Pagi itu, udara masih terasa sejuk saat Nara mulai menjalankan tugas piketnya. Dengan sapu di tangan, ia menyapu lantai kelas dengan gerakan teratur. Saat ia sudah menyapu sampai bagian depan kelas—dekat dengan meja guru—suara langkah mendekat, dan ketika ia mendongak, Zevan sudah berdiri di ambang pintu. Ia perlahan berjalan menuju tempat duduknya tanpa mengatakan apapun.
Jantungnya berdebar tak karuan. Tanpa sadar, ia mempercepat gerakannya, seolah ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan menghindari situasi canggung ini. Nara menundukkan kepala, tidak berani melihat ke arah Zevan, berusaha fokus pada lantai yang kini sudah nyaris bersih.
Akhirnya ia sampai di luar kelas. Begitu selesai menyapu bahkan hingga bagian lorong di depan kelasnya, bukannya segera kembali, Nara justru berdiri di dekat tempat sampah, berpura-pura sibuk menyapu lantai yang sudah bersih. Ia berharap ada teman sekelas lain yang datang, seseorang yang bisa menyelamatkannya dari kebisuan yang terasa begitu menyesakkan.
Sayangnya, pagi masih terlalu dini, dan harapannya sirna saat suara langkah kembali terdengar.
"Ra," suara Zevan terdengar, membuatnya membeku.
Ia menoleh perlahan. Zevan berdiri di hadapannya, ekspresinya serius. "Lo kayak ngehindarin gue sejak awal. Ada masalah?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tapi mengandung sesuatu yang lebih dalam. "Tapi setelah gue inget-inget, dari dulu ... lo emang udah ngelakuin ini tanpa alasan yang jelas."
Nara membuka mulut, ingin menjawab. Namun. Sebelum satu kata pun keluar, suara riuh teman-teman mereka terdengar mulai berdatangan.
Zevan mendesah pelan, ekspresi kecewa terlukis jelas di wajahnya sebelum akhirnya ia melangkah pergi, menuju arah kantin atau mungkin kamar mandi.
Nara tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Zevan yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang menusuk hatinya-rasa bersalah yang tak bisa ia abaikan.
πππ
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, mengakhiri pelajaran terakhir hari itu. Sebagian besar siswa mulai berkemas, tetapi Pak Dipo—guru bahasa Inggris mereka—belum selesai berbicara.
"Oh iya, untuk tugasnya yaitu membuat percakapan dalam bahasa Inggris dan besok pagi harus sudah dikumpulkan di meja saya. Minimal satu kelompok berisi empat orang. Sekian untuk pelajaran hari ini. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," kata Pak Dipo sebelum akhirnya meninggalkan kelas.
Setelah kompak menjawab salam, suasana kelas berubah menjadi riuh. Para siswa sibuk mencari kelompok masing-masing. Nara, Sheyna, dan Ardya hanya saling bertatapan sebentar sebelum otomatis mengelompok tanpa perlu banyak bicara. Mereka memang sering bekerja sama dalam tugas-tugas seperti ini.
Melihat itu, Sheyna langsung mendapat ide. Ia berbalik dan menatap Zevan, yang masih duduk di kursinya dengan santai.
"Van, udah ada kelompok?" tanyanya. "Mau bareng gue, Nara, sama Ardya nggak?"
Zevan melirik ke arah mereka, lalu bahunya sedikit terangkat. "Kalau kalian nggak keberatan sih, gue mau aja," jawabnya santai, tetapi matanya sekilas terarah pada Nara—seakan menanyakan sesuatu tanpa benar-benar menanyakannya.
Sheyna menoleh ke teman-temannya, meyakinkan diri bahwa tidak ada yang keberatan. "Nggak lah. Iya kan, Ra? Dya?"
Ardya langsung mengangguk tanpa pikir panjang. Sementara itu, Nara sempat terdiam sepersekian detik sebelum akhirnya mengangguk juga.
"Oke, karena besok pagi udah harus dikumpulin, gimana kalau kita langsung kelompokan aja sekarang?" usul Sheyna.
"Nggak mau online aja? Bikin grup gitu," sela Nara yang berusaha menghindari hal-hal yang akan membuat hatinya akan lebih goyah lagi.
"Ihh, langsung diskusi aja biar lebih enak! Iya kan, Van? Dya?" jawab Sheyna sambil mencubit lengan Nara. Ia sangat kesal karena Nara akan menghalangi usahanya dalam mendekati Zevan.
Nara meringis kesakitan sambil menjauhkan tangan Sheyna.
"Yaudah, sekalian aja sekarang ya, Ra. Tapi jangan di kelas deh, nggak enak," sela Ardya.
"Di kafe deket sini aja," ujar Zevan, kali ini tanpa melihat siapa pun secara khusus.
"Boleh tuh! Gue juga laper, bisa sekalian makan," Sheyna langsung setuju dengan senyum lebar.
Nara menghela napas kecil, sebenarnya ia merasa keberatan, tapi menolak pun rasanya tidak ada gunanya. "Yaudah," ujarnya singkat.
Saat semua bersiap-siap meninggalkan kelas, Sheyna tiba-tiba berbalik ke arah Zevan. "Van, gue boleh bareng lo nggak? Soalnya gue males dibonceng sama Ardya. Dia ugal-ugalan banget."
Ardya yang baru saja mengangkat tasnya mendelik. "Dih," cibirnya ketika mengetahui maksud terselubung saudara kembarnya itu.
Zevan mengangkat alis. "Kenapa nggak sama Nara aja?" tanyanya santai.
Nara membeku sejenak. Ia tidak menyangka akan ditarik ke dalam percakapan ini.
"E-eee, Nara nggak berani bonceng," Sheyna buru-buru menjawab, lalu melirik Nara sambil sedikit memelototinya, seolah memberi kode untuk membenarkan pernyataan itu.
Nara yang sebenarnya tidak ada masalah soal boncengan dengan siapa pun, akhirnya hanya bisa mengangguk kecil. "Iya," katanya pelan.
Sheyna kembali tersenyum lebar, seakan misinya berhasil. "Kan ...!" katanya puas. "Jadi, boleh ya, Van?"
Zevan menatapnya sesaat sebelum akhirnya mengangguk. "Hmm."
Mereka bergegas meninggalkan kelas, menuju kafe yang hanya berjarak beberapa blok dari sekolah. Langit sore mulai berubah jingga, memberi kesan hangat di sepanjang perjalanan. Suasana di jalan tidak terlalu ramai, hanya beberapa siswa lain yang juga baru pulang dan beberapa kendaraan yang melintas dengan tenang.
Setibanya di kafe, aroma kopi dan makanan ringan langsung menyambut mereka. Kafe kecil itu cukup nyaman, dengan suasana hangat dan dekorasi minimalis yang menenangkan. Mereka memilih meja di sudut dekat jendela, tempat cahaya sore masuk dengan lembut.
Begitu mereka duduk, seorang pelayan segera datang dengan buku menu di tangan. Sheyna, seperti biasa, langsung mengambil inisiatif pertama.
"Mau thai tea satu sama ayam gepreknya satu ya, Mbak." Ia menutup menu dengan mantap, lalu menoleh ke teman-temannya. "Kalian apa?"
Zevan yang duduk di seberangnya menyandarkan tubuh ke kursi. "Saya kopi susu aja, Mbak."
"Gue juga deh," sahut Ardya tanpa banyak berpikir.
Sheyna langsung melirik mereka dengan tatapan protes. "Eh, nggak ada yang mau makan nih? Masa gue doang?"
Ardya tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke meja. "Udah nggak papa, lo kan emang laperan anaknya," godanya santai.
Sheyna mendengus kesal medengar itu.
"Eh, tambah pisang goreng sama singkong goreng deh, buat nyemil," lanjut Ardya tiba-tiba.
Sheyna langsung memasang wajah lebih geram, "Halah! sebenernya lo juga laper kan? Nggak usah pake alesan buat nyemil segala deh."
Ardya hanya mengedikkan bahu, sementara Zevan menahan senyum tipis melihat interaksi mereka.
Pelayan yang masih berdiri menunggu mencatat pesanan dengan cekatan. "Kalau kakaknya apa?" tanyanya kepada Nara.
Nara yang sejak tadi hanya mendengarkan akhirnya menjawab pelan, "Saya thai green tea aja, Mbak."
Pelayan itu mengulang pesanan mereka dengan ramah. "Baik, jadi pesanannya ada thai tea satu, thai green tea satu, kopi susu dua, ayam geprek satu, pisang goreng satu, sama singkong goreng satu. Ada tambahan lagi?"
Sheyna menoleh ke teman-temannya, memastikan tidak ada yang berubah pikiran. Zevan dan Ardya hanya menggeleng, sementara Nara mengangguk kecil tanda setuju.
"Udah, Mbak. Itu aja," kata Sheyna akhirnya.
"Baik, ditunggu ya," balas pelayan sebelum pergi meninggalkan mereka.
Sejenak, meja mereka hening. Hanya terdengar suara orang-orang berbincang di meja lain dan suara mesin kopi yang berdengung pelan. Zevan melirik ke arah jendela, tampak menikmati suasana, sementara Ardya mulai menggulir layar ponselnya.
Sheyna meletakkan dagunya di telapak tangan. "Yaudah, sambil nunggu, kita mulai dulu kali ya?"
Nara mengangguk, membuka bukunya, tetapi sesekali mencuri pandang ke Zevan yang duduk di seberangnya. Ternyata, Nara salah. Bahkan setelah tahun-tahun berlalu, sosok itu masih menjadi pusat dunianya. Meskipun otaknya bersikeras bahwa ia sudah melupakan dan pasti akan bisa melupakan Zevan, tetapi ... hati kecilnya diam-diam tidak pernah sepemikiran dengan otaknya.
Sedetik kemudian, Nara tersadar dan melihat ke arah Sheyna di sampingnya. Sheyna adalah satu-satunya yang sejak pertama kali bertemu ramah kepadanya. Di saat tidak ada yang tertarik untuk sekadar mengajaknya berkenalan, Sheyna muncul dengan senyum lebarnya dan membuat hatinya lega. Bagi Nara memiliki satu teman saja sudah lebih dari cukup.
Nara menunduk sambil menghela napasnya panjang. Menyadari posisinya saat ini bahwa ia dan sahabatnya memiliki perasaan yang sama untuk orang yang sama.
Namun, Sheyna adalah sahabatnya. Tidak mungkin ia bersaing dan menyakiti sahabatnya itu. Jika dipikir-pikir, Sheyna mungkin memang lebih pantas untuk Zevan. Ia tidak pernah malu menunjukkan perasaannya kepada Zevan. Sangat berbeda dengan Nara yang selalu memendam semuanya sendirian.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past