Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

KRIIIIING!

"ASTAGAAAA!"

Aku hampir jatuh dari kasur saking kagetnya. Tanganku reflek mencari sumber suara yang berisiknya setengah mati ini. Alarm!? Sejak kapan aku pasang alarm!? Aku menoleh ke samping, melihat meja kecil tempat HP-ku biasa berada.

Mataku masih sepet, tapi aku tetap meraih HP dengan tangan gemetar. Begitu layar menyala, aku membelalak.

9 Juni 2041

Aku membeku.

"...Dua puluh tahun?" gumamku.

Otakku langsung nyambung ke kejadian pertama. Ini bukan pertama kalinya aku terbangun di waktu yang bukan zamanku sendiri. Beberapa minggu lalu, aku pernah ngalamin ini. Saat aku tiba-tiba jadi pengamen di Jogja, dengan baju lusuh, kantong kosong, dan rambut lepek ala anak jalanan.

Tapi sekarang… tempatnya beda.

Aku menelan ludah, menoleh ke sekeliling. Ini bukan kamar rumahku. Tapi juga bukan kos reyot saat aku jadi pengamen.

Tidak ada kipas angin berisik, tidak ada kasur berantakan dengan baju yang menumpuk di pojokan. Dinding yang biasanya penuh tempelan jadwal ujian yang gak pernah kupatuhi, kini polos dan dicat rapi. Bahkan, aku punya lemari besar yang kelihatan mahal.

Aku bangkit perlahan, langkahku tertatih seperti bayi baru belajar jalan. Kakiku menyentuh lantai dingin yang bersih. Tidak ada jejak sandal jepit emak yang biasanya berserakan.

Aku mendekati cermin yang terpasang di dinding.

Mataku membesar.

Aku masih aku… tapi lebih tua.

Janggut tipis menghiasi daguku, kantung mata gelap nongkrong di bawah mataku seperti bukti kalau hidup ini berat. Rambut? Oke, beberapa helai mulai berubah warna. Aku miring-miringin kepala, mencoba memastikan: ini uban atau efek pencahayaan sialan?

Aku mengembuskan napas berat. "Oke, Yud. Tarik napas... buang napas...," aku mencoba menenangkan diri.

Tiba-tiba—

YUD ADA TELPON, YUD ADA TELPON!

"WOY!"

HP yang masih kupegang tiba-tiba bergetar. Suara ringtone norak menggema di ruangan. Hampir aja HP ini kulempar ke dinding. Di layar, muncul nama asing: ‘Rafa Azaela’.

Aku mengernyit. "Siapa lagi ini?"

Oke, ini bukan yang pertama kalinya. Aku tahu hal apa yang harus kulakukan terlebih dahulu—mengumpulkan informasi.

Aku mengangkat telepon dari orang yang bahkan aku nggak tahu siapa.

“Halo?”

“Yud! Oi, kamu dicari bos, buruan sini! Kamu pasti baru bangun, ya?”

Suaranya cewek, nada suara nggak asing, tapi tetap nggak ngenalin siapa dia.

Aku refleks melirik HP lagi—Rafa Azaela.

Nama itu... aku tahu.

TAPI SIAPA?

Aku mencoba menyusun ingatan, tapi nihil. Sementara di ujung sana, suara cewek itu—Rafa, siapa pun dia—masih ngoceh.

“Jangan bilang kamu lupa hari ini ada presentasi gede? Kita harus laporan perkembangan penjualan, Yud! Kalau kita gagal kali ini, gaji kita bulan depan bakal lebih horor dari akhir bulan biasa.”

Presentasi? Penjualan? Gaji lebih Horor?

Aku otomatis melirik sekitar kamar—tempat ini nggak terlihat kayak kos kumuh pengamen Yudhis versi sebelumnya.

Ini lebih proper.

Dinding nggak retak, catnya nggak mengelupas, tempat tidur nggak berdebu. Bahkan ada setelan jas tergantung di kursi.

Aku nyengir kecut. Ah, sial. Pasti pekerjaanku sekarang sok-sokan berkelas.

“Halo!? Yudhis!? Kamu tidur lagi, ya!?”

“EHH, Nggak! Aku OTW! OTW banget!” Aku buru-buru jawab.

“OTW dari mana? Kamu kan tinggal di lantai dua kantor!”

Lantai dua kantor? Sial, aku tinggal di tempat kerja!?

“HAHAHA IYA, IYA, AKU OTW KE BAWAH! Eh, tapi... Kita kerja apa sih?” tanyaku spontan.

Di ujung telepon, Rafa mendengus.

“Buset. Tiga tahun jadi sales properti masih aja nanya kerjaan sendiri? Udah, cepetan turun! Bos ngamuk nih!”

Aku terdiam.

Sales. Properti.

Aku. Jualan rumah.

Astaga, ini lebih buruk daripada ngamen!

Aku masih berdiri mematung di kamar, mencoba mencerna kenyataan bahwa aku—Yudhis, yang dulunya lebih jago ngegombal daripada presentasi—sekarang seorang sales properti. Dan lebih parahnya lagi, aku udah tiga tahun di pekerjaan ini!?

“YUDHIS! KAMU MASIH DI ATAS!?” Suara Rafa dari telepon hampir membuat jantungku copot.

“EHHH, NGGAK, NGGAK! Ini kaki udah jalan, sumpah!” Aku buru-buru berlari ke pintu, tapi malah nabrak meja. Gelas kosong jatuh ke lantai. Sial. Aku ini tinggal di kantor, kenapa bisa lupa layout kamarku sendiri?

“Buruan! Bos lagi ngamuk-ngamuk soal target! Kita harus presentasi di depan dia, INGAT?!” Rafa makin emosi.

Presentasi? Aku? Di depan bos!?

Langsung darahku surut. Aku buru-buru melangkah keluar kamar dengan kemeja yang nggak kukancingin dengan benar. Baru aja aku sampai tangga, tiba-tiba ada suara berat di belakangku.

“Yudhis.”

Aku langsung membeku. Ini pasti suara—

“KENAPA BAJUNYA KAYAK GITU!? LU MAU PRESENTASI APA MAU IKUT KARNAVAL!?”

Benar. Itu pasti bosku, bahkan tanpa punya ingatan di zaman ini pun aku yakin sekali, pria ini adalah bosku.

Aku berbalik pelan, melihat pria berkumis tebal dengan jas necis yang sekarang menatapku seperti aku adalah noda di karpet mahal kantornya.

“Ehh, pagi bos! Hahaha, ini… fashion statement, biar keliatan fresh di depan Bos dan para meneger,” ucapku sambil mengancingkan kemeja asal-asalan.

Bos memijat pelipisnya. “Aku udah capek sama kamu, Yudhis. Kalo nggak karena kamu pernah kejebak di lift sama klien VIP dan malah berhasil jual rumah ke dia, udah kupecat kamu dari dulu!”

Ah, pantas aja aku masih kerja di sini. Aku pasti pernah sial, tapi entah gimana malah hoki. Begitulah hidupku.

Dari belakang, Rafa muncul sambil bawa tumpukan kertas. “Bos, Yudhis udah siap kok, kan?” Rafa melirikku tajam.

Aku mengangguk sok yakin. “Siap banget! Jual rumah mah gampang.”

Padahal, aku bahkan gak tau harus presentasi apa.

15 menit kemudian. Kami berdua aku dan Rafa sudah berdiri dihadapan Bos yang duduk di tengah ujung sana, dan juga meneger-meneger yang duduk di antara meja besar yang ada di hadapan kami. Aku baru tahu jika aku dan Rafa akan mempresentasikan tentang perkembangan penjualan properti Perusahaan kita. Ruangan dikelilingi dengan poster penjualan .

Kami sudah siap presentasi dengan layar besar ini. Aku menarik napas, lalu membuka dengan nada penuh percaya diri, “Baik, terima kasih Pak Alija dan juga para manajer yang terhormat, sudah menyempatkan waktu untuk menghadiri pertemuan ini. Pada kesempatan ini, kami akan menunjukkan perkembangan pesat yang telah dialami perusahaan kita selama beberapa bulan terakhir.”

Rafa, yang berdiri di samping layar sambil memegang remote presentasi, langsung melotot. Aku bisa lihat dia menepuk jidatnya pelan. Tapi aku terlalu asyik dengan pembukaan dramatis ini, jadi aku lanjut saja.

“Silakan slide selanjutnya, Rap.”

Klik. Slide berganti.

Aku langsung paham kenapa Rafa tadi bereaksi begitu.
GRAFIK PENJUALANNYA TURUN DRASTIS.

Aku merasakan keringat dingin mulai keluar dari keningku. Suasana ruangan mendadak hening, hanya suara AC yang terdengar. Bos sudah geleng-geleng kepala. Beberapa manajer lain berbisik pelan, mungkin menyiapkan surat pemecatan dadakan.

Tapi aku harus tetap tenang. Aku menelan ludah, lalu berkata dengan nada se-santai mungkin, “Hehe, sebenarnya… jika kita melihat dari sudut pandang terbalik, grafik ini naik, bos.”

Hening.

Pak Alija menatapku tajam. “Maksudnya?”

Aku menggaruk belakang kepalaku. “Ya, kalau kita jungkir balikkan laptopnya, grafiknya kan naik tuh, Pak.”

Rafa langsung membenamkan wajahnya di telapak tangan. Salah satu manajer tiba-tiba batuk keras, entah karena kaget atau nahan ketawa.

Pak Alija masih diam, tapi urat di pelipisnya mulai muncul. “Yudhis.” Suaranya datar, tapi auranya mengintimidasi.

Aku langsung refleks memberi hormat. “SIAP, BOS!”

Karena presentasi kami kacau, bos langsung membubarkan meeting. Para manajer satu per satu keluar ruangan dengan wajah campuran antara prihatin dan geli. Mereka kembali ke pekerjaan masing-masing, meninggalkan aku dan Rafa sendirian... dengan Bos Alija.

Masih duduk di kursinya, bos menatap kami dengan mata melotot. “Aku udah nggak ngerti lagi,” katanya, suaranya datar tapi penuh tekanan. “Kenapa bisa kita mengalami penurunan sedrastis itu? Entah apa yang kalian kerjakan selama ini.”

Aku dan Rafa saling melirik. Kalau ini film, mungkin sekarang ada efek suara jangkrik di latar belakang.

“Maaf, bos...” Rafa akhirnya buka suara, pelan, hampir kayak bisikan.

Aku juga ikut menunduk, meski sebenarnya aku masih bingung—aku bahkan nggak tahu kerjaanku apa kemarin, gimana mau ngejelasin!? Ingin sekali aku bilang, ‘Bos, aku baru bangun tadi dan tiba-tiba udah di sini, sumpah aku juga kaget,’ tapi aku yakin kalau aku ngomong gitu, bukan hanya dipecat dari kerjaan, aku juga bakal dipecat dari dunia ini.

Bos menghela napas pendek kemudian berkata “Yaudah, kalian saya kasih kesempatan 1 bulan, jika kalian gagal menjual 2 unit rumah, kalian saya pecat.”

Buset baru hari pertama kerja udah mau di pecat aja. Jujur diriku saat ini sebenarnya merasa sangat gugup dan takut, mungkin ini ingatan hati yang dimiliki diriku di zaman ini.

“Baik Bos!” ucapku semangat.

Rafa melotot ke arahku, ekspresinya kayak ibu kos yang baru sadar uang sewanya kurang. “BAIK bos?” ulangnya pelan, penuh tekanan. “Kamu sadar gak kita baru aja diancem bakal dipecat?”

Aku nyengir kecil, mencoba tetap santai walau lututku udah lemes. “Ya terus mau gimana? Nangis?”

Bos Alija memijat pelipisnya. “Kalian berdua keluar dari ruangan saya sebelum tekanan darah saya naik.”

Kami langsung berdiri tegap. “Siap, bos!” seruku, sementara Rafa lebih memilih diam dengan wajah sehitam langit mendung.

Begitu pintu tertutup, Rafa langsung menghadapku dengan tatapan seperti macan lapar. “Yudhis, kalau dalam sebulan kita nggak berhasil jual rumah, aku pastiin kita bakal masuk daftar pencarian orang karena aku bakal ngubur kamu hidup-hidup.”

Aku menelan ludah “Sabar Rap, ini bukan akhir dari segalanya, aku yakin kita bisa jual 2 rumah dalam sebulan, bahkan lebih” Rapa hanya bisa menghela napas, sepertinya dia sudah terbiasa dengan diriku, apa diriku di zaman ini juga mengesalkan ini, entahlah.

“Eh, kalo mau dipecat jangan ajak-ajak aku dong. Tapi yaudah deh, mau aku bereaksi gimanapun, yudhis tetaplah yudhis, manusia paling santuy dan tidak punya otak.” ucapnya pura-pura cemberut. Namun setelah itu tertawa, akupun juga ikut tertawa, bukan karena lucu, tapi lega ternyata Rafa tidak sedang marah padaku.

Rafa sempat melihatku sebelum akhirnya meninggalkan kantor kemudian berkata “Yud, ikut aku yuk bentar.”

“BAIK BOS!” Seruku semangat.

“Gak usah begitu ke aku, cukup ke pak Alija aja.”

Aku mengikuti langkah Rafa “Aku mau nanya dong Rap.”

“Nanya apaan?”

Dengan polosnya bibirku mengucap “Itu kumisnya Pak Bos asli atau boongan ya? Tebel banget.”

“HAHAHAHA, PAK ALIJAAAAAA! INI YUDHISNYA NGEJEK BAPAK NIH” Teriak Rafa ke arah dalam kantor. ANAK BABII!

Aku buru-buru membekap mulut Rafa. “Astaga, Rap, kita baru aja dikasih kesempatan kedua, jangan bikin kesempatan ketiga malah nyari kerja di pasar!”

Rafa masih terkekeh sambil melepas tanganku dari mulutnya. “Udah-udah, ayo ikut aku. Kita butuh minum.”

Aku mengangkat alis. “Minum? Maksudnya es teh?”

Dia melotot. “Bar, Yudhis. B.A.R.”

Aku langsung cengengesan. “Oh, bar. Bisa nggak kalo kita ke warung Burhan aja? Hemat.”

Rafa memutar bola matanya sambil menarik tanganku. “Udah diem. Aku yang traktir.”

***

 

20 menit kemudian, kami sudah duduk di salah satu sudut bar yang cukup tenang. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di atas kepala, musik EDM menghentak di kejauhan, dan suara orang-orang ngobrol bercampur dengan dentingan gelas. Aku menatap gelas di depanku yang berisi sesuatu berwarna coklat.

Aku melirik Rafa curiga. “Rap, ini halal, kan?”

Dia menyeruput minumannya santai. “Santai, Yud. Aku tau kamu nggak bisa minum yang keras.”

Aku mencium aromanya sebentar. “Hmm, ini kan es teh!”

Rafa mengangguk. “Iya. kamu nggak kira aku bakal beneran traktir minuman mahal, kan?”

Aku mendesah lega, lalu menyeruput minumanku. “kukira kamu bakal nyiksa aku lebih jauh setelah kejadian tadi.”

Rafa menatap kosong ke arah meja. “Sebenernya aku nggak nyangka bakal gagal seburuk ini.”

Aku mengangkat bahu. “Aku juga.”

Dia melotot. “Kamu kan baru nyadar kerjaanmu tadi pagi.”

Aku langsung cengengesan lagi. “Yah, detailnya nggak penting.”

Kami terdiam sejenak, menikmati suasana bar yang hiruk-pikuk. Aku memperhatikan Rafa yang mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, tanda dia lagi mikir keras.

“Eh, Yud,” katanya tiba-tiba. “Kita harus cari cara biar bisa jual rumah dalam sebulan. Kamu ada ide?”

Aku mengelus dagu, berpikir dalam-dalam. “Gimana kalo kita bikin promosi beli satu rumah gratis sandal jepit?”

Rafa langsung menatapku tajam. “Yudhis.”

“Apa?”

“Diam.”

“Baik.”

Kami kembali diam, hingga akhirnya aku berkata, “Eh, tapi serius, gimana kalau kita cari cara yang lebih unik buat jual rumah? Misalnya, kita bikin open house yang beda dari biasanya?”

Rafa menatapku lama. “Kita bikin sesuatu yang bisa bikin orang kepikiran buat beli rumah…”

Aku mengangguk cepat. “YESS! Kayak, apa ya…?”

Dia tersenyum miring. “Kita cari tahu besok.”

Aku ikut tersenyum. “Setelah aku tidur, ya?”

“Setelah aku nabok kepalamu dulu.”

BRAK!

Aku meringis saat Rafa memukul lenganku. Oke, kayaknya ini jadi malam yang panjang.

10 menit kemudian Rafa sudah mabuk total, hampir tidak sadarkan diri atau malah sudah. Kepalanya bahkan sudah menempel di atas meja sedangkan tangannya masih memegang gelas yang berisi entah apa.

ASTAGFIRULLAH! NIH CEWE BIKIN SUSAH AJA, KALO GAK BISA MINUM TUH GAK USAH SOK SOKAN NAPA.

Akhirnya aku menggendongnya melewati orang-orang yang ada di dalam bar itu.

Ada yang kondisinya juga seperti Rafa.

Ada yang tertawa tanpa henti

Ada juga yang….wuiss Tuh cewe cuma pake BH. Eh!...Reflek kualihkan pandanganku kearah lain, Astagfirullah. Mataku harus segera dicuci dengan air zam-zam kalau sudah begini.

Akhirnya sampai juga kami di dalam mobil. Aku meregangkan badanku beberapa saat. Berat juga nih anak. Kemudian aku mengantar Rafa menuju….. tunggu, aku harus mengantarnya kemana!?. Masa mau kutaruh di samping jalan kayak paket COD? Nggak mungkin dong, atau kubawa pulang aja ya ke kantor, entar malah dikira nyulik anak orang. Mana mukaku sudah sangat cocok banget lagi buat jadi penjahat-penjahat yang biasanya bakal dikalahin oleh sang peran utama.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Bawah Langit Bumi
2668      1070     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
SECRET IN KYOTO
553      401     6     
Short Story
Musim semi adalah musim yang berbeda dari empat musim lainnya karena selalu ada kesempatan baru bagiku. Kesempatan untuk tumbuh dan mekar kembali bersama dengan kenangan di masa lalu yang kuharap akan diulang kembali.
Lost in Drama
1968      781     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Just a Cosmological Things
954      539     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Flying Without Wings
1024      547     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
dr. romance
949      560     3     
Short Story
melihat dan merasakan ucapan terimakasih yang tulus dari keluarga pasien karena berhasil menyelamatkan pasien.membuatnya bangga akan profesinya menjadi seorang dokter.
Malu malu cinta diam diam
513      377     0     
Short Story
Melihatmu dari jauhpun sudah membuatku puas. karena aku menyukaimu dalam diam dan mencintaimu dalam doaku
6 Pintu Untuk Pulang
659      385     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
Cinta Butuh Jera
1675      1053     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...
Bulan di Musim Kemarau
427      308     0     
Short Story
Luna, gadis yang dua minggu lalu aku temui, tiba-tiba tidak terlihat lagi. Gadis yang sudah dua minggu menjadi teman berbagi cerita di malam hari itu lenyap.