. Kendati akan mengembun, meninggalkan rebas berselubung parau.

—Mirah Delima—

Ruby kemudian mengirimkan itu juga ke surel Buletin Online Sekolah. Tidak ada yang tahu jika dia ada di balik nama Mirah Delima. Beberapa teman sekelas pernah membicarakan nama pena tersebut, mereka penasaran siapa orangnya. Mereka berpikir itu Mira, teman sekelasnya yang juga saudara seangkatan Rimba di Pasuspala. Namun, Mira menepis dugaan itu, dan Ruby seperti biasa, hanya diam dan menajamkan pendengaran. Toh, dia membuat nama pena agar tidak diketahui orang lain.

Lampu di langit-langit berkedip dua kali. Tak lama, mati total. Dengan bantuan cahaya laptop, ia meraba letak ponsel. Ruby lalu mencari lilin untuk dihidupkan. Sialnya, stok lilin habis. Dia beranjak keluar rumah setelah membaca pemberitahuan mati lampu di aplikasi PLN. Kalau durasinya diperkirakan dua sampai tiga jam, maka Ruby perlu membeli lilin. Dia beranjak keluar rumah berbekal lampu penerang yang terpasang di kepalanya. Hari sudah malam, sekitar rumah juga gelap. Mati lampu terlihat menyeluruh, membuat suasana seperti kota mati. 

Saat Ruby melewati lapangan rumput, terdengar bunyi keributan. Ia tahu, sering kali lapangan itu dipakai sebagai tempat berkumpulnya geng-geng pemuda. Ruby sudah membuat perisai dengan menggelung dan sembunyikan rambutnya di balik topi, juga memakai jaket kebesaran sehingga tidak terlihat sebagai objek menarik untuk mereka. Sejujurnya Ruby penasaran apa yang sedang terjadi. Namun, bisa saja itu bercandaan antar teman. Dia lalu memilih untuk tidak mau tahu seperti biasa.

Sekembalinya dari warung dengan sebungkus lilin, suara pukulan itu masih ada. Terdengar seperti dua arah, penyerang dan diserang sama-sama mengadu kekuatan. Ruby mengintip dari bawah topinya. Di lapangan sana, ada perkelahian satu lawan lima.

Pertarungan yang menarik, batin Ruby. Terbersit keinginan ajaib dimana ia ingin menonton kompetisi itu dari tempat yang aman. Menganalisis kemungkinan adalah hal yang menggoda bagi Ruby tetapi PR biologi mengingatkannya kalau ia harus pulang. Dilewatinya tontonan itu, saat berjalan menjauhi lapangan, kakinya menendang sesuatu. Sebuah kain berbentuk segitiga, berwarna merah. Tampak seperti kain biasa, tetapi logo yang terlihat tampak familier di mata Ruby. Logo mata angin berwarna putih di atas kain merah dengan empat huruf kapital PSPL. Itu slayer Pasuspala. Ruby bergegas memungut benda itu. Apa ada tetangga anak Pasupala? pikir Ruby. Sayang, setahunya tidak ada. 

Teriakan dari sudut lapangan membuat Ruby berjengkit. Sambil menunduk dan mematikan senter kepala, ia sejajarkan diri setinggi ilalang coba mengintip peristiwa itu. Mata Ruby membulat sempurna ketika melihat motor yang pernah ditolaknya untuk naik. Rimba?

Ruby berusaha menipiskan jarak tetapi tetap berjaga dalam kondisi aman. Iya, betul itu Rimba. Tadinya Ruby hanya mau memantau saja. Namun, badannya otomatis berangsur tegak kala mendengar erangan Rimba.

"Hoi! Ngapain lo liatin kami? Mau ikutan?!" bentak seorang anggota geng ke arahnya. 

Demi Pluto yang selalu bersama Charon, beraninya kok keroyokan!

Anggota itu berjalan mendekati Ruby, membuatnya bergeser ke samping. Sebenarnya, Ruby sudah terpikir untuk lari kencang-kencang. Bukan karena dia takut, tetapi Sensei pernah bilang kalau 'Best defense is not fighting at all'. Kalau bisa lari, ya lari. Membela diri itu benar-benar jadi opsi terakhir. Orang yang memiliki ilmu bela diri tidak boleh menggunakannya di luar kompetisi atau kondisi terkontrol seperti latihan, sebab jika berhadapan dengan sama-sama penduduk sipil, pemakaian kekerasan itu adalah kesalahan. Menurut Sensei, pertarungan baik bisa bela diri atau tidak, tetap akan sama-sama rugi karena berakibat fatal pada yang orang yang diserang maupun penyerangnya.

Namun, dia bimbang ketika melihat Rimba tergeletak dan terlihat tiga orang lain sedang mengepung cowok itu. 

"Mau sok jagoan lo?" bentak lelaki brewok itu lagi.

Tanpa suara, Ruby berusaha membaca gerakan lawan. Seorang lain menghampiri Ruby dan hendak memukul, Ruby mengelak ke samping. Karena gagal, orang itu mengayunkan pukulan lagi, Ruby kembali mengelak ke arah yang lain. 

"Licin juga lo kayak belut!" desis lelaki kedua yang berperawakan gempal. Dengan geram, lelaki itu mengarahkan pukulan membabi-buta ke arah Ruby. Dan kali ini, Ruby tidak hanya mengelak. Jika dibiarkan, lelaki itu akan memukulnya. Ia mengangkap pergelangan tangan kanan penyerang, memutar telapak tangan dan siku lelaki itu hingga terkunci rapat. 

Penyerang terjepit, kuncian Ruby di tangannya terasa sakit. Seharusnya sang penyerang jatuhkan saja dirinya seperti Aikidoka berlatih di dojo, tetapi lelaki itu malah melawan lagi sehingga bunyi berderak terdengar nyaring dari tangannya. Lelaki itu berteriak, tangan kanannya terpelintir dan tulangnya bergeser dari belikat. Dia jatuh menggelepar di tanah.

Orang yang pertama menegur Ruby lantas naik pitam. Secepat kilat sosok itu mencengkeram kedua tangan Ruby kuat-kuat agar berhenti melawan. Ruby tidak berusaha melepaskan pegangan tangan di tangannya. Dia memanfaatkan energi lawan dan menggerakan tangannya dengan santai seperti hendak menggaruk kepala, lalu menarik badannya ke belakang, mendudukkan diri ke bumi. Gerakan itu membuat orang yang mencengkeram kedua tangannya ikut tertarik dan jatuh terbaring ke tempat yang Ruby arahkan. Sosok itu menabrak motor Rimba yang berdiri di sana. Lelaki itu dan motor milik Rimba bergelimpang. Korban mengerang keras ketika kakinya robek terkena gir di roda motor.

Tiga lelaki lain yang sedang berjibaku dengan Rimba lantas berhenti dan menoleh. Topi Ruby sudah terlepas karena pertarungan tadi dan rambutnya terurai. Geng itu sepertinya terkejut mengetahui yang mengalahkan teman mereka adalah seorang anak perempuan. Ruby sudah berdiri tegak dengan sikap siaga.

Mengetahui bahwa yang dilawan adalah orang yang menguasai ilmu bela diri, anggota geng yang tersisa bergegas membantu dua rekannya yang terkapar di tanah lalu lari tertatih meninggalkannya dan Rimba. Ruby menghampiri cowok yang masih tertelungkup di tanah dan terlihat kesakitan.

"Lo?" tanya Rimba lirih. Matanya terbelalak tidak percaya, menyelisik gadis berambut ikal yang berdiri di sampingnya.

Ruby menjulurkan tangan. "Iya, gue. Lo nggak papa?"

Rimba masih tercengang, bantuan datang tanpa prediksi. Tangan kurus dengan jari lentik itu dibiarkannya. Ia mencoba berdiri sendiri. Namun, nahas. Badannya limbung, ia terjatuh lagi.

Ruby menarik bibir sedikit. Sedikit banyak dia memahami Rimba dan segala tindakan tidak mau kalah cowok itu. "Kita musti cepat pergi. Mereka bisa aja balik lagi dan bawa temen yang lebih banyak," ujarnya cepat sambil langsung memapah Rimba menuju motor. Cowok itu memegangi perutnya, menahan sakit. Sadar jika Rimba tidak mampu kendarai kuda besi seorang diri, Ruby lebih dahulu menghidupkan motor Rimba. "Biar gue yang bawa," sahutnya sambil menghidupkan motor Rimba. 

***

"Pelan-pelan." Rimba meringis. Luka-lukanya sedang dibersihkan oleh Ruby memakai kasa steril. Cewek di depannya itu hanya memutar bola mata. "Pedih," tambahnya lagi.

Tak lama ketika mereka tiba di rumah Ruby, aliran listrik hidup kembali. Rimba bersikeras tidak mau dibawa memeriksakan diri ke rumah sakit. "Tumben lemah," ucap Ruby, "ini cuma pake air hangat. Belum gue kasih alkohol 70%."

Cewek itu seperti mengancam. Rimba melirik kotak P3K yang ada di atas meja, matanya menatap awas kepada botol putih bertuliskan 'Alkohol 70%'. Muka dan sekujur badan Rimba memar kebiruan, sudut bibirnya pecah dan darah terlihat mengering di sana. "Ya, memang pedih, masa gue mesti bohong?"

Ruby membersihkan bercak darah di pinggir bibirnya dengan pinset panjang yang menjepit gumpalan kasa. Seolah tidak memedulikan sakit yang dirasanya, cewek itu malah menekan-nekan pinset. "Ngapain sih lo tadi? Mau pertunjukan sirkus?" 

Bukannya menjawab, Rimba malah bertanya, "Lo ... Judoka?"

"Bukan," jawab Ruby tenang.

"Tapi tadi lo banting orang," balas Rimba. Dia masih syok mengetahui Ruby bisa membanting orang. 

Hidung putih di hadapannya terlihat mengendus sesuatu. "Lo mabok?"

"Enggak." Rimba menjawab lirih sambil menjauhkan mukanya saat terasa perih.

"Tapi minum, 'kan?" 

Muka Rimba yang tadi menjauhi pinset, sekarang malah mendekat. Rasa heran menyeruak di dalam Rimba. Bagaimana bisa anak cupu seperti Ruby mengetahui bau khas minuman beralkohol? Rimba yakin untuk datang ke tempat seperti itu saja Ruby tidak pernah.

Senyum tipis tergaris di muka Ruby. "Gue tau baunya. Nggak usah kaget gitu muka lo. Biasa aja."

Kasa masih menekan-nekan luka Rimba, rasanya nyeri saat luka itu dibersihkan. Rimba menangkap tangan Ruby agar cewek itu berhenti sebentar. Ia perlu jeda untuk lukanya. Mata mereka bertatapan. Bola mata hazel itu membuat Rimba acap kali berpikir kalau Tuhan menuang madu sebagai komposisi saat membuat mata Ruby. Kontras dengan wajah pucatnya. Namun, serasi. Memesona.

"Waktu di tempat Cleo, anak-anak ngajakin," ungkapnya sambil melepas tangan Ruby.

Cewek itu mengangguk-angguk. "Gue pikir, lo orang yang berprinsip," balas Ruby diiringi tatapan yang berkata 'Rimba, Peringkat Satu Paralel yang kata orang hebat itu  oh-ternyata-ikutan-minum-juga'. 

"Gue cuma menghargai temen," dalih Rimba membela diri.

"Dengan mengorbankan diri sendiri?" sahut Ruby sambil mulai membereskan peralatan, membawa kembali baskom dan kotak P3K ke dalam rumah. 

Saat Ruby meninggalkannya, Rimba mulai meneliti rumah yang dindingnya tersusun dari batu bata ekspos tanpa dilapisi semen lagi, gaya itu sama di bagian luar dan dalam. Ruang tamunya kecil dan simpel, tidak banyak barang. Pembatas ruang tamu dengan ruang di sebelahnya hanya rak yang penuh dengan buku.

Mata Rimba menangkap beberapa buku fiksi kesukaannya, dan deretan buku nonfiksi lain. Buku tentang alam, ensiklopedia, sampai buku-buku politik beraliran kanan dan kiri. 

Ada sederet bingkai foto di atas lemari kayu. Matanya berhenti di sebuah foto dan memelotot tidak percaya.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pillars of Heaven
2996      962     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
Sekilas Masa Untuk Rasa
3956      1288     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Secret’s
4286      1369     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Throwback Thursday - The Novel
16565      2507     11     
Romance
Kenangan masa muda adalah sesuatu yang seharusnya menggembirakan, membuat darah menjadi merah karena cinta. Namun, tidak halnya untuk Katarina, seorang gadis yang darahnya menghitam sebelum sempat memerah. Masa lalu yang telah lama dikuburnya bangkit kembali, seakan merobek kain kafan dan menggelar mayatnya diatas tanah. Menghantuinya dan memporakporandakan hidupnya yang telah tertata rapih.
Andai Kita Bicara
674      520     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Switch Career, Switch Life
406      342     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
The First 6, 810 Day
746      512     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Aldi. Tujuh Belas. Sasha.
513      296     1     
Short Story
Cinta tak mengenal ruang dan waktu. Itulah yang terjadi kepada Aldi dan Sasha. Mereka yang berbeda alam terikat cinta hingga membuatnya tak ingin saling melepaskan.
Yang Tertinggal dari Rika
2347      1103     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
I Found Myself
51      47     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?