Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Naskah kita. Naskah kita. Naskah kita.
Dari kemaren lo sebut itu terus. Jangan ngebuat gue mikir aneh.
Anka kelimpungan setelah mengirim e-mail itu. Dia pergi minum kopi agar matanya makin terbuka lebar. Gasha mengekor di belakang. Sudah baikan, katanya. Hahaha.
"Kopi dingin."
Gasha menoleh heran. Dijentikkan jari-jarinya di depan wajah Anka "Nggak salah? Apa kepala lo lagi panas? Hahaha."
"Nggak. Nggak salah."
"Oh." Gasha menahan semburan tawanya. Jam istirahat, sembari menanti kopi dan makan siang, dia menggulir sosial media. "Sekarang bagian marketing lumayan pada kreatif ya."
Anka melirik sekian detik, lalu kembali melempar pandangan pada arah seberang—kantor redaksi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Maaf, jika salah. Kalau begitu, naskah aku dan kamu.
Apalagi ini?
Tawa yang ditahan Gasha lepas. Dari sudut matanya, Gasha se-nga-ja ikut membaca isi e-mail itu.
"Diisengin lagi?"
"Nggak. Dia aja yang kurang kegiatan." Anka berdecak kesal.
"Kok tau kurang kegiatan?" Iseng, Gasha seolah memancing perasaan Anka. Sejak pagi, laki-laki itu datang ke kantor sudah memasang wajah masam.
"Nggak ada orang yang merespons cepat sebuah pesan, kecuali kerjaannya cuma depan e-mail."
Ya, kan? Denting itu selalu menjawab cepat. Tanpa membahas naskah, ada saja isi pesannya.
"Ada. Ketika sibuk sekali pun." Kopi milik Gasha sudah siap. Diteguknya sekali. "Karena isi pesan atau orang yang mengirim pesan adalah seseorang yang penting."
Anka hanya mendengarkan. Diteguknya kopi dingin yang berupaya mendinginkan kepalanya. Cuaca hari ini cukup baik. Matahari tepat di atas kepala. Serta cahaya yang mampu menusuk pandangan laki-laki itu dari sosok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
Kedai kopi seberang kantor redaksi digemari beberapa pekerja kantoran di lingkungan itu. Termasuk Anka dan Gasha yang sesekali menghampirinya di jam istirahat.
"Ternyata memang di sini," ucap seseorang memakai dress merah menyala, bibir yang juga dipoles lipstick merah terang, serta tas tangan merah yang juga menyilaukan.
Gasha menyemburkan kopinya ke arah baju Anka. Dia meringis tak enak mendapati wajah pucat Anka. Baru setengah hari, tapi kemeja laki-laki itu sudah tersiram kopi. "Lo!" Tapi Gasha lebih tertuju pada sosok yang baru datang itu.
"Ngapain lo di sini?"
Bukan Anka yang bertanya. Melainkan Gasha. Gadis itu mengintip sejenak isi kopi Anka. Baru habis setengah.
"Masih ada sepuluh menit. Lo harus bersihin kemeja dulu, Anka!" Ditariknya lengan Anka tanpa permisi. Gasha sengaja mengalihkan Anka dari sosok yang kini menatap tajam.
"Gue mau ngomong sama Anka!" Tak mau kalah, gadis merah menyala itu menahan lengan Anka yang satunya. "Lo balik sendiri! Gue nggak ada kepentingan sama lo!"
Dengan lirikan matanya, Anka meminta untuk dilepaskan. Biarkan saja dia di sini. Tak apa. Lagipula dirinya sudah lama tak bertemu gadis serba merah itu.
Di meja itu tinggal mereka berdua. Tanpa perlu menawarkan minuman untuk gadis itu, Anka langsung menghadang satu pertanyaan. "Kepentingan apa yang mengharuskan gue masih duduk di sini, Nona merah?"
Gadis itu tersenyum cantik. Berharap senyumnya ini mengundang balasan senyum. Dia menjedanya. Tak kunjung berbalas. Ditumpunya dagu dengan satu tangan, menilai wajah Anka yang tak berubah sedikit pun. Mata bulat yang menyiratkan kepercayaan diri itu seperti sudah lama redup. Bibir yang secara otomatis menampilkan senyum itu, seperti sudah terlatih untuk tidak memberi senyum pada sembarang orang.
"Pasti naskah kali ini berat ya?"
Tanpa aba, gadis itu memberi ekspresi seolah tengah berduka cita.
"Kalo cuma mau nanya itu, nggak perlu." Anka hampir melangkah, tapi terhenti karena satu kalimat yang didengarnya.
"Hentikan dari sekarang, atau berarti kamu nggak sayang sama diri kamu sendiri, Anka!"
Mendapatkan atensi penuh, gadis merah menyala itu merapikan helai rambut Anka.
"Bukan tugas kamu untuk menyelesaikannya."
***
Pintu utama ditutup kembali setelah Anka menerima paket berisi setangkai bunga plastik. Baru saja ingin membaca untuk siapa bunga itu, tepat di hadapannya ada Ailova yang menatap tajam. Langsung merebut bunga plastik itu. Dan berujar kesal, "Buang! Kalo lo mau tetap hidup."
Anka tersentak pada kalimat itu. Sejak pulang dari perpustakaan, lalu mengatakan tidak menemukan kartu perpustakaan milik Ailova—yang nyatanya belum sempat Anka cari, kakaknya itu selalu berkata ketus padanya. Seolah kesalahan Anka yang tidak bisa menemukan kartu perpustakaan adalah sebuah kesalahan besar.
"Jangan pake mobil gue lagi, kalo lo nggak mau tanggungjawab," jeda sejenak, Ailova menarik napas dalam. "Gue udah bilang, ngapain lo ke sana lagi? Bikin mobil gue kotor aja!"
Bahkan Ailova memutar kedua bola matanya!
Ada rasa bingung mendengar kalimat itu. Anka membuka mulutnya, seperti akan berkata sesuatu, tapi tertahan.
"Kapan naskah itu selesai? Lo bisa cari kerjaan yang lebih baik, yang bisa ningkatin kualitas hidup lo! Supaya lo nggak perlu di sini terus!"
Anka sadar tatapan itu. Bukan kepadanya. Tapi pada bunga plastik yang masih digenggam kakaknya. Ailova terkena sorotan cahaya lampu malam tepat di bawah kakinya berpijak. Ruang tengah yang dulu jadi saksi betapa bahagianya kedua adik kakak itu, bermain, belajar, lari bersama, saling menyembunyikan mainan. Nyatanya tak mampu menyadari Ailova—tentang yang diajaknya bicara adalah adik satu-satunya. Yang ke mana pun pergi, pasti akan bertemu lagi dengannya.
Anka menundukkan kepalanya. Tatapan nanar yang dialihkannya dari sang kakak. Suara hati yang tak sanggup diutarakan. Apa secara tidak langsung Ailova tengah mengusirnya?
Ada apa dengan kakaknya itu?
"Apa peranku menjadi seorang editor hina, Kak?"
Ailova menghempaskan bunga plastik di tangannya. Setelah sebelumnya meremuk benda itu. "Pikir aja sendiri!"
"Membaca itu hobiku dari kecil, Kak."
"Hobi lo bukan cuma itu." Ada napas yang terasa berat, Ailova bahkan menendang pelan bunga plastik itu.
"Lalu apa, Kak? Hanya itu yang bisa aku ingat." Memorinya hanya tersisa beberapa. Sejak hari itu, dia selalu berupaya keras menghapus satu per satu yang mengusiknya. Mungkin, juga pada seseorang atau tempat lainnya.
"Jadiin itu naskah terakhir yang lo tangani." Ucapan Ailova seperti tak ingin dibantah.
"Kalo Kakak mau aku mengundurkan diri dari kantor redaksi, nggak semudah itu. Aku harus punya pengganti." Anka jadi teringat pada editor yang sampai saat ini masih tak ada kabar.
"Lo punya bakat lain, Anka!" Ailova mengembuskan napas kasar. Lalu membuang pandangannya, selain pada adiknya. Dia benci berkata ini. "Jadi editor itu cuma pelarian lo!"
Anka tidak mengerti. Pelarian apa maksudnya?
"Sudahi, Anka. Dengar kata gue!"
Anka memikirkan hal itu sampai naskah Revisi Emosi yang menjelang bab-bab akhir rasanya semakin hambar. Alur yang manis, jika dibaca oleh peminat genre itu, menjadi terasa tragis karna tak sejalan dengan yang Anka rasakan saat berusia remaja.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Jika sebuah kesempatan pertama adalah kamu, aku tidak apa-apa melepasnya. Tapi jika sebuah kesempatan kedua adalah aku, masihkah kamu mau melepasnya?
Anka tidak menanti e-mail dari Denting. Jika harus, pasti hanya berisi seputar naskah Revisi Emosi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Beri jeda saja. Aku tidak apa-apa dibiarkan seorang diri.
Atau memberi Denting ruang tersendiri. Mengintip kehidupannya yang tidak menarik ini.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Jika sempat, akan kuberikan dekapanku untukmu. Redam saja dalam dekapanku. Menangis saja, jika ingin.
Atau menarik Denting agar berpura peduli padanya.
Mata Anka sedikit memerah, menahan ledakan emosi setelah menangkap kalimat akhir dari isi pesan itu.
Nyatanya, Anka tidak membuang setangkai bunga plastik itu. Meski dalam kondisi remuk, seremuk perasaannya setelah mendengar kalimat dari sang kakak. Tidak ada catatan untuk siapa bunga itu. Kurir paket hanya berkata, alamatnya di sini—di rumah Anka dan Ailova—atau lebih tepatnya rumah orangtua yang takkan pernah lagi mengakui dirinya dan Ailova sebagai anak. Anka ingin menyimpan bunga itu. Dari siapa pun itu. Dan kepada siapa pun sebenarnya bunga itu dituju.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Halo, Kak editor? Om editor? Pak editor?
Anka sudah merasa jengah pada pesan-pesan Denting yang memburu. Sekali mengirim, beberapa menit kemudian ada lagi. Karena itu membiarkannya menjadi peramai notifikasi dan satu-satunya manusia—kalau memang Denting ini sejenis manusia yang seolah tengah mengintip kehidupan Anka.
***
Malam yang sunyi, ruangan yang dibiarkan minim cahaya, pikiran yang terkepung tentang kalimat-kalimat dari Ailova. Derasnya hujan di luar sana. Rasa dingin di tubuhnya tanpa rasa lagi. Seolah ada yang memberinya selimut paling hangat di tengah tidurnya yang gelisah.
Seseorang berada di sana. Duduk di kursi dekat nakas. Mengusap pelan pelipis Anka yang mengerut kencang. Sedikit hangat. Tapi telapak tangan laki-laki itu terasa dingin. Sedingin sikapnya akhir-akhir ini.
Ingin meninggalkan Anka seorang diri, tapi telapak tangan laki-laki itu tiba-tiba menahannya—menggenggamnya seolah genggaman yang sempat terikat. Dan seolah tau ada seseorang yang sejak tadi menyentuhnya.
Dalam diamnya genggaman itu, seseorang memerhatikan wajah Anka lekat. Tak berani menyentuh lebih lama, tapi tak sanggup juga menjauh.
***
Pagi yang dingin, Anka membuka matanya perlahan. Sisa-sisa hujan semalam masih menetap. Rintik gerimis terdengar di luar sana menabrak jendela kamar.
Sorot matanya yang dibiarkan terbuka lebar itu menatap tangannya. Seperti ada yang aneh. Dia bahkan tak merasa bermimpi malam tadi. Tapi ada perasaan seperti ada yang menggenggam atau lebih kepada dia yang menggenggam tangan seseorang saat malam? Erat. Lembut. Seolah menyampaikan: aku di sini. Tidurlah.
Dia membalikkan telapak tangannya. Berulangkali. Menakar apakah ada jejak lain di sana. Ada hangat dari yang tak bisa dijelaskan.
Kemudian dia terduduk di tepi kasur. Menatap kosong ke arah nakas. Di situ, sebotol air minum hanya berkurang seteguk. Sementara kursi seperti bergeser ke arah kasurnya. Padahal yang dia ingat, kursi itu masih ke arah nakas.
"Aneh," ucapnya nyaris berbisik. "Kayak ada yang nemenin gue semalam." Ailova tidak ada di rumah. Itu yang dia ketahui. Kakaknya mengirim pesan—bermalam di rumah temannya yang tak jauh dari kampus. Lagipula tak mungkin Ailova yang tengah marah, sepeduli itu pada dingin hawa sekitar Anka.
Anka menarik napas panjang, lalu bangkit pelan dari kasur. Kakinya menyentuh lantai dingin, tubuhnya masih terasa berat, seolah baru saja melewati mimpi yang melelahkan. Dia berjalan pelan ke arah cermin di sudut kamar, menatap dirinya. Pucat.
"Apa gue demam semalam?" gumamnya menimbang apa ada yang salah dengan tubuhnya semalam.
Dan saat itulah matanya menangkap sesuatu di bawah botol minuman—plester pereda demam. Belum pernah dia pakai sebelumnya. Satunya masih tertempel rapi di dahi. Tapi bukan tangannya yang menempelkan itu. Anka tahu pasti, dirinya tidak begitu menyukai sensasi dingin dari plester itu. Tak mungkin dia memasangnya sendiri dalam keadaan menggigil atau semalam sedikit... demam?
Dia melepas plester di dahinya, menatap benda itu seolah bisa berbicara. Perlahan rasa aneh itu semakin mengusik. Seperti ada potongan dari dirinya meraba sesuatu, tapi masih menyangkal.
Lalu, matanya menangkap selimut berwarna biru muda—motif kapas langit di beberapa bagian. Dan... aroma samar. Bukan miliknya. Bukan Ailova. Atau tanpa dia tau, Ailova membeli pewangi cucian yang baru.
Jantungnya seketika berdebar. Seseorang berada di sini semalam.
Tapi siapa?
Tangannya meraba kursi yang mengarah ke kasurnya. Sejak kapan dia sengaja memutar arah kursi ke kasur?
"Apa benar ada yang duduk di sini?" Anka melangkah ke jendela, menyibak tirai, mencari kemungkinan jejak-jejak yang tertinggal. Yang dapat memberinya petunjuk, siapa sosok misterius itu.
Hanya rerumputan yang dilihatnya masih menyimpan sisa hujan. Langit berkabut. Jalanan yang tersorot langsung dari jendela kamarnya pun ikut hening dan kosong.
Ponselnya bergetar di nakas. Pesan masuk dari Ailova yang dikirim setelah dia tertidur.
Kak Ailova : Gue nginep 2 hari di rmh tmn. Lo jaga diri. Kalo gak bisa, gue kirim org.
Jantungnya terhenti sejenak. Dia membaca berulangkali.
Gue kirim orang.
Jika iya, Ailova benar-benar mengirim orang, siapa orang itu?
Yavi? Anka saja tidak yakin laki-laki itu bisa tidur semalaman. Mengingat skripsi yang tengah jadi fokusnya.
Gasha? Hahaha. Dia akan lebih senang menertawakan dan menjahili Anka daripada merawatnya ketika sakit.
Ibunya? Ayahnya? Ayolah, wajah kedua orangtuanya itu saja sudah mulai pudar dalam ingatan.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Rasa dinginnya masih terasa hingga detik ini. Tapi aku merasa tenang, setelah tau bahwa dia akan baik-baik saja.
Dan satu pesan dari Denting memecah pikirannya ke dugaan lain. Ini lebih tidak memungkinkan. Anka tidak mengenal siapa itu Denting. Apalagi Ailova. Tentang mengirim orang, bisa saja kakaknya hanya asal mengirim pesan.
Tak lama ada pesan masuk lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Hambar tidak, isi naskah Revisi Emosi sejauh ini?
Tiba-tiba? Sejak kapan seorang Denting menyebut naskahnya secara terang-terangan dalam e-mail?
Anka penasaran dengan isi naskah yang terakhir dia tandai. Di situ tertulis,
Jika seseorang mendekapmu dalam hening, padahal kamu tengah terisak dalam tangis, menetaplah dengannya. Tapi jika seseorang membiarkanmu berurai air mata, berlalu tanpa bahasa, lupakan saja dia.
- Revisi Emosi. Hal. 258
Matanya kembali ke ponsel. Jari-jarinya ragu mengetik balasan.
Balasan untuk Ailova terlebih dulu, atau Denting?
Kepada Ailova,
Kakak nggak kasih kunci pintu rmh ini ke org lain kan?
Kepada Denting,
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Di mana lo semalam?
Anka ingin menghapusnya. Tapi pesan itu lebih dulu terbaca, dan dibalas. Tarikan napas kasar Anka memberi tanda bahwa ada yang salah dengan Denting, naskah, dan sesuatu yang sulit diingatnya.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Dalam naskah.
Omong kosong! Anka menutup laptopnya kasar. Emosi yang disalurkan Ailova sejak kemarin, memancarkan aura negatif pada dirinya. Jika boleh memaki, dia ingin sekali memaki-maki naskah itu.
Apa yang ada dalam naskah itu, norak! Memangnya kenapa kalau Anka sebenci itu dengan genre romantis?
Dekapan hangat, genggaman nyaman, senyum memikat, tawa yang candu, menetaplah jika ingin.
Kata-kata memuakkan yang selalu ada dalam genre itu.
Anka mengembuskan napas kasar. Dia ingin cepat usai dengan naskah sialan itu. Tapi di mana editor yang tidak bertanggungjawab itu?
Ke mana perginya?
Jalan satu-satunya, Anka harus menemukan editor pecundang yang tidak ingin menangani naskah Revisi Emosi.
***
SECRET IN KYOTO
544
395
6
Short Story
Musim semi adalah musim yang berbeda dari empat musim lainnya karena selalu ada kesempatan baru bagiku. Kesempatan untuk tumbuh dan mekar kembali bersama dengan kenangan di masa lalu yang kuharap akan diulang kembali.
Behind The Scene
1319
587
6
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
Salju di Kampung Bulan
2080
952
2
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini
Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu.
Seperti Salju.
Putih dan suci.
Cih, aku mual.
Mengingatnya membuatku tertawa.
Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju.
Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa.
***
Belahan Jiwa
506
341
4
Short Story
Sebelum kamu bertanya tentang cinta padaku, tanyakan pada hatimu \"Sejauh mana aku memahami cinta?\"
Jangan Datang Untuk Menyimpan Kenangan
522
373
0
Short Story
Kesedihan ini adalah cerita lama yang terus aku ceritakan. Adakalanya datang sekilat cahaya terang, menyuruhku berhenti bermimpi dan mencoba bertahan. Katakan pada dunia, hadapi hari dengan berani tanpa pernah melirik kembali masa kelam.
The Arcana : Ace of Wands
161
140
1
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
Di Bawah Langit Bumi
1337
470
76
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan.
Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah.
Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya.
Tapi sekolah barunya...
Hamufield
29822
3302
13
Fantasy
Kim Junsu: seorang pecundang, tidak memiliki teman, dan membenci hidupnya di dunia 'nyata', diam-diam memiliki kehidupan di dalam mimpinya setiap malam; di mana Junsu berubah menjadi seorang yang populer dan memiliki kehidupan yang sempurna.
Shim Changmin adalah satu-satunya yang membuat kehidupan Junsu di dunia nyata berangsur membaik, tetapi Changmin juga yang membuat kehidupannya di dunia ...
SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
6826
2101
13
Romance
Hidup Yoga berubah total setelah membeli sepatu butut dari seorang pengemis. Sepatu yang tak bisa dibuang dan selalu membawa sial. Bersama Hendi, teman sekosnya, Yoga terjebak dalam kekacauan: jadi intel, menyusup ke jaringan narkoba, hingga menghadapi gembong kelas kakap.
Di tengah dunia gelap dan penuh tipu daya, sepatu misterius itu justru jadi kunci penyelamatan. Tapi apakah semua ini nyata,...
fall
4488
1344
3
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui.
dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?