Pipi Selena mengembung menahan gelak tawa,hingga akhirnya kelakar nya lepas karena melihat Kansa dengan kondisi yang sama.
“Yakali nyuri, ini hasil usaha Selena sendiri, loh, Bu!” jelas Selena, seraya berjalan menunjukkan layar ponselnya ke depan Lady.
Lady menyipitkan kedua matanya, meraih handphone Selena, tak lupa menaikkan kecerahan seperti cahaya ilahi yang dapat menerangi seluruh ruangan, ditambah ciri khas satu jari menyentuh layar.
“Ini benar Selena? Kamu hebat nak, Ibu bangga sama kamu.”
Kalimat terakhir itu... sudah lama Ibu tak pernah mengucapkannya, mungkin terakhir kali saat Selena masih duduk di bangku SMP ketika memenangkan medali olimpiade matematika. Semenjak beranjak dewasa, Lady jarang mengucapkan perasaan bangga apalagi sayang, kepada Selena.
Padahal, sedewasa apapun ia, seorang anak tetap membutuhkan sosok seorang ibu. Ia masih memerlukan waktumu, sekedar bercengkrama saja mungkin sudah menenangkan hatinya. Ada masalah yang tak ingin dia ceritakan, dipendam sendiri, mencoba berkomunikasi tapi selalu terhalang kata sibuk.
Hari ini semua goresan dalam hati Selena seperti diperban oleh satu plaster langka, yang selalu ingin didapatkannya.
“Selena juga bangga sama Ibu, diusia yang gak lagi muda, Ibu masih kerja — diam-diam nabung buat biaya kuliah Selena. Terima kasih ya,” bulir-bulir bening tak berhenti mengalir dipipi Selena, menangis tak salah kok, kelopak mata bisa bersih karena air mata, disisi lain hati juga bisa lega.
Menangis sampai menelaga, keluarkan semua derita kejam yang selama ini dipendam, kau sudah terlalu keras pada dirimu, terima kasih telah bertahan ya, beberapa orang berhenti karena merasa itu susah, tapi beberapa orang memulai karena hal susah itu. Kamu hebat versi dirimu sendiri.
Tangan seorang Ibu memang selalu menghangatkan saat membelai rambut anaknya, hal itulah yang saat ini tengah dirasakan Selena.
“Sudah, jangan terlalu banyak adegan emosional nya. Ibu mau bereskan ini dulu,” papar Lady, sambil bangkit berdiri mengambil bungkusan pesanan yang bercecer di lantai.
Hati Selena sudah lega, tapi Kansa yang malang masih mewek, isakannya tertahan di tenggorokan.
“Selena … aku gak tau mau ngomong apa, tapi dadaku sakit mendengar percakapan ibu dan anak ini,” cetus Kansa.
Garis mata Selena terangkat pelan seolah matanya ikut tersenyum memahami perasaan Kansa.
Percakapan terus berlanjut, hinggga ujung mata Selena tak sengaja memperhatikan setiap detik yang terus berputar.
“Sudah jam 9 malam, kamu belum mau pulang Kansa? Papamu gak marah kah nanti,” celetuk Selena.
“Ngusir nih ceritanya, iya deh aku pulang aja,” kelakar Kansa, meraih totebag nya dari sofa dan perlahan kakinya maju menuju pintu.
Seperti biasa, Selena melambaikan tangan—mengucapkan perpisahan, padahal setiap hari juga ketemu.
Selena sudah beberapa kali menutup mulutnya karena terus menguap, tapi tak bisa karena Selena belum mandi, rencananya untuk bebersih tadi malah tertunda karena keasyikan mengobrol bersama Kansa.
“Mau mandi males, kalau gak mandi badan gatel, mandi bebek aja deh.”
Mandi bebek merupakan pilihan terbaik disaat malas seperti ini, kita hanya perlu menggerakkan tangan untuk mengangkat gayung lalu mengguyur nya beberapa kali. Memang tidak dapat membersihkan secara menyeluruh tapi daripada Selena ketiduran saat mandi.
Selena mengenakan piama favoritnya, membaringkan badannya di kasur, harusnya malam ini akan menjadi tidur ternyenyak Selena, ternyata salah besar. Sangking senangnya Selena sampai tak bisa menutup matanya, hati Selena sampai sekarang masih ikut berdebar.
‘Ayo tidur Selena, tidur lah tidur,” Selena sudah memejamkan mata, lalu dengan cepat mematikan lampu agar Selena tak punya pilihan lain selain tidur.
Beberapa menit berlalu, Selena terlelap dalam dunia mimpinya, sedikit lagi Selena mencapai portal itu, tinggal satu langkah lagi, Selena ragu namun seseorang mendorong nya maju,Selena dapat merasakan jika ia hanyut dalam sebuah lorong waktu tak beraturan, terus berputar seperti dihipnotis.
Selena dilempar ke sebuah dimensi lain, ditarik dalam perjalanan waktu. Selena mendapati dirinya berdiri di tengah banyak orang dengan batu Ruby yang terletak di depannya. Semua orang hormat padanya, seperti akan ceremony sedang berlangsung.
Selena mengingat ini persis seperti saat dia menulis adegan putri Equistela mengganti batu Ruby pada perayaan 100 tahun berdirinya Equistela.
‘Aku pasti bermimpi, bangun Selena.' Selena sama sekali tak bisa bergerak, tapi ia berusaha mengangkat tangannya, matanya hanya bisa melihat namun lama kelamaan penglihatan nya kabur, bahkan sekedar menghirup udara menjadi sangat sulit.
Selena pikir ia mati, tapi ternyata yang terjadi hanyalah mimpi. Selena segera menyalakan lampu kamar nya, menghempaskan selimut dari kakinya.
Kenapa mimpinya terasa sangat nyata, leher Selena bergeser hampir patah, bulu kuduk nya siaga berdiri keatas, keringatnya bercucuran dengan sensasi dingin.
“Aku berhasil keluar, mimpi apa tadi ya,” ketakutan menjalar ke tubuhnya, merayap hingga mencekam sampai tulang.
Selena melihat jam dinding, ternyata sekarang sudah pukul 1.00 pagi, di pagi-pagi buta seperti ini, Selena hanya bisa duduk berpeluk lutut di kasurnya.
Selena mencoba merebahkan dirinya sekali lagi, kali ini ia tak berani tidur. Pelarian selanjutnya adalah memainkan ponsel nya, berjam-jam Selena terpaku pada berbagai aplikasi hanya untuk sekedar hiburan. Layar handphone Selena masih menyala, namun dia terlelap dalam terang yang sama sekali tak diinginkan nya.
Lagi-lagi mimpinya membawa Selena kembali pada posisi saat dirinya menjadi putri Equistela, tapi kali ini dengan sudut pandang yang berbeda. Kansa … Matanya sempat membesar, lalu menyipit pelan. Bibirnya bergerak sedikit, seolah ingin berkata sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya menatap, diam, seolah mencari jawaban di udara kosong di depannya.
Selena mencoba berlari mendapati Kansa.
Langkah Selena makin cepat. Nafasnya memburu, rambutnya beterbangan tertiup angin malam yang anehnya terasa hangat. Kansa ada di depan sana—sekilas bayangan punggungnya menghilang di balik kabut.
Udara ditarik dari paru-parunya. Dunia jadi putih, lalu gelap, lalu putih lagi. Semua terasa seperti ditarik keluar dari dalam dunia mimpi.
Selena terbangun, nafasnya terengah-engah, kakinya masih seperti diikat oleh selimut dengan kedua tangannya yang berlipat tepat pada atas dadanya.
Selena menghempaskan selimut dari kakinya, tangannya bergetar namun cekatan membuka laci tempat ia menyimpan buku catatannya, memperhatikan setiap alur cerita nya secara runtut.
Mari kita mengingat sedikit ke awal cerita, saat Kansa melihat Selena membuka portal, di adegan itu tak ada penjelasan lebih lanjut mengenai Kansa. Dalam mimpinya tadi … cukup membingungkan bagi Selena.
Sebenarnya, semua ini cuma kebetulan atau memang ada makna mendalam dibalik semua rangkaian kejadian tanpa penjelasan ini.
Selena menyalakan kipas, mencoba tidur dengan lampu menyala. Matanya berhasil tertutup walau hanya beberapa jam, pukul setengah empat pagi, Selena kembali bangun, berjalan menuju dapur membuka pintu kulkas, tangannya mencari sebotol air es.
“Sedang apa disana?” tanya Lady.
Selena menoleh kaget, melontarkan kembali pertanyaan yang sama.
“Ibu yang sedang apa, matahari bahkan belum muncul.”
“Pagi ini, ada yang pesan nasi goreng ibu, 150 porsi buat makan malam katanya,” jelas Lady seraya mengikat bungkusan nasi di meja.
Saat Lady mulai berbicara dengan terpaksa Selena menurunkan gelas nya, matanya melirik lady sibuk, tapi pikiran nya cuma terpaku pada gelas air dingin di kulkas, begitu Lady diam, Selena langsung mendongak meneguk air seperti baru lolos dari kehausan panjang, sensasinya seperti embun yang mendarat di gurun singkat tapi menyelamatkan. Segar nya melewati tenggorokan hingga ke perut Selena, sensasinya bahkan masih terasa hingga air tersebut habis.
“Banyak banget, siapa Bu yang pesan?” timpal Selena.
Lady mengambil kertas kecil disamping teko, membacakan nama pelanggan dengan teliti karena mata kirinya hanya berfungsi 70 persen, sedangkan mata kanannya sisa 50 persen.
“Anis … eh!Bukan, A-Anne, ya namanya adalah Anne. Dia ini menjadi pemecah rekor dengan pesanan nasi goreng terbanyak bulan ini.”