Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Sudah lebih dari seminggu dan Nara masih berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dari Zevan. Ia menghindari interaksi langsung dengan berpura-pura sibuk setiap kali hanya ada mereka berdua di kelas. Namun, semakin ia berusaha menjauh, semakin sering pula matanya tanpa sadar mencari sosok itu. 

Sedangkan Zevan tampak sama sekali tidak terpengaruh di mata Nara. Jujur saja, hal itu sebenarnya membuat Nara sedikit merasa ... kecewa?

Ya, Nara tahu seharusnya dia tidak boleh merasa demikian karena memang dia yang menjaga jarak, tetapi ia juga tidak bisa mengendalikan perasaannya untuk tidak merasa kecewa.

Meskipun tidak banyak bicara, pesona Zevan tidak bisa diabaikan. Ia dengan cepat beradaptasi, diterima oleh teman-teman sekelas karena sifatnya yang humble meskipun cuek. 

Sejak kehadirannya, entah dari mana tiba-tiba ada sebuah gitar yang muncul dan selalu ia mainkan di belakang kelas saat jam istirahat. Beberapa murid dari kelas lain menjadi kerap datang ke kelasnya hanya untuk ikut bernyanyi. Hal itu membuat suasana kelas terasa lebih hidup dan lebih berwarna. Dan lagi-lagi, semua itu berpusat pada Zevan. 

Di antara mereka semua, Sheyna adalah yang paling menonjol. Setiap kali Zevan mulai memetik gitar, Sheyna selalu ada di dekatnya. Ia ikut bernyanyi dengan semangat, meskipun suaranya jujur saja jauh dari kata merdu. Namun, hal itu tidak menghentikannya. Setiap lirik yang ia nyanyikan selalu disertai tatapan penuh harapan ke arah Zevan, seolah berusaha menarik perhatiannya.

Namun, Zevan tak menanggapi. Ia tetap fokus pada gitarnya, jarang mengangkat kepala atau memberikan reaksi terhadap Sheyna. Seolah suara gadis itu hanya bagian dari latar belakang yang tidak terlalu penting baginya.

Nara memperhatikan itu semua dari tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak peduli, tetapi tetap saja, matanya sesekali menengok ke belakang, baik karena suara gitar maupun karena sosok yang sedang memainkannya. Dan dalam satu kesempatan, tatapan mereka bertemu.

Zevan tidak bereaksi berlebihan. Tidak tersenyum, tidak mengalihkan pandangan lebih dulu, hanya tatapan netral, dingin, tetapi menyimpan sesuatu yang membuat jantung Nara berdegup lebih kencang. 

Nara cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat itu. Namun, efeknya tetap sama, seakan ada magnet yang menariknya kembali. Sejak kapan gitar dan sepasang mata tajam itu menjadi distraksi terbesarnya?

Sheyna kembali ke tempat duduknya dengan napas sedikit terengah, lalu langsung meneguk air minumnya. "Aduh, tenggorokan gue kering banget," keluhnya sambil mengipasi dirinya dengan tangan. 

"Lagian lo nyanyi kayak orang kerasukan," cibir Nara tanpa mengangkat wajah dari buku yang sedang dibacanya—tiba-tiba. 

"Astaghfirullah, Ra! Gue lagi usaha nih. Bukannya support, malah ngehina. Lagian gue rasa suara gue nggak jelek-jelek banget kok!" balas Sheyna dengan penuh keyakinan. 

Nara hanya mendengus kecil, malas menanggapi. Ia memilih diam dan kembali berpura-pura fokus pada bukunya yang bahkan tidak ia baca sedari tadi. Pikirannya saat itu hanya dipenuhi oleh Zevan dan suara dawai gitar yang masih terdengar jelas di telinganya. Entah mengapa, Nara merasa tidak asing dengan melodi singkat yang Zevan mainkan.

Setelah menenggak hampir setengah botol airnya, tanpa diduga, Sheyna bukannya tetap duduk di tempatnya, ia malah kembali menghampiri Zevan dan yang lainnya. 

Nara menghela napas pelan. Daripada terus memperhatikan 'konser mini' itu, ia memilih menutup bukunya dan melipat kedua tangannya di atas meja dan menjadikan buku itu sebagai bantal. Ia memejamkan mata, berusaha menetralkan pikirannya yang entah kenapa terasa lebih kacau dari biasanya. 

Tapi baru beberapa detik ia mencoba menenangkan diri, seseorang duduk di sebelahnya. Nara berpikir itu adalah Sheyna, jadi ia tidak menghiraukannya dan tetap berusaha tidur.

"Ra." 

Nara membuka mata dan menoleh. Ternyata itu Ardya dan bukan Sheyna. 

"Eh, iya. Kenapa?" tanyanya sambil mengangkat kepala. 

Ardya menatapnya sejenak. "Lo sakit?" tanyanya, mungkin karena melihat Nara yang baru saja meletakkan kepalanya di atas buku. 

"Nggak, cuma ngantuk aja," jawab Nara santai.

"Oh, kirain," ujar Ardya. Matanya melirik ke arah Sheyna yang masih sibuk bernyanyi, lalu dengan sedikit senyum ia mengangkat dagunya ke arah belakang kelas, "Nggak ikut nyanyi-nyanyi kayak temen lo?" tanyanya. 

Nara mendesah pelan. "Nggak ... " 

"Padahal lo suka main gitar, kan? Harusnya suka nyanyi juga dong?" 

Nara mengedikkan bahu. "Ya ... kadang-kadang." 

Ardya menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu tiba-tiba berkata, "Eh, gue mau dong, diajarin main gitar." 

Nara menatapnya ragu. "Gue juga nggak jago, Dya. Cuma bisa kunci-kunci dasar aja. C, G, F, gitu-gitu doang." 

"Ya nggak masalah lah. Gue malah nggak bisa sama sekali. Lo ajarin yang lo bisa aja," kata Ardya dengan nada santai. 

Nara berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Yaudah deh." 

Ardya tersenyum puas. "Thanks, Ra." 

Nara hanya mengangguk lagi. 

"Jadi, kapan lo free?" tanyanya. 

"Nanti gue kabarin deh," jawab Nara. 

"Oke, deal." Ardya tersenyum sebelum kembali bersandar dengan lebih nyaman. 

Bersamaan dengan itu, Bu Jani, guru matematika, memasuki kelas dengan langkah santai. Matanya langsung menangkap pemandangan sekumpulan murid yang sedang asyik bersorak di belakang kelas.

Begitu menyadari kehadiran beliau, semua murid yang tadinya 'konser' seketika bubar dan kembali ke tempat duduk masing-masing, berusaha memasang wajah polos seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Bu Jani tersenyum melihat tingkah laku mereka. Ia meletakkan buku yang dibawanya di atas meja guru dan tetap berdiri di sampingnya.

"Wahh, lagi ada konser di kelas kalian ya?" godanya sambil melirik beberapa murid yang masih menyisakan tawa kecil.

Kelas pun bergema oleh suara tawa ringan. Beberapa murid saling pandang, sementara yang lain hanya tersenyum malu-malu.

"Iya, Bu. Soalnya sekarang ada yang bisa main gitar. Buat hiburan Bu, pusing mikirin pelajaran terus, ya kan?" ujar salah satu murid sambil melirik ke arah Zevan, yang sedang meletakkan gitarnya di belakang kelas dengan sedikit canggung. Secepat mungkin ia kembali ke tempat duduknya.

"Iya, Bu!" sahut beberapa murid lain bersamaan, seperti paduan suara dadakan.

Bu Jani menoleh ke arah Zevan dengan senyum ramah. "Oh iya, ibu lupa nama kamu siapa ya?" tanyanya dengan nada akrab.

"Zevan, Bu," jawab Zevan sopan.

"Ahh iya, Zevan. Zevan, Zevan," ulang Bu Jani pelan sambil mengangguk-angguk kecil. "Maaf ya, ibu memang suka lupa nama murid-murid yang ibu ajar. Banyak banget, jadi otak ibu kepenuhan," lanjutnya dengan nada bercanda, membuat beberapa murid kembali tertawa kecil.

Zevan hanya mengangguk mengerti.

"Baiklah, sekarang kita kembali ke dunia nyata, ya," kata Bu Jani, menepuk-nepuk bukunya dengan lembut. "Ayo, dibuka bukunya. Ada yang ingat materi kita minggu lalu sampai mana?" tanyanya sambil melihat ke sekeliling kelas.

Beberapa murid membuka buku paket mereka dengan buru-buru, sementara ada beberapa yang memang tidak berniat menjawab sehingga hanya diam saja. 

Seorang murid di barisan tengah mengangkat tangan.

"Persamaan kuadrat, Bu."

"Ah, benar! Persamaan kuadrat. Ternyata ada yang ingat. Bagus-bagus" kata Bu Jani dengan semangat. Ia mengambil spidol dan berjalan menuju papan tulis dan mulai menjelaskan.

 

🍁🍁🍁

 

Setelah bel pulang berbunyi, suasana sekolah langsung dipenuhi dengan suara langkah kaki dan obrolan para siswa yang bersiap meninggalkan kelas. Beberapa bergegas menuju gerbang atau parkiran, sementara yang lain berjalan santai, menikmati percakapan dengan teman-temannya. 

Sheyna dan Ardya termasuk yang lebih dulu meninggalkan sekolah. Mereka melaju pergi setelah memastikan Nara sudah di atas motornya.

Namun, siapa sangka ternyata motor Nara tidak mau menyala. Ia menekan tombol starter berkali-kali, tetapi mesinnya tetap tak mau menyala. 

"Yah, kenapa lagi sih ini?" gumamnya kesal. 

Nara mencoba lagi setelah menunggu beberapa saat, berharap keajaiban terjadi. Namun, hasilnya tetap nihil. Ia menghela napas berat. Matanya melirik sekitar, melihat dengan cepat teman-temannya satu per satu mulai pergi, menyisakan dirinya yang masih berkutat dengan motor yang membandel. 

Tiba-tiba, suara motor yang berhenti di sampingnya membuatnya menoleh refleks. 

"Kenapa, Ra?" 

Nara mengangkat wajahnya, lalu mendapati Zevan menatapnya dengan alis sedikit terangkat. 

Dadanya langsung berdebar. 

Astaga, ada Zevan lagi. Malu banget, ngapain sih dia pake acara lihat segala?

"Nggak tahu. Nggak bisa di-starter. Kayaknya harus pakai starter kaki," jawab Nara sambil berusaha bersikap biasa. Ia lalu turun dari motor, berniat menstandar-duakan motor matic-nya agar lebih mudah menginjak pedal starter

Namun, sebelum ia sempat melakukannya, Zevan sudah lebih dulu mematikan motornya dan turun. 

Nara buru-buru mengangkat tangan, berusaha menghentikannya. "Eh, nggak usah. Gue bisa kok, nggak papa. Lo duluan aja," katanya cepat. 

Jantungnya mulai berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena ia tidak terbiasa diperhatikan seperti ini oleh cowok—terlebih oleh Zevan. 

Namun, Zevan tidak menghentikan langkahnya, seakan tidak memedulikan penolakan halus dari Nara. "Gue bantuin aja, udah terlanjur turun nih," katanya santai. 

Tanpa menunggu jawaban lagi, ia langsung mengambil alih motor Nara dan menstandar-duakannya dengan mudah. 

Nara menggertakkan giginya sambil meremas roknya karena merasa canggung. Jujur saja, ia sebenarnya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Motor matic-nya memang terkadang bermasalah, dan ini bukan kali pertama ia harus menggunakan starter kaki.

Nara mundur sedikit, membiarkan Zevan mengambil alih. 

Bukannya memperhatikan motor, mata Nara justru tertuju pada Zevan yang tengah fokus dengan motornya. Cahaya matahari sore mengenai wajahnya, menyoroti rahangnya yang tegas dan ekspresi seriusnya. 

Aduhh, kenapa gue masih deg-degan sih? Nggak-nggak, nggak boleh!

Nara menggelengkan kepalanya cepat.

Tak butuh waktu lama, Zevan menginjak pedal starter dengan mantap. Sekali percobaan, mesin motor Nara langsung menyala.

Zevan menegakkan tubuhnya, lalu menahan gasnya agar tidak mati lagi sambil berkata, "Udah nih," katanya santai. 

Nara berkedip, tersadar dari lamunannya. "Makasih, Van," ucapnya tulus, lalu buru-buru memasang helmnya. "Gue duluan, ya." 

Zevan mengangguk pelan. "Oke, hati-hati." 

Tanpa menunggu lama, Nara menarik gas dan mulai melaju meninggalkan sekolah. Namun, saat berkendara, pikirannya masih berkutat pada kejadian barusan. Ia mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdebar. 

"Aduh, kenapa sih gue gini?" gumamnya sendiri lalu menggigit bibir. 

Disisi lain, Zevan juga menghela napas panjang, merasakan ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya sambil memasukkan tangannya ke saku jaketnya memandangi kepergian Nara sejenak sebelum kembali menyalakan motornya dan menyusul arus kendaraan yang mulai berkurang. Dengan tenang, ia melaju pergi, membiarkan angin sore membawa pikirannya entah ke mana.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Heavenly Project
448      310     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
The Best Gift
36      34     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Maju Terus Pantang Kurus
707      462     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
30      28     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Let me be cruel
3909      2234     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
839      581     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Broken Home
27      25     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Winter Elegy
511      356     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Kertas Remuk
90      73     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Sweet Punishment
134      76     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...