Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warisan Tak Ternilai
MENU
About Us  

Dalam rumah berlapis-lapis batu bata, yang dirasuki cahaya hangat dari mentari pagi seorang wanita tengah berdiri dengan tubuh yang melengkung seperti udang membusuk, dia mematung di depan meja dapur yang panjang, awalnya dia menghayal untuk menjadikan wilayah dapurnya itu seperti dapur cantik, ada kitchen set nya yang mana rak kayu pernis untuk menyimpan gelas-gelas body gitar spanyol tertata rapi di, meja potong-memotongnya berlapis marmer tetapi dapur dia hanya terbuat dari kayu yang cukup kokoh hasil karya Bapaknya. Semua harus dimulai dari kecil akan tetapi berguna dengan baik. 

 

Ketika jemari-jemari kurcaci kaki kananya melangkah sedikit menyeret-nyeret menyatukan ke persinggahan kaki kirinya, jemari-jemari tangan kurcaci yang tak diberi instruksi membuat masalah. 

 

Pyaaaar...! Dia tersentak hingga kedua kakinya nya berwujud seperti yuyu kangkang, dengan muka yang mulai memerah. Nyaris saja percikan dari puing-puing piring nibeling itu menyayat kulit mulusnya. 

 

Dari luar terdengar suara nyaring yang membuat bulu kuduk bangkit akan tetapi bukan berasal dari suara keramik yang dipotong. 

 

"Apa lagi yang kamu pecahkan, Gemi?" seru wanita paruh baya yang lehernya muncul urat-urat dan bergelayuran, wanita yang masih kini berdiri membelakangi meja panjang kayu mulai mengemebuskan napas pelan sambil merunduk, lalu sudut bibirnya melengkung membentuk senyum getir, "Bisa habis, warisan dari Nenek Buyutmu ini, Gemi!" 

 

"Gem! Ayoo, kita berdua jadi jalan kan sekarang?" ucap tiba-tiba Rahma, wanita bertubuh mungil yang usianya selang 7 tahun dengan Gemi. Rahma adalah perempuan yang hobi jalan-jalan meski hanya sekadar jajan cilok cekek. Dia tinggal di perumahan yang tergolong kelas menengah. Perum Chandra Na Wilis, Rahma juga wanita single yang paling awet. 

 

Gemi hanya mengatupkan kelopak matanya, dan menggigit bibir. Kedua mata Rusmi mendakak menyala-nyala, Rahma pun seketika menatap langit-langit lalu berbalik badan, dan secepat kilat mengangkat kakinya. 

 

 

Rusmi, wanita paruh baya itu pun memilih diam dan melangkah pergi, dan tak menyangka akan bersentuhan badan dengan pria berkulit layu, yang basah bercucuran keringat yang membuatnya mengembuskan napas pelan. 

Pria itu hanya meringis menatap putri kesayangannya, dan menampakkan giginya yang tertinggal dua di bagian atas, depan. 

Seakan-akan menelantarkan putrinya dari omelan sang ibu. 

 

Sekantong plastik berukuran sedang berwarna hitam diletakkannya di atas meja, Gemi yang duduk di kursi seketika menegakkan tubuhnya. 

 

"Kamu bawa gih, kantong plastik ini ke rumah Bu Maryam!" suruh tiba-tiba Ibunya, "Jangan lupa, nanti sebelum berangkat kamu cek dulu isinya. Takut ada yang kelupaan!" 

 

Gemi pikir, Ibunya akan uring-uringan dalam waktu yang lama. Mungkin saja Ibu teringat, bila tidak menegur sapa lebih dari tiga hari dalam agama kami, disebut sebagai orang musyrik. 

Makanya, Rusmi sukar bila tak bertegur sapa sedangkan dirinya selalu ingin butuh Gemi. 

Dan Gemi, adalah anak perawan berusia seperempat abad yang harus selalu menunggu dibujuk, digertak terlebih dulu sebelum bekerja. Akan tetapi soal pekerjaan di rumah, entah itu bersih-bersih kamarnya di pagi hari, halaman depan dan belakang rumah akan dikerjakan secara rapih tanpa perlu dulu dicambuk, namun bila mulut Ibu atau bahkan Bapaknya keluar ucapan kok tumbenan, jangan heran bila anak perempuannya itu tiba-tiba bibirnya jadi keriting. 

Terkadang, Rusmi bertanya-tanya mengapa anaknya berbeda dengan anak-anak sepantarannya.

 

Gemi bergegas pergi, saat akan menjatuhkan telapak kakinya ke tanah, lalu kembali berjalan mundur dan terhenti sejenak. Dia tak lupa untuk memeriksa kembali isi dalam kantong plastik hitam itu, matanya pun bersinar terang melihat gulungan uang yang terlilit karet gelang, enggak mungkin kalau Ibu kasih uang ini ke Bu Maryam. Beliau kan, janda kaya di kampung sini. Berarti uang ini buat anaknya, batin Gemi menyeringai. 

 

Rumah Bu Maryam, teramat jauh. Bagai ujung ke ujung. Letaknya di sebelah gapura masuk desa. Yang suasananya sejuk sebab berdampingan dengan area persawahan. 

Begitu tiba, disambut lambaian angin yang semilir. 

 

"Eh, ketemu Gemi di sini! Syukurlah, jadi saya enggak perlu repot-repot bertamu ke rumah kamu," ucap Bu Leya yang baru saja keluar dari rumah Bu Maryam, Gemi mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum tipis dan sekantong plastik yang perlahan-lahan ia sembunyikan di punggungnya. Dia adalah, Ibu-Ibu Grup Kompi 'Komunitas Rumpi' 

 

"Tolong sampaikan sama Ibu yah, kalau saya mengundangnya lusa di acara a party to celebrate Rayn Hadi Kusumo's accomplishments," timpalnya dengan tempo yang terbelit-belit karena dialek bahasa inggris, Bu Maryam mengerutkan kening, sedang Gemi mengumpat senyumnya, "Datang loh ya, kamu juga boleh ikut kok!" 

 

 

Mata Bu Leya mengincar ke arah sekitar Gemi yang menyilangkan kedua tangannya di belakang. Lalu dia pun berpamitan untuk lanjut bertamu ke rumah ibu-ibu kampung, sambil matanya melirik ke arah Gemi yang secepat kilat memutar balikkan badannya, sambil manggut-manggut. 

Dia teringat dengan pesan Ibunya sejak dirinya masih usia kanak-kanak, jika hanya memberi satu orang, yang lainnya jangan sampai tahu apa yang kau tengah beri itu. 

Karena memang Bu Maryam lah yang kerap mendapatkan bingkisan dari Rusmi, sebab begitu banyak memberikan pertolongan pada keluarganya. Istilahnya, berbalas budi. Meski harus tak enak hati pada orang-orang yang lainnya. 

 

"Bu Maryam, ini dari Ibu. Kalau begitu, saya izin pamit pulang dulu yah Bu!" ucap Gemi sambil mengulurkan sekantong plastik berwarna hitam itu dan perlahan melangkah mundur. 

 

"Oalah, ya sudah. Kalau begitu, sampaikan rasa terima kasih saya yah sama Ibu Rusmi! Jangan lupa juga pesan Bu Leya tadi, yah!" jawab Bu Maryam membuat Gemi mengangguk-anggukkan kepalanya lalu bergegas pergi. 

 

Di tengah perjalan menuju ke rumahnya, langkah Gemi mendadak terhenti sampai ibu jari jempol kakinya membentur batu jalanan yang berpasir, dia menyipitkan mata melihat sosok wanita yang bentuk tubuhnya terasa mirip dengan sahabatnya, busana muslim berwarna merah jambu, kerudung magenta yang berdiri di samping rombong sepeda motor abang-abang jualan cilok keliling. 

 

"Bang! Beli telur gulungnya 100 tusuk!" seru Gemi dengan suara lantang membuat wanita merah jambu itu menengok secepat kilat, dan membuat Gemi tertawa ledek. 

Wanita itu rupanya benar sahabat Gemi, Rahma. 

 

"Mana Abang jualan telur gulungnya? Apa udah lewat?" tanya Rahma sambil celingak-celinguk, hidung kembang kempis mencari aroma telur gulung, "Astaga, jadi kamu sengaja barusan teriak-teriak begitu?" 

 

Gemi mengangguk-angguk sambil menahan gelak tawa, "Habis kalau aku enggak gitu, kamu mana denger suara panggilan aku! Karena lihat kamu yang lagi anteng makan cilok bumbu kecap kacang!" Rahma meringis, sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

 

"Kita berdua jadi pergi kan, hari ini?" 

 

Rahma menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. "Maaf, Gem. Tadi ibu telepon aku buat pulang cepat, jadi jalan-jalannya besok aja yah!" Gemi menutup kedua matanya sambil mengatupkan bibir. 

 

"Lah terus, kamu ngapain masih di sini? Katanya harus pulang cepat hayo?" cecar Gemi membuat mata Rahma berputar-putar, "Oke, bye!" 

 

Gemi seketika melangkah mundur sambil melambai-lambaikan tangannya. Rahma melambai-lambaikan tangannya juga dengan ragu. 

Lalu tiba-tiba Gemi melompat-lompat, dan tersenyum lebar. Rahma pun juga melakukannya. 

Rahma menyeberangi jalanan raya, lalu tiga langkah lagi pintu gerbang masuk Perum Chandra Na Wilis pun terbuka. 

Keduanya masih saling melambai-lambaikan tangan, hingga membuat Abang penjual cilok keliling geleng-geleng kepala. 

 

 

Di rumah, Rusmi tengah sibuk menyiapkan makanan di atas meja makan. Ditemani suaminya, Pak Gustin sambil menonton televisi. Gemi duduk manis di kursi ruang tamu yang menjadi satu ruangan dengan meja makan keluarga. 

 

"Bu Leya kayak kurang akal banget yah. Sekarang zamannya pakai teknologi, kenapa enggak lewat grup wa saja ngomongnya. Pakai di datangi satu-satu, tapi enggak mau bertamu ke rumah Ibu! Aneh, kan Pak!" ucap Rusmi penuh penekanan. 

 

Pak Gustin yang sibuk memencet-mencet tombol channel televisi, seketika meletakkan remote di atas meja makan. 

 

"Memangnya ada masalah apa toh, Bu sama Bu Leya?" 

 

"Itu loh, tadi pagi habis Gemi pecahin piring. Ibu suruh dia buat pergi ke rumahnya Bu Maryam, dan enggak sengaja ketemu Bu Leya di sana. Katanya ibu-ibu di kampung ini termasuk ibu, diundang di acara anaknya selebret kokom gitu deh pokoknya!" jawab Rusmi dengan dialek bahasa inggris yang belibet, membuat lidahnya melintir. 

 

"Nama acaranya a party to celebrate Rayn Hadi Kusumo's accomplishments, Bu!" sahut Gemi membuat Rusmi bungah sambil nunjuk maksud dari ucapannya tadi. Pak Gustin tampak menahan senyumnya, sampai wajah membiru. 

 

"Ya bagus dong Bu! Nanti di sana ibu bisa cicipi aneka ragam masakan, mulai dari yang makanan orang zaman sekarang, dan kumpul-kumpul sama teman-teman ibu!" timpal Pak Gustin membuat Bu Rusmi memanyunkan bibirnya.

 

"Enggak tahu ah, Ibu mau siapin makanan dulu!" 

 

Rusmi melangkah pergi menuju ke ruang dapur, Gustin menatap Gemi yang saling kebingungan. 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags