Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Bahagia itu ternyata tidak selalu datang dengan musik keras, lampu sorot, atau sorak-sorai orang ramai. Tidak selalu muncul dalam bentuk kembang api yang meledak di langit malam atau kejutan ulang tahun yang meriah. Kadang-kadang, bahagia itu datang dalam bentuk secangkir teh hangat di sore hari, ditemani rintik hujan di luar jendela, dan suara halaman buku yang dibalik pelan-pelan. Aku pernah berpikir, dulu, bahwa bahagia itu harus megah. Harus terlihat. Harus bisa dipamerkan di media sosial. Harus bikin orang lain berkata, “Wah, kamu keren banget!” Tapi sekarang, setelah lelah mengejar yang begitu keras dan terus-menerus merasa kosong di akhir, aku mulai mengerti—ada bahagia yang tidak teriak-teriak. Bahagia yang datang diam-diam, pelan, bahkan sering kali tidak disadari saat sedang berlangsung. Bahagia itu saat aku bisa bangun pagi tanpa beban menindih dada. Saat bisa makan tanpa perasaan bersalah. Saat bisa menyapa diri sendiri di cermin tanpa ingin berpaling. Sesederhana itu.

Dulu, aku pernah iri melihat teman-temanku yang hidupnya tampak sempurna. Mereka pergi ke tempat-tempat indah, punya pasangan yang romantis, pekerjaan yang keren, dan hidup yang ‘terlihat’ seru. Sementara aku? Aku bangun tidur, bekerja, pulang, rebahan, dan merasa dunia ini biasa saja. Hidupku seperti playlist lo-fi yang mengalun lembut di latar belakang—tidak buruk, tapi juga tidak pernah jadi sorotan. Namun ternyata, hidup seperti itu bukan berarti tidak bahagia. Aku cuma lupa cara mendengarkan nada-nada kecil yang sebenarnya mengalun tenang di sekelilingku. Seperti saat ibuku membungkuskan bekal makan siang tanpa diminta. Atau ketika teman lamaku tiba-tiba mengirim pesan hanya untuk bilang, “Gue kangen.” Atau ketika aku bisa menertawakan video kucing selama lima menit tanpa berpikir tentang deadline. Semua itu kecil, diam, tapi nyata. Bahagia tidak selalu harus jadi headline.

Suatu malam, aku sedang duduk sendiri di teras rumah. Lampu jalanan menyala temaram, suara jangkrik bersahutan, dan udara dingin mulai menyelinap ke kulit. Aku sedang tidak menunggu siapa-siapa. Tidak sedang menanti notifikasi masuk. Tidak ingin kabar baik. Aku hanya duduk—dan merasa cukup. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ada sesuatu yang mengalir dalam keheningan malam itu. Rasanya seperti dipeluk oleh semesta. Tidak ada yang luar biasa, tapi juga tidak ada yang kurang. Aku sadar, malam itu, aku sedang bahagia. Bukan karena sesuatu yang besar terjadi. Tapi karena tidak ada luka baru yang datang. Karena hatiku tenang.

Itu bahagia. Bahagia versi baru yang mulai aku pelajari.

Kita sering mengira bahwa kebahagiaan harus selalu punya panggung. Harus dikonfirmasi, divalidasi, dan disetujui oleh banyak orang. Tapi tidak semua bahagia ingin dipotret. Tidak semua momen ingin dibagikan. Ada bahagia yang ingin tinggal saja di dalam hati, tanpa perlu dibicarakan terlalu banyak. Seperti pagi saat hujan turun, dan kita tidak perlu buru-buru bangun. Atau waktu menemukan lagu lama yang dulu pernah jadi pelarian saat galau. Atau ketika membuka jendela kamar dan melihat langit cerah tanpa tahu alasannya kita tiba-tiba tersenyum.

Bahagia itu bisa sederhana, dan tetap sah sebagai bahagia.

 

Ada temanku yang selalu terlihat kalem. Tidak pernah heboh, tidak suka pamer, dan cenderung pendiam. Aku pernah bertanya padanya, “Kamu nggak pernah cerita tentang yang bikin kamu bahagia, ya?” Dia menjawab, “Karena kalau aku udah cerita, rasanya kayak kebahagiaan itu malah hilang sebagian.” Jawabannya membuatku terdiam. Ada kebenaran di sana. Kadang kita terlalu sibuk menceritakan, sampai lupa menikmatinya. Sibuk memotret makanan, lupa rasanya. Sibuk membuat konten tentang liburan, lupa betapa segarnya angin laut. Sibuk mencari kata-kata estetik, lupa apa yang sebenarnya dirasa.

Temanku itu benar. Ada bahagia yang justru lebih indah ketika dibiarkan diam di dalam dada.

Hari ini aku belajar bahwa tidak apa-apa kalau hidup kita tidak semeriah orang lain. Tidak harus punya banyak sorotan untuk merasa cukup. Tidak harus selalu viral untuk merasa berhasil. Karena ada bentuk lain dari kemenangan, yaitu ketika kita bisa tidur nyenyak tanpa cemas. Bisa bangun pagi dan bernapas lega. Bisa tertawa, meski hanya karena hal-hal kecil. Bahagia itu bukan perlombaan. Ia bukan medali yang harus direbut, atau piala yang harus dibawa pulang. Ia adalah keberanian untuk jujur pada diri sendiri, untuk tidak pura-pura baik-baik saja, dan untuk tetap berjalan walau pelan. Suatu hari nanti, ketika segala pencapaian yang kita banggakan tidak lagi relevan, ketika notifikasi berhenti berdenting, dan tidak ada lagi ‘likes’ atau komentar yang masuk, kita akan sadar: yang benar-benar penting adalah siapa yang masih mau duduk diam bersama kita. Dan apakah kita masih bisa menikmati keheningan tanpa merasa kesepian.

Karena bahagia bukan tentang siapa yang paling keras tertawa. Tapi siapa yang bisa merasa damai di dalam diam.

Aku menulis ini bukan karena hidupku sudah sempurna. Tapi karena aku mulai memahami bahwa hidup ini tidak harus sempurna untuk bisa disyukuri. Aku mulai belajar untuk tidak membandingkan diriku dengan orang lain. Untuk tidak iri melihat orang lain menang, karena aku juga sedang menang—dengan caraku sendiri. Aku mulai paham bahwa aku tidak perlu jadi pusat perhatian untuk merasa berharga. Tidak perlu jadi yang paling luar biasa untuk merasa cukup. Karena mungkin, cukup itu memang tidak perlu berisik.

Mungkin memang benar, ada bahagia yang tidak teriak-teriak. Tapi bukan berarti dia tidak ada. Ia hanya sedang duduk tenang, menunggu kita sadar dan mengucap, “Terima kasih ya, sudah datang.”

Pesan
Bahagia tidak selalu datang dalam bentuk besar atau megah. Kadang, kebahagiaan muncul dalam hal-hal sederhana, dalam detik yang tenang, dan dalam diam yang damai. Kita hanya perlu belajar mendengar yang pelan, merasakan yang halus, dan menghargai yang kecil. Karena pada akhirnya, bukan suara paling keras yang membuat kita merasa utuh—melainkan kehadiran paling tulus, meski tak terucap.Aku pernah berpikir bahwa jika hidupku tidak seperti kisah film yang penuh konflik, klimaks, lalu ending yang indah dengan backsound musik orkestra—berarti aku belum benar-benar bahagia. Tapi hidup, ternyata, bukan seperti film. Kadang kisahnya datar, kadang terlalu panjang tanpa jeda. Kadang tidak ada plot twist. Tapi justru di situlah bahagianya. Di tengah semua kebiasaan, ada keajaiban yang tersembunyi. Misalnya, saat aku berhasil mencuci baju dan cuacanya ternyata cerah. Ajaib, kan? Atau saat aku punya uang cukup pas akhir bulan, setelah sekian hari hidup dengan menu mie dan kerupuk. Itu bukan cuma keberuntungan, itu momen-momen kecil yang mengingatkanku bahwa hidup ini, diam-diam, sedang baik-baik saja. Ada satu sore, aku sedang di halte, hujan, tidak ada ojek, dan dompetku tinggal receh. Di sebelahku ada ibu-ibu yang juga kehujanan, dan ia mengulurkan payungnya kepadaku tanpa banyak bicara. Kami berdiri berdua di bawah payung kecil itu, berdesakan, kedinginan, tapi... hangat.

Bukan karena payungnya—tapi karena aku merasa tidak sendiri.

Sore itu aku belajar bahwa kadang, bahagia datang dari orang asing. Dari kebaikan tanpa niat pamrih. Dari pertemuan yang tidak direncanakan. Dari hujan yang memaksa kita saling mendekat. Aku juga ingat saat handphone-ku rusak, dan aku terpaksa hidup beberapa hari tanpa media sosial. Awalnya panik. Seperti kehilangan dunia. Tapi dua hari kemudian, aku justru merasa lebih ringan. Lebih tenang. Tidak tahu kabar orang lain ternyata menyenangkan juga, karena aku jadi bisa lebih banyak tahu kabar... diriku sendiri. Aku jadi tidur lebih awal. Bangun tanpa mengecek notifikasi. Menulis jurnal lagi. Menggambar iseng. Memasak tanpa memikirkan estetikanya untuk Instagram. Saat handphone akhirnya kembali normal, aku tidak langsung menginstal semua aplikasi. Aku merasa cukup dengan diam.

