Tidak ada foto profil. Tidak ada informasi tambahan lain. Hanya satu nama: Denting. Untuk pertama kalinya, Anka merasa aneh. Atau mungkin... kesal?
Dia seorang editor dengan jam terbang kelas menengah. Terbiasa menghadapi berbagai karakter penulis—dari yang sok akrab dan minta difollow, pemalu yang hanya memakai foto kartun, sampai yang dingin hanya membalas poin penting.
Lalu, Denting? Tidak ada dalam tiga kategori itu. Sudah hampir 24 jam, tak ada balasan e-mail. Anka benci mengulur waktu.
Memangnya Denting itu siapa? Bukan penulis terkenal yang dikejar dan dirayu banyak penerbit. Hanya penulis baru, pemula, yang memberanikan diri mengirim naskah pertamanya ke penerbit mayor. Diterima. Dan sialnya, harus Anka yang menangani!
"Sudah dapat balasan?"
Kini Anka berada di ruang editor senior. Editor yang katanya pernah terjebak di luar genre-nya, beberapa tahun lalu. Sayangnya, penulis yang bersangkutan menarik naskah di tengah jalan—karena tak mau mengikuti aturan penerbitan. Bayangkan, sudah dipinang dua penerbit, tapi sengaja berbeda judul.
"Nggak sepenting itu, kalo saya lagi dapet naskah lain."
Editor senior itu menghentikan jemarinya di atas keyboard.
"Naskah satu-satunya yang kamu terima minggu ini?"
"Ya, Pak."
Anka baru sadar. Kenapa tidak ada naskah dari genre thriller-misteri untuknya minggu ini?
"Sepertinya penulis misterius."
Sejenak Anka terkesima. Kata misterius sangat menggodanya. Mungkin, efek dari ketertarikannya pada naskah-naskah misteri thriller.
"Nggak yakin. Saya harus tau dulu, bagaimana dia membalas pesan saya."
Anka pamit setelah merasa harus kembali ke ruangannya.
Di mejanya, Gasha duduk bersilang dada, menatap Anka seperti akan menelan rahasia.
"Apa?" Anka tengah bosan. Sengaja meninggalkan naskah Revisi Emosi untuk menarik napas.
"Ada balasan dari Denting. Lo nggak mau baca?"
Eh! Gasha lancang sekali.
"Balik ke kursi lo!"
"Bales dulu! Gue kepo sama balesan dari lo."
Anka sedikit membungkuk, menyamai diri dengan komputer di mejanya. Dia membuka balasan e-mail:
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka
[editoranka@kapaslangitmedia.id]
Tak usah mengenalkan diri, jika aku saja tak sempat bertatap denganmu.
Anka langsung melirik Gasha, yang juga tengah meliriknya.
"Anka!" Gasha tertawa kencang, memenuhi ruangan itu. Anka bergidik kesal. Balasan macam apa itu!
"Minta kenalan sambil tatapan sama lo kayaknya." Lagi, tawa Gasha disertai pukulan pada bahu Anka.
"Sesuai prediksi gue, nama pena dan judul, ngewakilin dia."
Lalu, Anka harus membalas dengan apa?
"Sini, gue yang bales," Gasha berupaya menurunkan volume suaranya, mengambil alih komputer Anka.
"Eh," Anka menepis tangan Gasha dari keyboard. Sadar akan sikapnya, jemari itu dikepalnya kuat. "Biar gue yang bales."
Gasha tidak ingin kalah. Dia merebut lagi posisi itu. "Ayo video call, Denting!"
Anka menyingkirkan Gasha dari dekatnya. Berbahaya jika benar Denting membaca balasan itu. Editor dan penulis tak perlu saling bertemu lewat panggilan video.
Maka balasan Anka hanya:
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Gue udah tandai di bab 1, kalimat yang perlu diperbaiki. Lebih sederhana dari yang lo tulis.
Mungkin, Denting lagi luang. Ada balasan tanpa jeda:
Subjek : Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka
[editoranka@kapaslangitmedia.id]
Aku lebih menyukai kerumitan, jika harus menempuh denganmu adalah jalannya.
Tau tidak! Gasha masih di sana. Kali ini tidak tertawa. Terkesima.
"Lo kenal Denting?"
Anka tidak tau harus menjawab apa.
"Anka! Lo kenal Denting?"
Sekali lagi, Anka tidak tau.
Dia hanya ingin sendiri. Menyunting naskah Revisi Emosi seorang diri, tanpa gangguan tawa Gasha. Tanpa terpaku pada balasan dari Denting. Tanpa rasa pada naskah yang mesti menjiwai.
