Equipment sudah di depan mata, kalimat terakhir yang ditulis Selena saat itu adalah ketika Raja Christ tergantung tepat di depan matanya.
“Tidak, Ayah … jangan pergi secepat itu.”
Namun, apalah daya, takdir berkata lebih dahulu. Selena bahkan belum memasuki gerbang gedung Equipment, tapi mayat manusia sudah dibuat berjejer oleh para scorpis. Scorpis adalah para kalajengking yang bertugas untuk memakan sisa-sisa makhluk hidup, baik itu manusia maupun hewan.
Siapa yang paling emosional melihat hal ini? Anne orangnya. Saat Selena belum bereaksi pun, Anne sudah berlari terbirit-birit, menandakan ada urgensi yang tidak bisa ditunda. Dengan mantra sihir yang ia miliki saat ini, membuatnya dapat mengusir para scorpis dengan tebasan tangan, seperti mengusir nyamuk.
Matanya tak kuasa menahan bulir-bulir air kekecewaan, bibirnya bergetar tak sanggup berbicara, kulit wajahnya yang putih kini memerah menunjukkan amarah terpendam.
“Yang Mulia, kenapa secepat ini meninggalkan kami? Sudah kubilang jangan mengambil misi ini. Biarlah batu Ruby itu hilang, kami tak masalah. Sekarang lihatlah. Engkau bahkan sudah tak bernyawa.”
Rex menunduk, membuka topinya, begitu juga dengan Aletta yang memberikan penghormatan terakhir. Selena … dia tak tahu perasaan apa yang ada dalam hatinya sekarang. Jika dikatakan sedih, tak juga. Hatinya benar-benar terasa dingin, tapi tak juga ada perasaan senang.
Baginya, ini adalah kekecewaan kedua kalinya. Membuang-buang waktu. Selena harusnya bisa melakukan aktivitas lain saat ini. Bisa mencari tempat kuliah yang dia inginkan, menghabiskan lebih banyak waktu dengan ibunya.
Apa Selena sudah tak peduli lagi terhadap Christ? Bukan begitu. Selena bersedia mengikuti misi ini dengan harapan akan bertemu dengan ayahnya, tapi sekarang sama saja ketika pergi ke makam untuk berziarah, namun dengan versi melihat neraka.
“Anne, bolehkan aku melihat dokumen itu sekarang?” sanggah Selena di tengah-tengah kesedihan Anne yang masih menangis sesenggukan.
Anne tak sanggup menjawab, sorot matanya yang pasrah memberi jawaban ya.
Tanpa berlama-lama, Selena menarik tali pengikatnya, lalu tanpa memperhatikan ada sesuatu yang terselip di balik map-nya, Selena merobek map tersebut. Menyisakan dokumen, yang sekarang menjadi jawaban dari semua pertanyaan Selena.
Betapa terkejutnya Selena ketika melihat halaman depan bab tersebut berisi akta kelahiran Anne dengan ayah dan ibu bernama Chris dan Nevera.
Selena merobek kertas tersebut, dirinya masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
“Anne, leluconmu sama sekali tidak ada humornya. Kau bercanda, kan?” tanya Selena.
Namun jawaban Anne hanya menggeleng pelan, berat rasanya untuk mengatakan kebenaran.
Mata Selena membelalak seolah-olah tak percaya pada apa yang baru saja dia dengar. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada satu pun kata yang mampu keluar. Napasnya tertahan di tenggorokan, membuat dadanya terasa sesak, seperti ditabrak gelombang besar tanpa peringatan. Jari-jarinya mengepal tanpa sadar, dingin oleh kejutan yang mengalir dari kepala hingga ke ujung kakinya. Tatapannya terpaku pada Anne, seakan wajah gadis itu baru saja berubah menjadi teka-teki baru yang belum sempat dia pecahkan. Dalam benaknya, potongan-potongan peristiwa masa lalu mulai tersusun ulang. Semua tanda yang dulu diabaikan, kini terasa terlalu jelas.
Di saat inilah Nereva datang, dalam wujud manusia. Kenapa tiba-tiba Nereva memiliki kaki? Usut punya usut, Nereva yang merupakan putri seorang Neptunus tidak diperbolehkan menikah dengan manusia. Namun, cinta mematahkan semua larangan itu. Christ juga bersalah di sini, dia tidak memikirkan bagaimana nasib Lady dan anaknya di Requista. Kaki Nereva muncul karena kutukannya telah patah oleh kesucian Selena yang mengetahui dosa mereka, mengingat perkataan Neptunus beberapa tahun lalu, “Nereva, anakku, tanggunglah semua dosamu selama beberapa tahun ke depan. Kutukanmu hanya akan patah jika luka yang paling dalam mengetahuinya.”
Selena adalah luka itu, gadis malang. Bahkan memahami dirinya saja dia gagal. Bagaimana hatinya menerima perbuatan orang tuanya ini?
Tak ada yang perlu disesali. Tutup semua air mata dan mulailah berdamai. Inilah jawaban dari semua pertanyaan Selena saat ini.
Seperti kisah ibu tiri, maka Nereva adalah antagonisnya di sini. Tangannya meremas bagian bawah jubahnya, seolah berusaha mencari pegangan di tengah kenyataan yang kini tak bisa ia sembunyikan lagi. Di balik sorot matanya, tampak kerinduan yang lama terpendam—dan juga rasa sakit karena tahu, bahwa mungkin dia telah kehilangan kepercayaan seseorang ... untuk selamanya.
“Selena, anakku, tolong maafkan kami karena telah membohongimu selama ini,” pinta Nereva, tangannya memelas di hadapan Selena.
“Anakmu? Berani sekali ya, perebut suami orang. Apa kau tahu bagaimana kondisi ibuku saat ini? Betapa susahnya kami hanya sekadar mencari makan.”
Nereva tak berani menjawab. Selena benar, dialah yang harus disalahkan saat ini. Harusnya beberapa tahun lalu, Nereva sadar, perbuatannya melawan hukum alam dan manusia.
Anne angkat bicara di sini, walau suaranya masih agak terperangkap di lumpur penyesalan.
“Selena, bukannya aku tak mau memberi tahumu lebih awal. Tapi, kami semua sudah merencanakan ini dari awal: jangan berikan Selena fakta yang dapat mengguncang mentalnya. Namun, seiring waktu berjalan, kami sadar, Selena berhak mengetahuinya,” jelas Anne.
Mimpi itu, buku catatan, pertemuan dengan mereka. Semua benar adanya. Tapi kenapa harus Selena? Apa yang bisa dibahas sekarang? Tak ada.
Biarlah Selena pulang bersama semua rahasia dalam hatinya. Setiap kali melihat wajah ibunya, dia mungkin akan teringat dengan ayahnya dan juga Nereva.
Tapi Selena bisa mengikhlaskan dengan adanya hal ini. Dia lebih disadarkan jika tak semua hal yang kita anggap baik akan berakhir baik juga. Selena suka sihir selama ini. Begitu dia masuk ke dunia yang dia inginkan, kalian bisa melihat apa yang dialami Selena sekarang, tidak seindah imajinasinya, bukan?
Jangan mengkhawatirkan nikmat yang belum kita miliki, tapi khawatirkanlah nikmat yang belum kita syukuri.
Mungkin bukan rezekimu yang sedikit, tapi syukurmu yang kurang.
Daripada terus menyakiti dirinya sendiri, Selena memilih pulang, berjalan lebih dalam ke arah hutan. Tiada satu pun di antara mereka yang berani mencegah Selena.
Terkadang, ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Tujuan Selena sekarang hanya ingin pulang, menjalani hidupnya sebagai manusia biasa tanpa ada lagi bayangan akan hari ini.
Fokus Selena sekarang adalah mengenai kuliahnya, bagaimana Selena dapat menjalani hidup sesuai tujuan awalnya. Selena berjalan menyusuri hutan hingga sampai ke portal waktu yang tak asing lagi baginya.
“Aku pulang dan tak akan kembali lagi,” ujar Selena sebagai tanda perpisahan terakhir sebelum benar-benar pergi dari tempat mengerikan ini.
Selena dibawa oleh gencatan waktu, berputar di dalam lingkaran berlatar kosmos diterangi cahaya bintang, mengantarkan Selena tepat di momen terakhir ketika ia hendak mengambil handuk.
“Aku kembali ke awal,” tukas Selena seraya memperhatikan semua bagian tubuhnya, tak ada yang terluka.
Sepertinya, mereka mengembalikan Selena ke awal tanpa meninggalkan bekas fisik. Sebaliknya, batin Selena merekam jelas semuanya.
Batu Ruby tersebut juga tidak ada lagi di sana, sudah hilang.