Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Langkah-langkah Kirana menggema pelan di atas trotoar basah. Hujan baru saja reda, menyisakan bau tanah yang menusuk. Aroma yang dulu menenangkan, kini justru mengusik kenangan yang ingin ia kubur. Di pundaknya tergantung ransel biru pudar, saksi bisu masa-masa penuh ambisi dan jatuh bangun. Kini, ia kembali membawanya, bukan hanya dengan semangat, tetapi juga tekad.

Kirana Prameswari berdiri sejenak di bawah plang bertuliskan "Fakultas Farmasi". Tangannya gemetar saat menarik napas dalam. Masih ada waktu. Masih ada kesempatan. Setidaknya itulah yang terus ia yakini meski suara-suara di kepalanya sering berkata sebaliknya.

“Bismillah, bismillah….”

Berulang kali Kirana mengulangi lafaz basmallah dalam hati. Ia tahu benar memulai kembali sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan bukanlah hal mudah. Apalagi bagi dirinya yang benar-benar tidak beredar di kampus hampir setahun ini. Tiga semester sudah KRS (Kartu Rencana Studi) Kirana hanya berisi “Seminar Akhir” dan “Skripsi”. Ia tidak mengajukan cuti, tidak sempat, tidak mau berhadir ke kampus untuk mengurus itu semua. Ia menghilang seperti asap, tak jejak, tanpa seorang pun di kampus yang tahu ke mana ia pergi.

Kirana menghirup dalam-dalam udara di sekitar kampus, masih sama. Aroma etanol dari laboratorium, suara mesin HPLC dari lantai dua, gesekan mortar dan alu, suara alat sentrifugasi, dan dengung AC tua dari ruang dosen. Dunia yang dulu ia tinggalkan, kini menyambut lagi dengan wajah serius.

Fakultas Farmasi bukan tempat biasa. Di sinilah ia beberapa tahun menghabiskan sebagian hidupnya, di antara rak penuh senyawa kimia, lembar praktikum, dan jurnal ilmiah yang tebalnya lebih dari seratus halaman. Setiap sudut punya cerita: meja yang penuh coretan hitungan dosis, ruang lab tempat ia pernah tertidur saat menunggu hasil inkubasi, bahkan bangku taman tempat ia diam-diam menangis setelah gagal ujian farmakologi.

Mahasiswa Farmasi dikenal tahan banting, harus hafal reaksi kimia, piawai menakar zat dalam satuan mikro, paham patofisiologi, tangguh di praktik, dan tetap kuat saat menghadapi dosen yang menganggap kesalahan sekecil apa pun adalah bencana. Skripsi di jurusan ini bukan sekadar karya tulis. Ia adalah hasil eksperimen panjang, kadang melelahkan, kadang membuat frustrasi. Kesalahan satu mikroliter saja bisa berarti kegagalan uji, dan berarti ulangi semuanya dari awal. Saking sulitnya bertahan di jurusan ini, sampai-sampai ada istilah, “Masuk Farmasi sulit, lulusnya jauh lebih sulit”.

Lima belas menit kemudian, Kirana tiba di depan ruang akademik. Beberapa mahasiswa lalu lalang dengan wajah sibuk. Ia melihat mereka dari balik jendela, beberapa sibuk mengisi formulir, beberapa menunggu giliran. Semua tampak tahu tujuan mereka, tidak seperti Kirana yang masih meraba. Langkah Kirana sempat terhenti di depan pintu masuk. Pelan dan ragu, Kirana pun memegang knop pintu, mendorongnya pelan.

“Selamat siang. Saya mau ajukan berkas pengajuan ulang skripsi,” katanya pada petugas perempuan di balik meja.

Perempuan itu mengangkat wajah, menatap Kirana sejenak tanpa tersenyum. “Nama?”

“Kirana Prameswari.”

Petugas itu mengecek data di komputer di hadapannya, cukup lama. Tangannya kemudian membuka map besar, membolak-balik sejenak. “Ah, ini. Kamu yang sempat… menghilang, ya? Berkas kamu sudah hampir jadi artefak ini.”

Nada suaranya tak menghakimi, tapi cukup membuat Kirana merasa seperti lembaran usang yang ditemukan kembali di tumpukan arsip. Ia mengangguk kecil.

“Berkas lama kamu masih ada. Tapi kamu harus konsultasi dulu ke Bu Ratna. Beliau dosen pembimbing dua kamu, kan? Karena pembimbing satunya sudah….” Ia tak melanjutkan.

Kirana hanya tersenyum lemah. “Saya tahu.”

Setelah mengambil map cokelat berisi lembaran pengajuan, Kirana melangkah keluar. Tangannya mencengkeram erat berkas itu. Kirana ingin segera bergegas ke ruang dosen pembimbing, sebisa mungkin ia menghindari pertemuan dengan orang-orang yang dikenali. Ia hanya … belum siap untuk menjelaskan.

Ia melangkah cepat melewati koridor utama. Beberapa mahasiswa berkumpul di depan ruang akademik, mungkin sedang antre tanda tangan. Para mahasiswa seperti biasa tampak sibuk, dengan tas ransel berat, tangan menjinjing tas berisi perlengkapan praktikum, lain lagi tumblr air minum. Kirana hanya bisa menunduk, menghindari tatapan siapa pun yang mungkin mengenalnya. Namun, di tangga gedung, sebuah panggilan menghentikan langkahnya.

"Eh... Kirana?"

Ia menoleh.

Astaga! Kebetulan macam apa ini?

Seorang perempuan berkacamata dengan jilbab cokelat dan tote bag besar penuh berkas melangkah mendekat. Rayya, sahabat lamanya, teman seangkatan Kirana berdiri di sana bersama dua orang pria. Tiga kombinasi yang sangat tidak Kirana sangka akan berada dalam satu “frame” bersamaan. Wajah Kirana memucat, ia belum siap dengan pertemuan ini. Walau begitu ia tetap berusaha mencoba tersenyum.

“Kirana?! Astaga, beneran kamu?” Rayya segera mendekat dan langsung memeluknya sebentar. Kirana menyambut pelukan itu, bagaimanapun ia juga rindu.

Mata Rayya menunjukkan keterkejutan sekaligus kerinduan mendalam. Bagaimana tidak, selama setahun belakangan ini Kirana benar-benar menghilang dan menolak bercerita. Komunikasi yang mereka jalin sebatas dari chat Whatsapp, dan itu pun Kirana selalu menghindari setiap kali Rayya menanyakan “permasalahan utama” penyebab Kirana mengasingkan diri dari kehidupan kampus. Rayya hanya tahu garis besarnya, skripsi Kirana tertunda, itu saja.

“Sudah lama banget, sumpah. Aku kira kamu udah pindah atau—”

“Dia nggak pindah, Ay.” Suara berat dan datar itu datang dari Dirga, salah satu dari dua pria, berdiri menyandar di tiang beton. “Datanya masih tercatat sebagai mahasiswa kalau kamu cek ke bagian akademik”.

Rambutnya lebih pendek dari terakhir Kirana ingat. Kini ia mengenakan kemeja rapi dan celana bahan, sangat tidak seperti mahasiswa biasa. Ah …  Dirga memang selalu jadi mahasiswa berprestasi sejak awal mereka saling mengenal.

“Dirga…” Kirana mengangguk sambil tersenyum canggung, “… masih semangat aja ngejar dua gelar sekaligus, ya?”

“Iya, apotekernya udah, ini lagi ngurus sidang tesis magister,” jawabnya singkat. Senyumnya sekilas saja, lalu hilang lagi. 

Dirga seumuran dengan Kirana dan Rayya, tetapi satu angkatan di atas mereka. Dulu mereka sempat satu organisasi, beberapa kali terlibat dalam kegiatan bersama, dan tidak sengaja bertemu di laboratorium. Kirana cukup mengaguminya karena ketekunan dan fokusnya yang luar biasa. Aktif organisasi, kuliah lancar, public speaking mumpuni. Di kampus, sepertinya tidak ada mahasiswa yang tidak mengenal seorang Dirga Mahendra.

Kemudian satu lagi laki-laki yang ada di sana menyela. Ia berdiri di samping Rayya dengan gaya santai.

“Kir, kamu balik? Masih inget jalan ke kampus ini, kan?”

Nada suaranya penuh candaan, tapi matanya menyiratkan kelegaan. Ia kadang menjahili Kirana, tetapi juga paling sering menawarkan bantuan. Namanya Fathur, junior yang sama sekali menolak memanggil Kirana dengan kata sapaan “kakak”.  

“Sedikit nyasar tadi.” Kirana membalas ringan.

Rayya melirik berkas di tangan Kirana. “Kamu mau lanjutin skripsi kamu, Na?” Ada sinar bahagia terpancar dari mata Rayya.

Kirana mengangguk pelan. “Iya… coba mulai lagi.”

Hening sejenak. Dirga memperhatikan Kirana, lama. Tatapan itu menyimpan sesuatu yang mendalam. Fathur justru menarik napas panjang dan tersenyum lebar.

“Keren. Nggak semua orang berani balik, lo. Banyak yang milih nyerah.”

Kirana hanya menanggapi dengan anggukan kecil.

Rayya tampak ingin bertanya lebih banyak, tapi menahan diri. Ia paham betul Kirana bukan tipe orang yang suka diberondong banyak pertanyaan sekaligus. “Yuk, kita ke kantin bentar? Vania juga tadi ke sini, dia pasti kaget banget lihat kamu.”

“Vania, ya ….” Kirana berujar, mendengkus setengah berbisik. Ada gejolak emosi yang begitu saja timbul tiap kali Kirana mendengar nama Vania disebut.

“Maaf, Ray. Aku harus ketemu Bu Ratna.” Kirana menahan napas sejenak. “Harus beresin administrasi dulu.”

Dirga angkat suara, masih dengan nada datar. “Jam segini biasanya Bu Ratna ada di ruang dosen. Tapi sebentar lagi pasti pulang.”

Fathur mengangkat alis. “Kamu masih inget cara ngadepin Bu Ratna? Satu kesalahan, bisa kuliah tambahan satu semester.”

Kirana tersenyum samar. “Semoga aku masih bisa bikin beliau percaya.”

Fathur mengangkat dua tangan. “Oke sip, semangat skripsinya ‘kakak’! Jangan lupa doa pembuka bimbingan: Ya Allah, luluhkan hatinya Bu Ratna....”

Kirana tersenyum simpul, Fathur masih sama, hobi mengganggu orang dengan wajah secerah mentega habis dilelehkan.

Kirana pamit dan melangkah pergi. Dalam balutan jaket abu-abu dan kerudung polos warna krem, Kirana tampak seperti mahasiswa biasa yang baru selesai kelas. Padahal, ia adalah mahasiswa semester sekarat yang sedang berpacu dengan waktu. Antara mendapatkan predikat sarjana, atau jadi mahasiswa drop out yang gagal menyelesaikan apa yang pernah ia mulai.

Kirana sedikit iri pada teman-teman seangkatannya, mereka semua melangkah maju. Sebagian besar sedang mengambil profesi apoteker seperti Rayya dan Vania, Dirga sudah hampir selesai magister, Fathur kini jadi asisten lab yang bahkan telah menyelesaikan penelitian dan menunggu jadwal seminar hasil. Sementara ia... masih di titik ini, bertarung dengan skripsi … lagi.

***

Kirana menatap pintu bertuliskan nama Bu Ratna. Tangannya ragu mengetuk. Apa beliau masih mengingatnya? Atau justru menganggapnya mahasiswa gagal yang kembali demi gengsi?

Pikirannya sedikit melayang ke masa lalu. Awal penyusunan judul skripsi penuh drama, saat Kirana duduk paling depan, mencatat setiap kata dosen, dan tak sabar mulai penelitian. Saat itu Bu Ratna bahkan pernah memujinya sebagai mahasiswa paling siap.

“Jangan sia-siakan kepercayaan ini, ya, Kirana. Kamu punya potensi besar,” kata Bu Ratna waktu itu.

Kirana yang dulu selalu menjawab dengan semangat. Kini bahkan harus mengumpulkan niat kuat untuk sekadar bertemu dosen pembimbingnya. Membayangkan tatapan tajam Bu Ratna dan tangggapan yang akan Kirana terima setelah sekian lama menghilang, membuat nyali Kirana ciut.

Ruang dosen tampak tenang. Langit sore sudah mulai menggelap, lampu-lampu ruangan mulai menyala. Akhirnya, setelah 15 menit terpaku Kirana mengetuk pintu lalu masuk pelan.

Assalamu’alaikum.”

Bu Ratna masih duduk di balik meja, membaca lembar hasil ujian praktikum. “Wa’alaikumsalam.”

Ia mendongak, sedikit terkejut. “Kirana?”

“Iya, Bu. Saya… kembali.”

Ada jeda. Lalu Bu Ratna mengangguk pelan. “Duduklah.”

Kirana duduk di kursi berhadapan dengan Bu Ratna. Hanya dipisahkan meja kerja di mana banyak kertas tersusun rapi berdasarkan kelas. Tugas makalah, laporan praktikum, dan berbagai berkas menunggu untuk di-acc.

Tangan Kirana memeluk map di pangkuan. Ia bingung harus memulai dari mana.

“Saya mau lanjut skripsi saya, Bu,” ujar Kirana.

Bu Ratna menatapnya lama. “Kamu lama menghilang. Tidak ada kabar sama sekali.”

Deg!

Kata-kata yang paling ditakutkan Kirana akhirnya meluncur dari mulut Bu Ratna. Karena ia memang menghilang secara harfiah dari kampus. Dalam masa-masa “pelarian” itu memang Kirana memutus komunikasi dengan banyak orang. Ia tahu, Bu Ratna menanyakan keberadaannya dari chat Rayya yang tidak Kirana balas. Bahkan, saking terpuruknya dan tidak tahu harus membuka simpul masalah yang rumit ini dari mana, Kirana berani tidak membalas surel dan mengangkat telepon dari Bu Ratna.

“Saya… ada masalah keluarga, Bu. Waktu itu saya pikir enggak akan lama untuk bisa kembali ke kampus, tapi ternyata nggak semudah itu.”

Bu Ratna meletakkan pulpen. “Judul kamu dulu tentang uji toksisitas subkronik, kan?” To the point, tidak berbasa-basi.

Kirana mengangguk. “Ekstrak etanol daun kembang bulan. Saya masih simpan semua data awal, walau sangat tidak lengkap.”

“Masalahnya bukan cuma datamu. Pembimbing satu kamu sekarang sedang menjalani proses hukum. Dan kamu tidak sempat dapat revisi dari beliau.”

“Saya akan usaha minta usulan dosen pembimbing pengganti, Bu.”

Bu Ratna menyandarkan punggung ke kursi. “Saya akan bicarakan ini dengan bagian akademik. Dan kamu tahu sendiri, proses administrasi di kampus kita tidak mudah. Kamu juga pasti tahu, penelitian seperti ini butuh waktu dan dana. Apalagi dengan metode toksisitas subkronik—setidaknya 28 hari observasi, belum lagi perlakuan dan analisis darah.”

“Saya tahu banyak yang harus dilakukan, Bu. Saya siap mulai dari awal kalau perlu.”

“Penelitianmu ini butuh dana besar, Kirana.”Bu Ratna menghela napas. “Saya sempat berpikir, kalau masalah pendanaan ini yang buat kamu menunda penelitian.”

Kirana diam. Ia memilih mengangguk walau sebenarnya penyebab ia “menghilang” lebih kompleks dari itu.

“Saya sudah mulai cari alternatif pendanaan, Bu.”

Bu Ratna menatap Kirana lama. “Kamu yakin, Kirana?”

“Sangat yakin, Bu.”

Bu Ratna meletakkan pulpennya. Meminggirkan kertas-kertas lain yang harusnya ia periksa. Jujur saja ia sempat kecewa pada Kirana yang mematahkan ekspektasinya. Namun, entah kenapa dia yakin Kirana punya alasan sangat kuat untuk sempat nonaktif dari kampus. Bukan ranahnya juga untuk mencari tahu. Sebagai dosen pembimbing, tugasnya menuntun mahasiswa, memberikan masukan berarti untuk menyelesaikan studi.

“Baik, saya harap kamu tidak datang dengan tangan kosong hari ini setelah masa hiatus yang cukup lama,” kata Bu Ratna.

Mata Kirana berbinar, segera ia keluarkan laptop dan beberapa berkas dari dalam ransel biru pudarnya. Mulai menjelaskan metode penelitian yang sudah ia rancang, literatur-literatur pendukung, serta timeline-nya dengan cukup terperinci. Bu Ratna mengangguk cukup puas, walau tentu masih ada bagian yang harus direvisi, Kirana tidak kehilangan kecemerlangannya.

Mereka hanya bisa berdiskusi singkat karena hari sudah mulai gelap. Ah … tapi di Fakultas Farmasi aktivitas mahasiswa dan dosennya sudah biasa terjadi sampai menjelang magrib begini.

“Kali ini pastikan kamu selesaikan semua sampai akhir Kirana,” kata Bu Ratna saat Kirana hendak pamit.

“Kalau kamu gagal, orang terdekatmu pasti kecewa, tapi percayalah yang paling dikecewakan adalah dirimu sendiri.”

Tenggorokan Kirana serasa tercekat. Matanya memanas, tapi sekuat tenaga ia tahan agar tidak menangis di sini. Kirana menyalami tangan Bu Ratna, mencium punggung tangannya takzim penuh hormat.

Kirana keluar dari ruangan dosen. Angin menyusup ke balik jaket tipisnya. Ia sedikit kedinginan, tapi entah mengapa, hatinya menghangat, langkahnya terasa lebih ringan. Ia bersyukur sekali, Bu Ratna masih memberikan kesempatan padanya. Tadinya ia pikir Bu Ratna akan memarahinya habis-habisan, bayangan ditolak sebagai mahasiswa “tidak beretika” yang berani mengabaikan telepon dosen pun sudah berapa kali Kirana imajinasikan dalam benaknya.

“Alhamdulillah, alhamdulillah Ya Rabb.”

Belum ada jawaban pasti, belum ada jaminan semua akan mudah. Tapi setidaknya ia sudah mengambil langkah pertama.

Azan Magrib berkumandang, Kirana melanjutkan langkahnya ke masjid kampus. Tempat lain penuh kenangan yang sudah lama tak ia kunjungi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
LUCID DREAM
556      390     0     
Short Story
aku bertemu dengan orang yang misterius selalu hadir di mimpi walapun aku tidak kenal dengannya. aku berharap aku bisa kenal dia dan dia akan menjadi prioritas utama bagi hidupku.
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5722      1912     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
PELANGI SETELAH HUJAN
486      350     2     
Short Story
Cinta adalah Perbuatan
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
623      439     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
The Journey is Love
768      512     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Kuburan Au
809      538     3     
Short Story
Au, perempuan perpaduan unik dan aneh menurut Panji. Panji suka.
Just Another Hunch
491      339     3     
Romance
When a man had a car accident, it\'s not only his life shattered, but also the life of the ones surrounding him.
ATHALEA
1403      629     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Game Z
6296      1781     8     
Science Fiction
Ia datang ke ibukota untuk menuntut ilmu. Tapi, anehnya, ia dikejar dengan sekolompok zombie. Bersama dengan temannya. Arya dan Denayla. Dan teman barunya, yang bertemu di stasiun.
Premium
Beauty Girl VS Smart Girl
11547      2918     30     
Inspirational
Terjadi perdebatan secara terus menerus membuat dua siswi populer di SMA Cakrawala harus bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling terbaik di antara mereka berdua Freya yang populer karena kecantikannya dan Aqila yang populer karena prestasinya Gue tantang Lo untuk ngalahin nilai gue Okeh Siapa takut Tapi gue juga harus tantang lo untuk ikut ajang kecantikan seperti gue Okeh No problem F...