Aletta melanjutkan percakapan, “Mungkin keinginan ini memang tidak bisa diwujudkan…”
Selena mendengarkan Aletta tanpa memotong, tanpa menghakimi. Bukan karena ia tak tahu seluruh kisahnya, tapi karena ia tahu rasa sakit paling dalam datang ketika dunia menertawakan hal yang kita inginkan.
Aletta menghela napas berat, berjalan menuju pintu, “Terima kasih atas tehnya,” bibirnya melengkung tipis penuh kehangatan, matanya bersinar lembut menenangkan hati.
‘Sepertinya ada beberapa hal yang Aletta enggan katakan, biarkan dia beristirahat dulu malam ini.”
Kelopak mata Selena sudah sayu, ia juga harus mengambil tenggat waktu untuk mengistirahatkan pikiran dari banyak nya konspirasi, konflik dan satu dokumen yang harus ia temukan.
Di temani cahaya bintang — diselimuti kain sutra, Selena masih berdebat dengan isi kepalanya sendiri. Antara harus mencari kebenaran dokumen tersebut atau langsung mencari ayahnya.
“Aku belum tahu harus memulai dari mana apabila langsung menjalankan pencarian, semua teka-teki yang harus diselesaikan ini bergeming setiap waktu memenuhi isi pikiran ku,” gumam Selena.
Awan tak akan pernah menggeliat atau matahari akan bersinar, hanya batu yang sudah tak berwarna lagi, berarti sekarang sudah saatnya hari baru datang.
Pukul 04.00 , cukup awal bagi Selena yang sudah terbiasa bangun lebih siang.
Selena turun ke Aula berniat pergi ke taman untuk menyaksikan sunrise di negri ini sebelum ia memulai petualangan yang cukup panjang.
Sedikit lagi menuju taman namun … “Oh! Aku lupa, tak ada matahari di sini.”
Lalu bagaimana orang-orang bisa menjalankan aktivitas saat siang hari? Aku hanya mengatakan tak ada matahari bukan tak ada cahaya. Langit yang tampak seperti galaksi itu tidak berpengaruh sama sekali ke bagian bawahnya. Sama seperti kondisi kita saat ini, begitulah kira - kira kondisi Equistela dengan versinya sendiri. Tenang, tak perlu untuk berpikir terlalu keras, kita hanya perlu mencerna rangkaian hidup Selena.
Di pagi hari ini Aletta sedang menyiram sebuah pohon besar, tumbuh menjulang tinggi ke atas.
“Aletta, ternyata dia juga seorang pecinta tumbuhan,” cetus Selena, memperhatikan Aletta samar dari kabut tipis yang memburamkan kaca jendela.
Rex menaikkan alisnya bersamaan dengan kening yang sedikit mengernyit, melihat Selena yang sedang fokus menatap ke luar jendela.
“Ada tugas baru untuk mu!” seru Rex, alasan klasik padahal hanya ingin mencoba berbicara dengan Selena.
Sontak saja Selena menoleh seraya menaikkan satu ujung bibirnya.
“Tugas baru? sejak kapan kau berani memberikan perintah padaku!” tegas Selena.
“Bukan perintah ku, ini kewajiban mu. Pagi ini, silahkan kunjungi pasar dan survei apa saja yang rakyat butuhkan, catat juga dagangan yang sedang naik daun dan yang hampir gulung tikar,” jelas Rex.
Selena menelan ludah, selama ini ia hanya berfokus pada tujuan nya untuk menemukan Ayahnya, sekarang harus belajar membagi waktu dan menjalankan tanggung jawab atas kedudukan yang telah ia peroleh.
Seaakan mengetahui isi pikiran Selena, Rex mencoba menjelaskan. “Cukup 30 menit saja sebagai formalitas bahwa dirimu benar seorang putri, setelah itu bebas jika ingin melakukan hal lain, seperti pergi ke Requista mungkin … entahlah.”
Selena memberi tanda setuju, sesuatu terbesit di kepalanya.
