Langit Jakarta menjelang malam seperti lukisan setengah jadi, biru keabu-abuan, bergurat jingga, tapi terasa hampa. Kiran berdiri dibalik jendela besar kamarnya, memandangi dunia yang terus bergerak, seolah mereka semua tahu kemana mereka menuju, sedangkan Kiran sendiri terjebak dalam ruang yang tak ia pilih.
Di tangannya, selembar kertas berkop nama perusahaan ayahnya, CV Adiputra. Undangan rapat direksi. Surat yang tidak ditujukan untuk gadis berumur dua puluh dua tahun yang masih ingin mengejar mimpi, tapi pada seorang pewaris yang tak pernah memberi kesempatan untuk berkata "tidak".
Ibunya mengetuk pintu setengah hati. "Besok kamu ikut ya kir. Ayah udah nyiapin tempat duduk buat kamu di ruang rapat."
Kiran hanya diam. Ia tahu tak ada ruang penolakan. Bukan karna orang tua nya jahat, tidak, tapi karena cinta mereka dibungkus dengan ekspetasi berat, jadi sukses, jadi penerus, jadi harapan.
Sementara di sudut kamarnya, berdiri lukisan setengah jadi. Seorang gadi dengan setangkai bunga layu. Ia melukis gadis itu dua bulan yang lalu, dan belum sempat menyentuhnya lagi sejak ayahnya mengumumkan, "kamu akan mulai magang tahun ini."
Kiran terduduk dilantai bersandar dinding. Ia mencoba memejamkan mata, membayangkan palet warna, suara goresan kuas dan pameran seni yang dulu pernah ia datangi di Kyoto, dan surat penerimaan dari akademi seni yang diam diam ia buang karena takut ketahuan.
Ia pernah percaya bahwa cinta berarti memahami. Tapi di rumah ini, cinta berarti patuh.
"Kalau aku pergi diam diam, apa dunia ini akan mencari aku?" pikirnya.
Jika boleh bertanya dan Puan berkenan menjawab, referensi buku-buku apa yang puan baca (1 saja cukup), sehingga bisa menciptakan karya tulis yang hidup seperti ini? 👌
Comment on chapter Prolog