Selena segera menepis pikirannya, jangan sampai hal buruk itu terlintas di benak Selena lagi.
Jujur saja, Selena masih takjub dengan fasilitas dan kenyamanan kost Gading Asri ini. Selain kamarnya yang super comfortable banget, taman di depan juga gak kalah wow.
“Kok bisa sih ada kost se-estetik ini?” celetuk Selena seraya menutup jendela kamarnya.
“Kost Gading tuh emang estetik parah, Sel. Estetik nguras dompet tiap akhir bulan,” celetukan Ayu membuat bibirnya manyun.
“Oh iya, kamu pas OSPEK, ada disuruh yang aneh-aneh gak sih?” tanya Selena, sorot matanya berharap jawaban yang tidak seseram itu.
Ayu terdiam. Ujung bibirnya menyatu—sedikit naik ke atas, tangannya dilipat tegas, bahunya tegak, rahangnya mengeras seolah tak ada peraturan yang boleh dilanggar. Kedua bola matanya terbuka lebar, menatap Selena seperti target pencarian.
“Lihat aku, apakah terlihat menyeramkan? Ya, seperti itulah para pengurus OSPEK nantinya,” jawab Ayu santai.
Selena tak yakin dengan perkataan Ayu. Dia lebih percaya kura-kura bisa berlari daripada harus mempercayai jawaban Ayu berdasarkan ekspresi lebay-nya.
“Oke-oke, thanks ya,” tukas Selena cepat.
Ayu memberi jempol lalu berjalan keluar dari kamar Selena. Sekarang sudah sore, Ayu tahu Selena juga butuh istirahat. Selena menyembunyikan senyumnya di balik garis matanya. Ternyata walaupun Ayu orangnya kayak speaker Bluetooth, tapi perhatiannya lebih daripada orang waras.
Selena melihat sebuah lemari kayu jati di sudut kamar, sangat besar untuk Selena yang hanya membawa sedikit baju. Jadi mungkin barang-barang lain bisa muat di dalamnya.
Sistem penyusunannya seperti ini: kaos oblong dan celana pendek akan dibuat di bagian paling bawah agar mudah diambil tentunya, barulah pakaian formal dan baju mejeng Selena dibuat paling atas. Untuk baju OSPEK, Selena menggantungnya menggunakan hanger.
Beres deh! Sekarang Selena tinggal mandi, setelah itu makan lalu tidur. Itu rencananya, tapi gak tahu deh apa kata realita.
Saat Selena menyalakan shower, airnya gak keluar sama sekali. Diputar beberapa kali pun tetap nihil hasilnya.
“Coba aku tanya Nek Sri aja ya,” gumam Selena.
Dengan handuk yang masih menggantung di bahu dan jedai menjepit rambut, Selena berjalan ke bawah dengan sandal jepit yang ujungnya hampir putus.
Rumah Nek Sri tak jauh dari kost, hanya sekitar tiga rumah. Selena membuka pintu rumah kost, namun seperti ada yang menguncinya.
“Loh! Kok gak bisa?” Selena mencoba beberapa kali, bahkan sampai melepas jepit rambutnya untuk membuka, tapi pintu tersebut benar-benar membutuhkan kunci.
Di sela-sela kekesalan Selena, seseorang menegurnya dari belakang. Dengan tatapan curiga, dia bertanya, “Mau ke mana kamu?”
Selena menoleh balik. Di depan bola matanya tampak seorang perempuan dengan rambut sebahu dan blazer hitam pekat, ditambah rok span selutut, sedang berdiri tegak di depannya.
Usut punya usut, namanya adalah Sany, mahasiswa semester akhir yang baru aja lulus ujian sempro. Perawakannya memang kayak dosen, apalagi cara berpakaian yang selalu formal dan caranya berbicara udah kayak debt collector yang menagih utang. Sany, anak pertama Nek Sri, walaupun bukan anak kandung, tapi di kost ini semua adalah keluarga. Sany juga sering disebut sebagai tangan kanannya Nek Sri.
“Mau ketemu Nek Sri, Buk. Itu … shower-nya gak nyala,” Selena sedikit menunduk, tak berani memandang tatapan elangnya Sany.
Melihat kondisi Selena yang saat ini tampak seperti tikus yang dikejar tikus, Sany tertawa. Bukan karena mengejek, namun Selena keceplosan mengucapkan “Buk” pada Sany.
“Jangan panggil Buk ya. Aku masih mahasiswa loh! Baru 18 tahun nih. Masa dipanggil Buk,” kelakar Sany.
“Untuk airnya, aku akan coba perbaiki. Mungkin karena masih baru dipakai, santai aja. Jangan panik gitu mukanya,” tambah Sany seraya sedikit mencoba Selena untuk berinteraksi.
Selena sekarang mulai memahami Sany. Ternyata tak selamanya yang kita lihat galak itu hatinya jahat ya. Sany contohnya. Dia hanya mencoba melindungi Selena dari banyaknya ancaman kejahatan di luar sana, makanya nada suaranya agak seperti membentak tadi.
Hanya perlu lima menit bagi Sany untuk membuat pancuran air tersebut menyala kembali.
Masalah sudah terselesaikan, Selena bisa kembali untuk mandi sekarang tanpa harus merasa bersalah atau meninggalkan kesan buruk terhadap Sany.
Selena mengatur suhunya menjadi hangat karena udara luar memang terasa sangat menusuk kulit. Deraian air yang menyentuh kulit Selena seperti selimut tebal yang menghangatkan badan.
Setelah mandi, Selena berniat pergi ke dapur bersama untuk memasak bahan makanan yang dibawanya dari rumah. Sebenarnya agak sungkan bila harus memasak dengan orang ramai, apalagi Selena tak enak jika nantinya makan sendiri.
Keriuhan mulai terdengar, tandanya sudah banyak yang pulang dan beristirahat. Mulai dari suara percikan minyak, gosip-gosip panas, bahkan hingga teriakan dari ruang bermain game pun terdengar memekakkan telinga.
Selena tak boleh mengurung diri seperti ini, dia harus bersosialisasi. Selena mengambil satu bungkus sosis untuk dimasak dan dibagikan kepada para penghuni kost juga di dapur bersama.
Selena menyapa Selena dengan gigi berjajar. Beruntungnya ia, dua mahasiswa yang tengah memasak di situ membalas sapaan Selena dengan senyuman hangat.
“Halo! Aku Selena, kita masak sosis yuk!” ajak Selena seraya membuka bungkusan sosis di tangannya.
“Oke, Selena! Sini, biar aku yang goreng,” balas salah satu dari mereka dengan bersemangat.
Suasana diterima seperti ini selalu membuat hati terasa hangat dan nyaman. Selena merasa seperti di rumah, walaupun dia baru di tempat ini.
Selena bertugas memotong sosis, kemudian yang satu memotong bawang, cabai, tomat, dan paprika. Setelah itu, digoreng dalam wajan kecil dengan sedikit minyak, untuk menghemat persediaan bulan ini.
Kira-kira ada sekitar 30 sosis yang digoreng, aromanya semerbak—menghampiri setiap ruangan di dalam kost, membuat siapa saja yang menciumnya serasa ingin mencicipi makanan apa yang sedang digoreng.
Mulai dari Ayu, Sany, kelompok bergosip, bahkan sampai mereka yang tadinya bermain game datang untuk melihat sosis goreng Selena.
“Wihh, ada gebrakan apa ini!” seru Ayu. Lidahnya sudah keluar setengah melihat tiga potong sosis di saringan penggorengan.
“Gebrakan penghuni baru nih,” timpal Sany, melirik Selena dengan satu kedipan mata.
Setelah semua sosis tergoreng matang, semua orang sudah mengantre dengan piring dan sendok di tangan, bersiap untuk menikmati makanan langka di akhir bulan ini.
Tanpa sadar, satu bulir air keluar dari mata Selena. Bukan karena rasa sedih sosisnya habis, sebaliknya karena perasaan senang dan hangat. Selena merasa dihargai di sini.
Selena merasa hidup kembali. Dari yang awalnya penuh huru-hara akan Equistela, sekarang malah ada dalam bagian kost Gading Asri ini.
Hidup benar-benar gak ada yang tahu. Bisa aja di hari-hari kita menderita, ada hari baru yang akan membuat canda tawa. Terima kasih atas semua lelah yang berakhir indah.
Perjalanan hidup Selena bukan berakhir di sini. Beberapa hari lagi akan ada OSPEK, Selena harus siap menghadapinya.
Sepertinya, Selena akan memantapkan mentalnya besok untuk memulai berbicara dengan Rex.
Akankah Rex masih mengenal Selena dalam dunia baru ini?