'Aletta akan menemaniku, setelah itu baru Aku membawa Aletta pergi menemui pak Ale,’ pikir Selena.
Aletta yang sudah selesai menyirami bunga di taman berniat untuk melanjutkan aktivitas lain, sama sekali tidak terbesit dalam pikiran nya bahwa Selena akan menjerit memanggil nya.
“ALETTA!! Kesini sebentar!” seru Selena.
Siapa yang tidak kaget coba,mendengar seseorang tiba - tiba menjerit, Aletta langsung berlari secepat mungkin bahkan sampai menjatuhkan gembor karena mengira sesuatu terjadi pada Selena.
“Ada apa! Kau terluka? Apa yang terjadi,” cemas Aletta.
“Aku baik-baik saja, sekarang kau ikut aku ke pasar, kita akan melakukan survei,” Selena menggandeng Aletta seolah berusaha membujuk nya untuk berjalan menemani Selena.
Mereka berdua sampai di pasar dan benar saja suasananya seperti menghadiri konser artis papan atas, ada yang berteriak menawarkan barang dagangan nya. “Jeruk Sekilo 5 ribu Bapak/Ibu hanya 5 RIBU!! Baru dipetik langsung dari pohon nya, mari merapat sebelum diserbu sama yang lain. “ Ditambah dengan drama ibu - ibu berebut pakaian. Meskipun begitu, Selena tetap tersenyum melihat kekompakan para rakyatnya nya karena antara makhluk asli Equistela dengan manusia mampu untuk saling bekerja satu sama lain.
Selena mencatat bagaimana suasana pasar yang ramai, banyak pembeli begitupun dengan tempat berdagang penjual masih sangat layak pakai, serta barang apa saja yang paling laku dijual.
“Oke deh, Selesai semuanya, sekarang kita bisa pulang!” ajak Selena.
Aletta tak langsung menjawab, ia memperhatikan ke satu titik, “Lihat disana, ada sekelompok para pedagang yang usianya sudah tak lagi muda. Dari tadi aku amati dagangannya sepi bahkan tak ada pembeli, padahal mereka menjual pakaian rajut hasil buatan tangan sendiri,” urai Aletta.
Selena kagum akan cara berpikir Aletta yang kritis, bahkan sekelas anggota kerajaan seperti Selena tidak melihat lebih jauh kondisi rakyat nya, Selena hanya mencatat bagian yang ia rasa butuh bukan yang rakyat butuhkan.
Dengan bantuan Aletta, Selena mengarahkan para pembeli yang lainnya untuk melihat dagangan para lansia dan alhasil semuanya habis terjual dalam waktu kurang dari 10 menit , terkadang hal spesial hanya butuh sekali dikenal sebelum menjadi viral.
“Aletta, hari ini kerjamu sangat bagus! Ayo kita pulang,” ajak Selena.
“Iya sekarang sudah semua, ayo kita pergi,” sahut Aletta, ia melangkah riang membawa satu kresek belanjaan di pasar tadi.
“Aletta, sehabis aku menyerahkan ini pada Rex, bagaimana jika kita menemui ayah mu?” lontar Selena.
Aletta terhenti, “Ayah ku? Kau benar - benar mengetahui nya Selena, aku menaruh harapan penuh padamu,” Aletta menggenggam erat tangan Selena, matanya seolah berkata “jangan kecewakan aku.”
Mereka berjalan pulang menuju kastil, Aletta menunggu di luar sedangkan Selena masuk untuk memberikan hasil survey nya kepada Rex.
“Ini sudah semua,” ucapnya ketus, Selena membalikkan pandangan dan segera berjalan cepat ke luar.
Selena menegur Aletta yang sedang jongkok termenung dengan satu tangan di pipi.
“Aletta, sudah siap untuk berpetualang?” Selena menunjukkan batu Ruby di genggaman nya pada Aletta.
“Untuk apa benda ini Selena …” timpal Aletta.