"ANKA!" Bukan Gasha yang memanggilnya, tapi editor senior.
Anka menerima sentuhan kode dari Gasha yang masih menantikan jawabannya.
Anka tidak tau siapa Denting.
Anka tidak tau kenapa Denting membalas seolah mereka pernah saling menatap.
Anka tidak tau kenapa Gasha menatapnya seolah kekasih yang tengah dikepung rasa cemburu.
Anka tidak tau kenapa tiba-tiba editor senior memanggilnya ke ruang percetakan hanya untuk mengatakan: fokus saja pada apa yang harus Anka selesaikan.
Segalanya terlalu tiba-tiba.
Kehadiran naskah Revisi Emosi, Gasha yang keingintahuannya tentang siapa Denting, editor senior yang seolah tau dirinya tengah gelisah.
***
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Lo gak bisa bls pake bhs normal?
Anka—setelahnya—menidurkan dirinya di atas karpet kamar.
Seusia Anka yang baru memasuki era 21-an, dia tengah senang mengeksplor diri.
Mungkin dunia Anka akhir-akhir ini hanya ruang editor, kamar, dan jalanan padat merayap.
Kemunculan naskah Denting, memaksanya masuk dalam dunia baru.
Dunia yang menjadi opsi akhir, jika tak ada lagi pilihan dalam genre yang dia tangani.
Anka sempat terlintas untuk resign dari peran utamanya sebagai editor, tapi semua itu lenyap ketika menyadari ada yang salah dengan sesuatu dalam naskah Revisi Emosi.
Nada tulisan yang terkesan terlalu ambigu.
Ingin puitis, tapi hambar.
Ingin biasa, tapi tak tau arah.
Seperti isi naskah milik Denting.
Anka tidak terlalu mengikuti bagaimana seseorang menulis secara romantis.
Apakah yang dipikirkan adalah sesuatu yang nyata?
Atau sekedar fiksi yang dipaksa?
Mau tau Revisi Emosi tentang apa?
Tentang sebuah pertemuan tanpa duga.
"Basi." Anka menutup file naskah itu.
Tentang sebuah memori masa lalu.
"Apa? Masa lalu? Ya buat apa diingat lagi?"
Tentang sebuah rasa.
Rasa?
Anka terpikat oleh kata itu.
Dalam genre misteri thriller pun, Anka butuh rasa untuk menyuntingnya. Meski bukan perasaan manis yang dibumbui jatuh hati dan patah.
"Gimana cara gue menyunting naskah ini tanpa rasa?"
Sial.
Kapan terakhir Anka merasakan jatuh hati pada perempuan?
Atau kapan Anka merasakan patah hati pada perempuan?
Anka tidak tau pasti.
"Kak Ailova aja mati rasa."
Ya, Ailova yang bernama seperti dipenuhi cinta itu, kini dalam fase melarikan diri. Fase yang sengaja mematikan perasaan agar hidup berjalan tanpa rasa takut.
"Gasha?"
Boleh Anka mengumpat?
Tahu kenapa Gasha ditempatkan pada genre fantasi?
Ya, betul. Karena Gasha itu—antara nyata dan imajinasinya—setipis tisu. Nyaris tak ada jarak.
"Editor senior?"
Editor yang satu itu nyaris tak pernah tercium statusnya. Tak ada yang tau, entah sudah memiliki pasangan atau belum.
Lalu, dengan siapa Anka harus bertanya?
"Nggak mungkin gue nanya ke teman SMK gue, kan? Teman cewek atau cowok?"
"Nggak. Gue harus menutup diri. Jangan sampai ada yang tau, kalo gue editor di penerbit ini."
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka
[editoranka@kapaslangitmedia.id]
Seperti suara yang telah lama kunanti, hanya kata-kata yang pandai kubaca.
"Hah?"
Anka mendelik sinis pada balasan itu. Denting diminta membaca ulang Bab yang ditandai. Daripada membaca, Denting seperti menyangkal untuk diperbaiki.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Gue cuma minta lo baca. Kata-kata yang gue tandai harus diubah.
Jeda sekian menit.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka
[editoranka@kapaslangitmedia.id]
Ya
"Belum ada setengah dari isi naskah, gue benar-benar nggak tahan." Anka mematikan musik instrumen yang menemaninya.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka
[editoranka@kapaslangitmedia.id]
Jatuh hati dan patah itu mirip.
"Apa lagi ini, ya Tuhan?" Mengumpat saja tidak cukup. Apa semua penulis romantis, membalas pesan dengan gaya sok puitisnya?
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka
[editoranka@kapaslangitmedia.id]
Hanya perlu rasa.
***