Langkah Anka pelan di antara koridor kantor redaksi. Suara sepatu beradu dengan lantai menjadi satu-satunya irama di pagi yang belum sibuk. Jaket hitamnya belum dia lepas—seolah dirinya tak ingin terlihat datang sebagai editor pengganti.
Dia berhenti di depan ruangan berlabel Kepala Redaksi. Kemudian mengetuknya dua kali.
"Permisi, Pak Aksa."
Anka membuka sedikit pintunya setelah dipersilakan masuk.
"Ya, Anka? Masuk, masuk. Ada keperluan apa?"
Anka duduk tanpa basa-basi. Dia mengeluarkan ponselnya, membuka catatan berisi kode dokumen yang selama ini dia urus sebagai editor pengganti.
"Pak... Saya mau tanya soal editor sebelum saya. Yang biasa menangani genre romansa."
Pak Aksa langsung memusatkan perhatiannya pada kalimat itu. Ada senyum tipis menyertai.
"Kenapa? Tiba-tiba jadi pengen nyari tahu siapa editor sebelumnya.”
Anka hanya memasang wajah datar. Sedikit pun tak ada senyum. Dia menarik napas pelan, lalu mengepalkan tangannya di sisi jahitan celana.
"Kamu bukan orang pertama yang penasaran."
"Maksudnya?
"Yang kamu pegang itu... dulunya ditangani sama salah satu editor terbaik yang pernah kita punya. Tapi dia menghilang, Anka. Serius. Tanpa kabar, tanpa pamit. E-mailnya nggak aktif, kontaknya kosong. Kami coba cari, tapi seolah dia sengaja menghapus jejak."
"Apa dia pernah mengajukan surat pengunduran diri?"
"Belum pernah. Dia hanya sempat mengatakan ingin mengambil cuti setelah menerima naskah itu."
Anka menunduk. Ada rasa penasaran lainnya. Kenapa setelah menerima naskah?
"Boleh tau namanya?"
"Itu dia masalahnya. Bahkan nama yang dia pakai bukan nama asli. Kita cuma tau inisialnya D. Sisanya? Nggak pernah ada yang tahu." Pak Aksa memelankan suara. Seolah kalimat selanjutnya tak boleh diketahui orang lain. "Dia selama ini hanya menangani naskah sebagai pekerja freelance. Dan dia nggak pernah bekerja dari kantor ini. Hanya menerima dan mengirim hasil revisi."
***
Anka masuk ke ruangan arsip dengan langkah berat. Di tangannya, naskah yang sudah dia coret penuh catatan. Fokusnya masih tentang satu hal: kenapa editor genre romantis sebelumnya bisa menghilang begitu saja?
Sebelum sempat membuka pintu ruang arsip sepenuhnya, suara tawa hina menyambutnya. Tawa yang tidak mengundang tawa siapa pun. Sosok itu, perasaan Anka bisa dibuat semakin tak karuan hanya dengan melihat sekilas wajahnya saja.
"Wah, editor romansa kita, ada apa di sini?" Ezio—editor genre komedi menyunggingkan senyum liciknya. "Bentar lagi ada yang putus nih sama naskah romantis." Tawanya kembali.
"Urus naskah-naskah lo sendiri."
Ezio berdecak kesal. "Naskah gue dibawa santai. Dinikmati," Lalu mengangkat kopi panasnya. "Kayak tiap tegukan kopi ini."
Anka melirik ke pintu arsip.
"Gue cuma mau cari data editor sebelumnya."
"Oh, yang 'itu'? Si hantu redaksi? Yang nggak pernah muncul di kantor, tapi hasil revisinya selalu selesai tepat waktu." Ezio menyandarkan tubuhnya ke meja, tersenyum angkuh. "Lo pikir dia ninggalin jejak rahasia di loker? Atau lo berharap dia ninggalin surat misterius kayak film detektif?"
"Gue serius."
"Ya, itu masalah lo. Lo terlalu sering serius. Sampai yang lucu pun bisa kelihatan tragis."
Anka menarik napas. Tidak merespons lagi. Dia melangkah ke pintu arsip. Tapi suara Ezio masih mengekor dari belakang:
"Kalau nemu petunjuknya, bilang ya! Gue pengen tau siapa korban naskah itu sebelum lo!"
Ezio berbicara sedikit tinggi diiringi tawa.
***
Anka menatap layar laptopnya. Naskah Revisi Emosi sudah lebih dari setengahnya direvisi, tapi rasanya sudah membuat pikirannya sesak. Kata-kata Denting terlalu jujur. Terlalu terbuka. Tidak seperti biasanya. Hari ini dia kirimkan satu bab.
Anka menyandarkan punggung. Napasnya berat. Tangannya gatal ingin membalas, tapi dia tahu batas.
Anka meminta Denting dengan tegas fokus saja ke naskah. Tapi Denting seolah semakin menantang.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Pernah jatuh hati? Aku sempat. Dulu. Mungkin, masih sampai sekarang. Bagaimana denganmu?
Belum sempat Anka membalas, Denting mengirimnya pesan lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Pasti sempat.
Lalu ada pesan lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Bagaimana rasanya dicintai oleh seseorang yang pandai menyangkal?
Lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Padahal perasaan dan perhatiannya nyata.
Anka akan membalas, tapi:
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kamu masih di sana, kan? kata "dicintai" itu dipisah atau tidak? Oh, tidak.
Bertanya sendiri, jawab sendiri.
Anka sudah ditahap kesal tingkat tinggi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Kurang dari sepuluh hari lagi. Fokus.
Anka mengirim pesan bertubi-tubi, seolah tak mau kalah membalas runtutan pesan Denting.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Tolong bahas hanya mengenai naskah.
Gue nggak mau bahas perihal jatuh hati, patah, atau hal personal lain, kecuali tentang naskah. Sampai sini paham, DENTING?
Anka sengaja memberi huruf besar pada nama Denting. Anggap saja gertakan. Hahaha.
Sudah setengah jam, tidak ada balasan. Apa kini Anka tengah ditertawakan? Atau Denting ketakutan? Atau mungkin... Denting merasa kesal?
Sampai akhirnya Denting membalas.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Bukankah naskah ini tentang perasaan? Aku hanya menyampaikan tentang dia, sang peran utama perempuan. Jika mengusikmu, mungkinkah dirimu merasa teringat sesuatu? Sesuatu yang jauh di belakang? Kenangan, seseorang, dan rasa yang belum epilog.
Anka memejamkan mata. Matanya panas. Sialan. Denting benar-benar tidak memberinya ruang bernapas.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Aku pandai berkata-kata untuk mencipta rasa. Apa kamu mau bicara sesuatu? Silakan.
Anka menutup laptopnya. Namun, pikirannya tidak bisa ditutup semudah itu.
Anka baru saja meneguk kopi yang sudah lama dingin ketika notifikasi pesan dari Denting masuk lagi. Singkat. Tapi langsung bikin jantungnya terguncang.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Jika kamu adalah dia. Apakah kamu mau memulainya lagi?
Anka mengetikan satu kalimat, menegaskan bahwa ini adalah peraturan akhir. Jika tidak, dia putus hubungan dengan penulis misterius itu.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Ini peringatan akhir! Kalo lo masih mau main-main sama kata-kata lo, seolah-olah tau gue, gue nggak akan mau selesaiin naskah ini. Terserah lo mau narik naskah. Silakan.
***
Anka pikir jam istirahatnya itu bisa membuat pikirannya lebih lega. Tanpa bayang-bayang apa pun balasan dari Denting. Dia baru saja menjatuhkan diri di kursi kerja, ada satu balasan sejak beberapa belas menit lalu. Dari dia. Siapa lagi. Denting.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Main-main itu seperti sebuah penghiburan hati, kan?
Ada pesan lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Tapi bagiku, mengingatkanmu adalah sebuah misi.
Kalimat itu terbaca di layar. Singkat, tapi membangun rasa penasaran yang mendadak mengusik dirinya. Sebuah misi. Misi apa? Misi untuk meruntuhkan kekakuan dirinya yang hanya memasang wajah datar daripada senyum atau tawa? Dia ingin membalas, jeda merenggutnya. Kalimat yang terbiasa tanpa pikir panjang, mendadak beku.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Lo bahkan nggak kenal siapa gue. Mengingatkan gue? Untuk sebuah alasan apa pun, lo nggak seintens itu bisa berkata ingin mengingatkan.
Dirinya harus profesional. Bagaimana kalau penulis sialan ini diam-diam menghubungi kepala redaksi? Menyimpan isi percakapannya selama ini. Lalu mengadu bahwa dirinya tidak sopan?
Tidak peduli!
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Siapa editor lo sebelum gue?
Anka menembaknya langsung ke inti. Dia sudah malas basa basi. Jika editor itu kembali di saat-saat akhir, mungkin saja bisa mengurangi beban pikirannya selama merevisi naskah Revisi Emosi.
Tidak ada balasan cepat. Bahkan sampai Anka merapikan meja kantornya. Sampai di depan pintu utama rumah. Sampai di depan pintu kamar.
Semua yang dia lakukan. Diam-diam mengintip notifikasi. Bukan! Bukan dari Denting yang dinantinya.
Dia menyuap nasi yang dibelinya di kedai seberang jalan utama. Suapan ketiga, notifikasi dengan suara ciri khas masuk.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Retoris.
"Pertanyaan yang tidak perlu jawaban."
Anka menyuap nasinya lagi. Sengaja tidak langsung membalas.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kamu mengenalnya. Tapi kamu bertanya. Hahaha.
Suapannya terhenti. Tersedak setelah membaca pesan itu. Denting tertawa? Menertawakan Anka? Sial. Apanya yang lucu.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Itu seperti... kamu sempat jatuh hati pada seseorang, tapi kamu pura-pura tidak mengenalnya.
Kesal. Anka membalasnya.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Gue hanya bertanya siapa editor lo! Jatuh hati pada seseorang? Berhenti seolah lo pernah mengenal gue!
Lalu menggenggam kuat ponselnya. Meraup nasinya cepat-cepat. Anka lapar. Semakin kesal, rasa laparnya semakin kuat.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Hahahaha
Lagi, Denting tertawa.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Apa kekesalanmu pada naskahku, mencipta ketidaksadaran, bahwa beberapa isi pesanku akhir-akhir ini ada yang berbeda?
Belum usai, pesan lainnya masuk.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Mulai pesan ini, aku akan memanggilmu Kak Anka. Tak perlu risih. Anggap saja aku pernah mengenalmu.
"Kak Anka?" Anka meneguk air minum di botolnya lebih dulu. Dia menjeda, mencerna, dan berusaha memahami. Tapi pikirannya tetap tidak terima. Selama perjalanannya sebagai editor, belum pernah dia temui penulis pembangkang seperti ini. Sulit diberi aturan. Seenaknya saja. Apa-apaan itu Kak Anka? Anka risih dengan panggilan itu. Jelas.
Malam harinya, Anka berusaha tidur nyaman. Di tengah tidurnya dia terbangun. Ada suara-suara yang terdengar. Samar-samar. Tanpa siluet wajah yang jelas.
"Kak Anka? Kak Anka? Kak Anka?" Seperti suara seseorang sempat memanggilnya seperti itu.
Efek Denting kah ini?
***