Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

SMA NUSA BHAKTI

Akhirnya, hari pertamanya sebagai murid kelas sebelas SMA, tiba. Suasana kelas Nara, XI MIPA 1, dipenuhi keriuhan khas hari pertama kembali ke sekolah. Nara memilih duduk di meja yang terletak di barisan kedua dari belakang dekat tembok bersama dengan teman dekatnya, Arsheyna Marliana, yang biasa dipanggil Sheyna. 

Tepat di meja sebelah mereka, ada kembaran Sheyna yaitu Ardyana Mavendra atau Ardya yang juga cukup dekat dengannya karena kedekatannya dengan Sheyna. Mereka berdua adalah satu-satunya, atau... dua-duanya? Intinya hanya mereka berdua lah teman dekatnya di sekolah. 

"Narayya Niam Mayra!!!" Suara Sheyna menggema ketika memasuki ruang kelas. Ia setengah berlari menuju meja Nara lalu duduk di bangku sebelahnya.

"Astaga gue kangen banget sama lo tahu! Gimana liburan kemarin, Ra? Masih sibuk sama buku-buku tebal lo itu?" tanya Sheyna sambil merapikan rambutnya yang panjang melebihi bahu, lurus, dan selalu dibiarkan tergerai.

"Ya, lumayan sih. Tapi nggak memenuhi target. Paling banyak baca novel. Padahal ... niatnya kan mau nyicil belajar UTBK juga," jawab Nara dengan nada kecewa sambil memainkan pulpen di tangannya.

Ardya, yang entah kapan sudah duduk di bangkunya, menyandarkan dagunya di tangan kanannya, sambil berkata, "Kalian berdua ini emang kembar introvert. Yang satu maraton buku, yang satu maraton drakor. Masa liburan cuma di rumah aja? Heran deh, gue."

Nara tersenyum mendengar itu. Ia pun sudah tidak heran jika Ardya bilang Sheyna hanya maraton drakor selama liburan. Walaupun bagi orang lain itu terdengar membosankan dan seperti terkesan pemalas, tetapi ia tahu Sheyna tidak benar-benar seperti itu. Mungkin Sheyna memang terlihat hanya keluar kamar untuk makan atau ke kamar mandi, tetapi ia yakin sebenarnya ada hal lain yang dilakukan Sheyna. Karena sesuka apapun seseorang pada sesuatu, tidak mungkin ia tidak merasa bosan jika melakukannya dalam waktu yang lama.

Demikian pula dengannya, meskipun ia suka membaca, adakalanya ia jenuh dan ingin refreshing dengan menonton sesuatu yang lain di handphone. Satu lagi, mungkin tidak banyak orang tahu bahwa orang introvert, homebody, kuper, atau apapun sebutannya, mereka cenderung memikirkan banyak hal baru yang ingin mereka coba lakukan tanpa perlu diketahui orang lain.

"Eh apa bedanya sama lo? Lo juga cuma begadang nonton bola sampe malem. Jangan sok deh," balas Sheyna dengan nada sinis.

Ardya tawa ringan, "Tapi gue kerja part-time ya," jawabnya lalu tak menghiraukan percakapan mereka lagi.

"Part-time apaan?! Nggak pernah tuh lo traktir gue?" cibir Sheyna kesal.

Obrolan mereka terhenti ketika bel masuk berbunyi. Sebagian murid segera duduk dengan rapi di bangku masing-masing, sementara masih ada beberapa murid lain yang masih di luar kelas, murid putra tentunya.

Tak lama kemudian, Bu Jani, guru matematika, masuk ke dalam kelas, diikuti murid lain tadi yang masih berada di luar. Namun, salah satu dari mereka yang tampaknya murid baru berhenti di depan kelas dan berdiri di samping Bu Jani. 

Pemuda itu memiliki postur tubuh yang tinggi dengan rambut hitam rapi dan wajah tampan yang langsung menarik perhatian seluruh kelas, terutama murid putri. Aura tenangnya membuat suasana menjadi sedikit sunyi. 

"Anak-anak, ada murid baru yang akan bergabung dengan kelas kita mulai hari ini," ujar Bu Jani. "Silakan perkenalkan diri kamu dulu."

Nara, yang awalnya duduk santai, seketika terkejut. Matanya melebar ketika mendongak dan melihat siapa siswa baru itu.

Pemuda itu mengangguk pelan sebelum berbicara. "Nama saya Zevan Ganeswara, bisa dipanggil Zevan." Suaranya rendah, tenang, dan sangat familiar di telinga Nara.

Tepat setelah itu, pandangan Nara dan Zevan bertemu. 

Nara merasa waktu seperti berhenti untuk sepersekian detik. Ternyata ... ia tidak berhalusinasi kemarin. Itu benar-benar Zevan, teman SMP-nya dulu. Namun, ia mengingat dengan jelas bahwa Zevan pindah ke Jogja dua tahun lalu saat kenaikan kelas sembilan. Sekarang, dia pindah ke kota ini lagi? Kenapa?

"Ganteng ya, Ra," bisik Sheyna yang sontak menyadarkanya dan mengalihkan pandangannya dari Zevan. Ia menatap Sheyna. 

Rupanya sedari tadi mata Sheyna sudah berbinar-binar melihat Zevan. Nara bisa melihat itu dan entah kenapa membuat perasaannya sedikit mengganjal.

Bu Jani tampak sedikit terkejut karena Zevan tidak mengatakan apapun lagi. "Oh, sudah? B-baik, Zevan, silakan duduk di bangku kosong itu ya," kata Bu Jani sambil menunjuk bangku kosong di barisan pojok paling belakang. Sialnya, itu tepat di belakang Nara.

Zevan mulai berjalan menuju tempat duduknya, melewati Nara yang masih mematung, tak melihat ke arahnya. Saat dia melewati meja Nara, Zevan menoleh sedikit dan mengucapkan sapaan singkat.

"Hai, Ra," sapa Zevan singkat sembari berjalan menuju bangku kosong yang berada tepat di belakang Nara.

Mendengar itu, Nara menengok sekejap sambil sedikit terkejut, tak menyangka jika Zevan akan menyapanya seperti itu.

Sementara Sheyna yang duduk di sebelahnya sempat melirik kaget menyadari bahwa Zevan mengenal Nara. 

Seusai perkenalan singkat itu, Bu Jani memulai sesi pelajaran. Dan sepanjang itu juga, Sheyna di sampingnya tak henti-hentinya berbisik menanyakan soal Zevan kepada Nara.

"Lo kenal Ze-Zevan? Lo kenal anak baru itu, Ra?" bisik Sheyna sambil mencondongkan tubuhnya ke samping, ke arah Nara.

Nara hanya melirik Sheyna tanpa menoleh. Tubuhnya masih terasa kaku karena Zevan tepat berada di belakangnya. Sekarang, pergerakannnya tak leluasa mengetahui seseorang dari masa lalunya kini berada tepat di belakangnya.

"Temen," jawab Nara singkat akhirnya. Ia mencoba mengabaikan Sheyna dengan mencorat-coret angka sambil sesekali melihat ke papan tulis, berpura-pura memperhatikan apa yang sedang disampaikan oleh Bu Jani di depan.

"Temen apa? SMP? SD? TK? PAUD? Atau malah tetangga?!" tebak Sheyna sambil berbisik, tetapi penuh penekanan setelah beberapa saat terdiam. Tangannya sama dengan Nara yang sedang berpura-pura mencatat materi agar tidak terlalu ketara jika mereka sedang mengobrol.

"SMP," jawab Nara cepat dan berharap supaya Sheyna berhenti bertanya.

Mendengar itu, Sheyna hanya membulatkan bibirnya tanpa bertanya lagi. Nara bernapas lega. Akhirnya, Sheyna bisa diam juga.

 

🍁🍁🍁

 

Mata pelajaran kelas Nara selanjutnya adalah olahraga. Setelah berganti pakaian, semuanya menuju ke gedung olahraga karena mereka diminta untuk bermain bola voli. 

Suara peluit terdengar diikuti oleh suara bola voli yang memantul lantai lapangan dan menggema di seluruh gedung. Murid putri yang bermain terlebih dahulu, kemudian baru siswa putra selanjutnya.

Ketika giliran murid putra yang bermain, Zevan, dengan kaos olahraga yang sedikit basah oleh keringat, melompat tinggi untuk melakukan servis pertama. Ternyata ia sangat mahir bermain bola voli. Beberapa kali ia melakukan smash dan bola itu melesat cepat melewati net, menghantam lapangan lawan tanpa ampun. Sorakan meledak dari para murid putri di pinggir lapangan yang menonton pertandingan seru itu, termasuk Sheyna yang tidak henti-hentinya memuji.

"Ya ampun, Zevan! Keren banget!" seru Sheyna sambil melompat kegirangan. Beberapa murid putri dari kelas lain yang melintas bahkan terlihat memperlambat langkah mereka dan beberapa sengaja berhenti untuk menyaksikan pertandingan itu. 

Sementara itu, di samping Sheyna, Nara menghela napas panjang, mencoba mengabaikan keributan di sekitarnya. Sheyna terus berteriak histeris setiap kali Zevan mencetak poin.

"Sumpah, Zevan keren banget! Dia tipe gue banget, Ra. Udah ganteng, jago olahraga pula!" ujar Sheyna sambil meremas lengan Nara dengan pandangan yang tidak beralih, masih memandangi Zevan di lapangan.

"Sakit, Na!" seru Nara sambil menarik lengan kanannya dan melindunginya dengan tangan kiri. Sheyna tak menghiraukan Nara yang kesal karena tingkahnya karena saat ini ... pikirannya hanya berfokus pada Zevan.

Tak bisa dipungkiri, Nara juga sebenarnya tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat bagaimana gesit dan mahirnya Zevan dengan bola voli itu. Pemandangan itu sama persis dengan apa yang sering ia lihat dulu sewaktu di Samantha. Menyaksikan bagaimana semua gadis di sekolah terpesona dengan Zevan. Namun, melihat ini lagi ... benar-benar menyadarkannya bahwa menyukai Zevan terlalu sulit baginya yang hanya seorang gadis biasa, introvert, dan tidak pandai bersosialisasi.

Sheyna tiba-tiba menengok dan menatap tajam Nara. "Lo nggak suka juga sama Zevan kan?" 

"E-enggak lah!" jawab Nara sedikit gugup.

"Kok gugup gitu jawabnya?!"

"Enggak, Sheyna ... Kita cuma temen kok!" Nara berusaha menenangkan Sheyna.

"Oke deh. I trust you, Ra. Tapi awas ya kalo sampe lo nikung gue!" katanya. Sedetik kemudian ia sembali tersenyum lebar memandangi Zevan.

Perasaan Nara benar-benar campur aduk saat ini. Bagaimana tidak? Ia berada di situasi dengan besar, sangat, amat, besar ... kemungkinan bahwa dia akan jatuh lagi untuk kedua kalinya kepada Zevan. Dan yang paling ia takutkan adalah kali ini ... ia mungkin akan jatuh lebih dalam daripada dua tahun lalu. Apalagi, Sheyna, satu-satunya sahabat yang ia miliki secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Zevan. Ia merasa seperti ingin dibawa angin puting beliung saja saat ini.

Tak lama kemudian, bel tanda pergantian jam berbunyi. 

Yes!

Nara segera meninggalkan keramaian setelah mengatakan kepada Sheyna bahwa ia ingin kembali ke kelas duluan. Sheyna mengiyakan dan pergi ke kantin bersama teman-teman lainnya karena merasa serak dan butuh minum setelah berteriak-teriak tadi.

Namun, alih-alih langsung ke kelas, Nara memutuskan untuk singgah di taman kecil yang ada di dalam sekolah terlebih dahulu yang terletak tak begitu jauh dari kelasnya. Ia duduk di bangku kayu, memejamkan mata sejenak, dan menghirup udara dalam-dalam. Suasana taman yang sepi karena masih ada beberapa menit sebelum jam istirahat sedikit meredakan rasa lelah dan sesak di dadanya.

Tiba-tiba, ketenangannya terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nara membuka mata dan mendapati seseorang berdiri di depannya—Zevan.

Zevan dengan ekspresi santai mengulurkan satu dari dua botol air mineral yang dibawanya. 

Tak enak hati menolak, Nara dengan terpaksa menerimanya. "Makasih," ujarnya pelan.

Zevan duduk di sampingnya tanpa permisi, lalu membuka botol airnya dan meneguk isinya hingga tersisa setengah botol. Nara, yang belum sepenuhnya nyaman dengan kehadiran Zevan, sedikit bergeser.

Menyadari sikap Nara, Zevan meliriknya sekilas sebelum bertanya, "Gue boleh duduk di sini, kan?"

Nara tersentak. "Hah? Bo-boleh kok. Tempat umum juga," katanya, kini merasa bersalah atas reaksinya tadi.

Zevan mengangguk kecil.

"Gimana kabar lo, Ra?" tanyanya tiba-tiba. Padangannya mengarah ke tangannya yang sedang memutar-putar tutup botol.

Nara menghela napas tipis. "Baik."

Zevan kembali mengangguk, lalu membuka tutup botolnya dan meneguk air mineral itu lagi. 

Untuk sejenak, keduanya hanya terdiam dengan ditemani angin sepoi-sepoi yang menimbulkan suara gesekan daun kering yang bergoyang di sekitar mereka.

Beberapa saat kemudian, Nara akhirnya membuka suara, ragu-ragu. "Kalau boleh tahu ... kenapa lo pindah ke sini lagi? Maksudnya ke kota ini lagi."

Zevan tersenyum tipis. "Bokap ditugasin di sini lagi. Kenapa emang?"

"Oh ... nggak, cuma nanya aja," jawab Nara buru-buru. Sebenarnya ia juga ingin menanyakan alasan kenapa Zevan memilih sekolah ini, tetapi ia mengurungkan niatnya itu. Ia tidak ingin menimbulkan prasangka yang macam-macam.

Hening kembali menyelimuti mereka.

Zevan tiba-tiba bersuara, "Lo nggak se-cerewet pas pertama kali kita sekelas, ya."

Nara menoleh, sedikit terkejut.

"Gue juga jujur masih bingung," lanjutnya, suaranya sedikit lebih pelan. "Kenapa dulu lo tiba-tiba berubah jadi pendiem kayak gini?"

Nara menatap lurus ke depan, berusaha menata pikirannya. Ia bisa melihat Zevan yang melihat ke arahnya melalui ekor matanya. "Ee-nggak papa sih," jawabnya, berusaha setenang mungkin. "Mungkin gue emang aslinya kayak gini." 

"Mungkin?" Zevan mengulang kata itu lirih sembari menatap botol yang sudah kosong di tangannya, seolah sedang mencerna sesuatu, lalu menengok ke arah Nara lagi.

Tak sengaja tatapan mereka bertemu. Seketika, sesuatu yang familiar menghangat di dada Nara. Ada perasaan nyaman, dan sesuatu yang sempat hilang ... rasanya kini kembali. Ternyata waktu tak memudarkan perasaan sepenuhnya. Ia hanya menyembunyikan dalam topeng kata melupakan.

Namun, bayangan Sheyna tiba-tiba melintas di benaknya.

Lo nggak suka juga sama Zevan kan? Awas kalo lo nikung gue!

"Ra—"

"Gue ke kelas duluan ya! Makasih minumnya!" potong Nara cepat-cepat. Ia bangkit dan melangkah pergi sebelum Zevan sempat menyelesaikan kalimatnya.

Zevan hanya menatap punggung Nara yang menjauh dengan ekspresi datar. Seperti sudah tahu bahwa Nara akan bersikap seperti ini.

Hari itu berubah menjadi hari penuh tanda tanya dan perasaan gelisah, bagi Nara. Sebuah pertemuan kembali yang tak terduga membawa kembali kenangan yang selama ini Nara kira sudah menjadi masa lalunya. Kenangan yang selama ini Nara kira sudah bukan apa-apa. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Tic Tac Toe
386      312     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Halo Benalu
828      404     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
FAYENA (Menentukan Takdir)
356      261     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Manusia Air Mata
977      596     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Je te Vois
619      411     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Survive in another city
124      103     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
116      99     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Our Perfect Times
913      650     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...