Masjid kampus Fakultas Farmasi itu bernama Asy-Syifa yang dalam bahasa Arab artinya “obat” atau “penyembuh”. Sesuai namanya, masjid ini jadi tempat rehat sekaligus pelipur bagi banyak mahasiswa. Tak hanya digunakan untuk salat, pelatarannya yang luas sering jadi tempat berteduh, menyelesaikan tugas, atau sekadar menenangkan diri dari rutinitas kampus yang padat. Beberapa mahasiswa bahkan menjadikan masjid ini sebagai basecamp sebelum praktikum berikutnya dimulai.
“Eh, colokan di pojok situ masih kosong, nggak?”
“Masih, tapi sinyal Wi-Fi-nya agak lemah kalau duduk di situ.”
“Yah... ya udah deh, yang penting bisa ngecas dulu.”
Obrolan ringan seperti itu sudah biasa terdengar. Tapi menjelang Magrib, suasana mulai lengang. Mahasiswa satu per satu pergi, memilih kembali ke kos setelah seharian bergelut dengan jadwal padat. Masjid pun perlahan kembali sunyi.
Di sudut pelataran, Kirana duduk sendirian. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendurkan tubuhnya yang terasa remuk.
“Hari ini hectic sekali masyaallah…” gumamnya sendiri, memeluk tas di pangkuan.
Perjalanan dadakan dari kampung halaman pagi tadi masih membekas di punggungnya. Keputusan untuk kembali ke kota ini terasa mendadak, nyaris impulsif. Namun, ia tahu ... kalau tidak sekarang, semangat menyelesaikan skripsinya bisa lenyap lagi.
Perkataan ibunya malam sebelumnya kembali terngiang:
“Jangan biarkan semua usahamu berhenti di tengah jalan.”
“Jangan biarkan orang yang menyakitimu merasa menang. Jangan biarkan mereka pikir mereka bisa menjatuhkanmu... dan kamu enggak bangkit lagi.”
Itulah yang akhirnya mendorongnya pergi subuh-subuh, naik bus paling pagi.
Kirana mendongak, memandangi langit sore yang mulai berubah warna.
“Mungkin ini langkah awal,” bisiknya.
Di sekelilingnya, suara angin sore dan suara iqamah mulai menggema.
Perjalanan dari rumah ke kota tempat kampusnya berada memakan waktu kurang lebih empat jam. Begitu sampai, Kirana langsung menuju kos baru yang sudah ia janjikan lewat percakapan WhatsApp dengan pemiliknya. Tanpa banyak pertimbangan, ia menerima kamar itu meskipun sempit, kamar mandinya berada di luar dan harus digunakan bersama, serta lokasinya tidak terlalu dekat dari kampus walau masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sangat berbeda dengan kos lama Kirana sebelum ia mengambil jeda dua semester dari perkuliahan.
“Yang penting murah dan cukup aman,” pikir Kirana saat itu, berusaha realistis.
Barang-barang lamanya selama ini dititipkan di rumah pamannya, Om Deni. Sebenarnya, Om Deni dan istrinya sempat menawarkan agar Kirana tinggal saja bersama mereka, tapi Kirana menolak halus. Bukan karena tidak nyaman, melainkan karena ia enggan merepotkan. Selama ini, Om Deni sudah banyak membantu keluarganya sejak ayah Kirana meninggal dunia.
Setelah menaruh koper berisi pakaian di kos barunya yang masih berdebu dan belum tersentuh sapu, Kirana langsung menuju kampus.
Perencanaan yang ia buat memang belum terlalu matang, terbukti dari proposal hasil karya “satu malam” yang Kirana buat tadi masih banyak revisi Bu Ratna di sana sini. Kirana hanya ingin “menggoreng” di wajannya yang sedang panas. Ia tahu, kalau keberangkatan ini tertunda sehari saja, belum tentu ia bisa bangkit dengan semangat yang sama.
“Berarti besok ke rumah Om Deni ambil barang-barang.” Kirana bergumam sendiri, tangannya mencentang catatan di notes kecil. Dari dulu Kirana terbiasa untuk mencatat banyak hal termasuk target kegiatan.
