Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ameteur
MENU
About Us  

Hari 1, Senin : Mulai Pagi yang Berat

Senin pagi datang dengan suara alarm yang memekakkan telinga. Aku membuka mata, bingung sejenak, dan meraba-raba layar ponsel untuk mematikannya. Alarm yang berbunyi di hari pertama kerja selalu membawa beban berat. Seolah mengingatkanmu bahwa kehidupan yang menunggu di luar sana tidak pernah berhenti.

Aku menghela napas dan perlahan bangkit dari tempat tidur. Kamarku tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk memberi ruang bagi pikiranku yang kacau. Kamar ini terasa nyaman, tapi juga mengekang. Aku sering merasa seperti seseorang yang terjebak di antara dua dunia, satu dunia yang penuh harapan dan impian besar, dan satu lagi yang penuh kenyataan sehari-hari yang sering kali menguras tenaga dan semangat.

Pukul tujuh pagi, aku sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian kantor yang terasa lebih lusuh dari hari-hari sebelumnya. Semua ini terasa seperti rutinitas yang sudah terlalu sering kulewati, terlalu familiar, tetapi tetap tak bisa kupahami.

Kopi pertama hari ini terasa seperti jatah hidup yang aku dapatkan. Rasanya hangat, tetapi tak cukup bisa menghangatkan hati. Sebelum berangkat, aku membuka ponsel sejenak. Instagram, seperti biasa, menyajikan cerita-cerita orang yang lebih sukses dariku. Si Nofia misalnya, unggahan terbaru menampilkan dirinya di kafe dengan tulisan “Starting my day with a little bit of success”. Kafe itu tampaknya luar biasa mahal, tempat yang dulu kami anggap hanya bisa dikunjungi dengan uang saku sebulan penuh. Nofia, teman SMA yang dulu tidak pernah terlalu serius belajar, sekarang hidup dalam kenyataan yang jauh lebih mewah daripada yang aku impikan.

Kenapa dia bisa? Kenapa semua orang terlihat lebih sukses daripada aku?

Aku menghela napas panjang, meletakkan ponsel di meja, dan memutuskan untuk pergi. Hari ini, aku harus bekerja.

Di kantor, suasana tidak jauh berbeda. Ruangan dengan meja-meja kerja yang berjejer, lampu neon yang menyinari segala sesuatunya, dan suara ketikan keyboard yang tak pernah berhenti. Semuanya berjalan dengan ritme yang sudah sangat familiar. Para kolega tampaknya lebih fokus dan sibuk, tak ada yang bercakap lebih dari perlu. Aku memandang mereka sejenak. Siapa di antara mereka yang benar-benar merasa bahagia dengan hidupnya? Siapa yang merasa puas?

Aku mencoba duduk di mejaku dan mulai memeriksa tumpukan email yang masuk. Setiap pesan sepertinya mendesakku untuk menyelesaikan lebih banyak pekerjaan, lebih cepat, dan lebih sempurna. Aku berpikir, jika aku terus seperti ini, aku mungkin bisa mencapai titik di mana aku bisa merasa sedikit lebih baik tentang diriku. Tapi… apakah itu cukup?

Sejenak, aku membuka Instagram lagi. Si Nurul, teman SMA yang dulu selalu berada di kelas dengan catatan yang acak-acakan memposting foto dirinya berdiri di depan podium seminar internasional. Di bawahnya tertulis, "Tidak ada kata terlambat untuk memulai." Aku hampir menutup aplikasi itu, tapi mataku terhenti di satu komentar.

“Setahun yang lalu, kamu juga ragu. Sekarang kamu bisa berdiri di sini. Sukses besar, Nita!”

Aku menatap foto itu beberapa detik lebih lama. Nurul. Dulu dia tidak pernah merasa seperti orang yang bisa berbicara di depan orang banyak. Tapi kini, dia adalah keynote speaker. Aku merasa sedikit aneh. Kenapa aku yang dulu merasa lebih siap, dengan banyak rencana dan ambisi, sekarang hanya terjebak dalam rutinitas yang sama setiap hari? Apa yang salah?

Aku menatap layar laptopku. Pesan-pesan kerja menumpuk, tapi pikiranku terus teralihkan. Kenapa aku merasa seperti terperangkap di dunia yang tidak pernah berhenti mengukur kesuksesan orang lain? Aku merasa terasing, terperangkap dalam kenyataan bahwa sepertinya dunia ini berjalan lebih cepat daripada aku.

Siang datang. Makan siang. Seperti biasa, aku memutuskan untuk makan sendirian. Mungkin lebih baik begitu, jadi aku tidak perlu mendengarkan obrolan orang lain yang tampaknya selalu penuh dengan pencapaian besar. Aku duduk di meja kecil di kafe dekat kantor, memesan nasi goreng sederhana dengan segelas air mineral.

Ketika aku mulai menyantap makananku, ponselku berdering. Sebuah pesan dari Azka, teman lama dari SMA. Aku membukanya, berharap bisa sedikit merasa lebih terhubung dengan dunia nyata.

“Eh, kamu masih sering makan Indomie? Kalau iya, kita harus ketemuan lagi! Hehe…”

Pesan itu mengingatkanku pada masa lalu. Azka, yang dulu sangat dekat denganku, kini sibuk dengan kariernya yang terus berkembang. Aku membalasnya dengan cepat, “Iya, Indomie andalan banget. Nanti kita ketemu ya!”

Azka membalas lagi, “Aku lihat sih foto-foto kamu. Kehidupan kamu kelihatan baik-baik aja, kok. Aku malah kangen masa-masa SMA yang santai.”

Aku berhenti sejenak. Apa yang sebenarnya aku tunjukkan di media sosial? Bukankah hidupku seperti biasa saja, tak ada yang istimewa? Terkadang, aku merasa seperti sedang berpura-pura.

Namun, pesan Azka memberi sedikit ketenangan. Ternyata, semua orang memiliki cara berbeda untuk menghadapi kehidupan. Bahkan, orang-orang yang kelihatannya sudah sukses pun, mungkin sedang bergulat dengan hal-hal yang tidak mereka tunjukkan.

Setelah makan siang, aku kembali ke kantor. Waktu berjalan dengan lambat. Setiap detik terasa lebih berat. Aku menatap rekan-rekanku yang tampaknya tidak merasa cemas, seperti semuanya berjalan sesuai rencana. Mereka fokus pada pekerjaan mereka, berbicara dengan percaya diri tentang proyek-proyek besar yang sedang mereka kerjakan.

Sementara aku, aku hanya ingin lari. Aku ingin menemukan sesuatu yang lebih besar dari ini, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.

Pukul lima sore, aku pulang ke rumah dengan langkah lemas. Di jalan, aku melihat banyak orang berlalu lalang. Mereka terlihat lebih hidup daripada aku. Seolah-olah mereka tahu kemana tujuan mereka, sementara aku hanya mengikutinya.

Setiba di rumah, aku membuka kulkas, mengambil bumbu mie, dan mulai memasak Indomie. Ini sudah jadi rutinitas yang tidak pernah berubah. Semua perasaan yang menggelayuti sepanjang hari terasa hilang begitu mie itu terhidang. Aku duduk di depan televisi, menatap layar, dan mencoba mengalihkan pikiranku.

Sambil menatap Indomie yang aku santap perlahan, aku berpikir, "Mungkin aku terlalu keras pada diri sendiri." Semua orang punya proses mereka sendiri. Mungkin aku harus memberi diriku ruang untuk bergerak.

Hari pertama minggu ini telah berlalu. Aku masih merasa terjebak, tapi sedikit demi sedikit, aku mulai menyadari bahwa ini mungkin hanya bagian dari perjalanan.

 

 

Hari 2, Selasa : Semua Orang Punya Agenda, Aku Punya Kecemasan

Pagi ini hujan turun pelan-pelan, seperti sedang berusaha tidak mengganggu dunia yang sibuk. Tapi tetap saja, bagiku itu cukup untuk membuat langkah jadi lebih lambat. Aku terlambat bangun. Alarm tidak berfungsi, atau mungkin aku hanya mengabaikannya lagi, entahlah.

Jam dinding menunjukkan pukul 08.17. Hari ini sudah mulai salah dari awal. Kupikir, kalau aku langsung berangkat tanpa mandi, mungkin masih bisa sampai kantor tepat waktu. Tapi kemudian aku berhenti di depan cermin kamar mandi, menatap wajah sendiri yang masih kusut. “Hari ini kamu mau jadi siapa?” tanyaku pada bayangan itu, tanpa benar-benar mengharapkan jawaban.

Aku mandi juga akhirnya, walau cepat dan tanpa niat. Bajuku pun seadanya. Kemeja biru yang sudah mulai pudar, rok kain yang sebenarnya butuh disetrika. Tapi siapa yang peduli?

Di halte bus, aku bertemu seorang wanita seusiaku. Pakaian rapi, jam tangan mahal, perhiasan mengilap. Ia bicara di telepon, nadanya percaya diri. Tentang tender, proyek, angka miliaran. Aku hanya diam. Tiba-tiba merasa sangat kecil. Dunia orang-orang lain terasa seperti panggung yang tak pernah bisa kumasuki.

Sesampainya di kantor, suasana tampak lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat yang mendadak dijadwalkan pagi ini. Aku tidak tahu. Ternyata masuk grup baru, katanya, dan grup itu pakai aplikasi berbeda. Aku merasa seperti sedang tertinggal di stasiun, menonton kereta yang sudah melaju.

Dalam rapat, aku mencoba fokus, mencatat, tapi pikiranku melayang-layang. Semua orang tampaknya punya strategi. Semua orang bisa bicara lancar, menjawab pertanyaan, menunjukkan grafik yang mengesankan. Aku hanya duduk, tersenyum kaku setiap kali diminta komentar.

Saat break makan siang, aku duduk di pantry. Sendiri. Lagi-lagi. Aku membuka ponsel, scrolling tanpa tujuan. Story Instagram temanku muncul satu per satu. Si Yumna launching bisnis kopi, si Senja mengumumkan beasiswa master ke Belanda, dan si Andin baru upload video podcast bareng public figure. Mereka semua seumuranku. Lalu aku? Masih di pantry kecil kantor, makan bekal seadanya, dan merasa tidak punya arah.

Tiba-tiba, aku melihat satu unggahan dari Azka, temanku yang sempat chat kemarin. Ia memposting foto kopi panas dan notes dengan tulisan tangan:

“You don’t have to be ahead to be okay. Just keep going.”

Aku menatapnya lama. Kata-kata itu sederhana, tapi menggigit. Membuatku ingin berhenti menyalahkan diri sendiri, walau cuma sebentar.

Sore harinya, aku diajak meeting tambahan. Proyek baru. Aku hanya kebagian mendengarkan, mencatat, dan membuat notulen. Tapi dari duduk diam itu, aku mulai memperhatikan pola. Banyak dari mereka juga tidak benar-benar tahu apa yang sedang mereka lakukan. Beberapa berbicara berputar-putar, beberapa lainnya asal mengangguk.

Aku mulai berpikir, mungkin semua orang memang sedang menebak arah, sama sepertiku. Bedanya, mereka lebih pandai menyembunyikannya.

Saat pulang, hujan turun lagi. Aku tidak membawa payung. Jadi aku berjalan cepat dari halte menuju kosan. Kemeja dan sepatu basah, tapi entah kenapa tidak terlalu kupikirkan.

Sesampainya di kamar, aku mengganti baju, merebus air, dan memasak Indomie lagi. Kali ini kupecahkan telur dan tambahkan cabai rawit. Bukan karena ingin makan enak, tapi lebih ke… ingin merasa punya kontrol atas sesuatu.

 

Di tengah mengaduk mie, aku berpikir.

"Kalau besok masih terasa berat, nggak apa-apa. Yang penting tetap bangun. Mungkin bertahan satu hari lagi juga bentuk kecil dari keberanian."

Hari kedua ini tetap berat, tapi aku merasa sedikit lebih sadar. Mungkin, hidup bukan tentang terlihat sukses tiap hari, tapi tentang tidak menyerah meski rasanya gagal terus-menerus.

 

Hari 3, Rabu : Mungkin Aku Tidak Sendiri

Pagi ini aku bangun sebelum alarm berbunyi. Langit masih gelap, hanya cahaya pucat dari jendela yang menyelinap ke dalam kamar. Aku tidak tahu pasti kenapa terbangun lebih awal, tapi tubuhku terasa ringan, seperti akhirnya menyerah pada ritme kacau yang sudah seminggu ini menumpuk. Entah karena tidur lebih cepat semalam, atau karena mimpi aneh yang membuatku terbangun dengan rasa asing di dada.

