Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lantas?
MENU
About Us  

Mau berapa kalipun Amanda memutar otaknya, dia tetap tak habis pikir mendengar gosipan teman sekamarnya. Leefie mungkin queen of the gosip ter-hot, tapi dia tak paham logika dari gosip barunya. "Kalo dipikir, malah nggak paham, weh!" seru Amanda di hatinya.

"Tapi beneran loh, Nda! Si Rendi, kawan lo itu ilang ingatan. Masa iya lo diem aja, ini kawan lo padahal," desak Leefie, mengerutkan dahinya. Dia berpikir, "Jangan-jangan gosip tentang Manda yang cool brutal itu nyata? Padahal gue kira bohongan soalnya dia nggak kayak cewek cool."

Amanda menghancurkan pikiran buruknya di kepala. "Kalopun bener dia ilang ingatan, kok dia tau cara bernapas. Hayo!?" tuntutnya serius, tapi tak terlihat tanda-tanda keseriusan.

"Udah kebiasaan bernapas makanya bisa. Ih masalah kayak gitu jangan dipikirin, masa iya lo mau ngebiarin Rendi begitu? Nggak ada gitu niatan mau ngebantu?" Leefie mengambil ponselnya di atas kasur lalu memperlihatkan foto lelaki berjaket hitam dengan mimik wajah bingung.

Ponsel Leefie direbut paksa oleh Amanda, dia menelisik keseluruhan sudut lelaki itu. Nggak mungkin salah, lelaki itu Rendi. "Lo dapet foto Rendi dari mana, Pi? Beda banget nggak kayak Rendi yang biasanya bermuka judes, sejudes-judesnya."

"Ih! Kan udah dibilang!" Leefie mengacak-acak rambut bergelombangnya, geram sekali pada Amanda yang sudah diberi tahu, tapi tetap ngeyel. "Orang ilang ingatan ya pasti beda dong, Amanda cantik!" tekannya.

"Dia beneran ilang ingatan?" Amanda bertanya lagi, bagaimanapun semua berjalan tak realistis. Lusa kemarin Rendi memang pamit kepadanya ingin membeli barang di luar asrama, lalu besoknya Rendi digosipkan hilang ingatan. Lucu banget~

Leefie mengambil balik ponselnya lalu tenggelam di lautan selimut hangat. Dia sudah masa bodoh dengan Amanda yang susah dibilangin, semua orang sudah melihat bagaimana tingkah laku Rendi yang berbeda jauh dari sebelumnya. Jadi pasti Rendi benar hilang ingatan.

"Yang hobinya ngambek jodohnya fiksi loh," ledek Amanda tak digubris. Cewek itu membuka jendela kamar sebelah kiri, pemandangannya langsung mengarah pada asrama cowok. 

Amanda tak benar-benar percaya, Lammi—sahabatnya saja tak memberi kabar tentang itu jadi dia juga belum memutuskan. Namun, sudah lama sekali sejak mereka bertiga berkumpul, Amanda, Lammi, dan Rendi adalah sahabat yang selalu bersama. Persahabatan mereka dipanggil Kawan Setahun. Artinya sama seperti namanya. Berkawan selama satu tahun lalu selesai.

"Argh! Ya mana mau gue dong!" jerit Amanda, mengintip ke luar jendela. Tak ada orang, penjaga asrama pun tak ada, saatnya menyelinap pergi menemui Rendi.

Knop pintu dibuka perlahan, kepala Amanda menyempul sedikit memastikan sekitar asrama putri kosong. Kemudian Amanda keluar dengan plastik makanan di tangannya, jika tertangkap Amanda bisa berdalih baru beli makan dan dia terhindar dari hukuman. "Xixixi," kekehnya.

Di gerbang asrama putra, Amanda berhenti lalu berulang kali menelepon Rendi, spam telepon. Biasanya dengan melakukan ini, Rendi akan langsung keluar dalam waktu lima menit.

Jangankan keluar, tanda-tanda dia menyalakan data saja tidak ada. "Si Kunyuk habis kouta atau apa sih, aelah?" gumam Amanda. Dia mulai kedinginan.

Jam sebelas malam keluar dengan baju tipis itu tidak wajar, Amanda mulai bersin-bersin. Namun, dia masih ingin menunggu Rendi. "Ngapain gue ngejar dia sih? Aturan gue ngejar mas crush bukan si Kunyuk itu," gumam Amanda, merasa bodoh sendiri lalu pergi.

"Gue kira maling, ternyata anak cewek. Jam segini ngapain keluar? Lo udah ngelanggar aturan asrama tau," cetus seorang Lelaki dari arah gerbang asrama cowok.

Amanda sontak menoleh, akhirnya Rendi muncul— "Lah lo siapa weh?!" tanyanya dengan nada keras. Ini karena terkejut jadi wajar.

"Sussttt. Kalo berisik penjaga asrama datang loh," tegur Lelaki itu, Amanda patuh dan menutup mulutnya. "Gue Riski Beeno Naditya."

"Singkat aja, panggilannya apa?" celatuk Amanda, dia pikun soalnya. Kalo mengingat nama panjang itu akan sulit baginya.

"Beeno."

"Hah, bentol?" Rada-rada Amanda menangkapnya demikian, selain ingatannya, telinganya juga bermasalah, jadi maapkeun.

***

"Selamat datang di 24 jam belanja manjah!" sapa Amanda ramah, sedikit membungkuk. Dia melirik jam dinding di belakangnya, lalu berganti jam kerja dengan temannya yang lain.

