Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Pengakuan dan permintaan maaf yang gue tunggu sama sekali nggak ada, bahkan berhari-hari setelah kejadian. Gue sama Ibu juga udah nyoba bikin laporan, tapi katanya nggak bisa diproses karena kurang bukti. Sesuatu yang sebenarnya nggak mengejutkan. Jadi, di hari terakhir gue kerja, gue pamit baik-baik sama yang lain. Udah capek juga sama banyak drama di sini. Cantika yang baru masuk cuma bisa bengong karena bingung sama apa yang terjadi karena gue, Lala, dan Selly keluar bersamaan dan ada dua karyawan baru sekarang.

Iya, Lala juga memutuskan buat keluar. Dia bilang lebih baik jadi pengangguran daripada bertahan di tempat yang nggak menghargai keberadaan dan kerja kerasnya. Tapi, jelas pengangguran versi Lala dan gue beda. Lala masih punya segalanya, sedangkan gue nggak. Jadi, harus ekstra keras nyari kerjaan baru lagi. Untungnya buat biaya sehari-hari ketolong dari kerjaan sampingan gue sebagai pembuat ilustrasi dan kover. Gue sempat takut Ibu marah, tapi ternyata nggak.

Setelah pamitan, gue ngasih kunci apotek ke Cantika, terus bilang, "Gue pamit, Can. Gue harap lo bisa bersikap sedikit lebih baik sama anak baru. Nggak semua orang sesabar gue sama Lala. Sikap lo bisa jadi bumerang. Jadi, kalau boleh ngasih saran, belajar jadi manusia yang lebih baik."

Siapa sangka Lala juga melakukan hal yang sama, versi lebih kejam. "Heh, Cantika yang nggak cantik. Selama ini gue diam aja, ya, dijadiin keset, tapi gue dekat sama Tuhan, jadi dikit-dikit gue ngadu. Baik-baik lo hidup, karma nggak pernah salah kamar soalnya. Lo udah ditandain!"

Setelah itu, Lala narik tangan gue, terus keluar dari apotek. Dia kelihatan lega banget setelah marah-marah. Setelah sabar sekian lama, hari ini dia sampai puncaknya.

Kita jalan sedikit ke tempat bakso. Katanya buat merayakan semuanya. Lala langsung pesan dan bilang sama masnya kalau bakso gue nggak boleh dikasih penyedap rasa lagi dan lain-lain, bening aja. Dia juga ngambil dua bolot air mineral terus duduk di depan gue.

"Lega?" tanya gue setelah dia kembali.

"Banget. Ayo kita rayakan!" katanya penuh semangat.

Dia menuangkan air mineral itu ke tutupnya dan melakukan hal yang sama dengan botol minum gue. Gue tanya dong, kenapa dia repot-repot nuangin minum ke tutup sekecil itu, dan jawabannya di luar prediksi BMKG.

"Biar keren gitu, Nu. Anggap aja ini soju versi halal."

Tanpa sadar gue senyum. Beneran mirip Alisa. Alisa juga kadang melakukan sesuatu yang nggak pernah gue pikirin sebelumnya, bedanya Alisa ini versi lebih kalemnya Lala.

"Nu ...."

"Hm?"

"Gue masih boleh jadi teman lo, kan, biarpun kita nggak satu kerjaan lagi?"

"Masih dong, La."

Matanya berbinar, kelihatan bahagia banget.

"Gue boleh ikut Selly nemenin lo berobat kalau lo mulai berobat nanti?"

Gue kembali mengangguk. Sejauh ini Lala udah baik banget sama gue, dan keinginan dia buat nemenin gue juga bukan sebatas penasaran atau kasihan, dia emang peduli. Dia tau banget beberapa hari ini kondisi gue drop, dan dia selalu datang ke rumah, bukan nemuin gue, tapi nenangin Ibu sama Selly. Dis dewasa itu.

"Janji, ya, Nu, jangan berubah sama gue. Kita harus tetap temenan oke?" Dia mengacungkan kelingkingnya, dan tanpa berpikir panjang gue menyambut. 

"Iya bawel."

Setelah baksonya datang, kita langsung makan dengan tenang. Sesekali dia kepergok lagi lihatin gue, kayak ... berusaha meyakinkan dirinya kalau gue makan dengan nyaman. Kuah bakso yang hangat sedikit membantu menurut gue, jadi makan selagi panas, biar nggak enek.

Lala sendiri makan lahap banget, pipinya yang bulet itu kelihatan lucu banget gerak-gerik, sampe belepotan sama saos kecap saking buru-burunya dia makan. Gue tertawa melihat itu, dan dengan muka bingung dia tanya.

"Kenapa, Nu?"

Gue ngambil beberapa helai tisu, terus ngasih itu sama HP gue ke dia. Dia langsung ngerti dan berkaca di hp gue, terus bersihin area yang kotor di wajahnya.

"Sorry. Gue kadang lupa kalau gue manusia," katanya sambil ketawa.

"Nggak masalah. Lo lucu kok."

"Hah?"

Gue menggeleng, nggak mau mengulang kalimat yang sama. Dia emang lucu, tapi gue malu buat bilang itu lagi.

"Nu? Lo nggak mau buat bikin laporan lagi soal Selly?"

"Nggak, La. Kita udah ditolak pertama."

"Mau gue bantu? Gue udah pegang nama-nama pasien yang berkasus sama Pak Taufik. Kita bisa datengin satu-satu, Nu, buat sekadar minta keterangan atau apa pun itu. Gue tau ini sulit, tapi pasti ada jalan buat kebenaran, kan, Nu? Gue nggak rela banget dia masih bisa hidup tenang sementara korbannya menderita semua."

Sempat sedikit bingung sama maksud cewek itu, tapi akhirnya gue ngerti. Beberapa hari ini gue juga sering nemenin Selly dan memastikan kalau dia baik-baik aja, nggak menunjukan rasa trauma atau apa. Sejauh ini masih aman, entah benar seperti yang terlihat atau Selly menelan semuanya sendirian.

Akhirnya, sore itu juga gue keliling sama Lala, datangin satu per satu korban dari atasan gue. Respons mereka beragam, ada yang menyambut baik dan nggak sungkan jelasin kronologinya bahkan tanggalnya pun masih mereka ingat, dan itu bisa dibuktikan dengan kamera pengawas karena saat itu benar mereka ada di sana. Tapi, yang langsung marah juga ada, mereka udah nggak mau lagi berurusan dengan sesuatu yang ada kaitannya dengan Pak Taufik.

Hampir tiga jam kami datang dari satu rumah ke rumah lain, nggak jalan kaki, diantar sopirnya Lala, tapi rasanya tetap capek. Perut gue mulai sakit dan mual. Jadi, di pertengahan jalan sebelum rumah korban terakhir, gue minta berhenti sebentar. Gue keluar dari mobil dengan tergesa, membungkuk di depan saluran air, dan muntah di sana. Padahal, gue udah berusaha banget menahan diri, tapi ternyata nggak bisa.

Bukan Lala yang bergerak deketin gue, tapi sopirnya. Laki-laki paruh baya itu dengan telaten memijat tengkuk gue dan itu cukup membantu. Setidaknya meringankan rasa mualnya.

Setelah yakin nggak akan muntah lagi, gue kembali ke mobil. Lala di sana udah siap-siap sama beberapa helai tisu di tangan, dia juga ngasih botol air mineral. Gue tau darah lagi yang gue muntahkan, tapi gue nggak kepikiran kalau itu meninggalkan jejak si bibir gue.

"Sorry, ya, La, tadi mual banget," sesal gue sambil mengusap area mulut dan berusaha menyembunyikan tisunya. Tapi, konyol, kan? Lala pasti udah lihat itu tadi.

"Kita lanjut besok aja gimana, Nu? Sekarang kita pulang, ya? Udah lama juga kita keliling."

"Tanggung, La. Satu lagi ...."

"Oke, habis ini pulang, ya?"

Gue cuma mengangguk sebagai jawaban. Gue harus menyelesaikan ini. Gue mungkin kehilangan keadilan karena mereka punya kuasa, tapi gue bisa menciptakan keadilan itu sendiri.

***

Gue demam setelah keliling tadi, dan semalaman Ibu sama Selly jagain gue. Mereka bahkan ngajak gue ke rumah sakit, tapi gue tau nggak ada yang punya pegangan selain gue. Itu juga nggak banyak, jadi gue menolak. BPJS gue masih terdaftar, tapi takutnya kalau cuma demam kayak gini nggak ditanggung. Gue istirahat dengan posisi duduk, selain mual, gue juga harus mengerjakan sesuatu, sementara Selly tiduran di kaki gue.

"Cel, masnya berat itu," kata Ibu.

"Nggak apa-apa, kan, Mas?"

Selly malah nanya gue, minta pembelaan, dan gue ngusap rambutnya sambil bilang nggak apa-apa.

"Mas lagi ngapain, sih? Nggak ngantuk emang? Lagi demam juga kerja terus." Ibu akhirnya mengomel.

Kalau biasanya ngomelnya Ibu bikin gue kesal, marah, bahkan ngerasa nggak berharga, kali ini lagi-lagi rasa hangat yang gue terima. Gue benar-benar udah ngerasa jadi anaknya Ibu sekarang.

"Ibu sama Icel tidur sana, aku udah nggak apa-apa. Nanti kalau ini selesai aku langsung tidur."

"Gimana kalau kita tidur di sini?"

Gue terkejut sama penuturan Selly, dan refleks gue melepaskan tablet yang lagi gue pegang gitu aja. Mengiakan secara tidak langsung ucapan anak itu. Kita langsung ngambil posisi. Ibu di tengah, gue di samping kanan, dan Selly samping kirinya Ibu dekat pintu, tapi kemudian dia protes minta pindah, nggak mau dekat pintu karena takut.

Sambil ketawa gue pindah ke sisi lain tempat tidur, menggantikan posisi Selly sebelumnya.

Gue tiduran di lengan Ibu, begitupun Selly. Kami ketawa-ketawa karena Ibu cerita tentang gue sama Selly pas kecil. Tapi, tiba-tiba gue mendengar suara tangis. Ibu nangis.

"Anak-anak Ibu udah besar banget ternyata, tangan Ibu sampe kram," katanya.

Refleks gue sama Selly mendongak, berusaha melihat Ibu lebih dekat. Bibirnya tergigit, tapi tetap gemetar, berusaha banget buat nggak lanjut nangis.

"Ibu nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kalian, Nak. Jadi, hidup dengan baik. Panjang umur. Ibu pengin banget lihat kalian sukses, menikah, dan ngasih Ibu cucu."

Gue ngerti buat siapa kalimat itu diperuntukkan biarpun ibu bilang secara umum, tapi gue menangkap sebuah harapan yang besar di sana, harapan biar gue bertahan. Rasanya seperti menemukan cahaya dalam gelap yang selama ini memenuhi seluruh ruang di hati gue. Hangat dari dingin yang selama ini nggak pernah tersentuh. Harapan, di ambang keputusasaan.

"Ibu juga harus panjang umur, Mas Nu juga. Aku sama siapa kalau kalian nggak ada? Pokoknya jangan pergi. Aku sayang Ibu sama Mas Nu."

Ibu senyum, gue juga. Tapi, kemudian Selly mengakui sesuatu. Tentang perbuatannya. Dia mengaku mengambil dompet Ibu waktu itu karena terdesak cowoknya ulang tahun. Dia gengsi kalau nggak ngasih apa-apa, dan sekarang setelah jadian beberapa hari mereka putus. Cowok itu ternyata udah punya pacar walupun beda sekolah, bikin Selly dilabrak dan dihujat satu sekolah karena dianggap perempuan kecentilan. Padahal, Selly nggak tau apa-apa. Mereka puas karena ternyata ada celah buat menjatuhkan adik gue.

Gue sedih karena dia ternyata harus menghadapi masalah seperti itu di sekolah.

"Ibu tau."

Nggak kaget sebenarnya. Dari ibu yang menggebu-gebu marah sama gue karena dompetnya hilang, tiba-tiba bersikap legowo. Jelas ada alasan kuat, dan benar ... Ibu tau Selly pelakunya.

"Aku minta maaf, ya, Bu. Maaf. Nanti kalau udah kerja uang Ibu aku ganti."

"Jangan diulang, ya, Cel. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama Mas atau Ibu. Kalau kami punya pasti kami kasih, tapi kalau nggak, Mas minta pengertiannya dari kamu." Ibu nggak bilang apa-apa, jadi gue yang menasihati.

Anak itu mengangguk. Dia mengeratkan pelukannya sama Ibu, tapi tangannya juga bergerak menjangkau lengan gue, mungkin kalau bisa dipeluk dua-duanya, dia bakal melakukan itu. Tapi, dia merasa cukup dengan lengan gue di genggamannya, seolah itu sesuatu yang nggak akan pernah dia lepaskan sampai kapan pun.

"Ibu sayang kalian. Sayang banget."

Baik gue maupun Selly nggak menjawab. Kami memeluk ibu lebih erat, berharap hari ini nggak pernah berakhir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • raninurh

    sering terjadi :)

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • raninurh

    selly lu tobat kata gua tuh nanti kakak lu jadi ubi baru nyesel

    Comment on chapter Chapter 2 - Menyentuh batasnya
  • raninurh

    semnagat anak pertama kuat kuat pundaknya

    Comment on chapter Chapter 1 - Mati sejak lama
  • serelan

    Toxic semua orang² di sekitaran Wisnu ini... keluarganya, lingkungan kerjanya... hebat banget Wisnu bisa tahan...gendok asli pengen banget banting semuanya satu²..

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Capek banget liat hidupnya Wisnu... ditekan sana sini, di tempat kerja, bahkan sama keluarganya juga. Padahal sumber penghasilan keluarga banyaknya dari dia harusnya diperlakukan lebih baik lah sama keluarganya. Hidup tuh sesuai kemampuannya aja gak sih harusnya. Jangan selalu pengen maksain buat terlihat wah klo memang blm mampu. Kesel banget sama Selly.

    Comment on chapter Chapter 2 - Menyentuh batasnya
  • serelan

    Bantu jadi tulang punggung sih wajar² aja.. tapi gak harus kya gitu juga sikap ibunya.. agak keterlaluan sih itu.. dikasih pengertian demi kebaikan malah d katain durhaka dikiranya gak mau bantuin ibunya lagi.. ntar pergi nyeselll..

    Comment on chapter Chapter 1 - Mati sejak lama
Similar Tags
Layar Surya
1302      794     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Halo Benalu
827      403     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Secret Love
348      234     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Batas Sunyi
1802      812     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Resonantia
320      278     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Melankolis
3035      1116     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
From Ace Heart Soul
586      353     4     
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
HIRI
161      132     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?