Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

Air mata masih mengalir deras dari mataku, dadaku naik turun tak teratur. Nafasku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan dada dari dalam. Aku ingin berhenti menangis, tapi semakin mencoba, semakin sesak rasanya.

Lalu, sakit itu datang lagi.

Bukan sekadar nyeri biasa.

Kepalaku seperti dihantam palu. Dunia di sekitarku berputar, bergoyang hebat seperti badai yang mengamuk di dalam otakku. Aku memegangi kepala, meremas rambutku, mencoba bertahan dari rasa sakit yang semakin tak tertahankan.

Semuanya berputar.

Cahaya-cahaya di sekelilingku melesat seperti garis-garis kabur, seperti dunia ini sedang larut ke dalam kehampaan. Udara terasa semakin tipis. Aku megap-megap, tapi tak ada udara yang masuk.

Lututku melemas. Jari-jariku berusaha meraih sesuatu—apa saja—untuk bertahan. Tapi tubuhku semakin kehilangan kendali, tenggelam dalam pusaran yang tak kasatmata.

Aku tak bisa menahan ini lebih lama.

Mataku perlahan menutup. Kesadaranku terkikis.

Gelap.

BRAK!

Ledakan ingatan menghantamku seperti ombak yang tak terbendung.

Wajah-wajah. Suara-suara. Kejadian-kejadian.

Satu per satu, potongan-potongan masa lalu menghantam kesadaranku dengan brutal—gambar-gambar kabur yang tiba-tiba menjadi jelas.

Aku melihat diriku. Di sini. Di masa ini. Hidup, bernapas, tertawa, menangis.

Lalu aku sadar.

Seluruh ingatan Yudhis pada zaman ini masuk begitu saja.

***

Lima belas tahun yang lalu.

Aku berdiri di depan panggung auditorium, memakai toga kebanggaan. Dari atas panggung, aku bisa melihat ribuan mahasiswa lainnya, wajah-wajah penuh harapan menyambut masa depan yang entah akan membawa mereka ke mana.

Di antara kerumunan, aku menangkap wajah bapak dan mamak. Mereka tersenyum bangga. Bangga karena anaknya akhirnya lulus, meskipun nilai pas-pasan.

“Habis ini kamu mau kerja di mana, Yud?” tanya mamak begitu aku turun dari panggung.

Aku baru akan menjawab, tapi bapak sudah lebih dulu menyahut, “Di mana aja, yang penting halal ya, Yud.”

Aku hanya tersenyum kecil. Karena sebenarnya, aku tidak punya rencana apapun.

 

Beberapa bulan kemudian, aku diterima di sebuah perusahaan sebagai staf administrasi. Pekerjaan membosankan. Setiap hari hanya duduk di balik meja, memasukkan data pemasukan dan pengeluaran perusahaan. Menginput angka-angka yang bahkan tidak terlalu kupahami.

Tapi setidaknya aku sekarang hidup mandiri, berpisah dari orang tua.

Mamak masih sering menelepon, dan suatu hari, ia akhirnya bertanya hal yang paling tidak ingin kudengar.

“Yud, kamu kan sudah kerja, walaupun gaji masih kecil. Emangnya kamu nggak mau nikah?”

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Senyuman yang menutupi kegelisahan.

“Nanti aja, Mak. Aku masih belum siap.”

“Kamu gak usah kirim gajimu ke mamak Yud, mamak sudah cukup kok dari unagnya bapak. Kamu tabung aja uangmu buat nikah nanti.”

Aku menghembuskan napas pelan.

“Bukan masalah uangnya mak, tapi memang kau belum siap aja”

Aku tahu maksud mamak bukan untuk mencampuri hidupku. Tapi entah kenapa, setiap kali ia bertanya soal pernikahan, ada perasaan berat yang menyesakkan dadaku.

Aku ingin menikah. Tentu saja aku ingin.

Tapi aku tidak bisa. Karena perempuan yang kucintai sudah pergi.

Aku sudah lama tidak menghubunginya sejak band kami bubar. Sudah lama tidak mendengar suaranya. Walaupun sebenarnya, aku sangat ingin.

Lalu, kenyataan itu datang menghantam.

Saat aku masih berusaha menghindari pertanyaan mamak tentang pernikahan, aku mendapat kabar bahwa dia—satu-satunya orang yang kucintai—sudah menemukan pasangan hidupnya.

Foto-fotonya tersebar di media sosial. Gaun putih. Senyum bahagia.

Dia menikah dengan seorang penyanyi terkenal.

Aku menatap layar ponsel, jari-jariku bergetar. Dadaku terasa kosong. Bukan karena aku tidak tahu ini akan terjadi, tapi karena aku selalu berharap—meski sekecil apapun—bahwa aku masih punya kesempatan.

Maka dari itu, telepon dari mamak—yang biasanya selalu kuangkat dengan cepat—mulai kuabaikan.

Aku melihat layar HP bergetar di meja, nama mamak muncul di sana. Biasanya aku akan tersenyum kecil sebelum menjawab, membiarkan suaranya memenuhi keheningan di kamarku.

Tapi kali ini… aku hanya menatapnya. Menunggu hingga dering itu berhenti sendiri.

Aku tidak ingin mendengar pertanyaan itu lagi.

Aku tahu mamak hanya ingin yang terbaik untukku. Aku tahu beliau tidak bermaksud menekanku.

Tapi aku juga tahu… aku tidak punya jawaban yang bisa membuatnya tenang.

Jadi untuk sementara waktu, aku memilih diam.

***

Bertahun-tahun kemudian.

Aku menghabiskan lebih banyak waktu sendirian di kontrakan kecilku. Dinding kamar ini terasa semakin sempit setiap harinya, seakan menekan dada dan pikiranku sekaligus. Aku bekerja, pulang, menatap langit-langit, mengulang siklus yang sama tanpa tujuan yang jelas. Setiap hari terasa sama, membosankan, seperti kaset kusut yang terus diputar ulang.

Bagaimana dengan Rizal?

Anak itu sudah sibuk dengan keluarganya, dengan dunianya sendiri yang kini lebih terarah. Tapi sesekali, ia masih datang mengunjungiku. Di saat-saat tertentu, dia adalah satu-satunya orang yang mengingatkan bahwa aku masih hidup.

Kami hanya duduk berdua, berbagi cerita selama berjam-jam, seperti dua pria dewasa yang mencoba memahami dunia yang terus berubah. Kadang kami tertawa, kadang hanya diam menikmati keheningan. Walau hanya sesaat, kehadiran Rizal cukup memberiku semangat kembali… sebelum akhirnya aku kembali ke kenyataan yang pahit.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum, Bang! Ada di rumah kah?" suara khas Rizal terdengar dari balik pintu.

Aku melirik ke arah pintu, lalu menarik napas panjang sebelum bangkit dari sofa. Setidaknya, hari ini aku tidak sendirian.

"Waalaikumsalam, masuk, Jal!"

Tapi kali ini, dia tidak datang sendirian.

"Assalamualaikum, Paman Yudhis!"

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Seorang bocah perempuan berusia lima tahun berdiri di samping Rizal, tersenyum polos dengan pipi chubby yang menggemaskan.

"Waalaikumsalam, Ellena." Aku menunduk sedikit, menepuk kepalanya. "Ellena kok ke sini? Emang nggak sekolah ya?"

Rizal tergelak, mengangkat bahu. "Hari ini libur. Jadi dia minta ikut."

Aku hanya mengangguk sambil menatap bocah kecil itu. Tak kusangka Rizal sudah memiliki anak yang sebesar ini sekarang.

Bagaimana denganku?

Entahlah. Aku masih nyaman menjadi single. Meskipun umurku sudah menginjak kepala tiga tahun ini.

"Eh, Anti. Apa kabar?" Aku menoleh ke arah seorang perempuan yang baru masuk setelahnya.

“Baik bang.” Anti tersenyum

Wanita cantik ini adalah istri Rizal. Aku masih sulit percaya bagaimana bocah yang dulu pernah menghabiskan uangku untuk membeli buku waktu itu sekarang bisa mendapatkan istri secantik ini.

Pelet, mungkin.

Rizal melotot. "Aku dengar tuh, Bang."

Aku nyengir, menyandarkan punggung ke sofa. "Ya dengerin aja, kali aja aku bener." Ternyata kemampuannya sebagai cenayang masih belum luntur.

Aku bangkit, berjalan ke dapur untuk mengambil minuman. Sambil menunggu es batu mencair sedikit, aku sekalian membuat es Milo—kesukaan Ellena.

Begitu kuberikan gelasnya, mata bocah itu langsung berbinar. "Makasiihh, Paman Udis!"

Ellena menyeruput es milonya dengan puas, lalu tiba-tiba menatapku penuh semangat. "Paman, nanti waktu Ellena liburan, kita liburan yuk! Katanya Ayah mau pergi ke gunung lhoo, tapi kayaknya bakal lebih seru kalo Paman ikut."

Aku tersenyum kecil sebelum menjawab, "Iya, nanti paman ikut kok."

"Paman Yudhis nggak bisa ikut, El," Rizal menyela, nada suaranya sok serius. "Dia mau fokus hapalan Qur’an katanya."

Aku menoleh cepat. Demi apa anak ini?! Aku menatapnya penuh curiga. Nih bocah dapat gagasan dari mana? Memang terakhir kali dia ke sini, aku lagi belajar baca Iqro. Dia lagi ngehina aku ya?!.

Anti yang duduk di sebelah Rizal langsung ngakak.

"Waaww, Paman mau jadi hafiz ya, kayak yang di TV-TV itu?" Ellena menatapku dengan kagum.

Aku menghela napas. Kalau aku bilang "tidak", anak ini pasti kecewa. Kalau aku bilang "iya", aku takut malah ditanya hafalan surat panjang.

Akhirnya aku tersenyum, "Hahaha, iya El, nanti kalau Paman masuk surga, Paman ajak ya."

"Yeay!"

Aku melirik Rizal dengan tatapan penuh kemenangan sebelum menambahkan, "Tapi ayahmu nggak usah kita ajak."

Rizal melotot, mulutnya sedikit terbuka. Anti langsung tertawa sampai hampir tersedak.

Poin untuk Paman Yudhis.

Beberapa menit kemudian, Ellena sudah larut dalam kartun favoritnya, tertawa kecil di samping Anti yang menemaninya di sofa.

Sekarang hanya tersisa aku dan Rizal.

Dia duduk bersandar di kursinya, menatapku sebentar sebelum akhirnya membuka suara.

“Bang… Tante Diana akhir-akhir ini selalu nanyain kabarmu.” Suaranya terdengar santai, tapi aku tahu dia sedang mencari celah untuk masuk ke pembicaraan serius.

Aku mendesah pelan. Tentu saja dia akan membahas ini. Jika aku tidak mengangkat telpon mamak, maka ia akan menghubung Rizal.

“Emang abang nggak ada niatan untuk pulang sebentar?” Rizal menaikkan alisnya, seolah menantang jawabanku.

Aku mengalihkan pandangan. Suasana yang tadi ringan kini terasa lebih berat.“Aku sudah pulang kok, Jal. Beberapa kali,” jawabku pelan.

Rizal menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya jelas tidak puas.

“Dua bulan sekali mah kurang, Bang. Itupun, kata Tante Diana abang kebanyakan diemnya. Kayak lagi ngerayain Hari Diem Sedunia, katanya.”

Aku tersenyum kecil, tapi tidak sampai ke mata. Aku tahu, Rizal benar.

Aku memang pulang. Tapi… benarkah aku benar-benar ada di sana?

Rizal menatapku, ekspresinya berubah. Dia tahu aku sedang menghindari sesuatu. Tapi, alih-alih memaksa, dia hanya menghela napas pelan, seolah berkata, "Baiklah, untuk sekarang."

Dia menggoyang-goyangkan gelas di tangannya, lalu dengan nada lebih ringan, berkata, “Udahlah, daripada ngebahas yang berat-berat, aku cerita aja nih. Tau nggak bang, Anti tuh sekarang…”

Begitulah, pembicaraan beralih ke pekerjaan, keluhannya tentang istrinya, dan anaknya yang makin susah diatur. Aku ikut menimpali, menceritakan bagaimana bosku baru saja memotong gajiku karena pekerjaan yang sering telat.

Tanpa sadar, malam berlalu begitu saja.

Keesokan paginya Rizal bersama kecilnya pulang ke kota sebelah. Ke rumahnya.

***

Malam ini, aku mengendarai motor perlahan, menyusuri jalanan Jogja yang terang benderang oleh lampu kota. Hiruk-pikuk pedagang kaki lima, suara klakson kendaraan, dan tawa anak-anak kecil di trotoar menyatu dalam satu harmoni yang khas.

Udara malam cukup sejuk, tapi pikiranku terasa sesak. Ada sesuatu yang mengganjal—entah apa. Seperti firasat buruk yang menolak pergi.

Aku menepi, membiarkan motorku diam sebentar. Tatapanku tertuju pada seorang badut berkostum kelinci di dekat pedagang makanan.

“Pak, kalau mau ngebadut jangan di sini. Ganggu pelanggan saya, tahu nggak?” suara penjual terdengar ketus.

Badut itu terdiam, lalu pergi tanpa sepatah kata pun.

Aku mengikuti langkahnya, tanpa benar-benar tahu kenapa. “Permisi, Pak—”

Eh?! Aku tertegun. Bukan bapak-bapak.

“Iya, Nak. Kenapa?” suaranya lembut, tapi sedikit kelelahan.

Aku menggaruk belakang kepalaku. “Eh, maaf, Bu. Saya kira tadi laki-laki.”

Wanita itu tersenyum tipis, menyeka keringat di dahinya. “Iya, nggak apa-apa, Nak. Hampir semua orang mengira begitu.”

“Ibu sudah lama kerja begini?” tanyaku akhirnya.

Wanita itu tersenyum kecil. “Cukup lama. Demi anak-anak.”

Aku memperhatikannya lebih dekat. Ada garis-garis kelelahan di wajahnya, tapi juga sesuatu yang lebih kuat. Keteguhan.

“Ibu nggak capek?”

Dia tertawa kecil. “Capek, Nak. Tapi ibu nggak bisa berhenti.”

Aku terdiam.

“Cintaku ke anak-anakku lebih besar dari capekku.”

Ada sesuatu yang tiba-tiba mengiris dadaku.

Kata-katanya membuatku ingat mamak.

Aku menunduk, menatap ujung sepatuku. Kapan terakhir kali aku menelepon mamak?

“Nak, kamu lagi kepikiran ibumu ya?”

Aku mendongak cepat. “Eh, iya, Bu…” Aku menggaruk belakang kepalaku, sedikit canggung. “Saya belum pulang ke rumah.”

Dia tersenyum lembut. “Nak, yang harus kamu tahu… Kamu nggak pernah benar-benar tahu seberapa besar cinta ibumu ke kamu.”

Aku menelan ludah.

“Kadang, cinta itu nggak selalu terlihat,” lanjutnya. “Tapi percaya deh… ia selalu ada.”

Aku merasa seperti ditampar sesuatu yang tak kasatmata.

Aku berpamitan dan memberi Ibu itu 3 lembar uang serratus ribu tak lama setelahnya. Wanita itu berterima kasih dengan sangat amat, ia bahkan sampai menangis, lalu kembali memakai kostumnya. Aku kembali naik motor, tapi kali ini dengan sesuatu yang lebih berat di dadaku.

Mamak… apakah aku terlalu lama meninggalkanmu?

Aku merogoh ponsel di saku, jempolku melayang di atas nama "Mamak" di daftar kontak.

Setelah beberapa detik, aku hanya menatapnya.

Kenapa aku merasa semakin tidak tenang?

Aku menarik napas dalam, lalu membuka aplikasi pemesanan tiket pesawat.

Aku akan pulang.

Aku tidak memberi tahu mamak dan bapak sebelumnya. Aku ingin memberi mereka kejutan.

Senyum kecil terukir di wajahku saat membayangkan mamak yang mungkin akan menepuk lenganku sambil berceloteh, "Kok nggak bilang dulu, Yud?" dan bapak yang mungkin hanya akan tersenyum tipis sambil mengangguk, seolah berkata, akhirnya pulang juga, anak ini.

Aku merindukan mereka.

Aku duduk di kursi pesawat. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi ini—getaran halus saat pesawat take-off, suara dengungan mesin, dan tekanan ringan di dadaku saat pesawat menembus langit.

Aku menggenggam sandaran kursi, menarik napas panjang.

Sekali lagi, aku melirik layar HP.

Terakhir online: dua hari lalu.

Kenapa… aku merasa ada sesuatu yang salah?

Jantungku berdebar.

Bukan karena takut terbang. Tapi karena aku tidak sabar ingin bertemu mamak.

Di sepanjang penerbangan, aku hanya memikirkan mereka. Aku memikirkan setiap momen yang sudah kulewatkan, setiap telepon yang tak kujawab, setiap kunjungan yang kutunda.

Aku teringat perkataan ibu badut. "Cinta seorang ibu kadang tak terlihat, tapi selalu ada."

Aku menghela napas panjang. Aku sudah melakukan kesalahan besar.

Tapi kali ini, aku akan memperbaikinya.

Aku akan pulang. Dalam arti yang sebenarnya.

Sesampainya di Kalimantan, aku langsung memesan taksi. Jalanan terasa lebih panjang dari biasanya, atau mungkin hanya pikiranku yang terlalu tidak sabar.

Aku akhirnya tiba di depan rumah.

Sunyi.

Tidak ada suara mamak dari dalam rumah. Tidak ada bapak yang duduk di teras sambil menikmati kopi sore.

Rumah ini terkunci.

Mamak dan bapak pasti sedang jalan-jalan, pikirku. Aku tersenyum kecil dan merogoh ponsel, siap menelepon mereka.

Tuut… tuut… tuut…

“Halo, Assalamualaikum, Mak,” sapaku begitu telepon diangkat.

Tidak ada jawaban seketika.

“Waalaikumsalam, Yud.”

Aku tertegun. Ini bukan suara mamak. Ini suara bapak.

“Pak, aku di depan rumah nih. Bapak sama mamak di mana?” tanyaku, masih mencoba berpikir positif.

Hening sesaat.

Lalu aku mendengar bapak menarik napas panjang.

“Bapak di rumah sakit, Yud… Mamakmu sakit.”

DEG!

Dunia terasa berhenti berputar.

Dadaku terasa sesak. Seperti ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram jantungku dengan kuat.

Firasat buruk yang menghantuiku selama ini… ternyata benar.

Aku tidak menunggu lebih lama. Dengan tangan gemetar, aku langsung memesan taksi menuju rumah sakit.

Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit.

Udara terasa lebih dingin dari biasanya, tapi tubuhku berkeringat. Dadaku sesak. Aku tidak peduli pada orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarku. Aku hanya ingin sampai. Aku hanya ingin melihat mamak.

Sampai akhirnya, langkahku terhenti.

Di ujung lorong, aku melihat bapak duduk di kursi tunggu.

Bapak menangis.

Aku belum pernah melihat bapak menangis. Sosok yang selama ini kukenal kuat, kokoh, sekarang duduk dengan kepala tertunduk, bahunya bergetar.

Aku mendekatinya, tapi kakiku terasa berat.

“Pak… mamak gimana?” suaraku hampir tidak keluar. Aku duduk di sampingnya, menunggu jawaban yang paling kutakutkan.

Bapak mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, basah. Ia berusaha menahan tangis, tapi aku tahu ia sedang hancur.

“Mamak baru aja pergi, Yud…”

DEG!

Dunia terasa berhenti berputar.

Suara rumah sakit menghilang. Tidak ada lagi langkah kaki perawat, tidak ada lagi suara monitor detak jantung, tidak ada lagi bisikan orang-orang di sekitar. Hanya ada detak jantungku sendiri yang menggema di telinga.

Aku menatap bapak, berharap aku salah dengar. Berharap ini hanya mimpi buruk yang sebentar lagi akan berakhir.

Tapi ekspresi bapak tidak berubah.

Mamak benar-benar pergi.

Lututku melemas. Aku merosot di kursi, tangan gemetar mencengkeram kain celanaku.

Mataku terasa panas. Dadaku seperti dibakar dari dalam.

Semua rasa bercampur menjadi satu—sedih, kecewa, marah, menyesal.

Ini semua salahku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
IF ONLY....
536      386     2     
Romance
Pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta sepihak… Perasaan yang berakhir bahkan sebelum dimulai… Merasa senang dan sedih seorang diri, benar-benar seperti orang bodoh. Ada penyesalan besar dalam diriku, padahal masih banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya. Jika saja aku lebih berani bicara padanya saat itu, kira-kira apa yang akan terjadi?
Mendadak Pacar
9380      1900     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
Hideaway Space
115      94     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Percikan Semangat
911      505     1     
Short Story
Kisah cinta tak perlu dramatis. Tapi mau bagaimana lagi ini drama yang terjadi dalam masa remajaku. Cinta yang mengajarkan aku tentang kebaikan. Terima kasih karena dia yang selalu memberikan percikan semangat untuk merubahku menjadi lebih baik :)
The Savior
4432      1593     10     
Fantasy
Kisah seorang yang bangkit dari kematiannya dan seorang yang berbagi kehidupan dengan roh yang ditampungnya. Kemudian terlibat kisah percintaan yang rumit dengan para roh. Roh mana yang akan memenangkan cerita roman ini?
A & A
325      236     2     
Romance
Alvaro Zabran Pahlevi selalu percaya bahwa persahabatan adalah awal terbaik untuk segala sesuatu, termasuk cinta. Namun, ketika perasaannya pada Agatha Luisa Aileen semakin dalam, ia sadar bahwa mengubah status dari teman menjadi pacar bukanlah perkara mudah. Aileen, dengan kepolosannya yang menawan, seolah tak pernah menyadari isyarat-isyarat halus yang Alvaro berikan. Dari kejadian-kejadian ...
Bulan dan Bintang
492      363     0     
Short Story
Bulan dan bintang selalu bersisian, tanpa pernah benar-benar memiliki. Sebagaimana aku dan kamu, wahai Ananda.
Sweet Notes
12642      2392     5     
Romance
Ketika kau membaca ini, jangan berpikiran bahwa semua yang terjadi disini adalah murni dari kisah cintaku. Ini adalah sekumpulan cerita-cerita unik dari teman-teman yang mau berbagi dengan saya. Semua hal yang terjadi adalah langsung dari pengalaman para narasumber. Nama sengaja disamarkan namun setting tempat adalah real. Mohon maaf sesuai perjanjian jalan cerita tidak dijelaskan seperti kisah ...
Teman Khayalan
1711      744     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
Meteor Lyrid
554      386     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.