Tanpa menanggapi Aletta lebih lanjut, Selena mengeluarkan portal dan segera menyeret Aletta masuk.
“Ya Tuhan apa- apaan in—” .
Aletta hanya bisa ternganga saat berada dalam lorong waktu yang terus memutar dirinya sampai mengeluarkan mereka di sebuah tempat yang menurut Aletta sangat aneh.
“Tempat apa ini? Kenapa rasanya ada sinar panas yang perlahan memanggang kulitku dan kenapa rumah disini terlihat seperti masa depan,” cetus Aletta tak henti menanyai Selena.
“Yang kau rasakan itu adalah matahari, bentuk rumah ini yang dinamakan modern,” jawab Selena.
Aletta mengangguk pelan, setiap perkataan Selena seperti irama yang dicerna baik di telinga dan kemudian tersimpan pada otak.
“Buku gratis, buku gratis, bulan ini khusus seri psikologi! Dipilih - dipilih, tua muda semuanya perlu meningkatkan literasi!” Sorak pak Ale yang sedang menjajakan buku - buku yang ia bawa dalam bak mobilnya.
Selena tersenyum memperhatikan Aletta kemudian menoleh lagi ke pak Ale.
“Kenapa sih Selena! Dimana Ayah ku sekarang.”
Selena memanggil pak Ale, memberhentikan mobilnya tepat depan Selena dan Aletta berdiri saat ini.
“Pak Ale, ayo kesini sebentar kesini,” pinta Selena.
Pak Ale datang mendekati mereka, Selena sedikit menggeser posisi agar pak Ale bisa langsung menatap Aletta.
Selena sudah kegirangan sendiri sedangkan, pak Ale dan Aletta hanya memandang Selena bingung.
“Aletta, pak Ale adalah ayah mu dan pak Ale, Aletta adalah putrimu. Coba ingat, kalian ini adalah Ayah dan anak,” Selena berusaha menjelaskan sesingkat mungkin agar mereka bisa langsung mengenal.
Keduanya saling menatap parau, Aletta memperhatikan pak Ale dengan tatapan bingung penuh curiga, sementara itu pak Ale diam seribu bahasa memperhatikan tanda lahir di tangan Aletta, ingatan pak Ale seperti nya mulai kembali walau hanya sedikit memori.
“Selena kita seperti nya salah menjumpai seseorang, Bapak ini juga tidak mengenal ku,” cetus Aletta yang hendak menarik Selena pergi.
Pak Ale mencegat Aletta, tanpa penjelasan hanya dengan satu nyanyian.
“Dunia mungkin bisa kacau, tapi bersama Ayah aku merangkai satu. Semua nya mungkin bisa berantakan, tapi bersama Ayah aku —” , tangis pak Ale pecah, tak sanggup melanjutkan kata yang hilang.
“Bersama Ayah aku aman. Ini masih Aletta nya Ayah kan!” keduanya menatap nanar satu sama lain.
Selena turut bahagia atas pertemuan Ayah dan anak ini, ia membayangkan dirinya adalah Aletta yang pada akhirnya menemui Ayah nya, suasana haru ini sangat menguras air mata sampai ketika ….
“Selena sedang apa disana?” panggil Lady tak jauh dari tempat mereka berada.
Suara Lady membuat air mata Selena tertarik ke atas kembali.
'Ibuu! Kenapa sih harus disaat seperti ini.’
Aletta menepuk pundak Selena pelan, “Selena, aku ingin berbicara lebih banyak lagi kepada Ayah ku sebelum kita pulang,” pinta Aletta.
Selena setuju karena saat ini ada sesuatu yang harus diurus oleh nya. Semua rencana Selena jadi berantakan begini, padahal dari awal sudah mulus — “Siapa yang menduga jika Ibu akan masuk dalam jalan cerita?” keluh Selena .
Lady menghampiri Selena dengan raut muka penuh keraguan, “Kamu kabur dari rumah bibi, ya?” bentak Lady.
“Enggak lah bu, Selena ada tugas kuliah buat wawancara warga desa makanya Selena datang ke sini.”
