Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Hari itu langit masih sedikit mendung, tapi langkah Kirana terasa ringan. Ia memeluk erat dua eksemplar skripsinya yang telah dijilid rapi dengan sampul hijau tua beraksen emas. Judulnya tercetak tegas di bagian depan, di bawahnya nama lengkap dan NIM yang selama ini hanya serangkaian angka, kini terasa seperti simbol kemenangan.

Di lorong menuju ruang referensi perpustakaan kampus, langkahnya pelan. Ini bukan sekadar rutinitas administratif. Ini penanda akhir dari perjalanan panjang. Di dinding koridor, poster-poster kegiatan ilmiah dan pengumuman jadwal seminar yang dulu sering ia lewati sambil cemas kini hanya menjadi latar diam.

Sesampainya di meja layanan, petugas perpustakaan mengangkat wajah dan tersenyum tipis. “Penyerahan skripsi, ya?”

Kirana mengangguk sambil menyerahkan dua jilid tebal itu. “Iya, Bu. Alhamdulillah akhirnya selesai juga.” Nada suaranya sedikit bergetar. Petugas itu menerima naskahnya, lalu membuka form penyerahan.

“Tanda tangan di sini, ya. Dua kali.”

Kirana menandatangani, matanya mengikuti gerakan tangan petugas yang menstempel dan menyusun skripsinya ke dalam rak yang penuh berjilid hijau lainnya. Di antara ribuan judul, karyanya memang hanya satu butir pasir. Namun, baginya itu adalah dunia.

Sesaat ia berdiri di depan rak itu, memandangi tulisannya sendiri.
"Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia Hemsl A.Gray) pada Mencit Putih Jantan."
Judul itu pernah membuatnya menangis, memaki, putus asa, dan bangga dalam waktu bersamaan.

Ia bergumam pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. “Terima kasih ya... udah bertahan sejauh ini.” Suaranya tenggelam dalam keheningan ruang referensi.

Sebelum pergi, Kirana mengusap sampul keras skripsi itu sekali lagi, lalu melangkah keluar. Angin sore menyapa wajahnya saat ia menuruni tangga perpustakaan.

Berbulan-bulan setelah kekacauan sebelumnya, Kirana akhirnya bisa menarik napas lega. Skripsinya tuntas dengan segala lika-likunya. Ia masih ingat malam-malam begadang menyusun data uji coba, menyisipkan tabel, menguji data variabel dengan SPSS untuk memastikan hipotesisnya diterima atau tidak. Kadang sambil ngedumel sendiri, “Ini rumus siapa sih yang bikin pusing begini….”

Ia membetulkan kalimat pembahasan berdasarkan catatan dosen pembimbing. Setiap komentar bertinta merah seperti cambuk yang memaksanya untuk terus maju.

Seminar hasil sempat membuatnya gemetar. Di depan ruangan, Rayya sempat menepuk bahunya. “Kamu pasti bisa. Kalau gugup, bayangin aja yang nanya itu boneka. Aku dulu gitu.”

Kirana menahan tawa, meski senyum itu tidak bertahan lama. Dosen penguji mempertanyakan metodologi yang ia gunakan, membandingkan dengan jurnal internasional, menuntut kejelasan validitas dan reliabilitas data. Namun, dengan suara yang tetap tenang meski tangan berkeringat, Kirana berhasil menjawab satu per satu.

Setelah seminar selesai, ia keluar ruangan, duduk di tangga belakang gedung, mengembuskan napas keras.
“Kayaknya jantungku tinggal seperempat, serambinya hilang dua-dua biliknya tinggal satu,” gumamnya.

Sidang skripsi pun bukan tanpa tantangan. Salah satu dosennya sakit dan harus diganti mendadak. Kirana terpaksa mengulang sebagian dokumen administratif. Di hari sidang, dua dosen datang terlambat dan suasana langsung terasa tegang.
“Ini uji mental atau sidang?” lirihnya di ruang tunggu.

Kirana sempat tidak habis pikir dengan pertanyaan-pertanyaan "lain" di luar bahasan skripsinya, terutama dari dosen penguji pengganti. Untungnya, beberapa hari sebelumnya Dirga sudah menyarankan untuk mengulang materi-materi umum yang bisa jadi akan ditanyakan penguji.

"Kamu tulis di skripsimu ini kembang bulan juga punya efek antidiabetes, coba kamu jelaskan tipe-tipe diabetes!" Pertanyaan yang muncul tiba-tiba, padahal dalam skirpsi Kirana kata diabetes hanya disebutkan sekali.

Namun, ia menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan kepala tegak.

“Baik, Bu. Secara umum, diabetes dibagi dua tipe. Tipe satu disebabkan karena pankreas tidak memproduksi insulin sama sekali, biasanya muncul sejak usia muda. Sedangkan tipe dua terjadi karena resistensi insulin atau produksi insulin yang tidak cukup, seringnya terkait pola makan dan gaya hidup.”

Dosen penguji mengangguk tipis, lalu melontarkan pertanyaan berikutnya.

Di akhir sesi, salah satu dosen sempat berkata,
“Skripsi ini belum sempurna, tapi kamu kelihatan benar-benar paham apa yang kamu kerjakan.”

Kirana mengangguk pelan. Komentar itu adalah validasi paling dibutuhkan yang pernah ia terima.

Nilai akhirnya membanggakan, IPK di atas 3,5. Meski ia tidak mendapatkan predikat cumlaude karena baru bisa lulus di semester sepuluh, Kirana tetap bersyukur. Sebab gelar kehormatan bukan lagi prioritasnya. Yang ia kejar bukan tepuk tangan atau angka, tapi pembuktian pada dirinya sendiri.

Bahwa ia mampu bertahan. Bahwa ia bisa tetap berdiri, bahkan setelah diseret melalui luka, fitnah, dan kehilangan. Bahwa setiap titik yang ia tulis dalam skripsinya adalah bukti dirinya tidak menyerah.

***

Beberapa minggu setelah penyerahan skripsi itu, hari yang dinanti pun tiba. Hari wisuda. Kampus ramai oleh toga, senyum, dan haru. Auditorium kampus penuh, tempat ratusan mahasiswa merayakan titik akhir perjuangan panjang mereka.

Nama Kirana dipanggil, dan ia melangkah ke panggung dengan langkah mantap. Kepalanya tegak, matanya sedikit berkaca karena rasa syukur yang menumpuk dan akhirnya tumpah ruah dalam diam.

Usai acara resmi, halaman kampus dipenuhi keluarga dan kerabat. Balon warna-warni, papan ucapan, suara kamera, dan tawa bercampur jadi satu.

Kirana baru saja turun dari pelataran auditorium, mengenakan toga yang menutupi kebaya warna biru lembut, kerudung panjang warna senada, dan rok batik yang disiapkan ibunya dari jauh-jauh hari. Dua orang yang tak asing sudah menunggunya, Rayya dan Fathur, masing-masing dengan buket bunga besar di tangan.

“Buket ini buat Kirana!” seru Rayya, menyerahkan bunga ungu keunguan yang elegan.

“Eh, nggak bisa! Aku duluan yang antre!” sela Fathur sambil menyodorkan bunga matahari yang ukurannya hampir menutupi wajahnya sendiri.

“Maaf banget, Kirana itu sahabatku dari awal semester, tahu. I’m her number one priority!” Rayya membalas cepat, menghalangi langkah Fathur.

“Loh, tapi aku ini sinar penghangat yang buat hari-hari Kirana penuh keceriaan!” Fathur membalas sengit.

“Dih!” Rayya bergidik mendengar ocehan Fathur yang hiperbola.

Kirana tergelak, sementara Rayya dan Fathur mulai berdebat kecil yang lebih mirip sketsa komedi. Ia menerima kedua buket itu sekaligus, menggenggamnya erat.

Di sela keramaian itu, tampak Dirga berdiri tak jauh, ia tidak membawa buket bunga, hanya satu map kecil. Namun, bukannya langsung menghampiri Kirana, ia justru melangkah ke arah seorang wanita paruh baya—ibu Kirana.

Dengan gestur sopan, Dirga menyapa dan memperkenalkan diri. “Bu, saya Dirga Mahendra … sudah lulus S-2 dan punya penghasilan tetap yang cukup. Terima kasih sudah melahirkan anak yang tangguh seperti Kirana.”

Ibu Kirana menatapnya dengan mata sedikit menyipit, tapi kemudian tersenyum. “Oh, jadi ini Dirga? Kirana pernah cerita punya senior seumuran yang banyak membantu.”

Dirga berdehem kalem. “Saya cuma bantu sedikit kok, Bu.”

Rayya yang menyadari interaksi itu merasa geli sendiri. Dirga mode pedekate terang-terangan ternyata begini. Apa Dirga sudah berniat bersegera menjadikan Kirana adik iparnya? Ya … orang tua mereka sudah pasti setuju, sih. Kirana dengan pembawaan tenang sangat disukai mama mereka.

Ia langsung menoleh ke Fathur dan menyikut pelan. “Tuh, lihat sendiri, pergerakan sainganmu bukan main, Tuan Dirga yang Terhormat pendekatannya langsung ke orang tua. Saran aku sih… kamu mulai belajar ikhlas dari sekarang.”

Fathur tidak gentar. Ia tersenyum percaya diri. “Aku sih nggak akan nyerah sampai janur kuning melengkung, Ray.”

Kali ini Rayya melirik Kirana yang lagi-lagi melewatkan momen “berharga”. Kirana tampak sibuk dengan beberapa teman dan adik kelas yang juga memberikan ucapan selamat dan buket bunga. Dalam hatinya Kirana merasa hangat. Ini bukan sekadar kelulusan. Sungguh, setelah semua luka dan perjuangan, momen sederhana seperti ini terasa seperti penyembuh.

Di tengah hiruk pikuk, Dirga menghampiri Kirana dengan jarak yang pas, lalu menyodorkan map berisi brosur.

“Setelah ini… kamu minat nggak ikut aku cari-cari beasiswa ke luar negeri? Kita sama-sama cari jalannya.”

“Ah … tapi aku harus dapat restu ibumu dulu. Atau Om Deni juga, ya?” Dirga bergumam sendiri. 

Kirana menatap Dirga sekilas, lalu menunduk, menyembunyikan wajah kemerahannya di balik buket bunga.

Dengan kondisi keuangan keluarganya saat ini, melanjutkan profesi apoteker yang cenderung butuh biaya besar memang nyaris tidak mungkin. Namun, Kirana juga tidak ingin impiannya mempelajari "keajaiban" di balik obat-obat yang menyembuhkan berakhir hanya dengan gelar sarjana. Rasa ingin tahunya justru bertambah besar. Ada rasa "dahaga" yang harus dipenuhi.

Pandangannya beralih menatap map itu, ada cahaya optimisme yang baru. Kirana tahu hidup tak selalu berjalan mulus. Gagal itu biasa. Halangan eksternal, ketidakadilan, bahkan fitnah bisa datang kapan saja. Namun, selama kita mau bertahan, selama kita tidak menyerah untuk terus melangkah, akan selalu ada jalan keluar. Solusi akan datang. Kadang bukan dari arah yang kita sangka, tapi dari keyakinan bahwa setiap luka bisa sembuh, dan setiap perjuangan, cepat atau lambat, akan menemukan muaranya.

Kirana tahu, kali ini ia sudah menang, setidaknya atas dirinya sendiri.

“Ayah ... anakmu akhirnya berhasil menaklukkan skripsinya,” bisiknya pelan, seolah suara itu bisa menembus batas waktu dan jarak.

Namun ia juga sadar, ini bukan garis akhir. Skripsi hanyalah salah satu tanjakan yang berhasil ia lewati. Masih banyak jalan di depan yang menantinya. Perjalanan Kirana untuk jadi farmasis yang bermanfaat masih akan terus berlanjut.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Beloved Symphony | Excetra
1339      574     0     
Romance
Lautan melintang tiada tuturkan kerasnya karang menghadang.
Jalan Tuhan
542      382     3     
Short Story
Percayalah kalau Tuhan selalu memberi jalan terbaik untuk kita jejaki. Aku Fiona Darmawan, biasa dipanggil fia, mahasiswi kedokteran di salah satu universitas terkemuka. Dan dia, lelaki tampan dengan tubuh tinggi dan atletis adalah Ray, pacar yang terkadang menjengkelkan, dia selalu menyuruhku untuk menonton dirinya bermain futsal padahal dia tahu, aku sangat tidak suka menonton sepak bola ata...
Paragraf Patah Hati
5821      1893     2     
Romance
Paragraf Patah Hati adalah kisah klasik tentang cinta remaja di masa Sekolah Menengah Atas. Kamu tahu, fase terbaik dari masa SMA? Ya, mencintai seseorang tanpa banyak pertanyaan apa dan mengapa.
Perfect Love INTROVERT
10688      1994     2     
Fan Fiction
Ilona : My Spotted Skin
483      354     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
In the Name of Love
726      442     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Snazzy Girl O Mine
536      338     1     
Romance
Seorang gadis tampak berseri-seri tetapi seperti siput, merangkak perlahan, bertemu dengan seorang pria yang cekatan, seperti singa. Di dunia ini, ada cinta yang indah dimana dua orang saling memahami, ketika dipertemukan kembali setelah beberapa tahun. Hari itu, mereka berdiam diri di alun-alun kota. Vino berkata, Aku mempunyai harapan saat kita melihat pesta kembang api bersama di kota. ...
Sacrifice
6693      1707     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"