“Tidak-tidak-tidak!” Ibu menegaskan dengan kepala menggeleng kuat. Aku yakin jika dia menggeleng sekali lagi, tengkoraknya akan copot dari leher. Setelahnya, dia menatapku serius seakan menganggap pemakaman Layden sebagai pemakaman orang Covid. “Tidak ada yang namanya pergi ke Saguntang. Itu bukan tempat orang-orang muslim.”
“Apa aku harus meminta mereka melakukan kremasi di masjid supaya bisa datang?” Kurasa satu-satunya orang yang tak mengerti jika aku baru saja kehilangan seseorang yang penting adalah Ibu. Seakan yang meninggal kemarin hanyalah kucing yang ditabrak motor. Mataku melotot, bersitegang dengan Ibu.
Sesuai dengan kondisi makan malam yang selalu penuh ketegangan.
Ayah kemudian menyentakku, membela Ibu, dan mengatakan kalau aku tidak sopan karena membantahnya begitu saja.
Kembali, tanpa menyentuh makanan aku beranjak pergi dari meja makan. Beberapa anggota keluargaku orang terdengar menghela napas tanpa ada yang repot-repot menahanku. Aku langsung membenamkan diri di ranjang dan memeriksa ponsel. Selama seminggu, pesan mencapai ribuan dari orang-orang yang sok kenal denganku dan menyayangi Layden setulus hati.
Aku tak perlu repot-repot membalas karena langsung memblokir semua pesan.
Liputan Kompas menyiarkan artikel mengenai kremasi mayat yang akan diadakan Sabtu nanti. Bahkan reporter yang tidak berniat mendoakan pun diharuskan datang oleh stasiun penyiarannya. Kenapa aku malah dilarang?
“Jika kau pergi ke sana, Ibu tidak akan mengambilkan rapormu.” Ibu datang ke kamar dan membawa ancamannya—seperti biasa—tanpa rasa ragu.
Aku berdecak dan memalingkan wajah. “Kalau begitu, tidak perlu repot-repot.”
Tangannya terlipat di depan dada dan dia tampak menahan diri. “Entah mengapa akhir-akhir ini kau lebih berani menjawab omongan kami.”
Menjawab omongan mereka? Ya, akhir-akhir ini mungkin aku memang terdengar kurang sopan, tapi hal itu karena emosiku yang agak goyah, bukan?
“Ak-aku tidak tahu,” ucapku lemah.
Ibu menghela napas dan duduk di ranjang Tera sehingga berhadapan langsung denganku. Dari penampilannya yang tiba-tiba menggunakan hijab spandek jumbo, aku yakin dia sudah siap bertausiah dan menyudutkanku.
“Mili…” Oke, ini dia. “Ibu tahu ini berat bagimu, tapi sejak awal hubungan kalian memang salah.”
“Aku tahu.” Aku mengangguk yakin. Orang bodoh pun tahu. Hanya saja bukan ini yang kubutuhkan saat ini. Mataku menyipit sesaat ketika wajah Ibu terlihat lebih cerah karena aku mendukungnya. “Pernahkah Ibu berdoa… meminta Allah untuk memisahkan kami?”
Ibu bergeming.
“Apa Ibu meminta kami berdua berpisah secara baik-baik dan menjaga kami, atau hanya memohon untuk menjagaku saja?”
“Ibu selalu mendoakanmu. Selalu.” Terlalu ambigu untuk kusimpulkan. Alhasil, aku hanya mengangguk pelan.
“Kenapa hari itu Ibu menamparnya?” Kini pertanyaanku terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Ibu terlihat membeku dan mengusap kedua tangan cepat.
“Kalau yang itu… Ibu minta maaf.”
“Tidak, tidak…” Aku menggeleng cepat. “Mili ingin tahu alasan Ibu menamparnya hari itu. Apa dia mengejek keluarga kita?”
Ibu menahan napas dan memejamkan mata. Bahunya ikut menegang, seakan siap untuk menerkam. “Ibu memintanya untuk memutuskan hubungan kalian.”
Tenggorokanku tersekat. “Lalu? Apa jawabannya?”
Ibu menatapku lama, seperti memilah-milah kata-kata yang tepat sebelum dilontarkan kepadaku. Tak seperti Ibu biasanya yang asal ceplas-ceplos ketika mengutarakan pikiran. “Dia bilang dia ingin menjagamu.”
“Itu bukan konklusi,” tukasku.
“Dia mengatakan seperti itu. Lalu Ibu jawab bahwa kau sudah cukup mendapat perlindungan dari kami sehingga Layden tidak perlu merasa bertanggung jawab untuk menjagamu. Namun dia menolak, karena menurutnya kami sama sekali belum menjagamu secara baik.”
Itu benar. Benar sekali. Aku tentu ingin membenarkan Layden dan seluruh hal yang dia katakan. Ibu pasti merasa tidak terima karena harga dirinya terluka sehingga menampar laki-laki malang itu padahal Layden tidak sepenuhnya salah.
Aku ingin membantah, tapi malas beradu argumen lagi dengan Ibu. Tenagaku sudah terkuras hanya untuk bernapas. Jadi aku menarik selimut dan merebahkan diri. “Baiklah. Ibu boleh pergi.”
Dari bayangannya, aku yakin dia sudah berdiri. “Mili, Ibu ingin kau kembali seperti dulu lagi, jangan seperti ini.”
“Kenapa harus kembali ketika aku tidak ke mana-mana?” ucapku dalam balutan selimut.
***
Tak perlu meminta persetujuan orangtuaku, aku tetap datang ke Saguntang esoknya. Devano yang mengenakan baju koko putih langsung menyambutku dan mengucapkan terima kasih karena sudah datang. Dia kemudian menceritakan keluarga mendiang yang dari berbagai daerah sudah berdatangan.
Aku tahu karena parkiran krematorium dipenuhi mobil hingga ke bahu jalan. Sebagian besar adalah mobil media yang berbondong-bondong meliput. “Tidakkah keluarga meminta privasi dari pihak penyiaran?” tanyaku setelah tak nyaman melihat barisan mobil semi van mereka.
“Aku rasa begitu, tapi tahulah.” Devano mengedikkan bahu. Setelahnya, laki-laki itu mendekati wanita lansia dengan tubuh setengah bungkuk. Jika orang memiliki uban yang menyelip di antara rambut, beliau justru hanya memiliki beberapa helai rambut di antara uban. Devano melirik ke arahku dan tersenyum. Senyumnya hangat, tatapannya juga persis seperti Layden meski sayu. Guratan di wajahnya terlihat lelah. Dia mendekat ke arahku bersama wanita tersebut.
“Halo, aku ama[1]-nya Layden.” Dia tersenyum.
Aku melirik Devano sekilas kemudian menyalaminya. “Halo, Ama. Layden sempat bercerita tentang Ama, tapi dia tak pernah memberi tahu jika Ama tinggal di Prabumulih. Oh, namaku Mili,” balasku ramah.
“Mili?” Senyumnya kali ini lebih lebar. “Terima kasih sudah datang. Kamu temannya Layden?”
Pacar, tapi aku mengangguk.
Ama perlahan mengangkat tangan ringkihnya dan menepuk pipiku pelan. “Terima kasih ya, sudah menjaga Layden selama ini.”
Tiba-tiba napasku tersekat, bersamaan dengan penggada yang kembali menumbuk hatiku. Bibirku berkerut dan tanganku mengepal. Namun setelahnya, aku mengangguk kaku. “Iya, Ama,” kataku dengan suara bergetar.
“Si polisi itu sudah menceritakan semuanya tentangmu,” ujarnya. Mungkin yang Ama maksud adalah Inspektur Yuni. “Aku bersyukur ada orang yang peduli dengan keluarga kami.”
Dia kemudian menuntunku memasuki krematorium. Mataku berpaling ke bawah kala melihat jenazah yang sudah ditutupi kain putih.
Selama ini aku selalu mengira Layden hilang karena tak pernah melihat jasadnya sama sekali. Namun sekali melihatnya, aku justru langsung ingin menghapusnya dari ingatanku. Sekali lagi aku melirik dan harus kuakui aku tak punya kekuatan lebih dari tiga detik melihat kain tersebut.
“Kau ingin melihat wajahnya sebelum dikremasi?” tanya Ama yang membuatku tersentak. “Hanya saja ada lubang peluru di pelipisnya.”
Meski informasi itu semakin melukaiku, ada sedikit kelegaan untuk memastikan lebih jelas cara Layden menghilang. “Aku rasa,” kataku dengan tangan gemetar hebat. “Aku tidak sanggup melihatnya.”
“Kau yakin? Karena setelah ini kau tidak bisa melihatnya secara langsung.”
Ini membuatku semakin bimbang. Aku menelan ludah, tapi tenggorokanku malah terasa semakin kering. Selain itu, keringat dingin mulai menjalar di sepanjang punggung. “Aku akan menyentuh rambutnya saja.”
Seseorang dengan pakaian putih membawaku menuju salah satu undakan kemudian dia menyingkap sedikit bagian kepala sehingga menunjukkan rambut hitam Layden yang lepek. Napasku tertahan ketika tangan gemetar nan payah ini mulai menyentuhnya. Jariku langsung menjauh ketika menyentuh helai rambut kasar itu. Tidak lama kemudian aku kembali mengelus ujung rambutnya perlahan.
Bibirku gemetar dan mataku panas. Tiba-tiba saja air mataku jatuh di ujung rambutnya dan aku langsung tersadar. Aku segera menyeka air mata lalu berterima kasih pada orang yang membukakan kainnya.
Selepas itu, aku kembali seraya tersenyum canggung kepada Ama. Dia mengelus lenganku dan berterima kasih untuk yang kesekian kali. “Kau bisa mengunjungi kami kapan saja di Prabumulih. Abu mereka akan disimpan di dekat Marco.”
“Oke, Ama.” Aku buru-buru pamit dan bersalaman sebelum air mata ini membanjiri krematorium.
Tertatih-tatih, aku keluar dari sana selagi orang-orang masuk dan memulai upacara pembakarannya.
Aku berbelok ke samping dinding bangunan dan bersandar lemah di sana. Ketika doa-doa mulai terdengar dan bergaung di dalam sana, tangisku meledak. Aku membekap mulut dengan kedua tangan sambil membungkuk dalam.
Saat para jurnalis mengambil tempat selagi pengkremasian berlangsung, aku berjongkok lemas dan berhenti menangis. Mataku menyorot jauh conblock tua yang menerbangkan beberapa sampah plastik lama.
Entah berapa lama setelahnya, beberapa orang sudah keluar dari sana dan mengucapkan belasungkawa pada keluarga-keluarga yang sama sekali asing bagiku. Aku bahkan melihat Devano dan orangtuanya sudah kembali ke parkiran dan masuk ke mobil mereka.
Apakah sudah selesai?
“Kau tidak melihat pengkremasiannya?” Seorang wanita gempal, berusia sekitar pertengahan dua puluh, berdiri dengan tatapan heran. Aku berdiri dan menyipitkan mata menatapnya. Kulitnya gelap dengan mata bulat besar. Rambutnya agak kusut dan terurai ke belakang.
“Ahh, kau pacarnya Layden?” Dia menyadari siapa aku.
Aku yang justru mengernyit karena tak tahu dia siapa. “Iya, aku Mili.” Wajahku agak tertunduk karena aku yakin mataku bengkak parah.
“Aku Dasa. Temannya Marco,” bisiknya. “Kami dulu kerja di KUA dekat Gandus. Sekarang aku pindah di Banyuasin.” Dia menghela napas panjang melihat para jurnalis mulai mendekati beberapa orang yang kuyakini keluarga jauh Layden.
Setelahnya, dia kembali menilikku dari atas ke bawah. “Aneh sekali Helen tidak ke sini padahal pacarnya Layden saja datang.”
Helen? Aku pernah mendengar nama itu. “Siapa?”
“Helen? Dia mantan pacarnya Marco.”
Itu dia.
“Waktu Marco meninggal kudengar dia sengaja memutuskan kontak dengan keluarga Susuk. Padahal dia lumayan dekat dengan adik-adiknya.”
Aku mengangguk kecil, tak terlalu tertarik. Namun, lebih baik melanjutkan pembicaraan daripada canggung dengan kesendirian. “Mereka putus karena apa kalau boleh tahu?”
“Putus karena maut?” Dasa mengernyit tak yakin. “Mereka sebenarnya tak putus. Hanya berpisah karena Marco yang tiba-tiba… begitulah.”
Aku tersenyum kecut. Persis sepertiku.
“Ngomong-ngomong, aku turut berduka,” ucapnya tiba-tiba. “Canggung rasanya jika mengucapkan ini pada keluarga Marco yang sama sekali tak kukenal. Jadi aku menitipkannya padamu saja. Lagi pula aku dengar dari A'i kalau mereka sudah menganggapmu seperti anak sendiri.”
Sejujurnya aku sudah muak dengan ucapan duka yang kudapat akhir-akhir ini. Rasanya seakan aku satu-satunya orang selamat dari kejadian nahas itu. Hanya saja, hatiku senang mendengar Dasa memberitahu pandangan A'i terhadapku. Rasanya hangat ketika masih ada puing-puing yang tersisa, yang berhasil menghubungkan aku dengan keluarga itu.
Dasa kemudian pamit dan aku juga memutuskan pergi dari Saguntang.
Aku berjalan pelan di sepanjang trotoar menuju jalan utama. Kutatap langit biru yang cerah dan kukeluarkan masker dari saku kemeja. Masker biru yang senada dengan langit hari ini.
Perlahan aku menarik napas lalu menutup wajah dengan masker medis. Aku melangkah cepat sebelum pikiranku berkelana dan melihat Layden saat ini tersenyum di sampingku.
[1] nenek dari pihak ibu