Tahun ini usia Anka tepat menuju 22 tahun. Jika dia memilih lanjut kuliah, mungkin kini tengah menyiapkan skripsi. Nyatanya dia mengulur waktu kuliahnya setelah tiga tahun lulus. Semester dua, Anka memilih kelas online. Baginya, itu akan lebih mudah karena dia bekerja di kantor penerbitan.
Harus ada kegiatan! Kakak Ailova mengingatkannya untuk menyibukkan diri. Apa pun itu. Yang penting positif. Tetap positif. Masih positif.
Jalanan padat merayap menampakkan pandangan berbagai pengendara motor. Anka, di dalam mobil, menyaksikannya. Seorang bapak muda tengah membawa istri dan kedua anaknya di motor yang sama. Mungkin sekitar 25 tahun. Tidak jauh dari usia Anka. Anak perempuan yang diletakkan di depan sang ayah, sementara anak laki-laki berusia sekitar empat tahun duduk dengan diapit kedua orangtuanya.
Mungkin, sejenak Anka hanya memandang biasa. Namun pikirannya terlempar ke masa yang pernah ada—Anka kecil dan kak Ailova di antara kedua orangtuanya. Bepergian dengan satu kendaraan. Anka lebih memilih merapat dengan ayahnya. Kekagumannya pada sang ayah melebihi apa pun.
Hingga hari itu tiba.
Kak Ailova diam tak seperti biasanya. Kakak yang banyak bicara itu memilih mengurung diri di kamar. Bahkan menguncinya. Anka kecil bingung. Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, bertanya-tanya, kenapa kakaknya hanya diam. Kak Ailova saat itu duduk di kls 11 SMK. Anka pikir kakaknya tengah patah hati. Mengingat kakaknya itu sempat mengenalkan seseorang yang disebut cinta pertamanya.
Tak pernah ada jawaban.
Setelah itu, Anka hanya tau kedua orangtuanya yang selalu pergi keluar kota. Hanya pulang saat cuti panjang hari raya. Anka kecil, hanya besar bersama kakaknya. Kakak yang peduli, tiba-tiba dingin. Kakak yang banyak bicara, tiba-tiba berkata ketika penting saja. Kakak yang meramaikan rumah yang sudah sepi, tiba-tiba memilih kamar. Bukan lagi menanyai bagaimana sekolah Anka, menanyai Anka sudah makan atau belum, menanyai Anka tentang sesuatu yang tidak begitu penting.
Tepat, setelah hari kelulusan kls 12 Kak Ailova, suasana rumah yang terbiasa sepi menjadi mencekam. Kedua orangtua saling menatap tajam.
"Aku nggak punya waktu buat mengurus dua anak sialan ini!" Ibu berkata lantang, tanpa peduli pada ayah yang jelas-jelas tersinggung.
"Tidak ada yang diminta untuk memilih siapa." Ayah menatap Anka dan Kak Ailova sekian detik hanya untuk memastikan kedua anaknya mendengarkan. "Anka atau Ailova tidak akan pernah ikut siapa pun. Mereka tetap di sini."
Kalimat itu menjadi akhir.
Ailova menjatuhkan tubuhnya. Anka terkejut.
Kedua orangtuanya memilih berpisah. Tanpa mau mengurus, melihat, atau memberi nafkah untuk anak-anaknya... lagi.
Kak Ailova sempat berkata, jauh sebelum kedua orangtua pergi, "Pernyataan cinta itu nggak penting. Cukup berpura-pura seolah kamu peduli."
Dulu, Anka tidak paham makna dari kalimat itu. Mungkin Ailova tengah patah hati. Mungkin Ailova tengah terpuruk. Mungkin Ailova tengah marah pada seseorang. Sejak hari perpisahan itu, Ailova tidak pernah berkata bahwa dia akan menetap demi Anka. Atau menyayangi Anka, tanpa meninggalkan adik satu-satunya itu. Yang Anka tau, kakaknya hingga detik ini tidak pernah lagi terdengar menjalin hubungan spesial dengan siapa pun.
Hanya ekspresi dingin yang nampak. Kepada Anka, kepada siapa pun di luar sana.
Begitu pun Anka, yang tak lagi menampakkan raut bahagia. Ketika kakaknya membelikannya sebungkus nasi, tak menampakkan raut sedih ketika kakaknya harus masuk rumah sakit, tak menampakkan raut marah, saat kakaknya memilih dua jurusan sekaligus, atau kecewa saat kakaknya telah tau jauh sebelum hari perpisahan itu tiba, bahwa ada yang salah dengan keluarganya.
Semua emosi... mati. Mereka berpura-pura. Untuk hidup. Untuk menetap dan saling peduli dalam hening. Untuk memastikan, meski sedikit, mereka masih baik-baik saja.
Tidak akan ada lagi tawa lepas Anka yang diawali oleh gurauan klise kakaknya. Atau senyum tulus karena dibawakan jajan sepulang sekolah. Atau air mata saat kakaknya harus masuk IGD ... lagi. Atau rasa kecewa Anka, ditinggalkan main, karena tidur siang terlalu lama.
Di mana rasa itu?
Mungkin, telah dikubur tanpa pernah tau letaknya.
"Pulang!" Ailova yang masih memejamkan matanya, meminta Anka pulang dari rumah sakit. "Lo bau!"
Betul. Anka masih berseragam SMP, menetap hingga pukul delapan malam. Bau keringat ala anak sekolahan yang pulang jalan kaki. Sebab jarak tempuh yang tak sampai satu kilometer.
"Besok lo harus sekolah."
Tidak. Anka tidak mau sekolah. Bagaimana jika Kak Ailova nekat melompat dari lantai tiga?
Anka hanya memiliki kakaknya.
"Besok hari minggu."
Kelopak mata Ailova terbuka. Menatap tajam. Bibirnya berkedut.
"Lo pikir, gue lupa hari. Hari ini aja lo pake seragam putih biru."
"Anka libur, Kak."
"Pulang, atau nggak dikasih jajan seminggu!"
"Anka masih punya uang jajan, Kak." Anka yang masih duduk di kelas 7 SMP. Lucu, lugu, pemalu.
"Nggak akan gue kasih lagi."
"Nggak apa-apa."
Anka bersikeras menetap. Dia sadar diri. Kulitnya terasa lengket. Sebelum ke rumah sakit, dia habis latihan upacara untuk lomba sekolah.
***