Loading...
Logo TinLit
Read Story - Time and Tears
MENU
About Us  

“Raf, di kafe tempat lo kerja ada lowongan nggak?” tanya Rintik saat jam istirahat. Mereka berdua sekarang berada di perpustakaan.

            “Kenapa? Lo mau kerja juga?” tanya Rafa.

            “Jadi gini, Raf...” Rintik menceritakan masalah Cea dan meminta bantuan Rafa untuk mencarikan kerja part time yang waktunya fleksibel untuk anak SMA.

            Rafa angguk-angguk tanda mengerti. “Suruh temen lo itu ke kafe nanti. Biar gue urus semuanya.”

            Senyum lebar terpampang di wajah Rintik. “Lo serius kan? Tapi masalahnya Cea lagi dirawat di rumah sakit. Dia typhus.”

            “Setelah dia sembuh. Dia bisa kerja di kafe. Dan bujuk dia supaya masuk sekolah lagi,” kata Rafa.

            Rintik senang bukan main. “Makasih ya, Raf. Tapi ...” Rintik menyipitkan matanya pada Rafa, “kenapa lo dengan mudahnya bilang bisa kerja di kafe? Emang nggak ada seleksinya atau tes gitu?”

            Rafa mengibaskan tangannya. “Udah beres sama gue. Yang penting temen lo itu mau kerja di kafe buat jadi waitress. Kebetulan gue kenal deket pemiliknya,” ucap Rafa.

            “Oh gitu. Gue kira tuh kafe punya bokap lo, jadi bisa main masuk-masukkin orang,” gurau Rintik sambil tertawa kecil.

            Rafa membalasnya dengan tawa kecil.

            Ponsel Rintik bergetar. Ia mendapat pesan dari temannya di organisasi pers untuk mengikuti rapat. “Gue ke markas gue dulu ya. Mau ada rapat,” pamit Rintik.

            “Oke. Hati-hati. Entar lo kesandung,” kata Rafa.

            Rintik meninggalkan Rafa yang sekarang sedang duduk sendirian sambil membaca buku. Ia berjalan melewati lorong yang tidak terlalu ramai. Saat ia di depan gudang, Rintik mendengar percakapan dua orang yang sedang bertengkar. Karena penasaran, ia mengintip dari celah yang ada di jendela gudang tersebut.

            Cakra dan Wina sedang bertengkar. Dan tampak jelas sekali wajah Wina sangat marah. Tiba-tiba satu tamparan melayang cukup keras di pipi Cakra. Sampai membuat Rintik menutup mata karena terkejut melihat hal itu.

            Setelah menampar Cakra, Wina pergi meninggalkan gudang. Hingga menyisakan Cakra yang memegang pipinya yang tampak memerah. Ia menyeringai. Kemudian tangannya merogoh saku celananya. Rokok.

            Belum sempat Cakra memantik api, rokok yang sudah ada di mulutnya diambil Rintik yang berlari masuk ke dalam gudang.

            “Ngapain lo ke sini?” kata Cakra.

            Rintik mematung dan tidak menjawab. Ia menatap Cakra dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Ada kemarahan, kecewa, dan rasa bersalah campur menjadi satu.

            “Lo liat gue ditampar tadi? Seneng kan bisa liat hiburan gratis?” ujar Cakra yang hendak merokok. Namun Rintik mengambilnya.

            “Jangan ngerokok! Ini sekolah!” tegas Rintik.

            Cakra tertawa sarkastik. “Sekolah? Emang gue peduli. Mau dimanapun, kalau gue mau ngerokok yaudah ngerokok aja.” Ia mengambil satu batang rokok terakhir yang ada di tempatnya.

            Rintik menyaut rokok itu lalu mematahkan ketiga-tiganya. “Gue nggak suka liat orang ngerokok.” Rintik menginjak-injak rokok itu dengan penuh emosi.

            Cakra tertawa lagi. “Gue nggak ngerokok aja lo tetep nggak suka. Iya kan?”

            Rintik menghela napas sebentar. “Tapi gue pernah suka sama lo.”

            “Cuma pernah. Sekarang udah nggak. Jadi nggak ada alasan lo harus peduli sama gue,” kata Cakra.

            “Gue tetap peduli sama lo karena kita masih bisa berteman.” Rintik menatap Cakra. Laki-laki itu terlihat semakin kurus. Wajahnya semakin tirus dan sinar wajahnya tidak secerah dulu.

            “Berteman? Setelah apa yang lo lakuin? Lo sekarang pacaran sama anak baru itu? Dia adalah orang ketiga di hubungan kita?” tuduh Cakra. “Jawab jujur, Rin? Dia kan orang yang udah buat lo berubah?”

            “Ini nggak ada hubungannya sama Rafa. Gue minta putus sebelum gue kenal sama dia,” jawab Rintik. “Kenapa lo menyiksa diri lo? Lo bukan Cakra yang gue kenal.”

            Cakra mengangguk. “Iya, gue bukan orang yang lo kenal. Jadi mari kita kembali asing, sesuai keinginan lo. Jalani hidup lo dan gue akan jalani hidup gue. Ya, seperti saat ini,” ujar Cakra.

            Rintik menahan air matanya supaya tidak jatuh. Ia benar-benar tidak percaya kalau Cakra dapat mengatakan hal seperti itu pada dirinya. Hati manusia memang bisa berbolak-balik. Dulu menjadi orang yang paling pandai membuat bahagia, dan sekarang paling pandai menorehkan luka. “Gue nggak tahu harus bersikap bagaimana sama lo yang sekarang ini. Yang jelas gue tetap berharap lo menjadi Cakra yang dulu.” Rintik mengusap pipi Cakra yang tadi ditampar Wina dengan lembut. “Makasih udah pernah jadi orang yang mewarnai hidup gue.”

            Rintik pergi meninggalkan Cakra yang membeku di tempat.

            Cakra mengepalkan tangannya. Lalu ia meninju dinding gudang. Ia telah melukai orang yang dicintainya. Rasanya sangat menyakitkan lebih parah daripada diputuskan Rintik. Tangannya memerah namun ia tidak peduli. Luka di hatinya jauh lebih sakit. Perubahan sikapnya tentu memiliki alasan. Pelarian. Ia hanya ingin melarikan semua masalah yang ia hadapi dengan cara seperti ini. Tetapi ia tetap merasa hampa. Rintik memang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Bahkan Cakra sudah berusaha untuk berkenalan dan dekat dengan banyak perempuan. Hasilnya nihil. Ia masih mencintai Rintik.

-0-

            “Lo dari tadi kenapa diem dan keliatan sedih sih?” tanya Rafa. Ia dan Rintik berjalan di lorong rumah sakit. Mereka ingin menjenguk Cea.

            Rintik menggeleng. “Gue nggak pa-pa kok. Cuma lagi males ngomong aja.”

            Rafa menepuk-nepuk bahu Rintik. “Kalau ada masalah cerita ya. Gue ini kan sekarang temen lo. Jadi jangan sungkan-sungkan buat mengeluh atau curhat ke gue.”

            Senyuman Rafa merekah. Laki-laki itu memperlakukan Rintik begitu baik. Bahkan terlalu baik bagi Rintik hingga terkadang sungkan untuk meminta bantuan apapun padanya. “Kenapa nggak pernah cerita kalau daftar di SMA gue?” tanya Rintik mengalihkan pembicaraan.

            “Karena gue juga nggak tahu lo sekolah dimana dan gue juga baru tahu tadi ketika papa nganter gue.” Rafa menarik tangan Rintik agar mendekat padanya sebab ada perawat yang membawa pasien dengan ranjang beroda dengan tergesa-gesa.

            Rintik sempat kaget karena Rafa tiba-tiba menariknya. “Mereka buru-buru amat,” gumamnya.

            “Sepertinya pasiennya kritis makanya harus cepat-cepat,” jawab Rafa. “Setelah SMA lo mau lanjut ke mana?” tanyanya pada Rintik seraya melepaskan tangan Rintik yang masih ia pegang.

            Rintik mengedikkan bahu. Ia belum memikirkan akan masa depannya. Dulu jika ditanya mengenai cita-cita ia dengan mudahnya menjawab ingin menjadi dokter. Namun sebenarnya ia belum semantap itu. “Belum yakin. Masih ragu-ragu sama kelanjutan plot hidup gue nantinya.” Rintik tertawa.

            “Ada-ada aja lo nih. Seharusnya udah lo persiapkan sejak dini. Bukannya dadakan kayak tahu bulat,” kata Rafa sambil tertawa mengikuti Rintik.

            “Gue suka menjalani hari ini tanpa berpikir tentang masa depan. Menjalani yang sekarang. Itu motto hidup gue,” ucap Rintik sambil menyengir lebar tanpa dosa.

            Rafa menjitak pelan kepala Rintik. “Mindset lo bener-bener perlu diubah, tahu nggak sih? Karena masa depan itu juga perlu ditata. Ibaratnya lo adalah adalah arsitek yang sedang membangun proyek. Tanpa sketsa, tanpa perencanaan, semuanya nggak bisa berjalan dengan lancar.”

            Rintik mencebikkan bibir. “Proyek yang udah direncanain matang-matang bisa aja mangkrak. Hasilnya zonk. Jadi sekedar impian yang nggak bisa dibangun nyata.”

            “Nah itu. Yang udah direncanain baik-baik aja bisa gagal, apalagi kalau nggak ada rencana, resiko untuk gagal jadi lebih tinggi. Setidaknya lo harus merencanakan apapun itu lalu membuat rencana lain apabila rencana awal lo itu gagal.” Rafa mencubit pipi Rintik.

            “Baik, Bos. Usulan akan dipertimbangkan lagi,” kata Rintik sambil menatap Rafa dengan tersenyum mengejek.

            Rafa mengangkat ibu jarinya. “Gitu dong. Baru anak manis,” katanya.

            “Gue udah manis dari dulu,” timpal Rintik sambil menjulurkan lidah.

            Sesampainya di depan kamar Cea dirawat keduanya masuk.

            “Halo, Ce. Gue ke sini sama temen baru kita. Satu kelas sama kita,” kata Rintik sambil menunjuk Rafa. “Namanya Rafa.”

            Rafa mengulurkan tangannya. “Gue Rafa. Satu kelas sama lo dan juga Rintik. Sebelumnya gue sama Rintik emang udah berteman saat liburan sekolah.”

            Cea ragu-ragu untuk membalas uluran tangan Rafa. Ia takut kalau Rafa juga sama seperti teman kelasnya yang lain. “G-gue Cea. Sebenarnya gue udah nggak sekolah di ...”

            “Lo tetap sekolah di situ, Ce. Udah gue bilangin lo itu harus tetap sekolah paling nggak sampai lulus SMA. Gue udah bilang sama wali kelas kita kalau lo nggak masuk beberapa hari ke depan karena sakit.” Rintik menyela ucapan Cea.

            “Tapi ...”

            “Iya, Ce. Bener kata Rintik. Lo harus tetap sekolah. Gue dan Rintik akan jadi teman yang support lo terus kok,” kata Rafa sambil melepaskan uluran tangannya.

            Cea tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia terisak. Air mata jatuh ke pipinya. “M-makasih. Udah ada buat gue ya,” ucap Cea sambil tersedu-sedu.

            Rintik merangkul Cea. “Jangan pernah merasa sendiri lagi ya. Kita akan selalu ada buat lo.”

            Tangis Cea semakin kencang. Rintik merangkul Cea sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. “Nangis aja, Ce. Biar lo lega. Asal lo janji nggak akan sedih karena masalah ini lagi. Oke?” ucap Rintik.

            Rafa memandang dua perempuan di hadapannya itu sambil tersenyum. Ia senang mendapat teman baru. Rintik si gadis ceria dan baik hati dan Cea si gadis rapuh yang mencoba tegar karena masalah hidupnya yang pelik.

            Setelah tangisan Cea mulai reda, Rintik melepas pelukannya. Ia duduk di samping Cea. “Kalau lo udah sembuh, lo bisa kerja di kafe Mocca, Ce. Rafa kenal sama pemiliknya. Lo bisa kerja jadi waitress di sana. Lo mau kan?” tanya Rintik.

            Cea mengusap air matanya. Kemudian ia mengangguk. “Iya, Rin. Makasih ya udah cariin gue solusi untuk masalah gue ini.”

            “Sama-sama, Ce. Ini juga karena Rafa yang mau bantu cari kerjaan buat lo,” kata Rintik sambil mendongak ke arah Rafa yang berdiri di samping ranjang.

            “Biasa aja kali. Gue juga senang kok bisa bantu temen.” Rafa malu-malu karena merasa dipuji.

            Setelah menjenguk Cea, Rintik dan Rafa pulang dengan mengendarai motor Rintik. “Lo mau daftar ekskul apa?” tanya Rintik yang ada di belakang Rafa. Ia memakai helm sedangkan Rafa tidak. Karena Rafa tidak membawa kendaraan di hari pertamanya sekolah.

            “Gue masih mikir-mikir dulu. Lo emang ikut ekskul?” tanya Rafa.

            Rintik tertawa. “Gue yakin kalau gue ngomong ini pasti lo nggak akan percaya. Gue ini ketua redaksi majalah sekolah.”

            “Sumpah lo ketua redaksinya? Nggak nyangka gue. Lo suka nulis?” ucap Rafa.

            “Gue suka nulis. Cerpen, puisi, senandika, atau quote-quote gitu. Karena gue merasa dengan menulis bisa membuat gue menjadi lebih hidup. Pikiran-pikiran gue bisa dicurahkan dalam bentuk karya yang mungkin dibaca orang lain,” terang Rintik. “Kalau lo? Hobi ngapain?”

            “Hmm, hobi gue ...” Rafa menggantung kalimatnya, “tidur mungkin.” Rafa tergelak.

            Rintik menepuk punggung Rafa. “Hobi lo nggak guna banget. Lagian itu bukan hobi. Semua orang ngelakuin itu karena kebutuhan.”

            Rafa tertawa lebih kencang. “Gue suka apa aja. Tapi dari semua yang gue suka, tidur adalah yang paling gue suka.”

            “Pasti hobi lo balap liar. Atau kalau nggak hobi main kartu. Hmm, atau hobi ...”

            “Sadis amat lo menuduh hobi gue yang nggak-nggak. Cowok sekeren dan semanis gue nggak mungkin punya hobi yang begitu,” kata Rafa.

            “Terus apa?” kata Rintik.

            “Melukis. Itu hobi gue. Hobi paling rahasia.”

-0-

            Rintik sedang berjalan menuju kelasnya. Ia baru saja kumpul di ruang rapat. Ketika lewat lorong dekat kamp anak basket, ia melihat anak-anak basket sedang ribut. Ada Cakra juga di sana. Sebenarnya ia berusaha untuk mengabaikannya namun Cakra seperti sedang berdebat dengan teman-temannya. Dan sepertinya ada masalah yang cukup serius.

            “Nggak bisa gitu dong, Cak. Lo nggak bisa ngundurin diri gitu aja,” ucap Dion. Ia salah satu anggota tim basket inti. “Lo baru aja diangkat jadi ketua tim dan masa akhir jabatan lo masih bulan Oktober.”

            Rintik mendengar kata-kata Dion ketika ia berjalan mendekati gerombolan anak basket itu. Ia terkejut mendengarnya. Cakra mengundurkan diri dari jabatan ketua tim basket. Padahal setahu Rintik, hal itu merupakan impian Cakra.

            “Gue tahu. Tapi gue ingin keluar dari ekskul ini.” Cakra tetap bersikeras untuk mengundurkan diri.

            Dion mendorong Cakra. “Maksud lo apa?! Lo sama sekali nggak konsisten sih?! Lo lagi ada masalah? Hah?!” ucapnya yang sudah kesal.

            Anggota yang lain berusaha melerai keduanya yang terlihat sudah sangat panas. Hingga saat tangan Dion ingin meninju Cakra, Rintik segera berlari dan melindungi Cakra. Alhasil, dirinyalah yang terkena tinju itu.

            Rintik tersungkur ke lantai. Semua terkejut karena kedatangan Rintik yang tiba-tiba. Dion merasa sangat bersalah karena salah sasaran dan mengenai seorang perempuan.

            “Maaf, Rin. Gue nggak maksud ngenain lo,” ucap Dion.

            Cakra mengepalkan tangannya dan satu tangannya menarik kerah Dion.

            “Cak, antar gue ke UKS,” pinta Rintik. Ia berusaha untuk melerai keduanya. “Sekarang!” ucapnya dengan tegas. Hingga Cakra melepaskan tangannya dari kerah Dion.

            Sesampainya di UKS. Rintik duduk di atas ranjang UKS. “Lo duduk aja di kursi.”

            Cakra masih terdiam. Dia bingung harus bersikap bagaimana. “Lo nggak pa-pa kan?” tanyanya kemudian. Ia melihat pipi Rintik kemerahan.

            Rintik tertawa. “Gue nggak pa-pa kok. Buktinya gue bisa ketawa.”

            “Seharusnya lo nggak ikut campur urusan gue tadi.” Cakra menatap Rintik dengan intens. Sorot matanya yang tajam, alisnya yang tebal, dan bulu matanya yang lentik, membuat Rintik bergidik ngeri saat ditatap seperti itu.

            “Gue cuma nggak mau liat orang berkelahi. Bukan untuk ikut campur urusan lo,” kilah Rintik. “Kenapa lo mengundurkan diri dari ketua basket? Itu kan impian lo dari dulu,” lanjutnya.

            “Itu bukan impian gue lagi. Basket udah bukan hobi gue lagi,” jawab Cakra dengan entengnya.

            Rintik tidak percaya dengan pernyataan Cakra. Ia memegang bahu Cakra. “Gue kenal lo, Cak. Meskipun lo berubah sekarang. Nggak mungkin drastis yang mengubah semuanya. Lo sangat suka main basket. Kenapa lo harus membohongi diri lo sendiri?”

            Cakra menepis tangan Rintik. “Gue nggak membohongi diri gue. Kenapa lo tiba-tiba pergi dan tiba-tiba kembali? Kenapa lo sekarang peduli sama apa yang gue lakuin? Bisa kasih gue alasannya?” kata Cakra.

            “Karena gue ...” Rintik gugup, “gue selalu peduli sama lo. Meskipun gue bukan siapa-siapa lo lagi. Gue selalu peduli sama lo.”

            Pengakuan Rintik membuat Cakra diam tak bergeming. Ia merasa seperti sedang dipermainkan.

            “Gue tahu lo pasti marah sama gue, lo bingung dengan sikap gue, lo merasa gue ini sangat aneh. Tapi gue bener-bener peduli.” Rintik menelan salivanya. “Seandainya lo dapet pacar yang baik dan menjalani hubungan yang baik, gue nggak akan ganggu lo. Dan gue seneng kalau lo mendapatkan yang jauh lebih baik daripada gue yang aneh ini. Tapi gue sedih ketika mendengar kabar lo sekarang berubah menjadi badboy yang gonta-ganti pacar.”

            “Kalau lo peduli sama gue, kenapa kita harus pisah, Rin? Lo semakin membuat gue bingung!” Cakra mengepalkan tangannya dan meninju tembok UKS. Tangannya memerah.

            Melihat tindakan Cakra, Rintik segera beranjak dari duduknya. Ia memegang tangan Cakra yang memerah itu. “Lo suka banget sih nyakitin diri sendiri! Bagaimana lo bisa mencintai orang lain kalau mencintai diri sendiri aja nggak becus!” seru Rintik yang marah karena Cakra melukai tangannya sendiri.

            Cakra tersenyum. “Kalau dengan cara begini lo akan peduli sama gue. Gue rela melakukan hal ini setiap hari, Rin.”

            Ritme detak jantung Rintik menjadi kian cepat akibat perkataan Cakra. Namun sebisa mungkin ia menutupi semua sensasi aneh yang hinggap pada dirinya. Ini semua untuk kebaikannya dan juga Cakra.

-0-

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Solita Residen
1326      775     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
5882      2091     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Kumpulan Cerpen Mini (Yang Mengganggu)
2127      1156     11     
Humor
Cerita ringkas yang akan kamu baca karena penasaran. Lalu kamu mulai bertanya-tanya setelah cerita berakhir. Selamat membaca. Semoga pikiran dan perasaanmu tidak benar-benar terganggu.
Halo Benalu
689      331     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Intertwined Hearts
872      478     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Into The Sky
489      320     0     
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama. Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....
Lost & Found Club
339      282     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
C L U E L E S S
746      539     5     
Short Story
Clueless about your talent? Well you are not alone!
I Found Myself
40      36     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Bloody Autumn: Genocide in Thames
9363      2125     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.