Ternyata, dalam diam, ada keutuhan yang sering kita lewatkan. Ada ruang untuk mendengar suara hati sendiri. Suara yang selama ini kalah oleh keramaian luar. Pernah suatu waktu, aku menangis lama sekali. Bukan karena ditinggal pacar, bukan karena kehilangan pekerjaan, tapi karena aku merasa... terlalu lelah. Padahal tidak ada yang spesifik salah. Tapi seperti ada kabut di dada, berat, lembab, dan tidak tahu harus bercerita ke siapa. Aku menangis di kamar mandi—tempat paling demokratis untuk semua jenis emosi. Lalu setelahnya, aku merasa lega. Tidak sepenuhnya sembuh, tapi cukup untuk menarik napas. Di momen itulah aku sadar: kadang bahagia itu bukan karena tidak pernah menangis, tapi karena kita akhirnya memberi izin untuk menangis. Kita tidak selalu harus kuat. Tidak selalu harus baik-baik saja. Tidak selalu harus punya alasan yang masuk akal untuk merasa apa yang kita rasa.

Bahagia adalah saat kita berhenti memaksa diri sendiri untuk terlihat baik-baik saja.

Suatu malam, sahabatku menelepon hanya untuk bilang, “Gue tadi lihat gambar kucing joget, langsung inget lo.”
Aku tertawa. Karena itu konyol. Tapi juga karena aku merasa dilihat.

Kadang bahagia datang dari satu pesan singkat. Dari orang yang tiba-tiba ingat kita, tanpa alasan. Tanpa minta balasan panjang. Hanya ingin hadir. Dan itu cukup. Bahkan lebih dari cukup.

Bahagia tidak harus dirayakan besar-besaran. Kadang hanya perlu dikenali, disambut, dan disyukuri.

Aku mulai menyimpan hal-hal kecil yang membuatku tersenyum di akhir hari:

Tawa receh di grup WhatsApp keluarga.

Nasi goreng yang bumbunya pas.

Seprei baru yang lembut.

Wangi hujan pertama setelah kemarau panjang.

Seseorang yang bilang, “Aku ngerti kok.”

Semua itu seperti potongan puzzle yang membentuk lukisan kebahagiaan. Mungkin tidak dramatis. Tapi jujur. Kini aku tidak lagi mengejar bahagia yang keras. Aku lebih suka mencari yang tenang. Yang bisa aku temukan di sela-sela kesibukan. Di jeda kopi. Di perjalanan naik angkot. Di pelukan orang rumah. Di tidur yang nyenyak setelah hari panjang.

Dan yang paling menenangkan: aku tidak perlu membuktikan bahagia itu ke siapa-siapa. Aku hanya perlu jujur pada diriku sendiri. Kalau hari ini aku bisa makan enak dan tidak cemas berlebihan—maka hari ini aku bahagia. Tidak ada syarat tambahan.

Kita hidup di dunia yang ramai. Semua orang ingin didengar. Semua orang ingin terlihat bahagia. Tapi di balik semua itu, kita juga butuh ruang untuk diam. Untuk tidak selalu menjelaskan diri. Untuk duduk tenang dan bilang, “Hari ini cukup.” Karena dalam cukup, ada rasa lega. Dalam diam, ada bentuk syukur. Jadi jika kamu hari ini tidak teriak-teriak karena bahagia—tidak apa-apa. Bahagia tidak harus hingar-bingar. Ada bahagia yang kalem, diam, dan manis. Seperti matahari yang tetap terbit walau tak pernah bersuara. Dan kamu, berhak merasakannya. Walau hanya lewat secangkir teh, obrolan singkat, atau pelukan diam. Karena ya, ada bahagia yang tidak teriak-teriak. Tapi tetap nyata. Tetap hangat. Tetap cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kapan Pulang, Dean?
535      398     0     
Short Story
Tanpa sadar, kamu menyakiti orang yang menunggumu. Pulanglah...
Unexpectedly Survived
104      93     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Cinderella And The Bad Prince
1266      838     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Lihatlah Keluar
568      434     3     
Short Story
Mentari mulai menyentuhku , menembus jendela kamar dan membangunkanku perlahan. Ayam berkokok dengan lantang menandai pagi sudah datang. Akankah kita diam menyesali keadaan?
Switch Career, Switch Life
351      295     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Happy Death Day
561      308     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Trying Other People's World
136      118     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Fidelia
2072      893     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Taruhan
51      48     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Diary of Rana
184      156     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...