“Tapi tadi … ada yang nangis, itu kenapa?” timpal lady.
Lady terlalu banyak tertawa, Selena sebenarnya ingin diam saja, meskipun begitu ia tetap berusaha menanggapi ibunya.
“Temanku itu yang namanya Aletta menangis karena ketemu ayahnya yang sudah lama gak jumpa. Aletta ini kuliah di tempat aku juga, dia bentar lagi lulus jadi baru sempet ketemu Ayah nya,” urai Selena sedetail mungkin, berusaha menyembunyikan fakta dibaliknya, bagaimanapun juga Lady tak akan mengetahui soal hal ini.
“Sama kayak kamu ya nak, bedanya kita gak akan bisa lihat ayah lagi.”
“IBU … Selena kan masih punya Ibu untuk selamanyaa,” pungkas Selena memeluk ibunya sambil berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, tak banyak hal yang bisa dilakukan oleh Selena — pikiran nya terus saja mengingat akan dokumen yang harus ditemukan.
Tik tik tik.
Setiap gerakan jam membuat Selena merasa sangat gelisah, seperti ingin kabur namun dilempar ke dalam situasi tak mengenakkan ini.
'sudah pukul 15.00, kelas ku sudah dimulai bagaimana ini,’ batin Selena.
Lady sedang sibuk memasak pesanan, jika dalam keadaan begini biasanya lady tak akan terlalu memperhatikan keadaan orang disekitarnya.
Selena memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelinap berjalan ke luar seperti anak ayam, nungging dikit kayak ninja tapi malah nyenggol vas bunga.
GLODAKK!
Ambruk sudah vas bunga kesayangan Lady, Selena berlari kecil berbisik pada diri sendiri.
‘Gagal stealth mode, tapi bodo amat lah! Yang penting bisa nemuin dokumen nya.
Kabur? Bukan. Selena cuma izin teleportasi ke dunia lain pakai imajinasi.
Kaki Selena berpacu pada detik, melangkah tergopoh-gopoh menuju ruang Pak Ale —menandakan ada urgensi yang tidak dapat ditunda.
Selena segera menanyakan kepastian dokumen yang diinginkannya, ia tak memiliki lebih banyak waktu. Rex dan Anne mungkin sudah menunggu mereka sejak siang tadi.
“Pak Ale, soal buku yang Bapak pernah tulis, apakah ada dokumen yang bersangkutan dengan buku tersebut?” tanya Selena cemas, napasnya tercekat ditambah giginya yang tak ada henti menggerogoti kuku.
Pak Ale menatap kosong ke Arah jendela, pikiran nya melayang , mencoba menggali jawaban dari pertanyaan yang menggantung di benaknya.
“Saya ingat, ada satu dokumen yang saya tulis tepat saat malam perayaan ulang tahun Equistela yang ke 91. Saat itu semua orang menentang dan mencemooh saya karena satu catatan kecil itu, bisa saja saya tak melanjutkan menulis namun mimpi itu terus menghantui hingga akhirnya dengan segala resiko yang akan saya tanggung, dokumen tersebut jadi,” urai pak Ale.
Penjelasan pak Ale masih belum memberikan spesifikasi tentang jawaban yang diinginkan Selena.
“Lalu, ada dimana dokumen tersebut sekarang pak?” sanggah Selena.
“Sesuai perintah Raja, saya menaruh dokumen tersebut di kamar sang putri masa depan. 2 hari lagi adalah perayaan ulang tahun Equistela yang ke 100, sebuah bencana besar akan terjadi.”
‘Sang putri masa depan? Mungkin yang dimaksud adalah aku, namun dokumen itu sama sekali tidak terlihat di kamar ku!’
Selena berpamitan kepada pak Ale, bersama Aletta mereka segera kembali ke Equistela, mengusut tuntas malam ini juga.
Dimana sebenarnya dokumen itu? Anne dan Rex menjadi orang pertama yang akan diinterogasi.