Dia mengganti pakaian kasir minimarket dengan bajunya sebelum kerja, dia juga memakai jaket karena malam ini dingin. Saat temannya yang lain datang, Amanda sudah beranjak pergi, dia bertukar sapa dulu. 

"Besok jangan telat, ya, Nda!"

"Gue nggak pernah telat," sahut Amanda ketus.

Di luar minimarket, Amanda melihat sosok Lelaki yang baru datang dengan sepeda motor hitamnya. Kala Lelaki itu membuka helm full face-nya, Amanda bertertiak, "Loh Rendi?!"

Rendi menoleh dengan tatapan asing, seakan-akan dia tak pernah mengenal Amanda. "Iya," jawabnya singkat lalu masuk ke dalam minimarket.

Senyum di bibir Amanda merekah, dia ikut masuk ke dalam minimarket, mengekor di belakang Rendi. "Jangan ikutin gue. Emangnya lo siapa?" kalimat tajam Rendi menusuk hati Amanda, tapi cewek itu sudah kebal jadi tak ada rasa sakit.

"Gue Amanda lah, cok. Parah sih sahabat sendiri dilupain. Nggak mau berkawan ah," rengek Amanda, berpura mengambek.

"Nggak kenal, SORRY," jawab Rendi.

"Yaudah ayo kenalan!" Amanda menjulurkan telapak tangannya. Sebenarnya dia baru sadar jika sifat Rendi sedikit beda, tapi dia masih sama. 

Rendi mengabaikan Amanda, dia kembali mengambil barang yang diinginkannya, berupa sabun mandi, dan beberapa camilan. 

"Bukannya lo alergi kentang, ya? Kok ngambil kentang goreng?" Amanda menghentikan tangan Rendi. "Ganti buruan, nanti lo sakit tau rasa."

"Nggak usah sok akrab," kelitnya. 

"Dih! Masih mending gue bantu, ya!" bentak Amanda. Lama kelamaan, dia hanya membuang waktu, padahal tugasnya masih menumpuk di asrama. Sia-sia saja rencananya ikut dengan Rendi sampai asrama. Orangnya dingin macam kulkas sejuta pintu.

***

Hiasan perintilan khas Natal menempel di berbagai tempat di kota ini, meski tidak semewah di negara lain. Di malam Natal, Leefie memamerkan barang-barang langka hasil lotre di sebuah gim perdagangan.

"Bagus, kan, ya? Gue ngehabisin duit bulan ini untuk dapet semua ini. Akhirnya gue bisa dapet, udah dari lama gue pengen," ujar Leefie kesenengan. Maniak gim seperti dia susah diladeni oleh Amanda.

"Iya bagus banget itu, tapi karena gue mau kerja jadi gue nggak peduli," pamitnya kemudian pergi dengan tergesa. 

Begitu sampai di tempat kerja paruh waktu, Amanda langsung mengganti pakaian kasir dan bersantai sebentar sampai jam kerjanya masuk. "Gue juga lagi nunggu 'itu' sih sebenarnya—"

"Manda, gantian nih," panggil Leah, teman kerjanya.

Amanda langsung berganti ke mode kerja. Seperti biasa, saat mulai bekerja, godaan kantuk langsung menyerang. Untungnya Amanda sudah minum kopi tadi.

"Selamat datang di 24 jam belanja manjah!" sapa kasir sebelah Amanda kepada Rendi yang baru masuk. 

Amanda sendiri kaget, dia baru mau menguap dan orang itu langsung datang. "Hm. Sini silahkan kasih aja, bakal gue terima," gumamnya menahan tawa.

Sekitar sepuluh menit Rendi berkeliling minimarket, akhirnya dia datang ke kasir untuk membayar belanjaannya. "Ada lagi, Ren?" tanya Amanda seperti kasir minimarket lainnya.

"Nggak," jawab Rendi lalu membayar uangnya.

Uang itu ditahan oleh Amanda lama, lalu Rendi bertanya, "Kenapa?"

"Hiasan Natalnya bagus, ya?" Amanda basa-basi.

"Iya."

"Sekarang Natal, ya? Gue lupa," ucap Amanda masih memberi petunjuk.

"Lo aja yang pikun," cetus Rendi. "Udah, ya?" Rendi pergi dari kasir bersama barang belanjaannya. 

Amanda tak bisa menghentikannya lagi. Lagipula, "Kenapa sifat Rendi semakin dingin aja? Udah cukup cuaca aja yang dingin, jangan sifat Rendi!"

Padahal hari ini, ulang tahun ke delapan belas bagi Amanda. Beberapa jam lagi, sudah berganti menjadi tanggal 26, lantas mengapa tidak ada yang mengucapkannya?

"Manda! Tuh di luar ada paket lo," panggil Leah, teman kerjanya. Mendengar itu Amanda langsung berlari keluar, seharusnya dia tak memesan apapun hari ini. 

"Pengirimnya siapa, kak?" Kurir yang mengantar menjawab dengan mengangguk, pakaiannya sangat mencurigakan. Jaket full hitam dengan helm full face, bahkan dia tidak berbicara apapun kepada Amanda. 

Amanda benar-benar takut terkena penipuan, di saat itu juga dia langsung membuka paket yang dikirim. Begitu terbuka, mata Amanda terasa panas dan keluar air matanya begitu saja.

"Sebenarnya, siapa yang ngirim sih?" tanya Amanda, suaranya bergetar.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags