Kebisingan di area lapangan basket sudah tercipta sejak 10 menit yang lalu. Pertandingan antar kelas sudah dimulai—class meeting. Sorak sorai masing-masing supporter bergema seantero lapangan. Terlebih lagi dari para penggemar Cakra Aditya saat kelas 11 IPA 2 mendapat giliran bermain. Sosok laki-laki jangkung yang kini menjabat sebagai kapten basket SMA Nusa Bakti memang memiliki pesona yang mampu membuat para siswi jatuh cinta padanya. Namun di perlombaan ini, ia hanya sebagai pengamat. Ia memerlukan bibit unggul yang akan direkrut sebagai anggota barunya.
“Eh maaf,” kata seorang siswi yang tidak sengaja menyenggol lengan siswi lain yang sedang turut menyaksikan pertandingan basket itu. Gadis dengan kacamata bulat itu segera menyingkir dari keramaian. Sebab riuhnya para penonton membuatnya hampir tak bisa bernapas.
Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk di bangku dekat lapangan basket. Ia tersenyum samar dengan tatapan yang masih terpusat ke arah hiruk pikuk itu ada.
“Gue cariin ternyata lo di sini, Rin,” ujar seseorang yang datang sambil membawa air mineral.
“Emang lo cari gue kemana?” tanya gadis dengan kacamata bulat hitam itu. Rintik Deafani.
Teman Rintik—Cea menyengir. “Gue ke kantin beli minum, gue kira lo ada di sana.”
Rintik tersenyum karena ia tahu bahwa Cea tidak mencarinya di kantin karena Rintik tidak pernah ke kantin sekolah meskipun sudah hampir satu tahun lebih berada di sini. Ia selalu membawa bekal.
“Oke oke gue ngaku Rin. Gue nggak cari lo, tadi gue ketemuan sama Artha.” Cea mengaku. Ia kemudian duduk di samping Rintik. “Lo masih suka sama Cakra?”
Rintik terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaan Cea. Karena ia tidak tahu apakah perasaan sukanya terhadap Cakra masih ada atau tidak.
“Ceweknya banyak. Mending lo lupain dia. Cari orang lain yang ...”
“Gue udah nggak suka kok. Mungkin gue khilaf karena pernah bilang tertarik sama dia. Kalau bisa gue akan tarik perkataan gue waktu itu,” sela Rintik yang tidak ingin membicarakan Cakra lebih lanjut. Karena ada bagian dari dirinya yang terluka kala mengingat laki-laki itu.
Cea mengangguk tanda mengerti bahwa temannya itu tidak ingin membahas Cakra. “Liburan semester ini lo mau kemana?” tanyanya yang mengalihkan pembicaraan.
Rintik menggeleng. “Gue nggak tahu.”
“Main yuk sama gue,” ajak Cea.
Belum sempat Rintik menjawab ada yang menanggapi terlebih dahulu, “Jangan mau, Rin! Lo bakal diajak ke tempat yang nggak bener,” kata Adel. Ia datang bersama kedua temannya.
“Maksud lo apa, Del?!” seru Cea yang sudah bangkit dari duduknya.
Adel menyilangkan kedua tangannya. Ia menyeringai sinis. “Lo ngerti kan apa maksud gue? Bahkan semua orang di sekolah ini tahu kelakuan lo. Dasar cewek murahan!” ujar Adel yang langsung mendapat tamparan dari Cea.
Gosip yang beredar mengenai Cea memang sudah diketahui Rintik sejak ia menjadi siswi baru di sekolah ini tepatnya kelas satu, semester dua. Namun karena pribadi Cea yang tidak pernah berbuat jahat kepada Rintik, maka gadis berkacamata itu tidak mempersoalkan hal itu.
“Berani-beraninya cewek kayak lo nampar gue?! Nantang ya lo?” Adel menjambak rambut Cea yang membuat gadis itu merintih kesakitan.
Melihat temannya diperlakukan seperti itu, Rintik segera mengambil tindakan. Ia mendorong Adel agar melepaskan tangannya dari rambut Cea.
Adel terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh ke tanah apabila ia tidak segera dibantu kedua temannya. “Nggak tahu terimakasih banget sih! Udah gue bantu supaya lo lepas dari teman toxic kayak dia malah lo bela!” ucap Adel yang kini menatap Rintik dengan tajam.
“Maaf, gue nggak butuh bantuan lo! Cea bukan teman toxic gue, tapi lo! Lo adalah teman toxic bagi teman-teman lo. Seandainya gue jadi teman lo...” Rintik memandangi kedua teman Adel, “gue bakal malu atas apa yang lo perbuat hari ini.”
Rintik menarik tangan Cea dan membawanya pergi dari Adel dan komplotannya.
“Awas ya, Rin. Lo bakal nyesel karena udah memperlakukan gue kayak gini.” Adel mengepalkan tangan kanannya.
Di kamar mandi, Cea membenahi tampilannya yang sempat berantakan karena dijambak oleh Adel. “Makasih ya, Rin. Gue bener-bener nggak tahu mau bilang apa. Baru kali ini gue dibela sama seseorang,” ucap Cea yang matanya sudah tampak berair.
“Udahlah, Ce. Itu udah tugas gue sebagai seorang temen. Jangan nangis. Gue bakal dimarahin Artha karena nggak mampu jagain lo,” kata Rintik.
Cea tak bisa membendung air matanya. Ia menangis sehingga membuat Rintik mengerutkan dahinya. “Pasti tadi sakit banget ya dijambak Adel sampai lo nangis kayak gini,” kata Rintik sambil mengeluarkan tisu dari saku roknya.
Rintik memberikan tisu itu kepada Cea. “Makasih, Rin,” ucap Cea disela-sela tangisnya.
-0-
Seusai dari kamar mandi, Rintik dan Cea menuju kelas mereka. Pandangan orang-orang di kelas mereka tampak sedikit berbeda berdasarkan pengamatan Rintik. Saat Rintik membalas tatapan teman-teman kelasnya, mereka langsung mengalihkan pandangan.
Rintik duduk di kursinya yang berada di tengah sedangkan Cea duduk di kursi paling belakang. “Kenapa kelas hening nggak kayak biasanya?” tanya Rintik pada Zahra—teman sebangkunya.
Zahra tampak gugup. Ia memperlihatkan layar ponselnya kepada Rintik. Butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang terjadi. Terdapat foto seorang perempuan dari sisi samping yang memakai dress mini tanpa lengan sedang dirangkul laki-laki. Jika dilihat dari foto tersebut suasananya seperti sedang di sebuah pub.
Rintik melihat foto itu dikirim di grup kelas, yang artinya seluruh teman kelasnya sudah melihat kiriman itu. Ia melihat siapa pengirim foto itu. Rintik menggebrak meja. Ia mendekati Dito dan Zaki yang duduk tak jauh darinya. “Di mana Randi sekarang?!” seru Rintik.
Dito dan Zaki tak menjawab. “Bisu lo berdua nggak jawab pertanyaan gue?!” seru Rintik yang tampak geram.
“Di lapangan. Dia mau tanding,” ujar Zaki.
“Mau tanding aja banyak tingkah tuh bocah!” gumam Rintik. Ia melihat kelasnya hanya ada 5 orang. Karena ini class meeting banyak yang berada di luar kelas.
“Gue titip Cea. Kalau kalian berani sakitin dia, urusannya sama gue!” kata Rintik yang segera berlalu pergi mencari Randi.
Ia tidak senang dengan perbuatan Randi. Andaikan apa yang ada di foto itu benar, tidak sepantasnya laki-laki itu mengirimkan foto itu di grup yang hanya akan menimbulkan masalah yang lebih rumit. Seharusnya sebagai teman hal ini dibicarakan secara baik-baik dengan Cea. Bukan asal menyebarkan info untuk merendahkan harga diri seseorang. Bukankah lebih baik memanusiakan manusia?
Di lapangan, Rintik melihat sosok Randi yang sudah hampir memulai pertandingannya. Babak penyisihan 3 besar. Ia melangkah dengan cepat dan menerobos kerumunan tanpa memedulikan panitia yang berseru padanya karena melewati batas area penonton.
Randi menatap Rintik dengan tatapan heran. Bahkan tidak hanya Randi yang menatap Rintik saat ini. Semua pandangan tertuju pada Rintik. Gadis berkacamata dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai.
“Gue mau bicara sama lo.” Rintik tidak basa-basi.
“Gue mau tanding, kalau ada perlu nanti aja,” kata Randi sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Rintik muak dengan laki-laki di hadapannya ini. Ia ingin sekali memukul wajah kepedean Randi. “Gue nggak mau nanti. Gue maunya sekarang!”
Pras—panitia kegiatan mendekati Rintik. “Tolong minggir dulu ya, Rin. Pertandingannya mau dimulai.”
Rintik memang cukup terkenal disebagian kalangan para organisator sekolah karena ia menjabat sebagai ketua majalah sekolah. Sosoknya dikenal sebagai pribadi yang humble, ceria, penyuka buku, serta murid teladan di sekolah. Namun ketenarannya tidak membuat dirinya secara terang-terangan dikenal oleh para siswa karena ia bekerja di balik layar bukan seperti Cakra yang terkenal karena wajahnya yang rupawan serta statusnya sebagai ketua tim basket.
“Gue mau bicara sama dia Pras,” kata Rintik sambil menunjuk Randi.
“Nanti ya, Rin, seusai pertandingan.”
“Gue di sini memperjuangkan nama kelas kita, Rin. Lo malah ganggu peluang kemenangan kelas kita,” sahut Randi.
Rintik tersenyum sengit. “Kelas mana yang lo bicarain? Hah?! Gue di sini ingin memperbaiki kelas yang lo bicarakan itu! Gue mau bicara sama lo, sekarang!” tegas Rintik.
Banyak pasang mata terkejut melihat tingkah Rintik yang aneh pada hari ini. Bahkan ada yang menyangka kalau Rintik sedang kesurupan.
Cakra yang menyaksikan hal itu segera mendekat. “Gue juga mau bicara sama lo,” kata Cakra yang menarik tangan Rintik dan membawanya menjauhi kerumunan. Hal itu membuat banyak orang yang bertanya-tanya dan merasa iri karena Rintik dipegang Cakra.
“Gila ya lo! Tiba-tiba berbuat kayak begitu di tengah-tengah kerumunan. Mau jadi bahan gosip?!” kata Cakra.
Seandaikan orang di depannya bukan Cakra, maka Rintik akan membalas omelannya itu. Ia hanya diam dan menahan rasa sesak yang tiba-tiba menyerang.
“Jawab gue, Rin! Lo mau jadi bahan gosip?!” bentak Cakra.
Rintik mencari obyek lain untuk dilihat asal tidak memandang Cakra. “Gue mau bicara sama Randi. Gue nggak ada masalah sama lo,” ucap Rintik. Jantungnya berdetak tak karuan sekarang.
“Kenapa lo ingin bicara sama Randi? Lo lagi ada masalah sama dia? Lo pacaran sama dia sekarang?” kata Cakra yang asal tebak.
“Bukan urusan lo. Gue mau pergi.” Rintik hendak pergi namun langkahnya terhenti, “Karena lo yang narik gue ke sini pasti penggemar lo akan sinis ke gue,” ucap Rintik sebelum pergi. Lalu ia melangkah hingga tidak terlihat dari pandangan Cakra.
-0-