"Gimana, Mas? Udah dapat kerjaannya?"
Gue yang sebelumnya sibuk mengeringkan rambut refleks berhenti. Padahal, banyak hal yang bisa ditanyain. Salah satunya luka di pelipis gue. Nggak yang parah sampai berubah bentuk, sih, cuma luka, tapi tetap aja bukan hal yang biasa. Sayangnya, sekali lagi hati kecil gue menertawakan. Gue berharap apa? Uang emang selalu lebih berkilau, kan?
"Belum, dapat, Bu. Tadi, kan, seharian aku kerja soalnya Cantika nggak masuk. Jadi, aku kerja full shift."
"Ya udah nggak apa-apa. Itu kamu dapat lemburan, kan? Jangan sampai nggak. Lumayan lho biarpun cuma tujuh puluh lima ribu, kita bisa nabung buat biaya PKL-nya Icel."
"Harusnya lembur, sih, Bu. Cuma nggak tau. Itu bukan cuti soalnya. Bisa diganti pake uang bisa ganti jaga."
"Maksudnya gimana, Mas?"
"Iya jadi tergantung Cantika nanti bayarnya mau pake apa. Mau bayar pake uang berarti seharga lemburan aku biasa, bisa juga ganti jaga. Jadi, nanti aku dapat jatah libur sehari lagi selain jatah libur mingguanku."
"Jangan! Jangan mau kalau dia ganti jaga. Enak aja. Tenaga orang, kan, harus dibayar."
Mendengar jawaban Ibu, gue menghela napas, sebelum akhirnya berkata, "Bu, ganti jaga, kan, sama aja. Aku bisa istirahat sehari lagi. Jadi, impas."
"Beda. Libur jaga manfaatnya apa coba? Mas, kan, udah dapat jatah libur. Lagian, Mas mau ngapain emang kalau di rumah? Paling tiduran doang. Nggak bermanfaat sama sekali."
Kalaupun jawab, gue pasti kalah. Jadi, gue lebih memilih diam. Tadinya gue mau minta Cantika ganti jaga, biar gue bisa ke rumah sakit karena minggu ini kebetulan gue libur Minggu jadi tetap nggak akan bisa ke rumah sakit karena dokter yang bersangkutan nggak jaga hari itu. Artinya, gue harus nunggu minggu depan dan nahan sakit ini lebih lama. Gue nggak minta apa-apa, sih, cuma minta dikuatkan sampai hari itu karena sebenarnya gue beneran udah nggak kuat.
Badan gue makin berasa dingin setelah mandi, menggigil. Ya, nggak heran demam gue dari tadi nggak turun sama sekali. Tekanan darah gue cuma 80/90 mmHg, suhu tubuh gue pas dicek sebelum pulang juga masih di angka 38,9°C. Sakit sama mualnya juga bikin gue tersiksa karena jadi nggak bisa makan. Nggak enak dan paranoid duluan takut muntah. Jadi, kali ini bukan Ibu nggak nawarin makan, tapi karena gue emang nggak bisa makan. Kalau dipake donor, mungkin darah yang gue muntahin bisa sampe dua labu.
"Ingat lho, Mas, nggak ada yang gratis di dunia ini." Suara Ibu terdengar lagi, dan gue langsung mengangguk tanpa melawan.
Akhirnya, karena takut Ibu marah lagi, jam sepuluh malam lebih sedikit gue keluar sebentar. Di luar dingin, agak gerimis juga, tapi jam segini biasanya banyak pemuda yang masih nongkrong di warung kopi depan. Siapa tau mereka punya info kerjaan.
Sayangnya, udah jalan jauh, ternyata nggak ada siapa-siapa. Mungkin karena gerimis, orang pada malas keluar. Sebenarnya, gue agak canggung juga, sih, kalau mereka ada. Nongkrong nggak pernah, tiba-tiba sok akrab terus nanya kerjaan. Aneh banget pasti kesannya.
Kadang gue iri. Di usia segini, biarpun ada sebagian yang kerja dan lainnya kuliah, mereka masih punya kebebasan buat main. Nggak dibebani tanggung jawab sebesar ini. Mereka main, nongkrong, sedangkan gue nggak ada waktu, uang, dan nggak punya kendaraan kayak yang lain.
Sempat suatu hari gue diajak main ke pantai, pas pulang dilempar-lempar mau pulang sama siapa. Nggak enak banget rasanya. Jadi, sejak hari itu gue udah nggak ngumpul sama mereka lagi. Ngukur diri. Gue tau punya banyak keterbatasan.
Gue menghela napas panjang setelah memilih diam sebentar di warung kopi yang uda tutup itu. Nggak ngapa-ngapain beneran cuma diam, dan pikiran aneh mulai muncul lagi di kepala.
Kalau gue lompat ke Citarum bakal ketemu nggak, ya?
Kalau gue kecelakaan yang bayar rumah sakit sama ambulans siapa?
Kalau gue pergi, Ibu sama Selly gimana?
Acak aja sebetulnya, bukan gue yang sengaja mikirin. Kayak masuk pas gue sendiri dan lagi bengong. Berasa banget kosongnya. Bagian terburuk dalam hidup adalah pas gue berdampingan sama kekosongan. Kayak senang nggak, sedih juga nggak.
Setelah duduk lama dengan pikiran yang macam-macam, gue memutuskan buat pulang. Kalau Ibu nanya, seenggaknya gue udah keluar dan berusaha buat nyari, jadi ada alasan. Gue pengin banget tidur karena sakitnya udah mulai nggak manusiawi. Sakit yang sakit banget sampe gue jalan aja rasanya nggak napak tanah. Berasa cosplay jadi Mbak Kun, melayang.
Pelan-pelan banget gue jalan masuk rumah. Selain sakit, gue juga nggak mau ganggu Ibu sama Selly yang mungkin udah tidur. Tapi, lewat kamar Selly, gue dengar suara orang ngobrol.
"Gimana? Vape yang kayak gitu bukan yang kamu maksud? Aku tadinya nggak mau beliin, nggak sehat tau. Tapi, karena itu bikin kamu bahagia, jadi ya udah."
Tunggu, apa katanya tadi? Vape? Rokok elektrik itu?
"Bukan, ya? Ya udah nanti aku nabung lagi. Kalau udah ada uang baru, deh, aku beliin yang lebih bagus dan mahal. Itu aja aku sampe harus bohong sama Ibu tau. Uangnya aku bilang buat beli buku."
Ternyata benar, ya, cewek kalau lagi bucin musnah langsung kewarasannya. Gue nggak tau dia ngobrol sama siapa, tapi jelas bukan sama cewek lagi, dan dari bagaimana adik gue berkorban, gue yakin itu cowok dianggap spesial.
Perut gue makin melilit memikirkan berbagai kemungkinan. Selly masih mungkin berbuat lebih. Dia bisa aja mengorbankan segalanya, dan jujur itu bikin gue takut. Takut gagal jagain dia. Gimana gue bertanggung jawab sama Bapak? Tapi, kalau gue ngobrol sekarang dia malah makin jaga jarak dan gue nggak akan tau apa-apa akhirnya.
Berulang kali gue menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pikiran gue ini bisa makin ke mana-mana kalau panik, dan dalam kondisi kayak gitu gue nggak bisa ngapa-ngapain selain membiarkan nyeri fisik menggerogoti dari dalam. Tangan gue mulai tremor, terlalu takut dengan segala kemungkinannya, padahal itu baru pikiran gue aja, belum tentu Selly benar-benar pacaran. Satu hal yang pasti di sini cuma dua, Selly nipu Ibu dan dompet Ibu pun kemungkinan dia yang ambil.
Gue sadar, ketika menjalin hubungan sama seseorang kita selalu pengin ngasih yang terbaik, tapi dulu pas gue sama Alisa, gue kerja keras untuk itu, bukan dengan cara menipu apalagi mencuri. Selly bisa berbuat sejauh ini aja bikin gue syok, apalagi kalau lebih? Gue nggak tau seberapa hancurnya Ibu kalau tau anak kesayangannya bisa berbuat begini.
Mungkin gue bisa ngobrol lagi besok sama dia, dengan pendekatan yang lain. Gue memilih ke dapur, masak air panas buat kompres perut yang nyerinya ampun-ampunan. Hal normal yang selalu gue lakuin tiap sakit ini datang tapi nggak punya uang. Air nggak bayar, asal jangan ... tiba-tiba aja hal yang baru gue pikirin terjadi. Gasnya habis. Kompor mati gitu aja. Gue jengkel setengah mati karena malam ini artinya gue bakal tidur dengan rasa sakit, tapi di sisi lain gue juga takut, takut Ibu ngamuk karena gas yang habis.
Gue pikir di kalender cuma ada satu hari hokinya dan satu hari apesnya. Kok di kalender gue apesnya hampir satu bulan, hokinya cuma kayak hari raya Idul Fitri setahun sekali?
***
Gue bilang juga apa. Pagi buta Ibu ngomel karena gas habis. Gue kunci pintu dan pura-pura nggak dengar, sementara Selly balik ngomel karena tidurnya keganggu.
Sesekali memutuskan buat nggak terlibat, nggak apa-apa, kan, walaupun gue penyebabnya? Agak capek soalnya setelah semalaman nggak tidur. Jangankan bangun, gerak aja nggak sanggup. Pandangan gue bukan cuma berkunang-kunang, tapi hampir gelap.
Seprai yang nggak sengaja kena semburan darah segar juga masih ada di pojok kamar cuma gue lihatin sambil berusaha buat tetap sadar. Gue napas, tutup mulut karena mual, napas lagi, merem, napas lagi, buka mata, napas, napas, dan napas. Kayak, nggak ada hal yang bisa gue lakuin lagi selain itu. Karena sakitnya benar-benar bikin panik. Ada bahan lupa napas kalau terus merasa sepanik ini.
Gue benar-benar takut, gimana kalau setelah ini gue mati? Tanggung jawab gue sama Ibu dan Selly belum selesai. Bapak bakal kecewa nggak, ya?
Kalau misal gue masuk IGD, bakal keluar duit berapa? Pendaftaran, obat, tindakan, rawat inap kalau ternyata harus, gimana gue bayar itu semua? Kalau pake BPJS bisa nggak, ya? Tercover nggak, ya, urusan lambung begini? Nanti siapa yang ngangkat gue? Di rumah ini—minus gue—cuma ada cewek. Naik apa ke rumah sakitnya? Kita nggak punya kendaraan sama sekali.
Dengan pikiran seberisik itu suara Ibu makin lama makin menghilang. Gue nggak tau apakah karena Ibu yang udah mulai sadar terlalu ribut pagi-pagi atau justru karena kesadaran gue yang mulai hilang? Bukan cuma suara Ibu yang perlahan hilang, gue juga nyaris nggak bisa ngerasain apa-apa setelahnya. Jantung gue berdebar cepat, ulu hati sampe dada gue kayak diinjak raksasa di cerita Timun Mas, sesak, nggak bisa napas, sampai akhirnya semua berubah gelap. Gelap dan hening. Sangat hening sampai gue ngerasa pengin kayak gini lebih lama.
Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰
Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta