Selena dengan ancang-ancang yang sudah mantab bersiap untuk berbalik dan menyerang.
“Siapa disana?” tanya Selena dengan napas terengah-engah, namun tak melihat siapapun.
Hingga … seseorang menutup mulut Selena dari belakang, dan menarik nya bersembunyi di belakang tiang seolah menghindari Seseorang.
“Ssst, diamlah dia ada disini.”
Suaranya tampak tak asing di telinga Selena, benar saja yang menarik dirinya adalah Rex. Selena tak mencoba memberontak karena ia tahu, pasti ada alasan di balik semua ini.
Selena mengintip sedikit, ia melihat seseorang membawa pisau besar sedang kebigungan mencari sesuatu, wajahnya tak terlihat karena ia memakai jubah, dan anehnya kenapa orang tersebut hanya memiliki sebelah tangan?
“Dia sudah pergi kita aman,” ujar Rex.
Setelah beberapa menit penuh ketegangan ini, mereka berdua bisa menghirup nafas lega dan melonggarkan bahu.
“Sebenarnya siapa dia?” pekik Selena.
“Pastinya seseorang yang tidak menyukai dirimu, aku sudah memperhatikannya 3 hari terakhir ini.” Setelah mengatakan hal itu Rex dengan tenang pergi meninggalkan Selena, tanpa mencemaskan apakah dia akan kembali menyerang.
“Kenapa langsung pergi? Kalau dia datang lagi gimana,” tegas Selena.
“Dia tidak akan berani, segera bersiap - siap.”
Selena lari dari lorong itu sekencang mungkin, lalu menutup pintu kamarnya rapat - rapat.
'Aku sedang tidak aman sekarang,’ batin Selena berulang kali memikirkan hal yang sama.
Prinsip Selena sekarang adalah, mau sebanyak apapun bahaya datang menyerang Selena, satu hal pasti … malam perayaan Equistela harus tetap berjalan.
Selena mengenakan gaun yang sudah diantarkan oleh Anne sehari sebelumnya. Motif nya hampir mirip dengan yang dikenakan Selena di pesta penobatan, hanya saja gaun kali ini lebih terlihat lebih polos—melambangkan kesederhanaan.
Gaun putih yang dikenakan tampak seperti jatuh langsung dari langit—polos, namun sarat akan keanggunan yang tak bisa dipalsukan. Kainnya jatuh mulus dari bahu hingga ke lantai, tanpa satu pun lipatan yang berlebihan. Tidak ada payet, tidak ada renda, hanya bahan satin halus yang memantulkan cahaya lilin dengan kilau yang tenang dan lembut.
Potongan gaunnya mengikuti lekuk tubuh dengan sopan, mempertegas pinggang tanpa terlihat mencolok. Bahu terbuka dengan detail lengan jatuh lembut di sisi lengan atas, memberikan sentuhan klasik namun tetap modern. Ujung gaunnya menyapu lantai, membentuk jejak bundar yang nyaris seperti kabut tipis, memberi kesan seolah Selena tengah berjalan di atas awan.
Di bagian belakang, gaun itu memiliki garis punggung rendah berbentuk lembut, dihiasi satu pita tipis berwarna senada yang diikat sederhana di pinggang—hanya satu sentuhan kecil, namun cukup untuk mengikat seluruh keindahan dalam satu simpul.
Tanpa perhiasan dan tanpa warna tambahan, justru kesederhanaan itulah yang menjadikan gaun ini begitu memikat. Seakan gaun itu diciptakan bukan untuk menarik perhatian, tapi untuk memuliakan keheningan dan kekuatan dalam kelembutan—seperti Selena sendiri.
Bukan karena banyaknya detail, hanya untuk mengenakan gaun tersebut menghabiskan waktu 1 jam lamanya, ditambah lagi Selena harus menata rambut panjangnya yang terurai indah ke bawah, hanya dengan satu hairclip kecil namun menambah keindahan surainya.
Selena masih belum berani keluar ruangan, rasanya ia tak siap, jantungnya masih berada dalam labirin yang tak tahu jalan keluar.
Selena hanya duduk termenung hingga batu sudah berubah warna menjadi ungu,
“Sudah malam, mereka pasti sudah menunggu ku,” ujar Selena.
Di halaman Equistela semua tamu dan rakyat sendiri telah bosan menanti Selena hampir setengah jam, mencemaskan jika sewaktu-waktu tak ada orang yang akan memasang batu Ruby.
“Dimana putri kita? “ Sorak sorak rakyat Equistela yang semakin keras membuat Rex juga turut mencemaskan Selena.
Semua itu tak berangsur lama, karena Selena datang menenangkan keriuhan mereka, hanya sepatu kaca nya yang baru menginjak lantai namun semua orang sudah disegankan akan kehadiran nya, bagian bawah gaunnya terlihat seperti ombak yang bergelombang tenang.
Selena berdiri di depan semua orang disusul Anne yang membawa batu Ruby dibalut kain putih.
“Hari ini biarlah kita semua merayakan 100 tahun Equistela. Suka, duka bahkan dilema sekalipun kita alami di kerajaan ini. Saya mungkin belum tepat 2 Minggu menempati kastil ini, tapi … kalian adalah inspirasi saya, semangat saya untuk terus belajar,bangkit, merealisasikan tanggung jawab dan membakar jiwa. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya persilahkan Ratu Antoneitte untuk menyanyikan mars peresmian 100 tahun Equistela,” para tamu undangan dan rakyat bertepuk tangan menyambut Ratu Antoneitte.
Semua orang berdiri, memberi sikap sempurna dan hormat, mata mereka tertuju kepada kastil dan batu Ruby lama yang sebentar lagi akan digantikan. Isak tangis semua orang melambangkan bahwa kerajaan ini bukan hanya sekedar bangunan namun tempat dimana semua pengalaman dan kenangan tersimpan.
“Bagian terbaik dari hidup adalah memiliki sebuah kenangan yang abadi dalam kematian.”
“Equistela untuk selamanya.” Lirik itu mengakhiri mars terakhir Equistela.
Sekarang adalah puncaknya, acara yang ditunggu - tunggu semua orang. Penggantian batu Ruby, nah, yang jadi masalah nya bagaimana cara Selena naik ke atas? Sedangkan ia tidak mempunyai kekuatan sihir apapun.
Apa Selena akan memanjat? Oh tentu tidak, mari kita lihat ketulusan cinta bekerja.
“Selena, lihat aku.” Anne menggenggam erat tangan Selena, menutup perlahan matanya dan mengalirkan seluruh kekuatan yang ada padanya ke tubuh Selena.
Rasanya seperti terkena sengatan listrik 500 ampere, Selena refleks bergetar, Setelah itu ia merasakan energi baru mengalir di darahnya.
Selena merasa bebas seperti ingin terbang dan mengangkat semua benda, bertranformasi kedalam bentuk apapun yang dilihat nya.
“ANNE!! Energi yang kau salurkan terlalu besar, bisa - bisa Selena diluar kendali,” pekik Rex.
Anne menggeleng dikuti ujung bibirnya yang tertarik pelan, seolah menunjukkan isyarat bahwa semua baik - baik saja. Dalam keheningan yang magis, tangan Selena terangkat dengan sendirinya. Batu Ruby tua yang terpampang di puncak Equistela mulai diturunkan, warna merahnya memudar seperti darah yang kehilangan panasnya. Dengan tatapan nanar Selena mengangkat batu Ruby baru yang ia bawa—lebih bersinar, lebih murni memancarkan cahaya terang yang membuat siapapun menutup mata ketika melihat nya. Momen nya singkat, walaupun begitu tetap menjadi hal sakral bagi rakyat Equistela.
Seluruh rakyat bersukacita, memanjatkan rasa syukur mereka dengan menyantap hidangan hasil panen selama 1 tahun terakhir.
Selena masih terdiam memandangi batu Ruby lama yang tidak berfungsi lagi, hingga ia menemukan luka kecil di batu tersebut, ada bagian yang hilang.
“Batunya retak di tepi, retakannya cocok seperti bross baru ku, berarti ….” Selena memegang bross tersebut erat, rahangnya mulai mengeras, ujung matanya fokus ke satu objek.
“Jika engkau tidak mengambil retakannya, batu nya masih dapat berfungsi kan Rex? apabila diganti pun, setidaknya batu yang lama ini masih dapat berfungsi!” berang Selena.
Rex tertegun, bahkan sekedar mengepalkan tangan saja dia sudah bergetar, “Aku punya alasan untuk semua ini,” bela Rex
Perdebatan mereka membuka kejahatan, mengapa begitu? Hanya selisih satu detik saja tepat saat Selena mengalihkan pandangannya, seseorang dengan jubah hitam yang Selena lihat tadi siang, datang bersama kabut mengambil batu Ruby di depan Selena. Anne berusaha untuk menghalangi, tapi orang misterius tersebut membawa senjata tajam, sehingga ia tak dapat merebutnya. Orang itu pergi menghilangkan jejak asap dan meninggalkan sepucuk surat.
“Jangan khawatir, batu Ruby tersebut sudah tidak berfungsi, dia tidak akan bisa menyalahgunakannya,” jelas Rex.
Selena terlalu cepat menilai, sekarang ia mengerti bahwa Rex sengaja membuatkan bross baru dari batu Ruby yang lama karena ia tahu, tiga hari terakhir ini ada pengintai yang ingin mencuri batu Ruby.
Selena tak terlalu mendengarkan, ia membuka surat tersebut — menaruh ragu, ‘Mungkinkah ini bagian terakhir buku yang ku baca itu.’
Selena menarik tali pengikat nya dan membacakan isi surat tersebut dengan lugas di depan semua orang, yang berisikan;
Equipment, 30 Juni 2020.
9 tahun lagi tepat saat 100 tahun masa kejayaan Equistela, bacakan ini kepada seluruh rakyat, putriku saat ini Selena Christ yang sedang menggantikan ku. Pimpinlah kerajaan ku sebijak - bijaknya, jadikan kerajaan Equistela menjadi kerajaannya paling makmur dan paling jaya sepanjang masa kepemimpinanmu.
Waktuku hidup hanya sehari lagi setelah penggantian batu Ruby, tolong jangan cari cari Ayah, Selena.
Selena memeras gulungan kertas tersebut, semangat berjuang dalam darahnya mengalir panas,
“ Kota Equipment, ayo pergi ke sana sekarang!” perintah Selena
Anne dan Rex terbelalak saling menatap bingung satu sama lain, “Kalau kita pergi siapa yang akan menjaga Equistela?” Anne mengangkat satu tangan nya, menunjuk kondisi raut wajah para rakyat Equistela yang tengah panik, menangis bahkan gelisah setelah mendengar isi surat tersebut.
Ratu Antoneitte mengerti akan keadaan ini, ia berusaha membantu Selena dengan memberikan arahan kepada para tamu kerajaan yang hadir agar tidak ada terjadi nya kesalah pahaman atau anggapan buruk akan kerajaan Equistela.
Selena mengambil langkah tegas, ia menunjuk Aletta sebagai pemimpin sementara, selama mereka bertiga pergi untuk melakukan petualangan yang kurang dari kurun waktu sehari.
“Aku tidak mungkin sanggup!” tegas Aletta.
Perintah tetap lah perintah, Aletta terpaksa harus mengambil alih kerajaan sedangkan Selena, Anne dan Rex pergi dengan modal nekat tanpa persiapan apapun bahkan sepotong roti saja tidak.
“Kita tidak punya banyak waktu, segera siapkan kuda untuk ku, Anne dan juga Rex! Kurang dari 24 jam kami harus menemukan Raja,” Selena menggertak kan giginya, menunjukkan bahwa kebulatan tekad untuk menemukan Ayahnya tak dapat disepelekan.
Selena menunggangi Elarion, hewan peliharaan kesayangan Christ yang sudah dirawat sejak Selena masih balita
Elarion adalah seekor kuda jantan berwarna hitam pekat dengan surai panjang keperakan yang bergelombang, tampak berkilau di bawah sinar matahari maupun cahaya bulan. Tubuhnya tinggi dan gagah, dengan mata berwarna biru keunguan yang seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Ia bukan kuda biasa—ada jejak sihir dalam darahnya, warisan dari negeri tersembunyi yang hilang dalam sejarah. Saat berjalan, Elarion bergerak dengan anggun, tetapi dalam medan pertempuran, langkahnya membelah tanah seperti petir mengoyak langit. Hanya Selena yang bisa menjinakkannya, karena ikatan mereka dibentuk oleh emosi dan takdir.
Sedangkan Anne dan Rex menunggangi Liora dan Branzel bagaimana kedua kuda terlihat?
Branzel adalah kuda berwarna coklat gelap dengan corak samar keemasan di punggungnya, seperti simbol kuno yang hanya terlihat saat terkena sinar matahari pagi. Ia lebih pendek dari Elarion, namun jauh lebih lincah dan cerdas. Branzel mampu membaca gerakan musuh dari kejauhan dan memiliki kecepatan luar biasa dalam medan yang sulit. Rex mempercayai Branzel sepenuhnya, karena kuda ini pernah menyelamatkan nyawanya dalam badai gurun di masa lalu.
Sedangkan Liora juga memiliki keunggulan sebagai kuda tunggangan Anne
Liora adalah kuda betina berwarna putih keperakan dengan surai panjang berkilau seperti benang cahaya bulan. Matanya berwarna biru pucat yang tampak menyimpan rahasia dunia lain. Gerakannya anggun, tapi cepat dan kuat, seperti bayangan yang melesat di malam hari. Hanya Anne yang bisa menungganginya tanpa rasa takut—seakan ada ikatan batin yang tidak terlihat. Di antara pelana dan pelindung dada Liora, tertanam kristal kecil bercahaya yang merespons emosi Anne dan Selena, memberikan sinyal bahaya atau memperkuat keberanian. Banyak yang bilang, Liora bukan kuda biasa—ia adalah makhluk yang “terpilih”, seperti penunggangnya.
Branzel dan Rex memimpin petualangan ini, dengan satu tarikan tali , Branzel menaikkan kedua kakinya ke atas dan berlari secepat mungkin disusul oleh Anne dan Selena.
Letak Equipment tak terlalu jauh, dari Equistela, tapi bukan berarti tak ada tantangan yang akan dilalui oleh mereka
Rute pertama, Lembah bayangan Rimba katalis.
Untuk melewati lembah ini akan ada makhluk bayangan yang mengikat seseorang, karena lembah ini terbentuk dari emosi manusia. Siapa pun tak boleh terikat akan bayangan masa lalunya, semakin kuat kenangan atau kerinduan yang tersimpan maka semakin kecil kemungkinan bisa keluar dari lembah ini.
Selena pikir dirinya lah yang akan menjadi masalah disini, hatinya sekarang penuh akan kerinduan mendalam tentang Ayahnya, semua kenangan manis saat Selena masih kecil, terbesit di benak Selena. Hal ini tentunya akan menjadi umpan balik bagi makhluk bayangan tersebut.
Rex memberi kode, satu - satu nya cara agar Selena bisa bebas adalah melepaskan Elarion pergi, karena ikatan antara mereka berdua yang membangkitkan kenangan itu
Tak mudah, tapi ini adalah pilihan terakhir.
Selena mengehela napas berat, mengelus surai Elarion untuk yang terakhir kalinya, meski hanya seekor kuda — bukan berarti Elarion tak punya perasaan, matanya mengungkapkan kesedihan seolah tak ingin berpisah.
Liora, kuda yang ditunggangi Anne datang mendekat untuk membawa Selena. Perjalanan harus dilanjutkan, tak boleh berhenti, Selena menoleh ke belakang dan tak kuasa melihat Elarion yang perlahan mulai jatuh melemah ke tanah karena kekuatan nya diserap oleh makhluk bayangan.
Mereka bertiga berhasil keluar dari rute pertama, tinggal melewati satu Rute lagi sebelum sampai ke Equipment.
Kira - kira 3 meter di depan mereka sudah terpampang jelas bangunan megah yang melayang diatas balutan awan.
Sangat berani jika langsung menerobos masuk, Selena awalnya bertindak gegabah seperti itu dan lagi - lagi Anne menghentikan nya.
“Jangan, Lihatlah ke depan. Banyak sekali tumbuhan berduri liar yang mencegat mu untuk masuk,” jelas Anne.
“Benar juga, lalu bagaimana ini?” timpal Rex.
Mereka sempat diam sejenak memikirkan cara untuk melewatinya nya, hingga Selena menyadari ada sebuah pohon besar yang menjulang tinggi di samping mereka. Dengan kekuatan yang dimiliki Selena sekarang, menumbangkan pohon itu menjadi hal yang sangat mudah.
Sekarang, ada jembatan untuk menyebrang, pelan tapi pasti satu per satu dari mereka mulai melangkah dan sampai tepat di depan pintu Equipment.
Bentuknya bukan seperti kerajaan, lebih tepatnya museum megah berdindingkan marmer dan berkulitkan emas pada bagian atap nya, terlihat jelas dari gerbang.
‘Sedang apa ayahku disana,’ batin Selena.
Gerbang tersebut terbuka dengan sendirinya, menampilkan bangunan Megan yang secara samar bisa dilihat dari depan. Namun, jika mendongak sedikit ke atas kalian akan menemukan manusia sedang bergelantungan dengan seutas tali. Seperti boneka kayu yang dikendalikan.
Ada yang sudah membusuk, lengannya hampir patah, bahkan kepalanya terpenggal, yang menjadi fokus pandangan Selena sekarang adalah Ayahnya, Christ berada di antara mayat tersebut. Bajunya sama seperti saat terakhir kali Selena bertemu, rambutnya sekarang sudah panjang ya, Ayah juga semakin kurus, pasti sebelum nya tidak diberi makan, Selena rin—.
Pulpen itu terus menggores diantara puluhan ribu kata - kata yang sudah di rangkai Selena.
“Aduh kenapa tinta pulpennya macet sih? Padahal udah mau sampe end loh!” rutuk Selena.
Krek krek
Selena memegangi leher nya yang sudah sangat pegal, karena beberapa Minggu ini ia sibuk menggerakkan jarinya di depan laptop, untuk menyelesaikan cerita dalam kompetisi menulis yang sedang diikutinya.
Ia merebahkan diri di kasur, menatap ke luar jendela, “ Selena nulis ini buat tambahan biaya kuliah, semoga aja aku lolos agar ceritaku bisa terkenal terus punya banyak duit deh, kan Selena pemeran utama di cerita itu,” celetuk Selena.
Lalu apakah selama ini kita hanya hanyut dalam cerita Selena?