Ada yang pergi sebelum sempat meminta maaf, ada juga yang masih di sini tetapi belum diberi kesempatan. Untuk itu, Vincia tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika Frita kembali mengajak untuk mengajar gambar bersama anak-anak. Lagi pula, ia perlu pengalihan dari kedatangan ibunya supaya tidak melakukan kesalahan lagi saat bekerja dan bisa fokus mempersiapkan seminar proposalnya.
Kali ini, kegiatan itu diadakan di sebuah pendopo. Pesertanya merupakan anak-anak yang putus sekolah demi ikut mencari penghasilan untuk keluarga.
Vincia duduk di lantai, membantu seorang anak kecil mewarnai gambar mobil. Sesekali ia tersenyum. Namun, ada lelah dan sedih yang tidak bisa ia sembunyikan di matanya.
Seorang anak perempuan kecil berambut keriting menghampiri Vincia. Ia membawa gambar dengan latar langit biru dan dua orang di bawah pohon.
“Kak, ini gambar aku bersama ibuku.”
Vincia menoleh, memandangi gambar itu. “Bagus sekali. Ibumu pasti senang melihat ini.”
Anak itu diam sebentar, lalu duduk di sebelah Vincia.
“Ibuku sudah tiada, Kak,” katanya pelan. Matanya menatap gambar itu, bukan Vincia.
Vincia tertegun. “Oh, maaf, ya. Kakak tidak tahu.”
Anak itu menggeleng kecil. “Aku suka menggambar ibu, biar aku tidak lupa. Katanya, orang yang kita sayang tidak akan benar-benar pergi kalau kita masih ingat padanya.”
Vincia menelan ludah yang terasa berduri.
“Aku ingin memeluk ibuku lagi, tapi tidak bisa. Boleh aku peluk Kakak?”
Vincia mengangguk lalu membuka lebar kedua lengannya. Perkataan itu sederhana dan jujur. Tanpa niat menggurui. Hanya suara seorang anak yang bicara apa adanya.
Vincia menggigit bibir, menahan sesuatu di hatinya. Ia memandangi gadis kecil yang sudah melepaskan diri dari dekapannya. “Terima kasih, ya, sudah cerita.”
Anak itu mengangguk, lalu berlari lagi ke meja, kembali tertawa bersama teman-temannya.
Vincia duduk mematung. Frita menoleh padanya sambil mengerutkan glabela, bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang mengusiknya. Namun Vincia hanya menggeleng.
Di dekat pilar, Gohvin muncul lantas bersandar santai Tatapan matanya penuh pengertian, seakan-akan berkata, “kau boleh marah, tapi jangan sampai kehilangan diri sendiri, Vincia.”
Vincia menarik napas, matanya terasa panas.
“Aku belum siap, Gohvin,” bisik Vincia tanpa suara.
Gohvin hanya mengangguk kecil. Ia tersenyum lembut, tanpa paksaan.
***
Seminar proposal itu digelar tertutup. Hanya ada Vincia serta dua orang dosen pembimbing di dalam ruangan. Semua berjalan lancar, seolah-olah ada yang menuntun bibirnya saat bicara. Begitu membuka pintu, gadis itu mengangguk pada mahasiswa selanjutnya yang kemudian masuk dan menutup pintu.
“Vincia, bagaimana?” tanya Frita antusias, mengimbangi debaran di jantung Vincia yang masih berdebar.
Vincia hanya memberi tanggapan dengan mengacungkan ibu jarinya. Seakan-akan semua ucapan dan kata-kata sudah habis di ruang seminar.
Frita menuntun Vincia duduk di salah satu bangku panjang di pelataran bangunan. Dari sini ia bisa melihat pohon-pohon flamboyan rindang yang ditanam di sekitar fakultas.
“Tunggu di sini, ya,” pinta Frita, “aku akan belikan air dan camilan untukmu.”
“Eh, tidak usah, Frita,” sahut Vincia merasa tidak enak hati. Dukungan dari Frita benar-benar membuatnya bingung bagaimana nanti membalas kebaikan itu.
“Jangan sungkan begitu. Kita, kan, teman,” balas Frita lantas berbalik.
Suasana kampus siang itu ramai, tetapi terasa asing di telinga Vincia. Langit tampak kelabu. Angin menerbangkan daun-daun kering di pelataran.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari arah parkiran mobil.
“Vincia!”
Vincia menoleh dengan kelopak mata melebar maksimal. Valdo datang dengan langkah-langkah gusar. Kali ini bukan cuma marah, lelaki itu bahkan tampak kacau. Rambut berantakan, jaket setengah terbuka, tangan mengepal di kedua sisi tubuh.
Serta-merta, Vincia bangkit hendak berlari menjauh. Sebelumnya ia memang bisa menghadapi Valdo. Namun, keajaiban seperti itu belum tentu terjadi dua kali.
“Gara-gara kau semua ini jadi kacau!” bentak Valdo sambil mencengkeram tengkuk Vincia.
Vincia tertarik mundur hampir terjatuh. Jantungnya berdegup tidak keruan. “Valdo, cukup. Aku tidak—”
Belum sempat kalimat itu selesai, Valdo berganti mencengkeram pergelangan tangan Vincia dengan kasar. Tanpa pikir panjang, ia menarik Vincia mendekat sehingga gadis itu tersentak dan hampir terjatuh.
Vincia menepis tangan Valdo. Tubuhnya gemetar tetapi berusaha membebaskan diri. Sebagian mahasiswa di sekitar mereka berhenti, beberapa mulai berbisik.
“Aku sudah cukup diam kau menjelek-jelekkan namaku, tapi kau sampai menghasut Frita untuk putus denganku!” tuduh Valdo habis-habisan. Ia tidak membiarkan Vincia untuk membela diri. “Apa kau baru berhenti kalau hidupku benar-benar hancur?”
Sementara Valdo terus mengeluh, Vincia masih berusaha melepaskan diri. Perhatian sekeliling tertuju pada mereka, tetapi tidak ada yang berani mendekat.
“Sekarang Frita meninggalkanku dan karierku hancur gara-gara kau, Vincia! Bagaimana caraku membayar cicilan mobil dan apartemen?”
“Valdo, lep—”
"LEPASKAN DIA!"
Suara itu memecah udara. Frita muncul sambil membawa kantong plastik. Ekspresinya dingin dilengkapi tatapan menusuk pada Valdo.
Valdo menoleh, masih menahan pergelangan tangan Vincia.
Frita berjalan cepat ke arah mereka. Tanpa ragu, ia menarik tangan Valdo dari Vincia dengan kekuatan mengejutkan.
“Cukup, Valdo. Akulah yang melaporkanmu ke pihak Komiring dan wartawan. Bukan Vincia,” ujar Frita sambil mendorong Vincia ke belakang punggungnya.
Hening sejenak. Valdo membeku. Matanya berkedip-kedip tidak percaya dengan pengakuan Frita. “Apa?”
Frita mengacungkan ponselnya. Layar menampilkan bukti kecurangan Valdo selama ini. Mulai dari foto-foto halaman komik cetak hingga tangkapan layar komik daring yang gambarnya dijiplak lelaki itu.
“Ini.” Frita menyimpan kembali ponselnya. “Aku yang menemukan semua bukti dari tablet dan laptopmu. Aku yang melaporkanmu dan aku tidak menyesal.”
Valdo tampak limbung. Kepalanya geleng-geleng. “Frita … kenapa? Padahal kita bisa segera menikah dan hidup bersama dengan nyaman kalau kau tidak berulah seperti ini.”
“Karena plagiarisme mencoreng kreativitas yang seharusnya kau bangun dengan idemu sendiri,” tutur Frita, “sama saja kau membohongi dirimu sendiri.”
Vincia hanya bisa menatap bagian belakang kepala Frita. Ada perasaan lega, terkejut, sekaligus hangat yang membuncah.
“Tapi yang paling tidak kusangka,” lanjut Frita seraya melirik ke belakang pada Vincia, “ternyata kau berpacaran dengan Vincia. Bahkan saat kau mendekatiku. Aku menemukan pesan, bahkan foto wajah Vincia di folder laptopmu.”
“Dasar lancang!” bentak Valdo.
“Kalau aku lancang, lantas kau apa? Pengecut?” tantang Frita sambil mengangkat dagu.
Valdo terdiam, rahangnya mengeras.
Vincia menyentuh lembut punggung Frita, memberi sinyal untuk tidak memprovokasi Valdo.
“Sekarang, pergilah, Valdo,” ucap Frita, suaranya kembali lembut tetapi tetap tegas.