Di halaman dengan judul bertulis tebal: “HARUS LULUS SEMESTER INI”, Kirana sudah mencentang satu kotak bertuliskan “menemui Bu Ratna” yang ada di urutan pertama. Di bawahnya masih ada banyak poin yang belum tercentang. Daftar panjang yang menandai betapa terjalnya jalan menuju kelulusan.
Selesai shalat, Kirana kembali duduk lama di pelataran. Pandangannya menyapu pelataran Masjid Asy-Syifa yang kini tertata rapi, lantainya sudah dikeramik, ada atap pelindung, bahkan colokan listrik di beberapa sudut.
“Wah... dulu tempat ini nggak begini,” gumamnya pelan.
Kenangannya langsung melompat ke masa awal kuliah. Waktu itu, pelataran masjid masih berupa tanah cokelat. Kalau hujan, becek parah. Kalau kemarau, debunya bisa bikin bersin beruntun. Di tepi-tepinya tumbuh aneka tanaman obat yang ditanam dosen dan kakak tingkat sebagai bagian dari program konservasi sekaligus bahan praktikum farmakognosi.
“Eh, itu rosella, kan?” Suara Rayya menggema dalam ingatannya.
“Iya, katanya bisa nurunin tekanan darah,” sahut Vania waktu itu.
“Mau coba petik buat eksperimen? Tapi pelan-pelan, jangan sampai kelopaknya rusak.”
“Waduh, kayak mau panen berlian aja.” Kirana tertawa waktu itu.
Ia masih ingat betapa hati-hatinya mereka memetik bunga rosella merah keunguan itu. Kelopaknya akan dikeringkan dan dijadikan seduhan. Konon kaya antioksidan dan bisa bantu atur gula darah. Masa itu, rosella sedang jadi topik panas. Banyak seminar internal kampus membahasnya.
Ada juga sambiloto. Tanaman mungil, daunnya ramping, tapi pahitnya...
“Kamu yakin mau ngunyah daun ini, Van?” tanya Kirana ragu.
“Harus yakin. Ini demi ilmu pengetahuan.” Vania menjawab dramatis.
Tiga detik kemudian, Vania batuk-batuk.
“Rasa lidahku kayak dicabut nyawanya,” keluhnya, dan mereka bertiga tergelak.
Dan tentu saja, ada tumbuha “adam-hawa” alias Rhoeo discolor. Daun ungu mencolok yang mereka iris melintang demi mengamati stomata di bawah mikroskop.
Di antara semuanya, ingatan paling konyol tentu saja jatuh pada bayam duri liar di pojok pelataran.
“Kata buku praktikum di daun ini bisa kelihatan kristal kalsium oksalatnya!” kata Rayya semangat.
Kirana mengangguk yakin. “Ayo kita coba nanti buat preparatnya!”
Tapi hasilnya... zonk. Pewarnaan gagal, kaca objek berembun, tidak ada kristal yang muncul.
“Eh, ini mikroskopnya rusak, ya?” kata Rayya.
“Bukan mikroskopnya, tapi preparat kita yang kayak cendol berlumur tinta.” Vania menutup wajah sambil tertawa.
Kirana tertawa kecil mengingat itu semua. Suasana mungkin sudah berubah, tapi jejak kenangan tetap hidup di sela-sela keramik dan tanaman pinggir pelataran. Tempat ini pernah menjadi laboratorium kecil tempat dirinya, Rayya, dan Vania belajar, gagal, dan tertawa bersama.
Ah … Vania.
Nama itu muncul seperti bisikan dalam benaknya, dan seketika tawa Kirana meredup. Ia berusaha mengusir bayangan itu, tapi kenangan yang melekat terlalu dalam, terlalu utuh. Bagaimana mungkin ia bisa menghapus seseorang yang dulu begitu dekat? Yang tawa dan lelahnya pernah berjalan beriringan dengannya selama bertahun-tahun?
Namun … yang lebih sulit bukan kenangannya, melainkan pertanyaan yang terus menghantui: Apa yang harus ia lakukan jika nanti berhadapan langsung dengan Vania? Bagaimana ia harus bersikap? Apakah wajahnya akan tetap tenang? Apakah hatinya cukup lapang untuk menahan gelombang yang mungkin datang tiba-tiba? Apakah ia mampu, benar-benar mampu untuk memaafkan?
Pertanyaan itu bahkan terasa sia-sia. Karena jauh di dalam dirinya, Kirana tahu: jenis maaf apa yang bisa diberikan kepada seseorang yang bahkan tak merasa bersalah? Vania tidak pernah mengucapkan penyesalan, tidak pernah menunjukkan kesadaran akan luka yang ia tinggalkan.
Yang lebih menyakitkan adalah melihatnya tetap melangkah, tetap bersinar, tetap menjadi bintang. Lulus tepat waktu, masuk program profesi apoteker tanpa jeda, dan menurut unggahan yang sempat Kirana lihat sebelum akhirnya memblokir akun tersebut demi menjaga kewarasan, Vania masih jadi kepercayaan dosen Farmakologi. Ia juga masih terlibat aktif di penelitian, ikut seminar nasional, foto-foto dengan jas putih di depan poster ilmiah. Wajahnya tetap ceria, seolah dunia memang selalu menyambutnya dengan tangan terbuka.
Kirana akhirnya berhenti melihat semua itu. Bukan karena iri, tapi karena letih. Letih menjadi saksi dari ironi: bagaimana seseorang yang menyakitimu bisa tetap bahagia, sementara kamu masih bergulat dengan sisa-sisa luka yang belum pulih. Ia memilih memblokir akun Vania bukan karena benci, tapi sebagai bentuk perlindungan diri, agar ia tak terus-terusan menelan kenyataan pahit bahwa dunia ini tidak selalu adil.
Kirana menggeleng pelan, seolah ingin menggugurkan segala bayangan yang berseliweran di kepalanya. Tidak sekarang, batinnya. Ini bukan waktunya tenggelam dalam masa lalu. Ia menarik napas panjang, mencoba menata ulang pikirannya yang sempat limbung. Ia harus fokus, tidak boleh ada distraksi, tidak boleh ada emosi yang membelokkan arah. Skripsi menunggu. Tenggat waktu menanti. Dan tidak ada ruang untuk kejatuhan yang sama.
Ia pun bangkit, meraih ransel yang tadi ia letakkan di samping, menyampirkannya ke bahu kanan.
Beberapa mahasiswa masih terlihat lalu lalang, sebagian baru keluar dari masjid, sebagian lain bercengkerama di tangga depan. Suasana kampus mulai sepi, tapi belum benar-benar kosong. Namun Kirana tahu, berjalan kaki dari Masjid Asy-Syifa ke gerbang universitas bukan jarak yang dekat apalagi jika sendirian di malam hari. Dan dari gerbang ke tempat kos barunya, ia masih harus berjalan cukup jauh melewati jalan kecil yang tidak semuanya diterangi lampu jalan.
Ia menarik risleting ranselnya sedikit lebih rapat, seolah sedang memeluk dirinya sendiri. Tak ada lagi waktu untuk berlama-lama di sini. Hari sudah gelap, dan Kirana tidak mau ambil risiko. Ia sudah cukup belajar bahwa tidak semua hal bisa diprediksi, termasuk yang tampaknya sepele, seperti perjalanan pulang.
“Eh, beneran Kirana?”
Mendengar namanya dipanggil, Kirana menoleh. Walau berniat kembali dalam sunyi dan menghindari pertemuan sebisa mungkin dengan orang yang ia kenali, Kirana menyadari bahwa itu tidak mungkin. Pertemuan dengan Rayya, Fathur, dan Dirga tadi sore misalnya. Tadi juga Kirana bertemu beberapa junior yang masih mengenalnya di masjid kampus, mereka sekadar menyapa karena juga buru-buru hendak pulang.
“Ya ampun, ternyata Rayya nggak bohong, Kirana beneran udah nongol lagi di kampus,” kata salah satu di antara mereka. Itu Hagia, salah satu teman seangkatan Kirana juga.
“Hai!” Kirana menyapa seramah mungkin, tersenyum walau masih ada rasa grogi karena sudah lama tidak bertemu.
Apalagi di kondisi saat ini di mana Kirana masih berjuang mendapatkan gelar sarjana, sedang teman-teman yang ada di hadapannya semua sudah bergelar Sarjana Farmasi. Di mata Kirana mereka kelihatan keren sekali dan penuh percaya diri sebagai mahasiswa program profesi apoteker.
Di hadapan Kirana ada tiga orang, Rayya, Hagia, dan … Vania. Mendadak pandangan Kirana mendingin. Sulit baginya beramah tamah pada orang satu ini.
“Sehat-sehat kan Kirana? Kami beneran kehilangan, lo. Banyak yang mikir kamu pindah malahan. Hilang gitu aja, nggak ada kabar.” Hagia menjabat tangan Kirana hangat dan merangkulnya pelan.
“Sehat alhamdulillah. Kalian juga sehat-sehat, kan?”
“Iya alhamdulillah, kamu … ke mana aja?” Hagia kelihatan ragu untuk bertanya.
Namun, ia juga penasaran setengah mati bagaimana mahasiswa secemerlang Kirana yang tidak pernah gagal di satu mata kuliah pun bisa tiba-tiba menghilang dari peredaran dan tidak terlihat ikut yudisium dan wisuda bersama mereka. Mahasiswa yang “biasa” saja seperti dirinya bisa lulus dan lanjut profesi apoteker, bagaimana mungkin Kirana yang dulu sering angkat tangan dan menjawab pertanyaan dosen bisa terjebak dalam situasi sepertinya “belum lulus”.
“Hm… nggak ke mana-mana, masih di Pulau Sumatera juga,” jawab Kirana sekenanya, suaranya ringan, tapi tak benar-benar lepas. Nada bicaranya seperti orang yang ingin terdengar santai, tapi gagal menyembunyikan sesuatu yang tak terucap.
“Ada urusan ini dan itu yang lebih urgent diselesaikan. Eh tiba-tiba udah setahun aja terlalui.” Ia mencoba tertawa, tapi terdengar getir, sebuah tawa yang menggantung di udara, lebih mirip usaha untuk menutup sesuatu daripada benar-benar ingin membagi cerita. Tawa yang tak membawa kehangatan, hanya gema tipis dari lelah yang terlalu sering disembunyikan.
Kalimatnya padat, terlalu ringkas untuk ukuran seseorang yang sudah menghilang dari perkuliahan. Dan justru karena terlalu singkat itulah, Hagia merasa ada begitu banyak yang sengaja ditahan. Kata-kata seperti “urusan ini dan itu” adalah pagar samar yang dibangun untuk menjaga jarak. Tidak bohong, tapi jelas bukan keseluruhan kebenaran.
Hagia terdiam, ia tahu itu semacam kode untuk tidak bertanya lebih jauh. Entah kenapa, sejak dulu Kirana selalu punya aura tertentu yang membuat lawan bicara merasa segan padanya. Bukan karena galak atau menakutkan. Kirana justru dikenal ramah, murah senyum, dan ringan tangan. Ia tak pernah pelit membagikan catatan kuliah, sumber referensi, atau bahkan waktunya jika ada yang minta bantuan. Waktu semester empat, Hagia pernah kesulitan memahami output SPSS untuk laporan kuantitatif, dan Kirana dengan sabar menjelaskan langkah demi langkah sambil membandingkan hasil olahan datanya sendiri. Tak ada nada menggurui, tak ada ekspresi malas. Semua ditunjukkan dengan ketenangan dan kepastian yang membuat Hagia diam-diam kagum.
Namun tetap saja, ada sesuatu dalam diri Kirana yang membuat orang tak sembarangan mendekat. Mungkin karena caranya bicara yang selalu terukur, atau ekspresi wajahnya yang nyaris tak pernah benar-benar lepas. Tertawanya pelan, sopan, tapi tidak membuncah. Senyumnya hadir, tapi seperti tidak pernah sampai ke matanya. Ada dinding tipis, tetapi kokoh yang terasa antara dirinya dan orang lain, bahkan dengan teman-teman dekatnya sekalipun.
Kirana tidak pernah menyuruh orang menjauh, tapi ada batas tak kasatmata yang ia bangun tanpa kata-kata. Gerak tubuhnya halus, tapi tegas. Tatapannya jernih, tapi tidak selalu bisa dibaca. Jika ia tidak ingin membahas sesuatu, ia cukup berkata satu dua kalimat dengan nada datar, dan orang akan paham: jangan lanjut.
Hagia pernah menyaksikan sendiri bagaimana Kirana menangani situasi tidak nyaman. Seorang teman mereka—Rista, pernah melontarkan komentar yang menyinggung tanpa sadar. Kirana tidak membalas dengan nada tinggi, hanya menatap sesaat, lalu menjawab dengan kalimat singkat, “Oh, aku ngerti, kok”, sambil tersenyum tipis. Tapi justru itu, ketenangan yang nyaris dingin membuat Rista langsung minta maaf. Ada kekuatan dalam keheningan Kirana yang sulit dijelaskan.
Itulah sebabnya, ketika Kirana hari ini menjawab dengan suara rendah dan tatapan tertunduk se per sekian detik, Hagia bisa menangkap sesuatu yang tidak biasa. Tapi ia juga tahu diri. Kalau Kirana sudah mengunci sebuah topik, memaksanya membuka akan sama saja dengan memukul tembok: sia-sia. Maka Hagia memilih diam, meski pikirannya tetap dipenuhi tanda tanya yang belum tentu akan menemukan jawab.
"Kamu masih belum selesai skripsi, kan? Kirana... serius deh, kamu dulu rajin banget. Kok bisa ketahan gini, sih?"
Vania akhirnya angkat suara. Suaranya terdengar ringan, bahkan dibumbui senyum tipis di ujung kalimatnya, tapi bagi yang cukup peka, nada itu menyimpan sesuatu yang lain. Ada nada pedas yang samar, semacam sindiran yang dibungkus keramahan tipis.
Rayya yang sedari tadi diam, langsung menoleh. Hagia menelan ludah pelan. Keduanya saling melempar pandangan tak nyaman. Kalimat itu, walau sepintas terdengar seperti bentuk keprihatinan, terasa seperti tusukan halus yang disengaja.
Bertanya soal skripsi mungkin masih bisa dimaklumi, tapi kalimat sesudah itu terdengar mengintimidasi. Seolah menyasar bagian yang seharusnya tidak disentuh
Apa karena Vania dan Kirana sahabat dekat, ya makanya Vania berani bertanya seperti itu. Pikir Hagia.
"Ada aja ‘hambatan’-nya, Van. Tapi aku lagi usaha nyelesain," jawab Kirana, suaranya tenang, tapi ada ketegangan dingin yang menggantung di antara katanya. Intonasinya menekan saat menyebut kata ‘hambatan’.
Namun, Vania tidak berhenti di situ. "Ya… semoga nggak kehabisan waktu aja. Kamu tahu sendiri kan, makin lama batas DO makin deket," balasnya dengan nada manis yang justru terdengar semakin tajam. Seolah ia ingin menegaskan posisi: bahwa ia telah melangkah jauh sementara Kirana tertinggal.
Rayya dan Hagia kebingungan dengan atmosfer yang mengudara di antara Kirana dan Vania. Seingat mereka kedua orang ini berteman dekat. Ke mana-mana selalu bersama dari semester satu. Rayya yang paling bingung di sini. Tentu bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi dan tidak ia ketahui. Mereka bersahabat bertiga, kan? Apa ada yang Rayya lewatkan?
Tadinya Rayya pikir ini akan jadi pertemuan yang mengharukan. Ia sempat berpikir pertemuan ini akan jadi momen yang hangat, mungkin penuh tawa dan pelukan haru. Ia bahkan begitu antusias saat memberi tahu Vania tadi sore bahwa Kirana sudah kembali ke kampus. Namun, ia baru sadar sekarang: ekspresi Vania waktu itu terlalu datar. Tak ada antusiasme, tak ada kehangatan, tak seperti Hagia yang bahkan bukan teman dekat ikut bahagia mendengar kabar kembalinya Kirana.
