Meskipun ragu, Selena tetap berjalan lurus membelikan Nek Sri martabak yang dipesannya.
“Aduh, ngomongnya gimana ya,” rutuk Selena yang bersungut-sungut sepanjang langkahnya.
Bahkan sebelum Selena sampai ke gerobaknya, aroma wisman sudah tercium. Manis dan lembutnya martabak semakin menggugah selera. Antrean panjang membentuk ular membuat langkah Selena berhenti. Rupanya, kerumunan orang tersebut sedang mengantre untuk membeli martabak jualan Rex.
Hal ini semakin membuat Selena penasaran. Apa yang istimewa sampai orang-orang rela mengantre berjam-jam?
Selena tak enak jika harus menyerobot antrean. Terpaksa ia harus menunggu, walau ia tahu, menunggu adalah sesuatu yang paling membosankan. Tapi demi sepotong martabak titipan Nek Sri, Selena rela.
Setengah jam lebih Selena menunggu, tulang kakinya serasa mau patah. Bersamaan dengan itu, orang-orang dari barisan paling depan mulai putar balik ke belakang dengan sorot mata menyiratkan kekecewaan. Sebagian bahkan mengungkapkan kekesalannya dengan cibiran.
Kenapa orang-orang malah bubar? Ternyata, bahan baku membuat martabaknya sudah habis. Mereka yang tidak kebagian berbondong-bondong pulang.
Selena juga sama kecewanya, tapi apa boleh buat? Marah tidak akan menyelesaikan segalanya. Mulutnya manyun, dengan badan lunglai Selena berbalik meninggalkan tempat dia berdiri.
“Selena! Tunggu sebentar!” panggil Rex dari gerobaknya, seraya membawa satu bungkus martabak manis rasa cokelat — terlihat dari kotak pembungkusnya.
“Beli untuk Nek Sri, kan? Ini udah aku sisain. Jangan lupa bilang makasih ke Nek Sri,” pesan Rex.
Selena menundukkan kepalanya sedikit, seolah tertarik pada aspal di bawahnya. Padahal, itu cuma pelarian untuk menyembunyikan senyum kecil di pipinya — pembalasan dari sikap Rex tadi pagi.
Walaupun terlihat tak acuh terhadap orang lain, Rex ternyata menyimpan kepedulian terhadap hal-hal kecil di sekitarnya. Contohnya, menyisakan martabak untuk Nek Sri. Rex tahu setiap hari Nek Sri selalu membeli martabak buatannya. Itu sebabnya Rex selalu menyisakan satu agar tidak kehabisan.
Selena mengangkat kepalanya, dengan ekspresi datar. Tangannya menjulur, meminta martabak di genggaman Rex.
“Sini, berikan,” tutur Selena singkat.
Tanpa banyak bicara, Rex dengan santai memberikan bungkusan plastik tersebut kepadanya.
“Terima kasih telah berbelanja,” imbuhnya singkat dan sedikit menunduk menunjukkan rasa hormat.
Selena hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Matanya terus memandangi martabak di tangannya. Gara-gara martabak ini, Selena tidak jadi jalan-jalan bersama Kansa.
Semburat langit mulai berwarna oranye kekuningan. Waktu terasa cepat berlalu, begitulah isi hati Selena sekarang. Ia jadi teringat, dulu waktu masih TK, ayahnya sering mengajak Selena berjalan keluar saat sore hari, terkadang mampir ke Alfamart atau membeli jajanan di pinggir jalan.
Setetes air mulai menetes ke pipinya, tapi ini bukan air mata. Rintik-rintik hujanlah pelakunya. Selena segera berlari menyelundupkan martabak itu ke dalam tote bag-nya seperti seorang pencuri yang sedang menyembunyikan barang curian.
Walaupun Selena sudah berlari sekencang mungkin, langit seperti tak membiarkannya pulang. Hujan turun semakin deras, bahkan kilatan petir menggelar di depan Selena.
“Hujan, hujan, di mana aku harus berteduh,” gumam Selena panik.
Untungnya, tak jauh di depan Selena terdapat sebuah toko kue yang baru saja tutup. Ia bisa berteduh sebentar menunggu hujan reda.
“Haduh, basah semua bajuku,” keluh Selena. Tangannya mengeluarkan handuk kecil dari tote bag-nya yang besar, seperti kantong Doraemon.
Setidaknya, handuk itu dapat menjaga Selena tetap hangat di kala hembusan angin semakin meronta-ronta meniup segala yang dilewatinya.
Suara seseorang samar terdengar dari kejauhan, seperti berbisik lembut di antara rintik-rintik hujan.
“Selena, cepat ke sini!” panggil Rex dari ujung jalan dengan payung di tangannya.
Selena menyipitkan mata. “Dia ... cuma bawa satu payung?!”
Ia mulai menghitung kemungkinan:
1. Dia harus pulang basah.
2. Mereka sepayung.
3. Dia pura-pura nggak kenal dan lari ke warung sebelah.
Tapi sebelum salah satu opsi dijalankan, Rex berhenti dua langkah di depan ... dan mengangkat dua payung.
Selena mengangguk canggung. Ia mengambil payung itu pelan-pelan seperti sedang mengambil buku di perpustakaan—hening dan salah tingkah.
Lalu mereka berjalan, terpisah, dua payung. Dua manusia, nol romantis. Hujan tetap turun seperti biasa.
Langkah Selena cepat, tak ingin berada lebih lama dalam situasi canggung ini. Sedikit lagi menuju kost Gading Asri, Selena langsung berlari, tanpa mengingat bahwa payung yang dibawanya adalah milik Rex.
Sesampainya di kost, semua orang sudah berkumpul di dapur, menyantap mi instan kuah. Uap dari mi mengepul pelan, mengimbangi hawa dingin yang merayap sampai ke tulang.
Selena dapat melihat ada satu mangkuk yang disisakan. Tampaknya itu untuknya. Selena bahkan belum mengganti pakaiannya, air hujan masih menetes dari rambutnya, namun dia sudah duduk bergabung menyeruput kuah hangat dari mie.
“Kamu dari mana, Sel?” tanya salah satu dari mereka.
“Beli martabak titipannya Nek Sri, tapi malah kejebak hujan,” jawab Selena tanpa melihat siapa yang bertanya. Dirinya fokus menghabiskan semangkuk mi di depannya.
“Kamu kehujanan? Astaga, mandi dulu sana, nanti sakit,” cemas Sany.
Menanggapi Sany, Selena menghentikan suapan mienya sejenak. “Enggak juga, aku ketemu Rex di jalan tadi terus—”
Belum sempat Selena melanjutkan kalimatnya, mata Ayu langsung membelalak, suaranya hampir menjerit seperti toa, “Terus sepayung berdua gitu? No, my future husband!” tangannya tak sengaja mengepal, kuku-kukunya menusuk ke dalam.
Ayu menjadi terlalu emosional. Sepertinya seru untuk bertindak kejahilan, tapi Selena tak ingin Ayu patah hati lebih dalam.
“Dia bawa dua payung kok, Yu. Tenang aja,” jelas Selena seraya beranjak ke kamarnya, membawa tote bag dan mangkuk kotor.
Di lorong kost, Selena bertemu dengan Nek Sri, Selena mengeluarkan martabak dari tasnya, “Ini Nek, udah Selena beli ya.”
Nek Sri, menunduk pelan, ada sesuatu dal sorot matanya, “Dia memberimu payung ya.”
Selena tak menjawab, kakinya sudah terlebih dahulu berlari menuju kamar kost nya.
Selena menyalakan shower air hangat dan mulai mandi. Setelah hari yang penuh drama ini, Selena bisa memanjakan dirinya.
Tapi dipikir-pikir, hari ini termasuk hari yang cukup spesial. Karena jarang bagi Selenayang hidupnya selalu tragis dan humoris—merasakan sedikit bumbu-bumbu romance.
“Tidak! Mengapa aku terus memikirkan kejadian di toko kue tadi?” Selena memukul kepalanya pelan, berusaha menghilangkan ingatan itu.
Baru pertama kali, Selena benar-benar merasa bahwa hidupnya ini ada makna tentang sesuatu ... yang tidak pernah ia rasakan.
Selena menjatuhkan dirinya di kasur, mengecek akun freelance-nya di handphone. Ia melihat di pojok bawah kanan ada dua orang yang memesan artikel untuk mereview produk jualannya. Baru saja Selena akan membalas, tiba-tiba ….
Satu notifikasi dari WhatsApp muncul. Ternyata, Selena masuk ke dalam grup calon mahasiswa kampus tersebut. Dari situ, ia mendapat informasi bahwa OSPEK akan diadakan besok, lengkap dengan semua peralatan yang harus dibawa.
“Gawat! Kenapa baru ngasih tahu sekarang sih?” kesal Selena atas kesalahannya sendiri yang tidak membuka handphone dari kemarin.
List yang harus dibawa dan dipakai besok:
1. Pakaian: atasan kemeja putih lengan panjang dan rok hitam polos, ikat pinggang, dan pita biru untuk yang non-Muslim. Jilbab hitam bagi yang beragama Islam.
2. Alat tulis dan buku catatan. Jangan lupa perlengkapan aneh seperti name tag ukuran A3, bunga dari sedotan.
3. Pelajari tentang kampus dan jurusan: visi-misi kampus, nama rektor, dekan, ketua jurusan, dan lagu wajib kampus.
List pertama dan ketiga sudah disiapkan Selena dari jauh-jauh hari. Tapi ... bunga dari sedotan?
Untungnya, di kehidupan yang selalu dipenuhi masalah ini, selalu ada saja sosok “malaikat” datang membantu. Di kost Gading Asri, Selena bisa meminta bantuan para senior karena merasa diterima. Salah satunya: Kak Sany, yang juga panitia OSPEK.
“Hai Kak Sany, maksudnya bunga dari sedotan itu apa ya? Aku gak tahu cara buatnya,” tanya Selena memelas.
“Hai Selena, masuk aja ya. Kamu ambil aja di samping lemari aku. Banyak tuh di sana. Aman, rahasia kita berdua kok,” bisik Sany.
Selena tersenyum, tak menyangka Kak Sany ternyata sebaik itu. Ia mengambil tiga tangkai bunga. Sepertinya, sudah cukup.
Semua bahan sudah terkumpul. Tidur Selena bisa lebih nyenyak malam ini. Beban pikirannya berkurang setengah, tapi masih ada yang mengganjal ….
“Bagaimana keadaan Ibu sekarang, ya? Aku mulai merindukannya. Terus, Anne dan Aletta sedang apa ya di Equistel.”
Banyak pertanyaan tanpa jawaban pasti terus dilontarkan Selena, berharap dinding kamarnya memantulkan jawaban.
Di sebuah dunia yang kita tahu tak pernah menjadi nyata—tempat semua mimpi dan imaji menjadi kenyataan—benda-benda langit dan tata surya menjadi hiasan alamnya. Namun, di dunia nyata, Selena masih tertidur pulas, tanpa menyadari bahwa di balik matanya yang terpejam, ada sebuah dunia lain yang perlahan terbuka, mengalir masuk ke dalam pikirannya.
Disana, di dunia itu. Dua orang sedang berdebat tentang masalah sepele;
“Pakai dress atau kebaya, ya? Kira-kira manusia lebih suka yang mana?” cetus Anne, berdiri di depan cermin sambil memandangi proporsi tubuhnya.
Nevera tampak menimbang-nimbang, mengamati setiap detail pakaian satu per satu. Matanya teliti seperti detektor pencari koin emas, setiap payet dan jahitan baju tersebut tak luput dari matanya.
“Keduanya unik, tapi aku lebih suka menggunakan ekorku,” sarannya.
Anne mendengus, menepuk jidatnya pelan. “Mama mau datang ke OSPEK-nya Selena pakai ekor? Kalau dikira putri duyung sih masih mending, tapi kalau digoreng sama mereka gimana?” tangkas Anne, menjelaskan kepada manusia-ikan itu tentang peraturan makhluk bumi.
“Ooh,” suara Nevera pelan, nyaris tak terdengar, diikuti gerakan kepalanya yang naik turun.
Topik pembahasan mereka memang cukup aneh … mana ada orang yang datang ke OSPEK pakai kebaya, apalagi dress?
Meski mereka tahu hubungan dengan Selena sedang rentan, entah Selena akan menerima kehadiran mereka atau tidak—Nevera sudah bertekad untuk datang.
Kembali kepada Selena yang masih tertidur pulas di dunia ini, tanpa mengetahui bahwa di dunia lain, tempat dirinya juga berkontribusi, ada banyak topik yang tengah diperbincangkan.
Antara keraguan dan rasa rela yang harus Selena putuskan.
Besok akan menjadi hari spesial bagi Selena: hari pertama OSPEK, sekaligus awal dari kejutan baru yang menanti dari Equistela.