Valdo menghela napas berat. Lelaki itu menatap Frita, lalu Vincia. Wajahnya penuh amarah bercampur kecewa.
“Kalian semua akan menyesal,” gumam Valdo sebelum membalikkan badan dan pergi.
Begitu Valdo benar-benar menghilang dari pandangan, Frita berbalik ke Vincia. Ekspresinya melembut.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Frita pelan.
Vincia mengangguk, matanya basah. “Terima kasih, Frita.”
Frita menarik napas dalam, lalu menepuk bahu Vincia. “Mulai sekarang, kau tidak sendirian, Vincia.”
***
Vincia duduk di ranjang ruang kesehatan kampus. Aroma khas antiseptik dan minyak kayu putih samar tercium di udara. Segelas air mineral masih utuh di genggamannya, sementara Frita duduk di kursi, memangku kotak P3K.
“Vincia, maaf, ya. Aku tidak menyangka Valdo akan senekat itu,” sesal Frita dengan ekspresi khawatir.
Vincia menggeleng pelan. Bekas konfrontasi Valdo tadi masih membuatnya gemetar, meskipun bibirnya tetap berusaha tegar. “Bukan salahmu, Frita. Dari dulu dia memang seperti itu. Aku saja yang terlalu lama pura-pura tidak menyadari sikapnya yang egois.”
Frita menunduk. “Jadi, benar, ya kalian pernah pacaran?”
Vincia hanya mengangguk pelan. Ia bingung harus malu atas bangga dengan fakta itu.
“Di laptopnya, aku juga menemukan videomu sedang menjelaskan cara menggambar postur,” tutur Frita, “walaupun kamera hanya menyorot gerakan tanganmu di atas buku sketsa, aku mengenali itu sebagai suaramu.”
Vincia tersenyum tipis. “Terima kasih, ya sudah membelaku.”
Frita mengangguk. “Tapi kau baik-baik saja, kan? Tadi aku lihat dia menarik tanganmu lumayan keras,” tanyanya sambil memeriksa pergelangan tangan Vincia.
“Tidak apa-apa, kok. Aku cuma kaget.” Suara Vincia lirih. Sorot matanya masih menyiratkan ketegangan karena teringat kejadian mengerikan tadi.
Frita menunjuk gelas di tangan Vincia. “Minumlah dulu. Kau seperti baru selesai berlomba lari dengan citah.”
Vincia menurut dan mulai meneguk air pelan-pelan. Frita memperhatikan itu. Ada sesuatu yang berbeda. Vincia yang dahulu terasa jauh, sekarang seolah-olah tembok di antara mereka sudah runtuh sedikit.
“Oh, iya.” Frita mendadak berdiri. Ekspresinya serius sekaligus antusias. “Mulai besok, kau ikut denganku untuk latihan kickboxing, ya.”
“Ha?” Vincia tercengang pada ajakan yang tiba-tiba itu.
“Kita tidak pernah tahu apakah Valdo masih bisa berbuat nekat.” Frita mencondongkan badan ke arah Vincia, “tidak cukup cuma belajar ikhlas. Kau harus belajar juga untuk menjaga diri.”
Vincia ragu sejenak. “Tapi, aku tidak pernah olahraga seperti itu.”
Frita tersenyum maklum, bahunya sedikit relaks. “Tidak harus langsung jago, kok. Aku juga baru setahun ini latihan. Pasti seru.”
Vincia diam sebentar. Ada bagian dalam dirinya yang ragu. Namun entah kenapa, gagasan itu terasa menarik. Mungkin karena selama ini ia terlalu sering meragukan kemampuan diri sendiri.
Tatapan Vincia beralih ke arah Frita. Ada rasa hangat sekaligus haru. Setelah semua ketidakpastian belakangan ini, siapa sangka, Frita tetap ada di sini. Menjadi rumah yang tidak pernah Vincia duga.
“Oke,” bisik Vincia akhirnya, “aku ikut.”
Frita tersenyum lebar. “Serius? Besok kita mulai, ya. Tidak boleh batal dengan alasan yang tidak masuk akal.”
Untuk kali pertama setelah sekian lama, Vincia merasa penasaran. Bukan tentang orang lain, melainkan tentang apa saja yang mungkin bisa ia lakukan untuk dirinya sendiri.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama