Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Langit bersih, nyaris tanpa awan. Gemeresik daun kering terseret angin jadi satu-satunya melodi yang mengiringi langkah Vincia menuju kampus. Gadis itu berjalan pelan di trotoar, ditemani langkah tidak kasat mata Gohvin di sampingnya.

“Mau melanjutkan lukisan di atelir?” tanya Gohvin.

Vincia menggeleng. “Ke ruang dosen dulu, mengajukan proposal tugas akhir,” jawabnya sambil mengangkat map.

“Bukannya itu seharusnya dilakukan sebelum kau melukis?” tanya Gohvin.

“Seharusnya begitu, tapi aku tidak bisa menyusun tulisan ini kalau belum ada gambaran seperti apa lukisanku nanti,” jelas Vincia sambil merapikan kerah kemeja ungunya.

“Pantas saja lukisanmu tidak selesai-selesai. Mungkin karena memang konsepmu kurang matang,” sindir Gohvin sambil tertawa kecil, “gagal berencana sama saja merencanakan untuk gagal.”

Vincia ikut tertawa. Suasana hati gadis itu tampak sedang baik meskipun baru saja putus dengan Valdo 2 pekan lalu. “Bisa jadi. Aku sudah kehilangan 6 bulanku yang berharga, jadi sekarang aku harus memanfaatkan 6 bulan selanjutnya untuk lulus tepat waktu di pertengahan tahun.”

“Aku akan selalu mendukungmu, Vincia.”

“Tentu saja kau harus,” ujar Vincia dengan nada berpura-pura galak. Detik berikutnya, ia tersenyum penuh humor.

Gohvin mengangguk dan ikut tertawa kecil, tatapannya lurus ke depan. Mereka melewati area parkiran fakultas seni. Vincia hendak menoleh ke kanan saat matanya tanpa sengaja menangkap sosok familier di kejauhan.

Seorang lelaki tampak tergesa. Langkahnya cepat dengan gaya berjalan yang sangat Vincia kenal. Kepalanya sedikit menunduk ketika membetulkan letak jam tangan di pergelangan tangan. Kemeja biru muda, rambut disisir rapi ke belakang, dan sepasang sepatu yang terlalu rapi untuk mahasiswa biasa.

Vincia spontan berhenti melangkah. Jantungnya seperti dipelintir. Meski jaraknya jauh, ia tahu betul siapa itu.

Komikus yang sangat tampan sampai-sampai seperti tokoh komik yang kabur ke dunia nyata. 

Valdo Kahl.

Valdo sempat menoleh ke kanan, lalu buru-buru masuk ke sedan hitam yang terparkir di bawah pohon. Mobil itu melaju perlahan, meninggalkan kampus dan menimbulkan lubang kecil di hati Vincia.

Vincia menarik napas, menatap kosong ke arah mobil yang sudah tidak terlihat. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan debaran di dada. Namun, firasat buruk itu kembali menyelinap. 

Gohvin menyipitkan mata. “Kenapa? Mau kaukejar?”

Vincia mendengkuskan tawa. “Kaukira aku cukup bodoh untuk melakukan itu?”

“Wah.” Gohvin bertepuk tangan. “Kau sudah tumbuh lebih dewasa, Vincia.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Vincia lanjut berjalan, hatinya masih diganggu tanda tanya yang mengapung di udara.

Ketika tiba di depan ruang dosen, pintu kayu itu terbuka dari dalam. Seketika Vincia bergeser mundur. Sigap, Gohvin menahan bahu gadis itu agar tidak terhuyung.

“Oh, Vincia,” sapa Frita dengan senyum lebar. Jepit pemberian Vincia masih menghiasi rambut yang tampaknya rutin mendapat perawatan di salon itu.

“Selamat pagi, Frita,” balas Vincia dengan nada formal. Gohvin sampai tersedak tawa yang tertahan.

“Mau bimbingan, ya?” duga Frita berbalas anggukan Vincia.

“Habis meminta tanda tangan?” Vincia balas bertanya. Kali ini dengan nada lebih santai.

“Iya. Sekalian aku juga diminta ikut mengajar di beberapa kelas,” ujar Frita dengan malu-malu sekaligus bangga.

“Wah, itu keren banget, Frita. Selamat, ya,” sahut Vincia dengan wajah berbinar ikut bangga.

“Terima kasih,” balas Frita sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, “kalau begitu, aku ke kelas dulu, ya.”

Vincia mengangguk dan membalas lambaian tangan Frita. Gadis berblus dadu dan rok linen cokelat itu berbalik dan berjalan menuju ujung koridor. 

Sebagian tanda bahaya memang tidak selalu datang dalam bentuk bunyi yang memekakkan telinga. Terkadang, hanya berupa pemandangan punggung seseorang yang disangka sudah menyelesaikan perannya.