Aku duduk di kasur, membiarkan kaki menyentuh lantai yang dingin. Rasanya sepi, tapi tidak menyakitkan. Lebih seperti... kosong. Aku berjalan ke kamar mandi, menatap cermin dan untuk pertama kalinya bertanya:

“Kalau semuanya begini terus, apa aku masih bisa bertahan satu tahun ke depan?”

Pertanyaan itu tidak punya jawaban, tapi anehnya, aku tetap menyikat gigi. Menyiram wajah. Mandi. Seolah tubuhku sudah autopilot, meski hati tertinggal beberapa langkah di belakang.

Di jalan menuju kantor, aku sempat mampir ke minimarket. Aku membeli kopi botolan dan roti isi. Di kasir, seorang ibu-ibu di depan menanyakan promo, dan kasir menjelaskan sambil menguap. Dunia terus berjalan, rupanya, meskipun kita lagi kacau.

Di kantor, suasana cukup lengang pagi ini. Tidak ada rapat, tidak ada teriakan manajer. Tapi tetap saja, pikiranku tidak tenang. Hari ini adalah hari penyerahan progress mingguan ke tim. Aku belum menyelesaikan bagian presentasiku, dan aku tahu itu akan jadi masalah.

Aku menunduk di depan layar laptop, mencoba mengakali data yang kurang. Tapi semakin lama, aku semakin sadar bahwa aku tidak bisa terus menutupi lubang yang mulai terlihat. Aku mulai kesal. Bukan pada siapa-siapa, tapi pada diriku sendiri yang minggu ini terlalu sibuk merasa gagal sampai lupa menyelesaikan apa yang penting.

Saat itu, notifikasi email muncul. Judulnya: “Program Mentoring Internal - Daftar Terbuka”

Biasanya, aku akan abaikan. Tapi entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin karena aku sedang butuh seseorang yang bisa dengar tanpa menghakimi. Mungkin karena aku butuh alasan untuk percaya bahwa masih ada hal baru yang layak dicoba. Jadi aku daftar. Dengan nama lengkap dan divisi. Tanpa ekspektasi.

Waktu makan siang, aku ke pantry. Di sana ada Rendi, anak desain. Ia duduk membaca komik digital. Kami jarang bicara, tapi tiba-tiba dia mengangkat kepala dan berkata:

“Tokohnya ini, tiap hari overthinking. Tapi ya hidup terus aja jalan.”

Aku duduk di seberangnya, pelan-pelan membuka bungkus makananku.

“Kamu suka karakter kayak gitu?” tanyaku.

“Iya,” jawabnya. “Soalnya kayak ngelihat diri sendiri, cuma lebih jujur.”

 

Aku tertawa kecil. Ada jeda, lalu dia nanya, “Lagi berat ya minggu ini?”

Aku hampir bilang "enggak", refleks. Tapi lalu aku cuma angkat bahu dan bilang, “Lagi ngerasa gagal terus sih.”

Dia mengangguk, lalu membalas dengan kalimat yang rasanya seperti tamparan lembut,

“Gagal itu kayak warna, bukan akhir. Kadang cuma fase. Tapi kalau kita terus lari, dia jadi kelihatan kayak takdir.”

 Sore harinya, aku submit laporan mingguan dalam keadaan setengah siap. Supervisorku tidak marah, tapi jelas kecewa. Ia bilang, “Aku tahu kamu bisa lebih baik dari ini.” Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada dimarahi.

Aku pulang agak telat hari ini. Bukannya sibuk, cuma merasa tidak ingin pulang terlalu cepat. Aku mampir ke taman kecil di belakang kantor. Duduk sendiri di bangku yang agak tersembunyi. Di sana, aku melihat seorang pria paruh baya sedang bermain layangan dengan anak kecil. Mereka tertawa, jatuh, bangkit lagi. Aku merasa asing pada momen-momen semacam itu. Rasanya seperti terlalu polos, terlalu ringan. Tapi juga... rindu.

Aku membuka HP, scroll tanpa tujuan. Melihat story orang-orang lagi. Tapi kali ini aku tidak merasa cemburu. Hanya... kosong. Sampai akhirnya kulihat story dari Azka. Lagi-lagi kalimat kecil yang menampar:

“Kadang kita nggak butuh perubahan besar. Cukup berhenti menyalahkan diri sendiri.”

Sesampainya di kos, aku diam beberapa saat di depan kompor portable. Tangan refleks mengambil satu bungkus Indomie goreng. Persis seperti malam-malam sebelumnya.

Aku terkekeh pelan.

“Lucu juga, ya,” pikirku. “Saat semua orang di Instagram upload sushi dan steak, aku masih setia sama Indomie dan telur sebiji.”

Air mulai mendidih. Bau bumbu gurih menyeruak begitu mie dicampur dengan minyak dan kecap. Bunyi sendok yang mengaduk itu entah kenapa terdengar menenangkan. Ritual ini seperti upacara pereda panik. Murah, sederhana, tapi cukup untuk membuatku merasa masih bisa mengendalikan sesuatu.

Di atas meja, aku makan sambil scroll ulang notifikasi mentoring tadi. Rasa mie-nya sama seperti biasa. Gurih, berminyak, menghibur. Tapi malam ini, entah kenapa, rasanya sedikit lebih... bermakna?

Mungkin karena aku sadar. Indomie ini bukan lambang kegagalan. Tapi bukti bahwa aku masih bertahan.

Dan itu sudah cukup untuk malam ini.

Dengan sadar, aku mengambil 2 post-it. Entah nanti mau ditempel dimana. Yang penting tulis dulu.

“Aku belum sukses. Tapi aku belum berhenti.” Satu lagi, kutuliskan “Hari ini aku capek, tapi aku belum selesai.”

 

Hari 4, Kamis : Dunia Tidak Berhenti, Tapi Aku Bisa Istirahat

Pagi ini aku bangun lebih lambat dari biasanya. Bukan karena kesiangan, tapi karena... rasanya tidak ada yang perlu dikejar. Aku tahu ada meeting jam sepuluh, tapi aku juga tahu tidak akan ada yang benar-benar peduli kalau aku datang tiga menit terlambat.

Aku membuka jendela. Langit Jakarta sedang tidak terlalu jahat pagi ini. Mendung tipis, angin malas-malasan menyelinap lewat tirai. Aku menyalakan lagu. Bukan yang membakar semangat, tapi yang bisa membuatku diam tanpa merasa hampa. Lagu-lagu lama, seperti teman yang tak pernah berubah.

Di kantor, aku mengikuti meeting dengan setengah hati. Supervisor berbicara panjang lebar soal target bulan depan. Angka, presentase, grafik. Semuanya lewat begitu saja. Sampai akhirnya salah satu rekan seangkatanku menyampaikan progress-nya.

Izah. Teman satu batch. Orang yang dulu semeja waktu training awal kerja, yang sekarang sudah naik jabatan jadi kepala tim. Dia menjelaskan dengan lancar, percaya diri, sambil diselingi candaan ringan yang membuat semua tertawa.

Aku ikut tertawa. Tapi dalam hati, aku merasa tertinggal lagi.

Setelah meeting, aku dan Izah sempat papasan di pantry. Dia sedang menuang kopi instan ke dalam gelas merah plastik, dan begitu melihatku masuk, dia langsung nyengir.

“Eh, kamu sehat? Udah lama gak ngobrol ya.”

Aku mengangguk, menyender di meja pantry.

“Iya, sibuk mulu sih kamu, Zah.”

Dia tertawa, suara khasnya masih sama seperti dulu, agak serak dan sedikit berpower. “Sibuk capek sih, bukan sibuk keren.”

Dia duduk di kursi pantry yang bunyinya selalu berderit kalau digeser. “Aku liat kamu daftar mentoring ya? Keren juga, sih. Dulu kamu yang paling antusias tuh kalau ada mentoring-mentoringan waktu training.”

Nada suaranya ringan, tapi ada ketulusan di dalamnya. Seolah dia gak sekadar basa-basi.

Aku nyengir miris. “Kayaknya sekarang malah aku yang butuh dimentor.”

Dia menyeruput kopinya, lalu menatapku sebentar. “Aku juga, cuy. Kita semua. Selama ini mah aku juga ikut mentoring, malah diminta jadi mentor ya baru minggu ini.”

Dia melirik jam tangannya sebentar. “Jadi mentor bukan berarti hidupku lebih rapi. Kadang aku ngomongin goal sambil nahan panik di kamar mandi.”

Lalu dia ketawa pelan.

Aku terdiam. Ada jeda. Aku gak tahu harus jawab apa. Tapi kalimatnya masuk. Terlalu dalam untuk dibiarkan lewat.

Dia berdiri, menepuk pundakku. “Kamu ga sendiri, cuy. Yang keliatan tenang belum tentu gak lagi goyah. Kadang aku juga ngeliat kamu dan mikir, ‘nih orang tahan banget, ya?’”

Aku melongo sebentar, lalu ketawa. Jelas gak nyangka ada orang yang justru ngelihatku begitu. “Jangan lupa ya, kita semua masih figuring things out. Masih sama kayak anak-anak magang yang pernah ngaduk kopi bareng di pantry ini.”

Dia ngacungin jempol, lalu balik ke mejanya, meninggalkan aku yang berdiri di samping dispenser, bengong seperti biasa.

Aku duduk di kursi yang tadi dia pakai. Masih hangat. Dalam diam, aku membatin “Ternyata, kadang yang terlihat kuat juga lagi berusaha nggak jatuh.”

Makan siang, aku keluar kantor. Sendirian. Aku butuh udara lain, suasana lain. Aku berjalan ke warteg langganan waktu awal-awal kerja, yang sekarang sudah jarang aku datangi karena gengsi kantor.

Aku duduk, memesan nasi, tempe, dan sayur asem. Di sebelahku ada dua mahasiswa. Mereka sedang diskusi tugas sambil makan. Mereka terlihat serius, tapi juga hidup. Penuh arah, penuh harapan. Aku hanya menunduk, mencampur nasi dengan kuah, mencoba menelan pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepala. “Apa aku pernah punya mimpi sebesar mereka?”

Setelah makan, aku jalan kaki sebentar, tanpa tujuan. Di trotoar, aku melihat mural kecil di tembok yang mengelupas. Gambarnya sederhana: seseorang duduk memeluk lutut, di sampingnya tertulis “It’s okay to pause. Even the sun sets before rising again.”

Aku mengambil foto diam-diam. Rasanya ingin ku-post, tapi entah kenapa aku simpan sendiri. Mungkin karena aku masih belum siap terlihat lemah.

Sore hari, ada email masuk dari Mbak Tari, mentor yang akan jadi pasanganku minggu depan. Isinya singkat "Halo, senang bisa bertemu nanti. Kita bisa mulai sesi pertama hari Senin, jam yang fleksibel buatmu. Kalau mau ngobrol duluan, aku terbuka banget ya :)"

Aku hanya balas “Senin pagi oke, Mbak. Makasih.”

Tanganku gemetar sedikit waktu mengetik. Bukan karena takut, tapi karena aku sadar, aku benar-benar akan bicara soal perasaanku pada orang asing. Hal yang dulu rasanya tabu.

Malamnya, seperti biasa. Indomie.

Tapi kali ini aku tambahkan potongan sosis yang aku beli di minimarket tadi sore. Sedikit usaha ekstra. Biar rasanya beda. Biar ada kesan “aku niat hidup hari ini.”

Sambil makan, aku buka folder lama di laptop. Ada foto-foto dari masa kuliah. Ada satu foto waktu kami ikut lomba esai, muka lelah tapi senyum lebar. Ada satu lagi, aku dan Izah duduk lesehan, kerja kelompok, dikelilingi bungkus kopi sachet dan mie instan juga.

Aku tertawa pelan. Dulu, kami makan Indomie karena belum punya pilihan. Sekarang, aku makan Indomie karena rasanya seperti... rumah.

Sebelum tidur, aku nulis satu catatan kecil di ponsel. “Aku belum tahu arah. Tapi hari ini aku berhenti merasa dikejar-kejar.”

Lalu aku tidur. Tanpa overthinking, untuk pertama kalinya dalam pekan ini.

 

Hari 5, Jumat : Keheningan Paling Berisik

Hari Jumat selalu terasa seperti babak terakhir dari sebuah pertandingan yang melelahkan. Jam dinding kantor seolah bergerak lebih lambat, detik-detik berdengung seperti sengaja memperpanjang penderitaan.

Aku mengerjakan laporan mingguan dengan autopilot. Mataku menatap angka, grafik, dan tabel, tapi otakku melayang. Sudah berapa lama aku melakukan ini? Tiga tahun? Lima? Rasanya seperti berjalan di treadmill yang tidak pernah benar-benar membawa ke mana-mana.

Saat jam menunjukkan pukul 16.15, aku menutup laptop. Aku tidak peduli kalau masih ada revisi. Rasanya seperti tubuhku menolak berpikir lebih jauh hari ini.

Sore itu, aku tidak langsung pulang. Aku berjalan kaki tanpa arah. Langit sore Jakarta berwarna abu-abu tua, seperti wajah orang-orang di halte bus. Ada suara masjid memanggil azan, ada lampu jalan mulai menyala satu per satu.

Aku mampir ke taman kecil di belakang gedung kantor, taman yang dulu sering kukunjungi waktu awal kerja, sebelum rutinitas mencuri waktu dan keinginan. Di taman itu, ada bangku kayu setengah lapuk yang pernah jadi tempat makan siang darurat saat gaji telat. Aku duduk di sana lagi. Udara sore lembab, tapi nyaman. Aku membuka ponsel dan membuka catatan harian yang kubuat minggu ini.

 

Senin   : aku merasa kosong.

Selasa   : aku mulai mendengar suaraku sendiri.

Rabu    : aku ketemu jejak masa lalu.

Kamis  : aku sadar aku tidak sendiri.

 

Lalu... Jumat?

Aku belum menuliskan apa-apa.

Di bangku taman itu, aku membuka foto mural yang kemarin kuambil.

 

“It’s okay to pause. Even the sun sets before rising again.”

 

Aku menatap langit yang mulai berubah warna dari abu ke jingga, lalu ke biru gelap. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. “Apa aku sedang tenggelam, atau sedang belajar berenang?”

Malam hari, di kamar kos yang mulai gerah, aku kembali ke rutinitas. Indomie goreng, telur ceplok, dan sosis sisa semalam. Kali ini aku tambahkan cabai rawit lima biji. Biar terasa lebih hidup.

Aku makan sambil nonton ulang serial lama yang dulu bikin aku semangat kuliah. Dulu, aku ingin jadi seperti tokoh utama di film itu. Yang idealis, percaya diri, dan tahu apa yang dia mau.

Sekarang? Aku bahkan ragu dengan rasa favorit Indomie-ku sendiri. Tapi entah kenapa, malam ini aku tidak merasa seburuk sebelumnya. Mungkin karena aku tahu, aku sedang tidak sendiri.

Setelah makan Indomie pedas cabai lima biji yang entah kenapa rasanya lebih mantap malam ini, aku selonjoran di kasur, menonton potongan video motivasi di YouTube yang muncul random.

Salah satunya berkata, “Kamu nggak harus tahu semua jawabannya sekarang. Kadang yang kamu perluin cuma keberanian buat jujur sama apa yang kamu rasain.”

 

Aku tersenyum miring. Klise, tapi benar juga.

Lalu HP-ku bergetar.

Satu notifikasi WhatsApp muncul. Nama yang muncul di layar bikin tanganku langsung berhenti bergerak.

Mbak Alya’.

Dulu, dia ketua bidang kader waktu kuliah.

Orang yang paling sering bilang, “Aku percaya kamu bisa,” bahkan ketika aku sendiri gak tahu aku bisa apa. Yang dulu ngasih aku tanggung jawab pertama, jadi ketua bidang riset. Yang dulu, waktu aku gagal, cuma bilang,

“Tenang, gagal itu proses. Tapi jangan kabur.”

Dan ya... aku kabur.

Lulus kuliah, aku gak pernah benar-benar pamit. Gak pernah bilang terima kasih. Gak pernah ngobrol lagi.

Notifikasinya cuma satu kalimat. “Hei, tiba-tiba keinget kamu. Gimana kabarnya?”

Seketika... dada ini sesak.

Aku menatap layar. Jari-jari tanganku gemetar sedikit. Rasanya seperti ditarik mundur ke ruangan-ruangan rapat kecil yang panas, ke malam-malam menyusun proposal bareng, ke detik-detik sebelum acara dimulai, dan dia menepuk bahuku sambil bilang,

“Kalau kamu yang gerak, aku tenang.”

Waktu itu aku merasa jadi orang penting.

Sekarang?

Aku berbaring diam, mencoba membalas.

“Kabarku... ya begini-begini aja, Mbak. Lagi belajar hidup.”

Tapi pesannya nggak langsung kukirim. Aku hapus, ketik ulang. “Mbak Alya’... kaget banget dapet chat ini. Aku baik, Alhamdulillah. Mbak sendiri gimana?”

Aku kirim.

Beberapa menit kemudian, dia balas lagi:

“Aku lagi liat file dokumentasi organisasi dulu. Ada foto kamu lagi ngomandoin anak-anak di backstage. Keren banget mukamu. Kelihatan yakin.”

Aku tertawa pelan.

Kalau dia tahu, waktu itu aku gemeteran setengah mati.

“Dulu kamu keliatan capek, tapi nggak pernah nyerah. Aku sering cerita ke adik-adik Angkatan, ada satu anak, diam-diam tangguh. Namanya kamu.”

Dada ini panas.

Karena ternyata, ada orang yang masih inget versi diriku yang berani.

Versi yang sudah lama aku kubur karena sibuk merasa gagal.

Kami lanjut ngobrol sebentar. Dia cerita sedikit tentang pekerjaannya sekarang, dan tentang kesibukan sampingannya jadi mentor organisasi alumni.

Lalu dia bilang. “Kalau kamu ada waktu, kapan-kapan gabung lagi, ya. Bukan karena kamu harus, tapi karena kamu masih berarti.”

Kalimat itu menggema.

Bukan karena formalitas, tapi karena dia bilang “masih berarti.”

Seolah, nilai diriku gak pernah hilang, meski aku merasa tersesat selama ini.

Malam itu aku gak langsung tidur. Aku ambil kertas kosong, mulai coret-coret. Bikin daftar hal yang pernah kulakukan, pernah kuperjuangkan. Bukan buat nostalgia, tapi buat ngingetin diri. “Aku pernah jadi seseorang. Dan aku masih bisa.”

Aku tulis catatan harianku. “Jumat ini, aku diingatkan, bukan semua orang melupakan aku. Kadang akulah yang terlalu sibuk menyalahkan diri, sampai lupa bahwa aku pernah dipercaya. Dan mungkin... masih.”

Jam 1 pagi. Indomie sudah dingin. Sisa setengah di mangkuk, tapi aku simpan, bukan buang.

Karena entah kenapa, malam ini... aku ingin menyimpan segalanya.

Bahkan yang sederhana.

Sebelum tidur, aku menulis satu kalimat di catatan “Aku tidak harus kuat setiap hari. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.”

Sekitar pukul 01.24 pagi, saat aku hampir tertidur sambil memeluk guling dan rasa-rasa hangat dari obrolan barusan, satu pesan lagi masuk.

Dari Mbak Alya’. Lagi. "Aku nemu ini. Harusnya kamu simpan juga."

Satu file video.

Aku menekan tombol play dengan jempol yang sedikit gemetar.

[Video Dimulai]

Suasana kacau. Terdengar suara panik. Waktu itu, listrik padam 30 menit sebelum acara besar dimulai. Semua panitia lari-larian, ada yang menangis, ada yang duduk pasrah.

Dan di tengah semua kekacauan itu...

Ada aku.

Aku, berdiri di depan panggung dengan senter di tangan, suaraku meninggi.

“Oke! Semua yang bisa gerak, dengerin kaliatku sekarang. Jangan ada yang mikir aneh-aneh, jangan ada yang mikir kita bakal gagal. Kita NOL-kan semuanya. Fokus ke apa yang bisa kita lakuin, bukan yang udah terlanjur rusak. Gak ada waktu buat nyalahin siapa pun. Kita bukan anak kecil lagi. Kita panitia.”

Gambarku di video tampak tegas, walau berkeringat dan suara agak serak. Aku terlihat hidup.

Lalu, terlihat aku memimpin briefing darurat, menyusun ulang rundown di kertas tulis tangan, menyuruh dua orang cari genset pinjaman, menyuruh adik angkatan atur ulang sound manual.

Dan yang lebih mengejutkan, semua orang menurut.

Satu suara terdengar di video, terekam samar dari belakang kamera, “Kalau bukan dia, kita udah bubar dari tadi.”

Aku menghentikan video.

Layar HP menggigil sedikit di tanganku. Dada ini... panas. Mataku mulai basah.

Bukan karena sedih. Tapi karena aku lupa. Lupa bahwa aku pernah jadi cahaya, saat semua orang cuma bisa meraba dalam gelap.

Lupa bahwa aku pernah berani berdiri, saat semua memilih duduk dan menyerah.

Lupa bahwa aku punya versi diri yang gagah, meski bukan sempurna.

Aku duduk di lantai. Lampu kamar kupadamkan. Dalam gelap, wajahku memantul di layar HP seperti orang asing.

Dan satu pertanyaan menyelinap seperti bisikan keras. “Kemana aku yang dulu?”

Lalu aku benar-benar menangis.

Bukan karena kehilangan. Tapi karena... aku tahu dia masih ada.

Terkubur. Tapi belum mati.

Aku ambil buku catatan. Halaman terakhir.

Kutulis besar-besar.

“Dulu aku pernah jadi seseorang.

Hari ini aku tersesat.

Tapi besok… aku akan mencari jalannya lagi.”

 

Pukul 02.11.

Aku tidur, bukan dengan perasaan kalah. Tapi dengan semacam luka yang akhirnya ingin disembuhkan. Karena aku tahu, versi terbaik dari diriku belum selesai. Aku tidur, ditemani rasa pedas di lidah, dan sedikit damai di dada.

 

Day 6, Sabtu : Panggilan untuk Bangkit

Pagi hari, aku terbangun dengan perasaan aneh. Tidak sepenuhnya lelah, tapi juga tidak sepenuhnya segar. Pikiranku masih terbayang di video yang dikirimkan Mbak Alya’ semalam. Itu aku yang dulu. Seperti orang yang telah lama hilang dan baru ditemukan lagi.

Jam 9 pagi, aku berjalan ke warung kopi langganan. Di sana, ada beberapa teman lama yang kebetulan datang untuk sarapan, termasuk Izah.

Izah adalah salah satu teman yang sering gak aku duga hadir, tapi selalu ada saat aku butuh tanya tentang apa yang "seharusnya" dilakukan. Di kampus dulu, dia sering mengingatkan aku untuk gak terlalu terjebak dengan idealisme, untuk lebih realistis. Sesuatu yang sekarang aku pikir, ada benarnya.

Kami duduk di meja belakang, memesan kopi hitam dan roti bakar.

“Aduh, kamu kok keliatan capek banget? Gimana kerjaan? Aman?” Izah mencoba membuka obrolan. Matanya memandang ke arahku, tapi ada ketidaktertarikan yang tak bisa dia sembunyikan.

Aku mengangkat bahu, mencoba senyum, “Ya begitulah. Lagi mikir hal-hal besar.”

“Mikir hal besar? Waktu dulu kamu mikirnya apa sih, kalau bukan jadi orang penting? Sekarang kok malah mikir soal hidup?” Izah tertawa pelan, meminum kopinya.

Aku hanya bisa tersenyum canggung. Rasanya aneh sekali mendengar kata-kata itu. Apakah dia benar? Apa aku benar-benar pernah berpikir besar? Dulu, saat aku benar-benar bersemangat di organisasi, aku merasa seperti orang yang memiliki tujuan yang jelas. Tapi sekarang...

"Tadi malam aku baru ngobrol sama Mbakmu satu itu," lanjut Izah, seakan menyadari perubahanku.

“Mbak-ku? Aku? Siapa mbak-ku?”

“Mbak Alya’. Jangan salahkan dia. Aku yang mulai cerita duluan” serobotnya. Dia jelas tau, aku paling anti menceritakan hal hal yang belum selesai.

"Aku tanya-tanya, katanya kamu diminta buat gabung lagi ke organisasi alumni? Karena mereka butuh orang kayak kamu, yang dulu bisa ngeluarin energi buat gerakin tim."

Aku terdiam. Mbak Alya’... selalu punya cara untuk membuat orang merasa penting. Meski sudah lama, dia masih percaya bahwa aku bisa berbuat lebih. Rasanya, pesan itu kembali mengetuk pintu hatiku. Kalau dulu aku bisa, kenapa sekarang aku merasa gak ada semangat sama sekali?

Saat itu, aku berpikir. Izah dan Mbak Alya’ bukan cuma menyalakan kembali api yang sempat padam. Tapi mereka juga memaksa aku untuk melihat ke dalam diriku yang lebih dalam.

Apakah aku mau terus mengabaikan potensi itu? Apakah aku benar-benar mau berhenti, atau justru mulai lagi?

Aku memutuskan untuk menghubungi Mbak Alya’, meski hati sedikit ragu. Pesan yang kukirim simple.

"Mbak, tadi pagi aku ngobrol sama Izah. Kupikir pikir lagi, kayaknya aku harus lebih serius lagi. Ada kesempatan gak buat bergabung ke organisasi alumni? Kalau bisa, aku bersedia mbak. Aku pengen ngelakuin lebih."

Beberapa menit setelahnya, pesan Mbak Alya’ masuk.

“Aku seneng denger itu. Kita butuh kamu. Aku yakin banyak hal yang bakal kamu dapet dari sini. Jangan khawatir, kamu dulu bisa. Dan akan selalu bisa”

Aku menghirup kopi, mataku menatap layar HP. Tangan sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena merasa terbangun. Dulu, aku pernah menjadi orang yang memberi inspirasi kepada orang lain. Dan rasanya, aku mulai kembali menemukan bagian dari diriku itu.

Siang itu, aku menghabiskan waktu dengan Izah, ngobrol lebih dalam tentang apa yang sedang kami hadapi. Dia juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang karirnya yang terasa stagnan, walaupun di luar tampak sukses. Aku mendengarkan, dan meskipun dia mungkin gak tahu, aku merasa sedikit lega karena ada seseorang yang merasakan hal serupa.

Malamnya, aku duduk di meja kerja dengan catatan dan buku di tangan. Saat aku membuka email, ada undangan untuk pertemuan mingguan dengan organisasi alumni. Aku mulai merasa bahwa ini bisa menjadi langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar.

Perutku mulai keroncongan. Tanpa banyak pikir, aku berdiri, berjalan ke dapur, dan mulai merebus air. Tanganku sudah hafal gerakan membuka bungkus Indomie, menambahkan bumbu ke mangkuk, dan menunggu air mendidih sambil menatap kosong ke arah dinding.

Ada rasa nostalgia yang nggak bisa dijelaskan setiap kali aku masak Indomie malam-malam begini. Dulu, ini makanan andalan saat lembur proposal kegiatan, begadang menyusun laporan, atau habis rapat sampai larut bareng tim. Tapi malam ini, rasanya berbeda. Tenang. Penuh makna. Seakan Indomie ini bukan cuma makanan, tapi penanda bahwa aku kembali ke versi diriku yang dulu berani, gigih, dan punya tujuan.

Mi matang. Aku tuang ke mangkuk, duduk kembali di meja, dan mulai menyantapnya perlahan. Sambil menyeruput kuahnya yang panas, aku membuka catatan harian, menuliskan pikiran yang melintas.

“Sabtu ini, aku kembali ke tempat yang seharusnya. Mungkin bukan jalanku yang benar-benar baru, tapi mungkin... ini adalah jalan yang seharusnya aku ambil.”

Aku menatap sisa kuah di mangkuk, tersenyum tipis.

Kadang, langkah pertama menuju masa depan bisa sesederhana semangkuk Indomie dan niat untuk mulai lagi.

 

Day 7, Minggu : Keputusan Besar yang Memulai Segalanya

Pagi itu aku terbangun sedikit lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena semalam aku tidur dengan pikiran yang sedikit lebih tenang, meskipun tetap ada rasa gelisah yang menempel di dada. Ada sesuatu yang menunggu untuk diselesaikan.

Setelah sarapan dan ngopi, aku duduk di meja kerja, membuka kembali email undangan dari organisasi alumni yang kuterima kemarin. Mata aku terfokus pada kata-kata yang menari di layar.

“Jangan ragu, kamu punya banyak potensi untuk bantu kami.”

Itu dari Mbak Alya’. Yang katanya akan ada pertemuan kecil dengan anggota yang ingin kembali aktif.

Aku sudah membaca email ini berkali-kali.

Tapi kali ini, semuanya terasa lebih nyata. Aku harus memutuskan. Tidak ada lagi mundur. Tidak ada lagi alasan.

Siang itu, aku duduk di luar rumah sambil menunggu Izah datang. Kami sudah janji untuk ketemu lagi hari ini, katanya, dia ingin ngobrol lebih lanjut tentang langkah-langkah kami masing-masing. Mungkin dia butuh bimbingan, atau mungkin dia ingin membantuku mengolah keberanianku.

Izah datang lebih cepat dari yang kutebak. Dengan hoodie dan kacamata hitamnya yang khas. Kami berdua duduk di bangku taman, memandang ke arah jalan yang ramai, seperti orang-orang yang sedang menunggu jawaban dari dunia.

“Ada apa, kok kamu kelihatan serius banget?” Izah mulai membuka percakapan dengan candaan khasnya.

“Kapan aku terlihat ga serius? Default mukaku memang muka muka serius” jawabku sembarangan, dijawab kekehan ringan olehnya.

Izah mengangguk pelan, “sudah memutuskan?” seolah dia tahu apa yang dia maksud, aku mengangguk sebagai jawaban.

“Maksudmu, kamu mau ngambil kesempatan itu?”

Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangguk. “Yah, kupikir ini langkah yang harus aku ambil. Aku mau, dan harus balik ke tempat yang dulu kutinggalkan. Bukan cuma buat nyari diri lagi, tapi buat buktikan kalau aku masih punya tempat di dunia ini.”

Dia menatapku lebih lama, seolah memeriksa ekspresiku. “Jadi, kamu udah siap, ya? Kamu tau, nggak gampang banget buat bangkit setelah sempet ngerasa kehilangan arah.”

Aku hanya mendecih pelan. “Kaya kamu. Kamu kemarin hilang loh” mungkin greget dengan sikapku, dia menyentil dahhiku.

“Sakit bodoh!” dia terkikik ringan.

“Maaf maaf, serius Sekaran nih”

Balik ke topik awal. Aku mengangguk. “Iya. Tapi kayaknya aku udah nggak bisa terus-terusan ngelamun tentang masa lalu. Aku harus mulai ngelakuin sesuatu, Zah.”

Dia tersenyum tipis. “Keren, kamu. Aku rasa, kamu udah cukup lama nyiksa dirimu sendiri. Sekarang waktunya buat kamu bangkit lagi. Aku yakin, kamu bisa. Pasti bisa.”

Kami berdua akhirnya memutuskan untuk pergi bersama ke acara alumni. Ada semacam rasa lega, tapi juga cemas yang mengiringi langkahku. Perjalanan menuju tempat acara terasa lebih panjang dari yang seharusnya, seolah tiap detiknya penuh dengan pembicaraan yang belum selesai dalam pikiranku.

