‘Kenapa dia berkata seperti itu? Apa Anne mengenalku?’ Banyak pertanyaan terus menghinggapi batin Selena.
Anne memiringkan kepalanya sedikit, kedua matanya fokus memperhatikan Selena yang sedari tadi menunduk termenung dengan pandangan ke satu titik, sembari menggigiti kelingkingnya—seolah sedang merenungkan sesuatu.
“Halo? Selena, aku berbicara padamu!” seru Anne, mencoba atraktif dengan Selena.
Suara itu terdengar seperti sentilan, membuat kepala Selena bergetar seraya terangkat ke atas, ditambah gerakan mulutnya yang tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
“Maaf, tadi aku sedang tidak fokus. Terima kasih informasinya, ya. Aku segera menemui temanku.”
Tanpa memperpanjang percakapan, Selena meraih tasnya, kemudian menyebrang menemui Anne yang sedari tadi sudah memanggilnya hingga kehabisan suara.
“Lama amat, Sel! Ngapain aja sih?” pekik Kansa, kening nya mengerut kesal.
“Kamu kenalin aku sama Anne, ya?” Jari Selena langsung menunjuk Kansa, seperti memvonis hukuman berat.
Kansa yang saat itu tak tahu apa-apa dibuat bingung dengan pertanyaan Selena. Kedua alisnya hampir bertemu karena dahinya yang terlalu mengernyit heran.
“Mana mungkin! Aku aja gak kenal dia. Ayolah, Sel, kenapa sih?” Anne menurunkan nada bicaranya, membujuk Selena untuk bercerita.
Sebenarnya, Selena masih menimbang-nimbang jika berbicara mengenai hal ini, karena Anne merupakan salah satu orang yang bisa dibilang anti hal-hal magis. Pokoknya, Anne ini tipe manusia realistis banget—no debat.
“Enggak, soalnya aku bingung Anne kenal namaku dari mana. Udah, jangan dibahas lagi,” kilah Selena. Tangannya sibuk mencari sesuatu untuk dikerjakan sebagai pengalihan topik.
Selain suka berpikir realistis, Kansa juga pandai mempelajari gerak-gerik seseorang dengan cepat. Hal ini wajar karena Kansa anak psikologi semester dua. Jadi ya… pasti tahu dong gimana cara mempelajari manusia yang bentukannya unik kayak Selena ini.
Selena beruntung kali ini, Kansa tak ingin memaksa. Dia hanya akan menunggu sampai Selena mengatakannya sendiri.
“Selena, mau pergi ke kafe dekat lampu merah itu gak?” celetuk Kansa.
“BANGET! Kansa, aku memang gak salah pilih julukan untukmu. Gas, lah! Mau aku yang nyetir, atau kita jalan sekarang?” tawar Selena.
Kansa tertawa kecil. Sesuai dugaan, Selena memang sangat bersemangat apabila menyangkut soal hal-hal menarik seperti itu.
“Baiklah, kita berangkat.”
Kansa mengemudikan mobilnya. Letak kafe tersebut tak jauh dari tempat mereka berada sekarang. Cukup lima menit, mereka berdua sampai di depan sebuah kafe idaman Selena. Kaki Selena terus bergerak, seolah ingin menerobos lari memeluk maskot kucing lucu nan gemas di balik kaca mobil.
“Ihh, cute sekali! Aku mau ngambil foto. Duluan ya, Kansa.”
Selena mendorong cepat pintu mobil Kansa. Tanpa berpikir bagaimana kira-kira gaya saat berfoto, tangannya lihai berpose manis. Tampak Selena sudah merencanakannya dari lama. Namun, baru kesampaian sekarang—berfoto dengan maskot kucing langka yang hanya ada sebulan sekali di kafe tersebut.
Kansa menyusul Selena, menariknya untuk segera masuk ke kafe. Jika lewat berfoto dari lima menit, bisa-bisa Selena harus berbayar 20 ribu. Kalau harus bayar, mending Kansa yang jadi kucingnya.
Luar kafenya saja sudah terlihat sangat estetik dan memanjakan mata. Ternyata bagian dalamnya punya vibes lebih cozy, dengan tema autumn-nya bulan ini.
Outfit mereka yang duduk di sana juga tak kalah membuat mata terbelalak. Walau makanannya tak seberapa enak, tapi suasana dan kenyamanan yang ditawarkan sangat memuaskan dan worth it buat dicoba. Namun… semua itu adalah sudut pandang Selena, lain hal dengan Kansa.
Mulai dari ia mendorong pintu untuk masuk hingga selesai menyantap makanannya, ujung mata Kansa mengikat satu objek yang tak bisa dilepaskannya.
Sekitar dua meja di belakang Selena, Kansa melihat Anne dan tiga orang temannya sedang duduk. Tak ada yang aneh memang, sampai Kansa menyadari bahwa mereka hanya membaca koran dan tidak memesan apa pun, atau mengambil foto saja tidak ada.
Apa yang terasa janggal di sini? Jawabannya ada pada sebuah radio kecil tepat di samping vas bunga mereka. Kansa yakin, di dalam radio tersebut diletakkan sebuah chip kecil untuk merekam gerak-gerik Selena.
“Selena, coba lihat ke belakang. Orang-orang itu seperti tak asing di mataku,” Kansa menyembunyikan suaranya di balik secangkir teh yang dia seruput.
Selena mengerti. Tangannya memungut bungkusan roti di bawah bangku, menjadikannya kambing hitam sementara dari rencananya. Kepura-puraannya harusnya sempurna. Selena menahan napasnya sebentar, berjalan menuju tong sampah di depan toko roti, seraya mencuri pandang dari pantulan kaca jendela.
“Mereka… aku mengerti sekarang. Tapi perspektifku akan berbeda dengan Anne,” gumam Selena.
Seolah tak terjadi apa pun, Selena masuk kembali tanpa sedikit pun melirik kepada mereka bertiga.
Begitu Selena duduk, Anne menyodorkan kotak tisu yang sudah disembunyikan secarik kertas di bagian bawahnya.
“Ayo pergi dari sini.”
Bibir Selena bergerak mengikuti tulisan di kertas, namun kepalanya menggeleng. Dia menatap tajam, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya sedikit menjauh, tak lagi condong ke depan, seolah menolak tanpa harus berkata-kata. Ada jarak yang tercipta—bukan sekadar fisik, tapi juga perasaan yang sulit ditembus. Diamnya bukan karena kebingungan, melainkan sebuah batas yang sengaja ia pasang—batas yang tak ingin siapa pun melewatinya.
Sebelum Kansa sempat menanyakan lebih lanjut apa alasan Selena di balik semua ini, kursi di belakang mereka bergeser pelan. Kansa sigap melirik ke kiri dan ke kanan. Mata tajamnya tak pernah berhenti bergerak, memperhatikan apakah sekelilingnya masih beraktivitas normal. Kansa cemas jika sewaktu-waktu dirinya berada dalam pengulangan waktu saat Anne datang dan menawarkan pertukaran dengan Kansa di cerita sebelumnya.
Kansa ingat semua hanyalah mimpi. Tapi sekarang mereka semua seolah disadarkan kembali, dipaksa untuk mengulik tuntas permasalahan ini. Setengah kebenaran bukanlah jawaban. Ia terus menggali, mempertanyakan, hingga seluruh tabir misteri terbuka di hadapannya.
Anne, Selena, Kansa, Rex, dan juga Aletta. Berada dalam lingkaran waktu yang bisa kita katakan unik. Karena apakah mereka benar-benar paham dengan rangkaian alur kejadian ini, atau justru Selena yang paling dibebankan?
Mereka semakin dekat. Tubuh Kansa sudah kaku, siap bereaksi jika ada aksi. Sedangkan Selena berusaha tenang, merenungi semuanya, sadar bahwa dialah dalang dari semua ini. Tinggal selangkah lagi menuju meja mereka. Keduanya sudah saling memberi tatapan mengerti—dengan paham yang berbeda.
Sebaliknya, luar dari dugaan mereka, Anne, Rex, dan Aletta justru pergi ke kasir untuk membayar. Meskipun begitu, apa yang mereka bayar? Sedari tadi hanya duduk membaca koran kok.
Karena rasa penasaran Selena dan Kansa yang terlalu jauh, mereka sekarang mengerti ternyata ada yang dinamakan “meja tenang.” Di kafe tersebut, tersedia layanan bagi pelanggan yang hanya ingin duduk atau sekadar membaca koran.
Seluruh teori rumit yang mereka susun seketika amblas begitu saja ketika melihat kenyataan.
“Astaga, demi apa, ternyata aku separno itu,” pikir Kansa sambil menepuk jidat. Rasanya seperti jadi detektif di sinetron yang sering salah alamat—padahal dia yakin banget, tapi malah ketipu sama kenyataan. Sialnya, orang yang mereka curigai cuma ingin nongkrong asik, tanpa sadar sudah jadi bintang sandiwara.
Bahu Kansa mulai terasa longgar, sedikit terkekeh kecil melihat wajah Selena yang masih tampak serius.
“Sel, mikirin apa?” celetuk Kansa.
“Kalau benar mereka memang cuma mau nikmati meja tenang, kenapa Aletta gak nyapa aku? Dan kenapa mereka bertiga bisa satu meja? Setidaknya kalau gak nyapa, kan bisa senyumin.”
Kansa tak mau ambil pusing lagi dengan berteori rumit.
“Sudahlah, Sel. Kita pulang aja yuk, udah malem nih,” ajak Kansa.
Selena mengangguk. Lagipula sekarang pikirannya sudah teralihkan: bagaimana kira-kira reaksi Lady melihat kondisi rumah yang berantakan karena Selena pergi keluar. Padahal, bisa saja sebenarnya Selena menelepon Lady untuk membawakan kunci.
“Setuju. Pulang aja yuk. Ibuku pasti sudah menyiapkan ocehan dahsyat level max.”
Sepanjang perjalanan, hati Selena bingung memikirkan kalimat bantahan apa yang bisa dijadikan jurus andalan. Sampai pada akhirnya, Selena tiba juga di depan pintu rumah. Lampu dalam sudah menyala. Artinya… Lady sudah pulang.
Langkah kaki Selena melambat saat jalan menuju rumah sudah di depan mata. Bukannya lega, perutnya malah terasa mual. Bukan karena sakit—tapi karena satu bayangan yang menakutkan: ocehan panjang ibunya. Ia bahkan bisa mendengarnya di kepalanya sendiri.
“Kamu pikir rumah ini hotel? Pulang suka-suka, ya?!”
Selena menarik napas panjang. Rasanya ingin kabur ke dimensi lain saja.
Satu… dua… tiga.
Selena masuk dan sigap melakukan sikap tobat di depan ibunya.
“Ampun deh, gak lagi-lagi Selena begitu,” suaranya bergetar nyaris terputus.
Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi justru berbanding terbalik dengan semua pemikiran Selena.
Lady justru menyuruh Selena untuk berdiri. Lady menatap nominal di tangan dengan senyum setengah tak percaya, setengah puas. Matanya bersinar seperti baru menemukan harta karun yang lama hilang. “Well well… fifty million,” gumamnya, lalu menoleh ke Selena dengan alis terangkat. “Untuk kali ini, Ibu memaafkan mu.” Ia tertawa kecil, lalu memutar tubuh seperti sedang dalam iklan bank, penuh gaya. Seolah dunia sedang bersorak untuknya. Tapi dibalik gayanya yang glamor, hatinya menghangat. Uang itu... berarti lebih dari sekadar angka.
Mulut Selena hampir terkekeh berjuang menahan tawa agar tidak meledak, jarang sekali Lady berekspresi sejauh ini.
‘Ya Ampun, nih orang lebay banget.’ batinnya.
Selena mendengus, tanpa banyak bicara membalikkan badan dan langsung melangkah menuju kamarnya. Dia tak ingin ikut dalam drama Lady yang bertindak seperti diva.
Sekarang sudah pukul setengah delapan, Selena berniat untuk mandi, menenangkan hati dari segala huru-hara dunia ini.
Namun, niatnya tertunda karena usut punya usut ketika Selena hendak mengambil handuk, batu Ruby yang beberapa hari lalu disimpannya, kembali muncul mencari perhatian Selena.
Batu Ruby tersebut benar-benar membuat mata terbius, rasanya semenit pun kurang untuk hanya sekedar melihat—bukan karena keindahan namun … ada sesuatu didalam baru Ruby tersebut yang membuat Selena tertarik.
Selena memandangi batu Ruby itu lebih lama dari yang seharusnya. Awalnya cuma terlihat seperti batu biasa—berwarna merah pekat dengan sedikit kilau. Tapi kemudian, ada sesuatu yang bergerak. Samar. Seperti bayangan, melintas cepat di balik permukaan batu itu, padahal… itu batu padat. Dia menyipitkan mata, mencoba memastikan.
FFRRT!
Semburat cahaya seketika memenuhi kamar Selena, pandangannya kabur, keseimbangan nya mulai hilang, hanya sekedar untuk berdiri saja Selena sudah hampir pingsan.
Samar, Selena masih dapat melihat siluet hitam tiga orang, jika dari rambutnya dapat diperkirakan bahwa mereka adalah Anne, Rex dan juga Aletta.
Selena hanya bisa terkapar tak berdaya di lantai, perlahan ketika matanya mulai terbuka, Equistela berada tepat di depan matanya. Kali ini … bukan mimpi, melainkan sesuatu yang harus Selena jalani.