***

Gerimis malam itu, membuat udara terasa dingin. Vincia baru pulang setelah bekerja sambilan di Jubookya. Gadis itu mencuci kaki, tangan, dan berganti pakaian. Sebelum keluar kamar mandi, ia membasuh wajah dengan air mawar yang dibuat dari buket pemberian Gohvin.

Di ruang makan, Gohvin sudah menyiapkan semua hidangan. Mereka makan dengan tenang. Seolah-olah lelaki itu tahu bahwa Vincia perlu waktu hening sebelum bisa kembali berinteraksi dengan nyaman.

Usai mencuci piring, Vincia duduk di sofa ruang tamu dan membuka ponsel. Gadis itu membalas pesan dari dosen pembimbing dan Tante Hilma. Kemudian ia membuka aplikasi Komiring. Meski kisah mereka sudah selesai, Vincia masih sudi membaca karya Valdo.

Seperti biasa, Gohvin datang dengan dua mug di tangan. Aroma manis dari susu gula aren menguar di udara. 

“Masih penasaran sama orang yang tidak pernah benar-benar memilihmu?” sindir Gohvin.

“Tidak,” sahut Vincia sambil menggulir layar dengan ujung ibu jarinya.

Gohvin berdecak. “Lalu kenapa masih membaca komiknya?”

Vincia melirik naik sedikit untuk memperhatikan ekspresi Gohvin tampak kesal. “Aku cuma membaca komiknya. Sama seperti pembaca yang lain. Memang kenapa? Kau cemburu, Gohvin?”

Gohvin duduk di sandaran tangan sofa. Ia mendengkuskan tawa iba berjubah ejekan. “Aku cuma tidak mau kau sakit hati lagi. Sebaiknya, hindari hal-hal yang mengingatkanmu pada Valdo. Termasuk komik yang dia gambar. Itu bisa menghambat proses move on-mu.”

“Tapi ini ceritanya makin seru,” kilah Vincia sambil kembali memperhatikan panel-panel di layar ponsel.

“Kau, kan, sudah tahu akan seperti apa akhirnya,” sahut Gohvin.

Tepat saat itu, benak Vincia menampilkan kilas balik masa lalu. Ekspresi Valdo saat bersemangat menceritakan tokoh-tokohnya, bertanya pendapat Vincia tentang sudut menggambar yang benar, juga menjelaskan alur Paint the Rain dengan berbisik karena takut didengar orang lain.

Vincia mengembuskan napas panjang. Ternyata mereka pernah juga mengalami momen yang hangat dan manis.

“Lihat? Kau kembali teringat,” tegur Gohvin.

“Aku cuma mengingat kenangan baik, kok,” timpal Vincia lantas kembali fokus dengan apa yang ia baca.

Halaman demi halaman berganti. Latar kota tua, pertempuran di atap gedung, dan karakter misterius yang selama ini disembunyikan Valdo di sepanjang cerita mulai menampakkan diri sedikit.

Layar menampilkan Raint sang tokoh utama yang terluka. Darah mengalir di keningnya. Kemudian Vinz, yang selalu digambarkan dengan jaket bertudung dan kedua tangan di dalam saku datang mendekat. Jari-jari ramping yang berwarna serupa kulit sawo matang terulur menyentuh bahu Raint. 

Glabela Vincia berkerut. Ia menegakkan tubuh lantas melirik tangannya sendiri yang berkulit pucat. Gadis itu tidak bisa fokus membaca dialog-dialog dalam balon percakapan. Jarinya terus menggeser layar ke atas hingga tiba di panel terakhir.

Di sana menampilkan sebagian hidung, pipi, dan dagu tokoh bernama Vinz. Air mata mengalir di pipi sewarna sawo matang, serta tahi lalat di dagu yang tirus. Tepat di bawah bibir berwarna dadu.

Napas Vincia tersekat. Tokoh yang kata Valdo terinspirasi darinya, sama sekali tidak terlihat seperti dirinya.

Vinz sama sekali tidak digambarkan seperti Vincia.

“Kenapa wajahmu begitu? Komiknya berubah genre menjadi horor?” tanya Gohvin seraya melirik sekilas pada layar. Ia menatap lekat-lekat wajah Vincia yang mendadak kaku.

Vincia menggeleng, masih dengan tatapan kosong. Ia memadamkan layar dalam sekali tekan. 

Masih jelas dalam ingatannya, Valdo sudah pernah menggambar ini semua saat mereka masih bersama. Kala itu, sosok Vinz digambarkan sangat mirip dengan Vincia. Kulit pucat, dagu bulat, dan senyum tipis. Lelaki itu bahkan memotret setiap lekuk wajah Vincia sebagai referensi gambar.