"Kamu tahu sendiri, kan, ‘hambatan’ yang kumaksud itu apa? Perlu kita bahas panjang lebar di sini?" Kirana membalas, masih dengan senyum, tapi senyum itu penuh makna. Dingin dan tajam, seperti bilah kecil yang ditaruh dengan sopan di atas meja.
Wajah Vania berubah. Ada rona merah yang naik ke pipinya, tapi ia tidak segera membalas. Lidahnya seolah kelu, matanya sedikit menghindar.
Rayya cepat menangkap situasi yang mulai tidak nyaman. Ia buru-buru menyela.
"Eh, kita belum salat Magrib, kan? Nanti waktunya keburu habis," katanya, mencoba memecah ketegangan.
Ia mengalihkan pandang ke Kirana, berharap suasana bisa dilunakkan.
"Tadi gimana, lancar ketemu Bu Ratna?"
Kirana melirik Rayya, dan nada wajahnya sedikit melunak. Ia sadar, kemarahannya barusan bukan untuk Rayya, dan tak adil jika ikut menyiramkannya ke orang yang selama ini tulus hadir. Rayya, sahabat sejati yang rutin menanyakan kabar tanpa kenal lelah semasa hiatusnya Kirana. Bahkan saat Kirana tidak membalas sekalipun.
“Alhamdulillah, tidak semenyeramkan yang kubayangkan, kok, Ray. Gih, kalian shalat dulu, udah 20 menit lewat dari azan magrib ini.”
Rayya baru hendak menjawab, tapi Vania menyela lebih dulu.
"Ha-ha, iya, tadi kami terlalu serius bahas kerasionalan resep dan kasus pasien. Sampai nggak sadar udah malam. Tugas profesi apoteker soalnya," ujarnya sambil menekankan dua kata terakhir. "Mungkin nanti kamu juga bisa ngerasain kalau bisa lulus dan lanjut apoteker. Bu Ratna tuh nggak gampang, lo, ngasi acc."
Nada angkuhnya tak lagi ditutup-tutupi. Ucapannya terdengar seperti pamer yang dibungkus dengan basa-basi.
Pandangan Kirana mengeras lagi, Rayya dan Hagia masih bertanya-tanya kenapa mereka terjebak di situasi meneganggakan ini. Mereka makin tak paham harus berbuat apa. Percakapan yang mereka kira akan jadi reuni menyenangkan, kini berubah jadi ladang ranjau.
"Udah, udah, kita salat dulu." Hagia sigap menarik lengan Vania, berusaha menyudahi ketegangan.
"Habis ini kami mau makan malam bareng di kafe depan, kamu ikut, kan, Kirana? Udah lama kita—" Rayya mencoba mengembalikan suasana, tapi belum sempat kalimatnya selesai, Kirana memotong dengan halus.
"Maaf, Ray, Gia. Kayaknya aku nggak bisa ikut. Harus buru-buru beresin kosan."
Jawabannya jujur. Ia memang belum sempat membersihkan kamar kos barunya. Belum ada kasur, belum ada perabot. Bahkan untuk tidur malam ini, Kirana masih belum tahu akan beralaskan apa. Tapi alasan itu juga, secara tak langsung, menyelamatkannya dari percakapan yang lebih jauh dengan Vania.
"Aku duluan, ya. Assalamu’alaikum," pamitnya sambil merapikan ransel di bahunya.
Mereka bertiga menjawab salam bersamaan.
"Kirana! Nanti aku WA, ya. Kamu harus bales!!!" seru Rayya, setengah berteriak sambil melambaikan tangan.
Kirana menoleh sebentar, mengacungkan jempol sambil tersenyum. Dalam hati, ia benar-benar berterima kasih pada Rayya. Sosok itu, ceria dan tulus, seperti cahaya hangat yang tak pernah padam. Kirana berjanji, suatu saat nanti ia akan menceritakan semuanya. Mungkin setelah skripsinya mendekati selesai, setelah pikirannya lebih tenang.
Malam semakin turun. Kirana menatap langit kampus yang dulu sangat akrab, kini sedikit asing tapi tak sepenuhnya menakutkan. Ia tahu ini baru permulaan. Tapi setidaknya, hari ini ia sudah berani kembali.