Selena tersedak mendengar nama pelanggan yang dibacakan Lady. Ia melirik ke bawah, bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini sudah di dunia nyata? Atau cuma bagian dari mimpi? Namun, tegukan air es tadi terasa sangat nyata.
Mengapa akhir-akhir ini ia seperti diikuti pertanda aneh? Satu hal yang pasti: Selena harus menang atas permainan misterius ini.
“Biar Selena aja nanti yang antar ke rumah pelanggan ya, Bu!” Matanya tersenyum, menyembunyikan rencana di balik maksud perkataan palsu yang terlontar dari mulutnya.
“Loh, bukannya semalam kamu bilang kalau nanti sore harus pergi mengambil hadiahnya? Lagian tempatnya jauh, loh, Sel,” jelas Lady.
Selena menggigit sedikit ujung bibirnya. Dahinya mengernyit, memikirkan kebohongan lain apa yang harus ia lontarkan.
“Diganti jadwalnya jadi pagi, Bu. Tapi biarin Selena aja yang antar. Ibu pasti capek, kan, tiap hari pulang sore nganterin pesanan. Oke! Deal, ya?”
Lady mengangguk sedikit menyatakan setuju, meskipun berat rasanya membiarkan anak perempuannya pergi sendirian tanpa pegangan atau pengawasan.
Begitulah seorang ibu tunggal, khawatir akan keselamatan anak perempuannya, sampai ia lupa bahwa dirinya juga seorang wanita yang butuh dijaga. Ia menjalankan peran sebagai ibu sekaligus ayah. Terkadang menjadi penenang sendu, kadang menjadi pahlawan pilu.
Selena tak tahu, bahwa di balik semua suka, duka, bahkan dilemanya, selalu ada seseorang yang berdoa kepada Sang Pencipta: “Tolong selalu berikan kepada putriku umur panjang, dan jangan biarkan air mata mengalir dari pelupuk matanya.”
Lady sudah siap jika sewaktu-waktu mati, tapi ia belum siap meninggalkan Selena.
Selena yang saat ini tengah berpakaian rapi bersiap-siap menuju tempat penerimaan hadiah, memandang dirinya sendiri di cermin. Ia merasa bersalah karena telah berbohong berkali-kali kepada Lady.
“Apakah aku dapat bertanggung jawab atas biaya kuliah itu? Entah berapa kali kesempatan datang, namun aku sia-siakan.”
Bibirnya mengatup. Dagunya bergeser pelan ke samping. Selena tak ingin lagi larut dalam pemikiran buruk. Sekarang, dia harus benar-benar berubah. Jangan lagi membuat Ibu kecewa, karena beberapa tahun lalu, Selena melepas kesempatan kuliah.
Ia meraih tasnya, mengenakan jam tangan di pergelangan tangan, lalu segera melangkah pergi ke tempat penerimaan hadiah—bercampur sedikit rasa tak sabar, dengan deg-degan yang mengalir dalam darahnya.
Sekitar 1 jam 30 menit Selena menaiki angkutan umum. Walaupun tempatnya agak kotor, ditambah putaran musik lawas tahun 90-an yang tak lagi relate dengannya, rasanya cukup membosankan.
Selena akhirnya tiba di tengah perkotaan. Mulutnya terbuka sedikit menyaksikan gedung-gedung pencakar langit. Maklum, sudah lama Selena tidak mengunjungi kota.
Dengan bermodalkan Google Maps, Selena mencari tempat tujuannya seperti seorang penjelajah arah mata angin: terus berjalan lurus, kemudian belok kiri, lurus lagi, dan terus begitu hingga sampai ke tujuan.
“Kok tempatnya agak berbeda ya dengan fotonya?”
Selena berharap akan memasuki sebuah gedung bertingkat yang dihuni banyak karyawan. Kemudian, begitu dirinya masuk, ada penyambutan besar dan sorakan bangga bagi sang pemenang. Tapi tempat Selena berdiri sekarang justru lebih mirip sebuah pabrik produksi sepatu yang sudah lama tutup.
“Gawat, kena scam nih aku!” Selena mengentakkan kakinya, menendang apapun sebagai pelampiasan.
Matanya sempat melebar, lalu menyipit lagi. Bibirnya bergerak seolah ingin mengumpat, tapi tak ada suara yang keluar. Sebelum pergi, ia melempar sebuah kaleng minuman bekas ke jendela tempat tersebut.
Langkahnya sudah lumayan jauh, sampai angin menyampaikannya sesuatu lewat teriakan seseorang.
“Selena Christ! Itukah Anda?” Suaranya samar di antara kebisingan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.
Kaki Selena terhenti. Dirinya sudah tidak mau merespons, namun kepalanya menoleh, melihat pria berbaju putih dengan garis hitam tipis di sepanjang kerahnya, ditambah aksesoris berupa topi biru dan celana kulot longgar berwarna merah mencolok.
Sekilas, memang tampak seperti badut—hanya tinggal menambah riasan saja. Bahu Selena sedikit bergetar, menunjukkan rasa ngeri yang membuatnya ingin segera pergi. Ia menatap dengan sorot mata yang tak lagi tajam, melainkan goyah, seperti orang yang baru sadar bahwa semua yang ia percaya ternyata cuma pantulan dari harapan kosong.
“Pasti salah satu pasien RSJ yang kabur.” Langkah Selena semakin cepat, seperti ingin berlari menuju mobil taksi di perempatan.
Pria itu tahu Selena ingin pergi karena penampilannya. Ia tidak mengejar, hanya berusaha memberitahu bahwa dialah yang akan mencairkan dana hadiah untuk Selena.
“Jangan pergi! Kau sudah tak menginginkan hadiahmu, kah?” panggilnya sekali lagi, berusaha meyakinkan.
Terlambat sudah. Selena keburu mendapatkan mobil taksi yang langsung melaju. Kini, ia dapat bernapas lega.
Supir taksi tersebut tampaknya memperhatikan kecemasan Selena dari kejauhan, sebelum ia menaiki mobilnya.
“Maaf, tapi apakah Nona takut dengan Prof. Donald?” lirihnya, melihat Selena dari kaca kecil persis di atas langit-langit mobil, sembari melontarkan pertanyaan singkat.
“Prof. Donald? Orang gila seperti dia dipanggil 'Prof'?” Ia menggeleng sedikit, lalu terkekeh—namun tanpa menunjukkan humor.
“Beliau memang punya selera berpakaian yang unik. Semua outfit-nya nabrak, kan? Seluruh kota juga tahu. Meskipun begitu, dia adalah salah satu orang berpengaruh yang sudah memajukan pendidikan bagi anak-anak miskin dan kurang mampu.”
Tatapan Selena terarah kepada supir yang tengah berbicara, tapi tak benar-benar fokus. Ada jeda di sana—sejenak matanya membeku, seolah bertanya-tanya apakah barusan ia baru kehilangan momen yang selama ini ditunggu. Ia menurunkan Coca-Cola yang sempat akan diteguk perlahan. Matanya sedikit menyempit, lalu menatap air di dalamnya dengan ragu. Bibirnya mengatup. Dagunya bergeser pelan ke samping, seolah pikirannya belum selesai menimbang sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Ya, saya Selena. Bapak pasti mendengarnya dari teriakan si Prof. Donald itu, ya?” tanya Selena memastikan.
“Tidak. Saya merupakan salah satu teman kerjanya Prof. Donald juga. Dia adalah investor dari perusahaan saya. Beberapa hari lalu, dia bilang kalau ada anak muda dengan cerita fantastis yang bisa memukau industri perfilman. Namanya Selena,” tukasnya, seraya tetap fokus memperhatikan jalanan di depan.
Mulut Selena terbuka, lalu tertutup lagi. Ia menelan ludahnya dalam-dalam. Bukan karena terkejut akan kekayaan Prof. Donald, melainkan karena supir ini mengatakan bahwa dia adalah pemilik perusahaan.
“Jika Bapak memang seorang pemilik perusahaan, mengapa mengendarai mobil taksi?” Alis Selena bertaut, menyambung rantai curiga di benaknya.
“Biasa, pekerjaan tambahan aja. Bosan juga, kan, meeting terus,” sahutnya dengan santai.
Selena meringis dalam hati. Ya Tuhan, kalau aja tadi aku nggak langsung pulang, pasti 50 juta udah di tangan.
Ia memandangi jendela, seolah ingin berteriak kepada jalan raya atas kekecewaannya.
“Tapi jangan khawatir, nanti sore aku akan menyuruh karyawanku, Anne, datang ke rumahmu memberikan hadiahnya. Tulis saja alamatnya, ya. Sekalian aku mengantarkanmu pulang.”
Selena menoleh kembali ke depan, memiringkan sedikit kepalanya. Telinganya menangkap sesuatu seperti sebuah petunjuk. Ia tak ingin menunjukkannya di depan supir tersebut, hanya mengikuti permintaannya dengan menuliskan alamat di secarik kertas.
Setelah menerima alamat itu, kira-kira setengah jam berlalu, dan Selena sampai dengan selamat di depan rumahnya. Setelah taksi itu pergi, Selena memandang lurus ke depan, ujung bibirnya tertarik ke samping.
“Sebentar lagi, semuanya akan menemui titik terang.”