Loading...
Logo TinLit
Read Story - One Milligram's Love
MENU
About Us  

Selama satu bulan terakhir, aku mulai terbiasa bangun jam empat subuh. Bukan berarti selama ini aku malas ibadah, tapi salat di surau membutuhkan persiapan yang lebih. Tidak mungkin ke rumah Tuhan dengan bau orang tak mandi—meski memang tak mandi.

Dibandingkan Mbak Esla, aku memilih membangunkan Tera lebih dulu. Biasanya anak itu bergumam kasar dan mengomeliku dengan mata setengah terpejam. Baru setelahnya, aku menyuruh Tera untuk membangunkan Mbak Esla. Lebih baik aku menumbalkan Tera untuk membangunkan Tuan Putri Maha Sempurna yang akan menendang punggung siapa pun yang membangunkannya.

Tera tak masalah ditendang karena dia bisa mengadukannya pada Ibu ataupun Ayah.

“Ibuuu, Mbak Esla alasan menstruasi lagi.” Tera berlarian menuruni tangga. Ini kali kelima Mbak Esla beralasan menstruasi dalam satu bulan. Mendengar mantra ajaib Tera—mengadu—Mbak Esla otomatis turun dari ranjangnya. Mendadak dia terlihat segar.

Mbak Esla berjalan sempoyongan dan memicingkan mata padaku yang sedang melipat mukena. “Kapan sih kamu putus sama Layden? Mbak nggak tahan setiap subuh ke masjid. Tahu sendiri kan udara pagi Palembang rasanya becek, bukan segar.”

Aku menghela napas tak menanggapi. Rasanya hampir setiap pagi Mbak Esla menagih kabar putusku. Seakan putus dengan Layden adalah tanggung jawab yang wajib terpenuhi.

“Jadi Mbak protes masalah ibadah?” balasku setengah berteriak karena Mbak Esla tengah membersihkan diri di kamar mandi.

“Tentu, yang wajib ke masjid itu laki-laki. Kita seharusnya di rumah saja.”

“Mbah Puji dan anak-anaknya salat di masjid tuh.”

“Jangan sok suci!” bentaknya. “Lagi pula rumah mereka berseberangan dengan masjid.” Mbak Esla keluar kamar mandi dengan wajah yang lebih bercahaya, serta bibir yang dipoles lipgloss tipis. Aku tak tahu apakah ibadah di zaman nabi dulu menjadikan lipgloss sebagai sunah, tapi tampaknya dia ingin menarik perhatian bujang-bujang saleh.

Setelah semua orang berangkat, Miko  malah merengek minta gendong. Suasana perjalanan diisi oleh Tera yang mengeluhkan sinetron rating tertinggi karena menyalahi penayangan prosedur medis ketika tokoh utama mendadak amnesia. Dia mulai membicarakan kata-kata medis yang sebetulnya tidak ada yang peduli. Meskipun begitu, Bang Joule terlihat sabar meladeni ocehan Tera serta menegur Miko yang melompat-lompat di pundaknya. Kadang dia terlihat berguna sebagai seorang kakak.

Ibu dan Ayah berjalan cepat di depan seperti orang manasik haji. Sementara aku dan Mbak Esla mengiringi di belakang dengan langkah sepelan siput.

“Aku dengar dia biasa saja,” bisiknya tiba-tiba. Aku menghela napas. Pembicaraan bersama Mbak Esla tidak jauh seputar Layden. “Kau tahu orang-orang menyebutnya—”

“Otak Aneh.” Aku mengangguk sekali, membenarkan. “Dia yang waktu itu melempari jendela lantai tiga dengan telur.”

“Sudah kuduga.” Aku yakin ini kabar baru baginya, tapi Mbak Esla seakan memasang tampang serius.

Liburan semester ganjil lalu, Layden berteori jika jendela lantai tiga sekolah—berdebu tebal dan tak pernah dibersihkan pihak staf—dikotori menggunakan telur dan cat, maka pihak sekolah akan berinisiatif untuk membersihkan. Bisa-bisanya aku sempat mengira itu hanya guyonan. Bodohnya aku.

Beruntung tak ada bukti yang kuat dan hal itu hanya dianggap rumor sehingga Layden tidak dihukum. Namun, dengan bangga dia memberitahuku kebenarannya seakan merasa, “lihatlah pacarmu ini, Mili. Dia baru saja melakukan hal yang keren.” Tanpa tahu jika Susuk dan A'i hampir mendapat surat peringatan sekolah (lagi).

“Kau tahu, aku punya teman yang keren. Dia suka membaca buku dan komik juga,” ujar Mbak Esla.

“Oh jangan mulai lagi,” desahku lirih.

“Dia baik, ganteng, muslim, dan—”

“Mbak!” Aku setengah berteriak. Untungnya lima anggota keluarga yang lain sudah terlampau jauh sehingga tak ada tatapan tajam penuh kecurigaan.

“Ayolah, Mili. Aku muak dengan drama uang jajan lima puluh persen ini. Aku sekarang sedang menabung untuk biaya kuliahku. Pernahkah kau berpikir bagaimana menderitanya menghemat uang? Tentu tidak, karena kerjaanmu hanya membeli stiker manusia setengah kucing dan komik.”

Mulutku terbuka dengan mata memicing tajam. Aku tak percaya Mbak Esla sampai sejauh ini mempermasalahkannya. “Itu bukan urusanku. Lagi pula pengeluaranmu tidak seberapa karena kau masih tinggal di rumah. Kecuali kau sengaja pergi jauh dan menyewa kos-kosan di Lampung, yang mana itu tidak akan dikabulkan oleh Ibu ataupun Ayah.”

Mbak Esla terlihat murung dengan wajah sedikit tertunduk. Aku tak percaya dia menjadi gusar, kecuali… “Astaga, jangan bilang Mbak sengaja pilih Unila karena memang ingin pergi dari rumah?”

Dia tiba-tiba memotong pandanganku dengan tatapan tajamnya. “Ah, sudahlah. Lupakan,” decaknya dongkol, kemudian melangkah cepat meninggalkanku.

***

“Aku tak percaya dia berpikiran untuk meninggalkan rumah.” Suaraku penuh kebingungan selagi Hesti berusaha mencernanya. “Mbak Esla bahkan tidak bisa bangun tidur sendiri, sempat-sempatnya dia berpikir untuk hidup mandiri.”

“Aku lebih tak percaya jika orangtuamu mengizinkannya pergi.” Hesti tersenyum kecut.

Pernah sekali aku menginap di rumah Hesti, berujung Ayah tiba-tiba datang menjemputku serta memarahi Hesti di depan rumahnya, di hadapan orangtuanya, dan tetangga-tetangganya, karena sudah mengajakku menginap di rumahnya.

Kau bisa bayangkan itu? Aku hanya menginap di rumah temanku dan itu sebuah masalah besar. Yah, sisi positifnya mereka masih peduli dengan keberadaanku.

“Bang Joule dulu juga mau kuliah di Bandung, kan? Tapi tak boleh.” Hesti turut menyayangkan potensi otak Bang Joule  yang bisa diasah lebih. Aku menghela napas kemudian mengalihkan pikiran pada tumpukan kertas di laci.

Aku meneliti beberapa kertas dan Hesti tergelak melihatnya. Kertas-kertas berisikan teori aneh Layden. Semua orang menganggap Layden aneh, tapi aku menganggapnya unik. Meski memang teori-teori ini konyol dan kadang berbahaya, aku masih mencoba bersikap sebagai perempuan bermartabat.

“Lihat yang ini!” Hesti menunjuk kertas yang belum kuberi tanda centang. “Memotret paha para siswi. Tidakkah itu terdengar cabul?”

Aku menghela napas. “Dia berteori jika foto paha tersebar, maka para siswi akan mengenakan rok yang lebih panjang dan sopan.”

Seketika Hesti menurunkan rok selututnya meski terkesan percuma. Ada dua model rok di sekolah, menggantung selutut atau tergerai sampai mata kaki. Untuk siswi muslim diperbolehkan mengenakan jenis rok kedua, tapi Mbak Esla punya cadangan rok pendek di lacinya dan dia selalu menggantinya di sekolah.

“Apakah kau selalu menuruti hal kekanak-kanakan itu?” tanya Hesti penasaran.

Aku menilik keraguan yang terpancar dari wajah Hesti. “Tidak juga, aku hanya memilah yang benar-benar bermanfaat. Seperti lagu Cina untuk para lansia yang malas bersenam. Kata Lay, musik Cina lebih bersahabat bagi encok mereka dibandingkan dengan aerobik.”

Hesti mengangguk walaupun terlihat bimbang. “Oke, semoga kalian bahagia.”

“Percayalah, kami sudah hampir setengah tahun dan semuanya mulus seperti jalan tol. Hanya saja ada pintu pembayaran yang harus dilalui.”

Hesti mungkin masih ingin bertanya perihal agama lagi, tapi dia terlihat lelah untuk ikut campur. Jadinya dia hanya menggeleng pelan lalu mengedikkan bahu. Aku sedikit banyaknya lega, memang ketika merahasiakan status, hubungan kami berjalan lancar. Namun saat orang-orang sudah tahu, rasanya ada kelegaan sendiri meski ditentang.    

Ketika pulang, Layden sudah menunggu di gerbang koridor. Dia janji membawaku ke toko buku loak yang katanya menyediakan sepaket edisi lama komik Kobo Chan. Toko loak memberikan udara segar dalam kondisi uang jajan lima puluh persen ini.

Sebelumnya Layden menertawai kondisi keuangan kami dan berteori jika aku mengatakan bahwasannya Layden sudah berpindah agama, maka mungkin uang jajan naik menjadi dua ratus persen.

Aku menutup loker dan menggandeng tangannya.

“Mana maskermu?” tahannya tiba-tiba.

“Basah, tadi di toilet Hesti—”

“Pakai ini,” potongnya seraya mengeluarkan sekantong masker medis. Mataku membulat melihatnya selagi Layden memasangkan masker padaku.

“Orang-orang di Palembang sudah banyak yang gak pakai masker, kok.”

“Jangan bercanda. Kau mau aku membiarkanmu berkeliling Pasar Enam Belas tanpa masker dan nantinya memeluk ayahku?”

Meski menghela napas, aku tak menyalahkannya. Aku juga tidak mau menyakiti Susuk Joni dengan virus  yang menyebar. Layden tampaknya lebih sensitif mengenai masalah virus ini. Kecuali denganku, dia sepertinya sedikit menjaga jarak dengan orang lain.

Aku yakin hampir seratus persen siswa SMA ini sudah tidak peduli dengan protokol kesehatan, tapi Lay terlihat masih memiliki ketakutan. Tak heran dan tak dapat disalahkan. Satu bulan sejak kami berpacaran, aku baru tahu jika Kak Marco meninggal di Siloam gara-gara Covid. Ini pasti berat bagi Lay dan keluarganya, belum lagi gerai-gerai kelontong saat pandemi mengalami permasalahan ekonomi paling buruk.

Ketika melintasi Pasar 16 dan pedestrian Sudirman, aku masih mendapati beberapa ruko yang tak pernah buka kembali.

Di toko loak, aku hanya menghela napas kecewa. Paket komik itu sudah lebih dulu dibeli orang. Alhasil, kami berakhir di toko pernak-pernik langganan yang menjual beraneka ragam stiker dan perlengkapan sekolah yang unik. Gerainya terletak  beberapa blok dari toko kelontong Susuk.

Aku tersenyum melihat stiker baru yang akan menambah koleksiku yang mungkin sudah ratusan dalam nakas kamar. Saking banyaknya, aku dan Layden sudah membuat kata khusus dari tiap stiker. Seakan per lembar stiker sudah melambangkan suatu bahasa baru yang kami sebut dengan bahasa Mililayden.

Sampai saat ini aku belum pernah menggunakan stikernya, malah membeli lagi dua atau tiga stiker yang sama. Kebanyakan dari mereka cukup langka hingga sulit untuk mendapatkan salinannya—mungkin karena buatan Taiwan. Inilah yang kadang dianggap Mbak Esla sebagai hal tidak berguna.

“Lihat ini, aku belum pernah menemukan yang ini.” Aku menunjukkan stiker laki-laki chibi dengan telinga rubah yang tengah memeluk laki-laki chibi lainnya dengan rambut kuning tajam dari belakang. “Ini namanya apa?”

“Memeluk?” Layden menautkan alis.

“Kita sudah menggunakan kata memeluk untuk stiker Manjun yang memeluk boneka beruang,” kataku. Layden hanya garuk-garuk kepala. Kami memberi nama karakter sendiri. Manjun untuk laki-laki berambut tosca lepek dengan pipi tembam dan mata sayu, yang memiliki telinga dan ekor rubah. Sementara Donto untuk si jutek berkumis kucing dan rambut kuning tajam.

Ada satu lagi namanya Bolbol, si kacamata dengan ekspresi cenderung datar. Kemunculannya terbilang langka dan aku hanya punya sekitar hitungan jari untuk stikernya. Ada juga kucing oranye—kali ini benar-benar kucing—miliknya Manjun yang bernama Pata.

“Mbak Esla menyebut stiker ini siluman setengah kucing.” Aku terkekeh seraya mengambil dua stiker yang belum pernah kumiliki serta dua lainnya yang ingin kutempelkan di kotak pensil.

“Jika memang mereka nyata, semua orang akan menyebutnya siluman.” Layden sengaja bertingkah layaknya kucing di hadapanku. Aku tersenyum geli kemudian mengusap-usap rambutnya. Layden semakin bertingkah seperti kucing yang dielus perutnya.

“Kurasa untuk stiker yang ini namanya menjaga.”

Layden mengiyakan singkat dan menuntunku ke kasir. “Ngomong-ngomong soal Mbak Esla, apa keluargamu sudah merestui hubungan kita?”

Tidak dalam seribu tahun. “Tidak. Tapi mereka tidak pernah membahasnya lagi, kecuali Mbak Esla.” Aku mendesah setelah menerima kembalian dari kasir. Dia mungkin mengira aku menyebalkan. “Lagi pula rumah sedang sibuk membicarakan kelulusan Mbak Esla. Dia tampaknya sedikit melakukan pemberontakan.”

“Apa ini hal baik?”

“Tidak juga. Tapi…” Aku mencegat langkah Layden dan tersenyum manis di depannya. “Sebentar lagi Mbak Esla lulus. Tidak ada lagi yang akan mengomeli kebersamaan kita di sekolah.”

Tak kusangka sorot mata Layden malah melebar. Di balik maskernya, aku yakin tidak ada senyuman tulus. Dia memalingkan wajah ke jalanan setengah macet sebelum kembali menatapku gusar.

“Ada apa?” tanyaku bingung.

Dia berdeham. “Tidak, hanya saja… agak berat rasanya jika kau dan keluargamu merenggang hanya karena hubungan ini.”

“Oh ayolah. Kau lupa dengan konsep middle child syndrome?” Aku menepuk pelan lengan Layden. “Mau berpacaran atau tidak, muslim atau bukan, hubunganku dengan mereka terus merenggang. Mereka hanya peduli jika aku tidur di rumah orang, selebihnya… Mili Gram hanyalah sebuah nama.”

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mimpi Milik Shira
518      292     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
I am Home
535      373     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
Sweet Seventeen
400      304     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
REGAN
9597      2922     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Teman Kecil
374      238     0     
Short Story
Sudah sepuluh tahun kita bersama, maafkan aku, aku harus melepasmu. Bukan karena aku membencimu, tapi mungkin ini yang terbaik untuk kita.
ONE SIDED LOVE
1498      661     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
5765      2067     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Langit-Langit Patah
19      18     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Jalan Pulang
172      118     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orang—kecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi… bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan da...
10 Reasons Why
2413      1055     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...