Sampai akhirnya kami sampai. Di pintu, beberapa teman lama sudah menunggu. Mbak Alya’ yang pertama kali melihatku dan melambaikan tangan. Begitu aku melangkah masuk ke ruang pertemuan, ada perasaan yang aneh. Semua orang di sini, mereka bukan orang yang dulu aku kenal saat masih berjuang untuk sekadar survive kuliah. Jelas. Mereka sekarang sudah punya karir, keluarga, kehidupan yang lebih stabil.

Tapi di sinilah aku, bertemu kembali dengan bagian dari diriku yang lama hilang.

Di ruang itu, aku diajak duduk bersama beberapa teman lama, termasuk Mbak Alya’. Kami ngobrol tentang bagaimana organisasi alumni bisa lebih berkembang, tentang proyek-proyek yang akan datang. Semua rencana itu terasa sangat nyata. Aku merasa seperti sebuah bagian yang kembali disambungkan, dan meskipun aku masih belum tahu apa yang akan datang, aku merasa diri ini masih memiliki nilai.

Malam itu, setelah acara selesai, Mbak Alya’ mengajak aku bicara lebih lanjut. “Aku seneng banget kamu akhirnya bisa balik. Kamu tau nggak, sebenernya kamu punya banyak potensi yang selama ini tertunda. Dan aku selalu yakin, kamu bisa lebih dari ini.”

Aku tersenyum, merasa sedikit terharu. “Makasih, Mbak. aku gak tau harus bilang apa. Cuma, kayaknya aku baru sadar sekarang kalau dulu... aku gak pernah benar-benar berhenti. Aku cuma... berpaling.”

“Gak apa-apa. Yang penting kamu kembali lagi. Dan yang aku liat, kamu sekarang lebih kuat.”

Aku menatap Mbak Alya’ tanpa kata, merasa ada kebanggaan kecil dalam diri. Aku kembali ke titik itu. Titik di mana aku dulu memulai dan merasa hidup.

Di perjalanan pulang, Izah duduk di sebelahku, mengernyitkan dahi. “Jadi, pada akhirnya, kamu udah nemuin jawaban buat dirimu? Buat pertanyaanmu?”

Aku mengangguk. “Iya, Zah. Aku udah nemuin jawabannya. Kalau aku terus-terusan kabur dari diriku sendiri, aku gak akan bisa maju. Jadi aku harus bener-bener terima siapa aku. Dan, kamu betul terkait satu hal. Aku harus mulai bergerak.”

“Satu doang nih benernya?” kekehnya. Candaan garingnya kembali.

“Ga gitu maksudnya… Ya Tuhan…” aku menghela nafas. Bukan nafas berat beneran, tapi nafas berat yang dibuat buat sebagai respon bercandaan kaku manusia satu itu.

Sore itu, aku merasa sedikit lebih utuh, seperti potongan puzzle yang akhirnya pas. Seminggu ini jadi perjalanan yang mengajarkanku banyak hal. Dan mungkin, perjalanan baru aja dimulai.

Aku menulis lagi di catatan harian, “Hari ini, akhirnya aku menemukan jawaban yang udah lama aku cari. Gak ada yang bisa melangkah maju tanpa menerima siapa diri mereka. Dan aku… aku siap untuk jalanin hidup ini, gak lagi takut buat jadi diriku sendiri.”

Aku duduk di bangku depan rumah, memandang langit yang mulai berubah warna. Udara malam agak dingin, tapi entah kenapa rasanya hangat. Kembali lagi, aku membuka bungkus Indomie yang kupersiapkan malam ini, menambah kehangatan di dalam diri yang tiba-tiba merasa lega.

Hari ini adalah hari terakhir dari perjalanan yang penuh pertanyaan dalam sepekan terakhir. Namun, ketika aku menatap piring kecil itu, Indomie yang sederhana. Aku sadar bahwa tidak semua hal besar dimulai dengan langkah besar. Beberapa langkah, seperti halnya mangkuk kecil berisi mi instan ini, dimulai dengan sesuatu yang sederhana dan sering dianggap remeh.

Aku merasa lebih ringan malam ini, seakan perasaan yang berat di pundak beberapa waktu lalu sudah sedikit demi sedikit terangkat. Seminggu ini telah mengajarkanku bahwa tidak ada yang bisa berlari tanpa pernah berhenti. Tidak ada yang bisa menemukan diri tanpa melihat kembali ke masa lalu dan menerima siapa kita sebenarnya.

Dan sekarang, aku tahu. Aku bukan hanya sekadar orang yang terus mencoba mencari arti hidup melalui pencapaian luar. Aku adalah seseorang yang juga berhak merayakan kebangkitan diri, dengan cara yang sederhana.

Aku mengangkat sendok dan menyendok sejumput mi, merasakannya dengan penuh kesadaran. Ini bukan hanya tentang Indomie yang selalu menemani saat-saat sulit, tapi juga tentang menerima semua bagian diri yang pernah hilang. Dan pada akhirnya, mungkin ini yang disebut dengan ‘titik nol’ di mana kita mulai kembali, tapi dengan cara kita yang baru, dan dengan kesadaran yang lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya.

Indomie pun tak hanya tentang rasa, tapi tentang kenangan, keberanian, dan sebuah perjalanan yang tanpa kita sadari, telah membawa kita ke titik ini.

Dan entah kenapa, malam ini, aku merasa seperti aku akhirnya bisa pulang. Pulang ke diriku sendiri.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Tale of Vesper Elowen
159      47     4     
Fantasy
Rangkaian kisah fantasi tentang menjelajah bagian-bagian diri yang tersembunyi. Sebuah dongeng tentang keberanian menjadi utuh, ketika suara hati adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa.
The Call(er)
729      369     9     
Fantasy
Dengan penuh tanda tanya, Freya Amethys mencoba menenangkan gejolak yang sedang bergemuruh dalam batinnya sendiri. Kenapa dia bisa melanggar aturannya sendiri? Dia ke sini hanya untuk menyelesaikan tugas dari Raja. Misinya hanya itu tidak lebih. Tapi semua itu berantakan akibat pertemuannya dengan Raka. Sebagai anggota pasukan khusus Freya seharusnya memainkan perannya sebagai The Match Breaker ...
Manusia Air Mata
476      259     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Switch Career, Switch Life
207      172     3     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Andai Kita Bicara
410      331     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Di Bawah Langit Bumi
1348      471     76     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Dalam Satu Ruang
91      50     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
DocDetec
92      61     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
VampArtis United
495      282     2     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Deep End
21      20     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."