Loading...
Logo TinLit
Read Story - Academia with Adventure
MENU
About Us  

“List nama yang belum bayar utang.”

 

Aelah, kirain tadi isinya bakal bikin greget atau minimal cek isi 10 juta gitu. Ini malah nama warga yang belum bayar utang.

 

Tapi cara tulisan tersebut muncul cukup menarik. Mungkin tulisannya muncul karena terkena cipratan air dari lubang jalan yang sudah lama rusak.

 

“Buang aja lah, nggak penting juga,” ujar Selena sambil menggulung kertas tersebut hampir seperti bola, lalu melemparkannya masuk ke dalam mulut tong sampah.

 

Selena lanjut berjalan lurus menyusuri trotoar, membiarkan langkahnya mengarah ke rumah Kansa. Tak ada yang terburu-buru. Hari ini mereka berencana mencari-cari info kampus untuk Selena, dan rumah Kansa jadi titik awalnya.

 

Selena sampai tepat di depan gerbang kastilnya Kansa—ya, kalian tak salah baca. Rumah Kansa memang sangat layak disebut kastil. Dinding-dindingnya terbuat dari batu abu-abu besar yang tersusun rapi, dan di setiap sudutnya menjulang menara bundar berhias atap runcing berwarna merah tua. Gerbang besi tinggi berdiri kokoh, dihiasi lambang keluarga tua milik Kansa. Jendela-jendela kaca patri memantulkan cahaya matahari dengan kilau berwarna-warni, dan sebuah balkon melengkung terlihat di lantai dua, seperti tempat ratu berdiri menyapa rakyatnya.

 

Pintu utama dua daun, terbuat dari kayu hitam yang diukir rumit, berdiri angkuh di tengah-tengah bangunan. Di sekelilingnya, taman mawar terawat rapi mengelilingi jalan setapak dari batu alam. Rumah itu terlihat seperti diambil langsung dari halaman buku dongeng klasik—megah, misterius, dan nyaris tidak nyata.

 

Cukup mengaguminya, sekarang Selena hanya perlu terus berjalan lurus dan menuju rumah Kansa. Selena menekan bel.

 

Belum sampai beberapa menit, Kansa langsung keluar dengan penampilan on point dan siap untuk keliling kota. Kansa tampaknya lebih bersemangat dari Selena.

 

Langit pagi sudah memudar, menandakan tengah hari akan segera datang. Tanpa berlama-lama, Selena dan Kansa naik ke dalam kendaraan yang akan mengantarkan mereka ke tempat yang dituju.

 

Sepanjang perjalanan ke kampus, mereka jarang berbicara. Sesekali Kansa menunjuk bangunan unik di pinggir jalan atau menyebut nama kampus lain yang pernah mereka pertimbangkan. Tapi perhatian Selena lebih banyak tertarik ke jendela mobil, memandangi bayangan dirinya yang tak berhenti bertanya, “Bener nggak ya pilihan ini?”

 

Salah kampus bisa-bisa membuat Selena menyesal seumur hidup. Dengan budget pas-pasan ini, apalah daya. Ia hanya berharap bisa dapat kampus terbaik dengan segala fasilitasnya.

 

Ada satu kampus yang letaknya tak jauh dari seberang jalan mereka berada sekarang. Entah apa yang menarik bagi Selena, kampus tersebut menjadi tempat pertama dalam kunjungannya.

 

Begitu turun dari mobil, bangunan kampus yang menjulang dengan dinding bata merah langsung membuat mata Selena berbinar. Di depan gedung utama, bendera berkibar pelan ditiup angin. Lalu lintas mahasiswa dan calon pendaftar sibuk lalu-lalang, tapi tidak terasa semrawut. Semuanya tampak hidup, penuh harapan.

 

Banyak dari mereka yang mengisi formulir, mengantre, mendengarkan penjelasan dari staf kampus, bahkan hanya sekadar foto-foto cantik dengan caption, “Calon Maba.”

 

Kansa tertawa kecil memperhatikan Selena yang terlihat kebingungan sejak turun dari mobil. Walaupun kampus ini kelihatannya oke, namun ada sesuatu yang membuat Selena merasa kurang “sreg” tentang isinya.

 

Tak perlu disebutkan. Lanjut ke kampus kedua.

 

Sekitar 15 menit berjalan kaki dari tempat mereka berdiri sekarang, Selena dan Kansa menemukan sebuah tempat perkuliahan yang tak kalah bergengsi dengan kampus pertama. Tempatnya juga pas. Sesuatu yang kurang menurut Selena tentang kampus ini hanya pepohonan yang tidak banyak. Tapi tidak masalah, Selena masih dapat menerimanya.

 

Gedung bertingkat dengan akreditasi sempurna yang terpampang tepat di depan bangunan tersebut membuat siapa saja yang memandangnya terpikat, entah hanya sekadar melirik kampus ini atau justru masuk untuk mendaftar. Ditambah dengan banyaknya mahasiswa, membuat Selena semakin memantapkan pilihannya.

 

“Sepertinya ini tempat yang pas,” ujar Selena, tersenyum kecil seraya menoleh ke arah Kansa.

 

Kansa membalas senyuman tersebut dengan dua jempol, menyatakan bahwa pilihan mereka berdua juga sama.

 

Tinggal mengurus pendaftaran, beres deh. Tujuan utama sudah selesai. Rencananya, Selena akan menonton bioskop bersama Kansa. Tapi sepertinya mereka terlalu memakan waktu untuk memilih kampus. Langit sore berwarna oranye pucat, dengan garis-garis cahaya yang memudar di balik awan yang bergerak lambat. Matahari hampir tenggelam, tapi cahayanya masih cukup untuk membuat bayangan panjang di sepanjang jalan. Tidak terlalu indah, tapi cukup untuk membuat siapa pun berhenti sejenak dan menarik napas panjang.

 

Sudah saatnya pulang. Mereka memutuskan melewati taman kecil yang membentang di sebelah utara kampus.

 

Di sanalah mata Selena menangkap seseorang yang tak asing dilihatnya saat berada di warung makan Bu Ani. Seseorang yang berdiri di dekat bangku tua, tubuhnya disinari langit sore yang tampak memudar, kedua kelopak matanya fokus pada satu buku, sembari membuka lembar demi lembar halaman. Kacamata yang dipakainya menjelaskan bahwa lelaki ini adalah tipe kutu buku.

 

Jika tak pernah melihatnya sebelumnya, Selena mungkin akan mengira orang yang dilihatnya ini mempunyai dua kepribadian: satu sebagai pemberontak dan satu lagi si cupu yang suka membaca. Namun, kenapa perawakan dan matanya sangat persis seperti Rex?

 

Selena menegang. Kakinya masih berpijak, tapi jiwanya seolah terlempar ke hari-hari yang belum selesai. Dia belum benar-benar yakin. Tentang Rex. Tentang perasaan aneh yang muncul setiap kali pria itu muncul, seperti campuran antara penasaran dan waspada.

 

Ada perlu apa dia ke sini?

 

Walaupun perasaan curiga tetap ada dalam diri Selena, pikirannya tetap mencoba untuk menghiraukan. Selena menaikkan jendela. Setidaknya kaca tersebut dapat menjadi pembatas aman antara mereka.

 

Sesekali, Selena menoleh ke belakang, memperhatikan apakah di antara kejauhan masih ada sosok dirinya. Semakin roda mobilnya berputar, Rex juga semakin menghilang perlahan.

 

Sudahlah, Selena tak ingin lagi memikirkan dia. Yang terpenting sekarang, Selena mendapatkan tempat kuliah yang cocok dan aman untuk memulai hari-harinya sebagai seorang mahasiswa baru.

 

“Eh, Selena, kamu udah dapat kos yang cocok belum?” tanya Kansa, badannya sedikit condong ke depan memperhatikan sebuah rumah.

 

“Belum, kayaknya besok aja deh carinya. Soalnya aku juga bingung mau kos di mana,” jelas Selena.

 

Kansa menjentikkan jarinya, mendadak memberhentikan mobilnya dan mengajak Selena turun tepat di depan sebuah rumah kos-kosan. Nampak dari poster yang direntangkan lebar di lantai dua, rumah itu sedang membuka pendaftaran.

 

Kansa berbicara panjang lebar dengan ibu kos tersebut sampai akhirnya mereka diizinkan untuk berkeliling melihat-lihat.

 

Bangunan kosan itu terletak di jalan kecil yang tak banyak dilalui kendaraan. Tampak dari luar, dindingnya ditumbuhi tanaman rambat dan gerbang besinya sudah berkarat di beberapa bagian. Tapi begitu masuk ke dalam, suasananya berubah drastis—ramah, penuh tawa.

 

Kamar Selena berada di lantai dua, tepat di pojok bangunan. Ada jendela besar yang menghadap pohon rindang dan atap-atap rumah tua. Di sore hari, cahaya jingga akan menyelinap masuk tanpa permisi, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu. Meja belajarnya menghadap ke jendela, di sebelah rak buku mungil yang kosong—menunggu untuk diisi.

 

Di luar kamarnya, lorong sempit dengan lampu kuning redup terasa seperti dari masa lalu. Tidak banyak penghuni yang lalu-lalang. Ibu kosnya sudah tua, selalu memakai selendang dan sering terlihat menyapu di pagi hari tanpa suara. Tapi ia ramah dan tahu banyak hal... kadang terlalu banyak.

 

Aroma mi instan dari dapur bersama tercium sampai ke lorong, ditambah dua mahasiswa akhir yang duduk bersila sambil fokus memandangi laptopnya.

 

“Aku suka tempat ini,” cetus Selena.

 

“Aku sudah lama kenal pemilik kosan ini. Namanya Nek Sri. Jadi tak usah sungkan, harganya juga terjangkau.”

 

Selena menimbang-nimbang berdasarkan sisa uangnya saat ini dan akhirnya setuju.

 

Perasaan baru, deg-degan muncul di hati Selena, apalagi sebentar lagi akan diadakan OSPEK. Selain siap pikiran, Selena juga harus siap mental.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Halo Benalu
1407      600     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
49      47     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...