Loading...
Logo TinLit
Read Story - Academia with Adventure
MENU
About Us  

Nanar namun idealis, jujur saja cara Aletta memandang parau Selena setelah mendengar hal itu membuat dirinya takut, ditambah lagi dosen killer yang banyak tanya juga terus menginterogasi Selena, semakin menambah tegangnya keadaan.

“Tolong bawa ayahku kembali, Yang Mulia, atau setidaknya biarlah aku yang menjumpainya,” pinta Aletta, matanya memelas penuh harap di hadapan Selena.

Selena tak ingin langsung menjawab, karena salah satu kata saja, tersebar sudah hal yang selama ini diincar dan dirahasiakannya, seperti daun yang terbang tertiup angin.

Entah refleks atau memang sengaja, dosen yang menghampiri Selena tadi membentak Aletta dengan satu tebasan penggaris di pipinya.

“Dasar tidak waras! Jangan dengarkan dia, orang ini memang dari dulu suka membicarakan hal-hal tak masuk akal.”

Di antara banyaknya manusia dalam ruangan ini, tak ada yang berekspresi satu pun, seolah hal ini sudah biasa terjadi.

Aletta diseret oleh salah satu penjaga dari gerbang kastil menuju ke suatu tempat yang Selena tak tahu persis.

“Kenapa Aletta harus dibawa pergi, dan ke mana?” tanya Selena.

“Aletta itu memang sudah mengalami keterpurukan mental sejak masih duduk di sekolah menengah pertama. Selama ini kami selalu memakluminya, namun lama-kelamaan dia seperti sudah tak terkendalikan lagi. Aletta akan dibawa ke satu ruangan khusus untuk diterapi,” urainya.

“Singkatnya dia GILA,” tambah salah satu anak.

Selena sama sekali tak menyalahkan Aletta, bahkan di lubuk hati yang tak dapat terkatakan oleh Selena, ia justru menyadari cara orang-orang memperlakukan Aletta sama seperti saat Selena masih SMP dulu. Bedanya, Selena punya ibu yang selalu protektif padanya. Selena benar-benar paham dan mengerti perasaan Aletta saat ini.

‘Dia bukan gila, hanya butuh tempat untuk bercerita.’

Selena membuka suara dengan lantang, menyampaikan ini ke hadapan semua orang, “Ada hal yang kita anggap berbeda atau menyimpang namun justru spesial di mata orang lain. Aletta itu mungkin berbeda, namun pikirannya jauh lebih waras dari kalian yang dianggap normal ini. Tanpa memperdulikan latar belakang saya, Aletta yang menyambut secara ramah, sedangkan kalian? Bersikap tak acuh.”

Seketika ruangan hening, tak ada satu pun mahasiswa, bahkan dosen, yang berani membantah atau berkutik atas pernyataan Selena tadi.

Sesi diam-diaman ini berlangsung kurang lebih 15 menit hingga aba-aba dari aula memanggil Selena untuk segera datang.

“Aku harap kalian mendapatkan renungan yang cukup jelas pada perkataanku yang hanya seutas.”

Selena meraih bukunya, berjalan keluar meninggalkan ruang kelas menuju aula.

Satu meter lagi kira-kira jaraknya menuju aula, Selena sudah bisa mendengar dengusan amarah seseorang. Tentu saja, itu Rex menghampiri Selena duluan, membawa gulungan kertas yang ia dan Anne berikan beberapa hari lalu.

“Apa ini, Selena?” tanya Rex.

“Matamu bermasalah ya? Jelas sekali ini kertas,” sosor Selena.

Anne terkekeh kecil memperhatikan tingkah mereka berdua, sepertinya Rex salah berucap kali ini.

“Kenapa tidak segera memberitahu kami jika tulisan di gulungan kertas ini sudah engkau ketahui!” seru Rex.

Selena segera mengecek tasnya, karena ia benar-benar yakin bahwa ia telah membawanya. Ternyata cerita punya cerita, Selena salah memasukkan kupon belanjaan yang warnanya mirip dengan gulungan kertas tersebut.

“Sebenarnya aku ingin memberi tahu kalian berdua, hanya saja menunggu waktu yang pas dan sekaranglah waktunya,” Selena menjelaskan panjang kali lebar semua seluk-beluk dan detail kejadian mulai dari tak sengaja menemukan buku hingga pertemuannya dengan Aletta.

“Aku belum pernah mendengar orang yang bernama Palerua,” pungkas Rex.

“Nama aslinya itu, jika tidak salah, Fernandes Aletto, namun ia menulis buku dengan nama pena Palerua. Buku beliau yang terkenal akan kontroversialnya hingga menimbulkan konflik di Equistela 9 tahun yang lalu. Katanya sih ya, tapi ini katanya loh ya … kehilangan raja itu semua sudah tersurat dalam buku yang ditulisnya,” jelas Anne.

Cara Anne menjelaskan mengenai semua ini semakin membuat Selena curiga, rasanya tak ada yang bisa dipercaya — semua orang punya sesuatu untuk dirinya pribadi.

“Sepertinya kau tahu banyak ya, Anne,” goda Rex.

“Tidak! Hanya itu yang ku ketahui karena mendengar beberapa gosip dari warga saat di pasar,” seloroh Anne.

Rex berjalan mundur, mengambil sesuatu dari dalam laci dan memberikannya kepada Selena. Sebuah bros yang indah, persis seperti Ruby milik Selena dulu.

“Semua hal ini sudah membuktikan bahwa engkau memang keturunan raja sejati. Aku yakin tak lama lagi, melalui keuletan Selena, raja akan segera naik takhta lagi,” sanggah Rex sembari memberikan bros tersebut ke tangan Selena.

“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Anne.

“Untuk saat ini tak ada. Sudah memasuki waktu petang kan, aku hanya ingin beristirahat.”

Bohong. Terlalu banyak kepura-puraan di sini. Selena sebenarnya ingin menemui Aletta, bukan tanpa alasan Selena menyembunyikan hal ini, ia hanya ingin mencoba caranya sendiri tanpa campur tangan mereka.

Rehabilitasi! Aletta ada di situ saat ini. Tempatnya sangat tidak layak untuk manusia, katanya tempat untuk terapi — ini lebih seperti penjara. Harusnya tempat itu bisa menenangkan jiwa, namun justru membuat sengsara. Tak ada alas tidur atau bantal, hanya batu yang dibentuk memanjang dan lebar. Bahkan sangkar burung lebih baik dari hal ini. Untuk penerangan saja hanya mengandalkan cahaya bintang pada malam hari.

Jika pagi dan siang hari maka hanya akan terlihat kegelapan tanpa celah.

Penjelasan di atas tidak terbalik, memang seperti inilah di Equistela.

“Aletta … Aletta bisa dengar suaraku, kan!” geming Selena.

Aletta, yang saat itu sudah dilanda depresi dan hampir merobek kulitnya dengan kaca yang ada di tangan, mengurungkan niatnya hanya karena panggilan Selena.

“Itu Selena ya! Itu pasti dia … Aku harus hidup untuk menemui Ayah!” gumam Aletta bersemangat.

Terkadang, hal yang menurut kita sepele justru spesial buat orang lain, bahkan bisa jadi penyambung hidup bagi dirinya. Jangan sungkan ya berbuat kebaikan pada sesama. Ingat! Satu tindakan adalah bagian dari kepedulian.

Selena mendapati Aletta yang sedang dalam keadaan berdiri, mencari dirinya.

“Ya ampun Aletta, ayo kita keluar dari sini!” ajak Selena membawa Kansa pergi ke kamarnya.

Selena menyajikan secangkir teh hangat di samping Aletta.

“Meminum teh akan membuatmu merasa lebih tenang, coba ceritakan semuanya kepada ku.”

“Panjang ceritanya,” pekik Aletta.

Selena tertawa, merasa sedikit lega, akhirnya Aletta tak sesegukan lagi. “Ya sudah, kasih tahu singkatnya aja. Aku siap mendengarkan segalanya!” Itu yang keluar dari mulut Selena, namun sebenarnya ia ingin informasi lebih tentang Pak Ale untuk menyempurnakan rencananya.

Aletta menyampaikan seluruh unek-unek dan kekesalannya tentang bagaimana perlakuan orang lain terhadapnya, rasa rindu akan ayahnya.

“Terima kasih karena telah berani jujur. Aku akan berusaha untuk mempertemukanmu dengan ayahmu,” janji Selena.

Mata Aletta berbinar, memancarkan harapan yang selama ini tertimbun penderitaan.

Mungkin dengan pertemuan ayah dan putrinya itu, ingatan Pak Ale bisa kembali dan aku juga bisa segera menemukan dokumen itu.’

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
49      47     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...
Halo Benalu
1407      600     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.