Loading...
Logo TinLit
Read Story - Academia with Adventure
MENU
About Us  

Hari baru datang, hari di mana semua suka dan duka bercampur, Selena belum mengetahuinya, tapi sebentar lagi, dia akan sadar bahwa dirinya benar-benar beruntung.

 

Selena menyetrika pakaian yang akan dia kenakan hari ini, memberi sedikit pewangi sebagai penambah sentuhan manis, rambutnya diikat setengah — sebuah pita berwarna navy dengan renda putih. Melengkapi aturan pertama dari OSPEK hari ini.

 

Hal selanjutnya adalah menulis nama nya di sebuah kardus berukuran A3, Selena menuliskan nama lengkapnya menggunakan spidol hitam pekat; SELENA CHRIST, dia bangga menaruh nama belakang ayahnya dalam namanya.

 

Ingat pesan terakhir Christ sebelum meninggal? 'Manakala memang hidup sudah bosan, tolong jangan berhenti mencari pengalaman.’

 

Hanya satu kalimat, namun kalimat itulah yang membuat Selena mampu bertahan hingga saat ini. Dunia ini luas, dan pengalaman adalah denyut yang membuat hidup tetap bernyawa.

 

Jangan pernah katakan gagal pada dirimu, sesekali, berikan apresiasi padanya, katakan bahwa aku juga berharga, pantas bahagia di tengah lara.

 

OSPEK kali ini, Selena datang lebih pagi, bukan tanpa alasan, panitia OSPEK memang menyuruh setiap calon mahasiswa untuk datang paling lama pukul 06.00 pagi.

 

Sekarang sudah pukul 05. 40 Selena segera berlari, tas punggung nya memantul di belakang, rambutnya yang dikuncir rendah ikut berantakan diterpa angin, Perutnya protes, mengaduh lapar karena ia tadi hanya sempat menatap roti tawar di meja — lalu melewatkannya demi mengejar waktu. Wangi nasi goreng dari warung pinggir jalan justru terasa menyiksa.

 

Sepatunya hampir terpeleset di trotoar licin, tapi dia tetap melaju, mengabaikan tatapan orang-orang yang mungkin mengira dia sedang dikejar setan. Di depan gerbang kampus, panitia sudah berdiri. Salah satu dari mereka sedang memegang peluit. Hatinya makin panik.

 

“Jangan dulu jangan, tunggu aku,” gumam Selena panik.

 

Selena beruntung karena yang meniup peluit adalah kak Sany. Jadi dirinya masih diperbolehkan masuk. Coba saja orang lain, Selena sudah dapat pengurangan poin.

 

Panitia yang lain memandang Selena seperti reptil, dia adalah Rex matanya fokus pada kardus nama yang menggantung di leher Selena.

 

Selena mundur selangkah, “Gawat, pasti dia minta payungnya dipulangkan, aku mana bawa lagi, apes deh,” keluh Selena.

 

“Apakah Christ nama belakang ibumu atau ayahmu?” tanya nya curiga.

 

Selena mengangguk ragu, ada jeda panjang sebelum ia mulai berbicara,

 

“Ayahku.” 

 

"Kau tahu," tuturnya, suaranya berat namun tenang, "dulu ada seseorang yang sangat tertarik pada jejak budaya di timur pegunungan Requista."

 

Suaranya dalam di antara hiruk pikuk para mahasiswa lain. 

 

"Ia pernah mengajarkan kami bagaimana memahami manusia dari tulang yang terkubur dan simbol-simbol yang dilupakan."

Matanya beralih pada Selena. “Nama belakang mu mengingatkanku padanya.”

 

Selena masih mengernyit bingung, dia hanya bisa tersenyum kikuk dan sedikit menunduk, pura-pura mengerti tentang yang dia ucapkan.

 

“Singkatnya, dia salah satu dosen Antropologi di kampus ini.”

 

Selena membeku di tempat, tangannya yang tadi bergetar karena diajak berbicara sekarang menggenggam ujung bajunya lebih erat.

 

“Dosen?” gumamnya nyaris tak terdengar, bahkan tiupan angin lebih terasa dari suaranya.

 

Suara peluit tiba-tiba menjerit. Menusuk telinga, Selena segera mencari barisan—meninggalkan Rex yang mengajaknya bicara.

 

“Semua nya diharapkan berbaris rapi di tempat, arahan selanjutnya akan diberikan oleh Sany.”

 

Isi arahan nya berupa kegiatan yang akan mereka lakukan Selama OSPEK ini berlangsung, seperti; pengenalan mahasiswa dengan fakultas dan jurusan yang ada di kampus ini, tokoh-tokoh penting siapa saja yang harus mereka ketahui dan tak lupa, games seru sebagai pencair suasana.

 

“Baiklah, OSPEK kali ini kita mulai dengan games ceria, karena melihat wajah-wajah kalian yang suram seperti butuh penghiburan.”

 

Games yang akan Selena ikuti kali ini adalah Debat santai, di permainan kali ini mereka akan dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan nomor urut absensi, Selena bergabung dalam 10 nama absensi terakhir.

 

Team Selena bernama Selen-asi, dengan yel-yel, “Satu visi, satu misi, bikin panitia bingung sendiri.”

 

Mosi perdebatan kali ini adalah: Makanan worth it versi anak kost. Team Selena adalah tim pro dan akan melawan tim kontra.

 

Sebagai seorang anak kost Gading Asri, walaupun Selena masih termasuk member baru, dirinya sudah paham betul bahwa mie instan akan menjadi makanan wajib yang harus dibela sehidup semati dalam permainan kali ini.

 

Selena memulai topik Argumen dengan kalimat singkat yang tidak terlalu berat dan mudah dipahami setiap orang, sehingga siapa saja yang mendengar nya baik yang termasuk anak kost atau bukan akan dibuat mengangguk setuju.

 

“Menurut saya, sebagai seorang anak kost yang ngirit nya tiada lawan. Mie instan adalah jawaban terbaik dari Mosi perdebatan kali ini, kenapa? Selain karena harganya yang murah, mie instan juga memiliki beberapa varian yang dijamin tidak akan membuat kita bosan,” jelas Selena.

 

“Selain itu, cara memasak mie instan sangat simpel, hemat biaya dan hemat tenaga, #Mieinstanforlife,” sambung salah satu rekan Selena.

 

Salah satu tim kontra yang menjadi lawan Selena keberatan dengan pernyataan ini, 

 

“Siapa bilang Mie instan jadi salah satu makanan yang paling worth it? Mie instan itu cuma ngasih semangat palsu, kenyangnya cuma sementara, kalau ayam geprek, sekali makan pasti langsung bertenaga, siap hadapi tugas dan ujian.”

 

“Ya … walaupun akan keluar uang sedikit, yang penting kenyangnya lama kan, apalagi sambalnya yang dower, dijamin otak plong, jadi belajar makin fokus. Kita menawarkan solusi bukan deskripsi.”

 

Pernyataan terakhir dari tim kontra menutup Mosi perdebatan kali ini.

 

“Jadi kesimpulannya, mie instan memang murah dan mengenyangkan tapi ayam geprek lebih membuat perut kenyang dan lidah bergoyang. Melihat dari berbagai pernyataan, jadi kami memutuskan bahwa keduanya sama-sama menang,” ujar panitia, seraya membubarkan kedua tim.

 

Semua orang bertepuk tangan, mengakui bahwa debat ringan ini sangat menghibur, terutama bagi kaum-kaum pencari gratisan.

 

Kegiatan selanjutnya adalah pengenalan diri beserta jurusan yang akan dipilih, Selena berada pada urutan ketiga, rasanya deg-degan karena teman-teman yang sudah memperkenalkan diri terlihat begitu akrab dan percaya diri, beda dengan Selena yang sampai sekarang belum tahu harus ngomong apa. 

 

Tapi untungnya, tepat di orang kedua sebelum Selena, percaya dirinya kembali datang. Memberikan semangat serta bocoran kecil apa yang harus Selena bilang, tiba lah saat Selena harus perkenalan, rasanya pandangan semua orang,seram, mencekam ingin menggali informasi lebih dalam dari Selena, padahal cuma perkenalan biasa.

 

Selena melangkah kedepan, kakinya bergetar pelan seolah lantai yang dia pijak terbuat dari es, bahunya berusaha buat tegar padahal sebenarnya hampir melorot kebawah.

 

“Hai Semua! Saya Selena Christ asal Requista, di kampus ini saya memilih jurusan Antropologi karena ingin mengulik lebih dalam tentang sejarah manusia dan who knows kan, suatu hari nanti aku bisa nemuin sejarah revolusi baru, nice to meet you all,” ucapnya gentar dibalik wajah Selena yang tersenyum kecut.

 

Selena tak menyangka, ucapan tersebut bisa keluar dari mulutnya, “Nemuin sejarah revolusi baru,” terkesan canggung mengatakan tersebut di depan umum tapi demi menjaga profesionalitas Selena harus.

 

Disini Selena masih harus menghadapi serangkaian acara OSPEK sampai sore hari. Namun, seperti nya mereka tak akan lama berada diluar, langit mulai mendung menandakan hujan akan segera turun.

Berbeda dengan yang sekarang terjadi di suatu tempat, dimensi peralihan antara Equistela—Requista.

Langit retak diam-diam di balik awan mendung siang itu—bukan dengan petir, tapi dengan cahaya lembut berwarna perak dan biru tua.

Kali ini bukan dengan portal waktu, dua sosok meluncur turun dari retakan cahaya itu, melayang ringan sebelum menyentuh bumi yang padat dan penuh suara.

Nevera hampir terjatuh saking terkejutnya.

Matanya membulat saat menatap sekeliling—jalanan ramai, aroma gorengan, klakson kendaraan, suara anak-anak tertawa, dan burung gereja beterbangan. Dunia ini... hidup.

"Ini ... ini gila,” gumam Nevera pelan, menunjukkan rasa kagumnya pada dunia manusia ini.

Angin membawakan lantunan musik sederhana, terdengar dari sebuah toko alat musik di perempatan jalan. 

“Kotak hitam itu bersuara!” Seru Nevera panik.

"Itu radio," balas Anne pelan, tersenyum kecil sambil menggandeng lengan Nevera agar tidak menabrak tiang listrik. “Fokus. Kita di sini bukan buat nonton dunia.”

Anne lebih tenang. Dia sudah tiga kali ke Bumi, dan baginya tempat ini bukan lagi misteri, tapi medan misi. Langkahnya mantap, wajahnya penuh kewaspadaan.

“Selena ada di sini,” ekspresi nya datar.

“Kita harus lebih tenang, jangan bersikap seolah-olah berasal dari dunia lain,” pesan Anne kepada Nevera yang seperti baru keluar dari sangkarnya.

Nevera menelan ludah. Dunia ini terang, ramai, dan asing—tapi ada satu hal yang membuatnya tetap berjalan: nama itu. Selena.

Jika tidak karena dia, Nevera tak akan pernah kembali kedunia ini. Terakhir kali dia datang adalah ketika mempunyai misi menemui seorang Dosen Antropologi yang memiliki ketertarikan dengan sihir, dari situlah semua konflik ini lahir.

 

Gadis yang menyimpan semua rahasia mereka, Nevera datang hanya untuk mengembalikan bros Selena, sekaligus melihatnya untuk yang terakhir kali.

Janji, ini yang terakhir, Nevera dan Anne tak akan kembali lagi, cukup Rex saja yang bermigrasi ke bumi.

Selena bersandar sebentar di sebuah pohon, meneguk sebotol air dingin yang ia beli di kantin kampus.

Selena menghela napas, “Setengah hari ini cukup melelahkan.”

Dia dapat merasakan dedaunan menggelitik lehernya, awalnya Selena masih bisa berpikir positif. Mungkin saja hal itu karena ada daun jatuh, namun semakin lama daun tersebut seperti menepuk Selena.

Selena mulai kesal, tangannya sudah terangkat ke atas bersiap memukul sesuatu yang dia kira serangga, dan ketika Selena menoleh, tangannya terjatuh lemas ke bawah, pandangannya hampir kabur.

“Ke-kenapa kalian ada disini?” suaranya bergetar namun memaksa mencari jawaban.

Nevera dan Anne menampakkan diri tepat di depan Selena, Selena sungguh tak bisa berkata apa-apa lagi, bahkan untuk berbicara saja dia sudah terbata-bata.

Entah Selena yang sedang berhalusinasi atau mereka memang keadaan yang harus dihadapi.

“Selena, wah! Kamu sekarang sudah kuliah ya, padahal dulu masih kecil, anak yang selama ini kuhindari untuk tidak aku cintai tapi tetap aku sayangi dalam diam,” air mata Nereva jatuh pelan, tapi dia tak menghapusnya.

Nereva menunduk, suaranya bergetar tapi ia tahu, ada banyak hal yang harus dikatakan nya.

“Waktu itu aku tahu siapa kamu sebenarnya… aku benci diriku sendiri. Karena saat itu aku sudah terlalu jatuh cinta pada keluargamu. Pada ayahmu. Pada… kehidupan yang ternyata bukan milikku.”

“Hari ini, aku cuma ingin datang, mengembalikan bros Ruby milikmu, setidaknya. Kenanglah kami dan seluruh kenangan Equistela dalam benda kecil ini,” Nereva melangkah pelan mendekati Selena, matanya pecah dalam tangis.

“Kalau takdir mengizinkan, walau hanya sekali saja. Maaf atas semua kesalahan ku, walaupun, aku adalah dosa terbesar dalam hidupmu.”

Selena menggenggam batu Ruby tersebut erat, matahari seperti memantulkan cahaya nya tepat di tengah, seolah memunculkan kilas balik semua perjalanan Selena di Equistela.

Selena sempat menahan napas, tatapannya parau, suaranya tercekat di tenggorokan, selain karena ucapan Nevera, dia menyaksikan Rex menatap mereka dari kejauhan seolah menjadi perekam akhir semua permasalahan ini.

“Aku maafkan, bukan karena kau benar tapi aku ingin hidup lebih tenang tanpa masalah,”

Selena mengangkat tangannya membantu Nevera untuk tegar, ujung bibirnya tertarik pelan kesamping.

Senyuman itu, adalah sebuah kerelaan bukan penyesalan.

Dengan begitu, maka kisah Academia with Adventure berakhir disini, dengan semua lika-liku perjalanan hidup Selena, pencarian akan siapa dia sebenarnya, dan mengapa harus dihari ini semua penyelesaian datang, hanya satu jawaban untuk itu: Takdir.

Cara terbaik untuk menemukan jati diri adalah menerima kenyataan yang paling pahit, kita tidak bisa memilih bagaimana hidup dimulai, tapi kita bisa memilih bagaimana mengakhiri nya, dengan kebencian dan dendam atau hati yang penuh damai.

Karena tidak semua sihir harus dilestarikan.

Ada kekuatan yang hanya bisa ditenangkan jika kau memilih—untuk menjadi manusia seutuhnya

Batu Ruby itu ... kini hanya legenda dalam cerita tidur. Tak akan pernah diwariskan, karena tak ada yang sanggup menanggungnya lagi.

Dan di balik semua itu, hanya satu keajaiban yang benar-benar nyata:

Selena. Yang memilih menjadi dirinya sendiri … dan selamat.

_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_The End _⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
49      47     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...
Halo Benalu
1407      600     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.