Namun sekarang, Valdo sengaja menggambar ulang karakter itu yang bukan lagi Vincia.

 

Gohvin hanya menatap Vincia lama. Gadis itu tampak terpukul. “Sudahlah, Vincia. Orang-orang bisa datang dan pergi untuk menyentuh bagian hidupmu, tapi yang paling memahami perasaanmu, ya, cuma kau sendiri. Kau hanya satu di dunia, tidak akan terganti.”

 

Vincia memejamkan mata sejenak. Ia mendongak sambil menarik napas panjang mendengar ucapan Gohvin. Gadis itu menautkan jemari dari kedua tangan ketika menyadari satu hal. Terkadang, satu-satunya orang yang bisa tulus menggenggam tangannya saat dunia terlalu muram adalah dirinya sendiri.

***

 

Langkah Vincia terasa ringan saat memasuki halaman kampus siang itu. Hawa hangat matahari bersinar lembut di antara deretan pohon besar. Ia membawa tas berisi ponsel, air mineral, dan berkas proposal tugas akhir yang sudah disetujui. Gohvin berjalan di sampingnya, sesekali bicara soal bentuk awan yang mirip kelinci.

“Akhir-akhir ini, kenapa sih kau terus menempel padaku?” tanya Vincia.

Gohvin mengangkat satu alis. “Bukannya kau yang terus mengikutiku? Lagi pula, aku berjalan di sampingmu. Sama sekali tidak menempel.”

“Aku baik-baik saja, Gohvin,” tutur Vincia sambil memandangi ujung sepatu, “kau tidak perlu khawatir.”

“Siapa yang mengkhawatirkanmu? Aku cuma takut kau merindukanku,” sahut Gohvin tenang dan datar.

Namun, Vincia malah tergelak. Seolah-olah sedang menonton acara lawak.

Ketika hampir mencapai gedung seni, Vincia berhenti sejenak. Matanya menangkap sosok lelaki yang sudah sangat dikenalnya berdiri di seberang parkiran, dekat mobil hitam.

Lagi-lagi Valdo. Sungguh aneh, lelaki itu malah sering sekali muncul di sini setelah mereka putus.

Valdo tampak tengah berbicara lewat ponsel, lalu masuk ke mobil dan melaju pergi. Vincia sempat terpaku, perasaan asing berdesir. Ada sesuatu yang mengganjal, tetapi cepat-cepat ia tepis.

“Vincia,” panggil Gohvin sambil menyentuh ringan sikunya.

Vincia tersadar dari perangkap masa lalu. Ia menarik napas, kembali berjalan menuju gedung. Di depan atelir lukis, Frita sudah berdiri di depan pintu. Terusan midi berkerah tinggi tampak pas di tubuhnya yang ramping.

“Vincia. Akhirnya kau datang juga,” seru Frita lantas memeluk Vincia singkat.

“Ada apa?” tanya Vincia mengatur napas. Wangi parfum Frita entah bagaimana, mengingatkannya pada Valdo.

“Aku mau mengundangmu ke wisudaku minggu depan. Kau datang, ya?” pinta Frita antusias.

Vincia tersenyum kecil. “Tentu.”

“Senangnya. Terima kasih, Vincia,” sahut Frita dengan sepasang netra berbinar, “omong-omong, sekalian aku mau mengajakmu ikut mengajar lukis di panti asuhan. Apa kau mau?”

Vincia terdiam sebentar. Sekilas ia melirik Gohvin tersenyum padanya. Ada kehangatan di tawaran itu. Vincia tersenyum tipis. Mungkin ini akan menjadi awal yang lebih baik.

Vincia mengangguk. “Boleh.”

“Oh, ya, aku juga baru sadar kalau ternyata aku belum punya nomormu,” tutur Frita sambil menyodorkan ponselnya pada Vincia, “tolong ketikkan nomormu di situ.”

Setelah mengembalikan ponsel pada Frita, ponsel di tas Vincia bergetar. Sebuah nomor tanpa nama muncul di layarnya.

“Simpan nomorku, ya,” ujar Frita, “aku mau ke kelas dulu, nanti aku kabari lagi.”

Vincia mengerjap sambil melambaikan tangan. Ia memandangi wajah Frita sebelum berbalik. Mungkin hanya imajinasinya, tetapi tahi lalat di dagu Frita seolah-olah berkedip padanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Maju Terus Pantang Kurus
887      582     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
DocDetec
290      198     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Let me be cruel
4781      2637     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Imajinasi si Anak Tengah
1957      1137     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
To the Bone S2
392      285     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
530      219     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Cinderella And The Bad Prince
1237      837     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Hello, Me (30)
19255      939     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...