Perkataan terakhir Rex membuat Selena teringat akan ayahnya, padahal ia tak pernah serindu ini. Sepulang sekolah kira-kira pukul 2 tepat, Selena biasanya berjalan pulang bersama Kansa.
“Selena, kamu udah punya baju belum untuk prom night besok malam? Beli sekarang, yuk!” ajak Kansa bersemangat.
Namun, Selena hanya terdiam. Pandangannya fokus ke satu titik, tapi kakinya terus melangkah. Kansa yang memperhatikan tingkah Selena sedari tadi lantas bingung.
“Eh, kamu kenapa sih, Sel? Dari tadi bengong aja. Udah, tenang, kalau soal uang serahin ke aku. Gampang itu mah,” ujar Kansa seraya menggandeng Selena.
“Kamu percaya nggak sih sama adanya sihir?” pekik Selena pelan kepada Kansa.
“Hmmm, mulai... mulai... halunya,” sahut Kansa ketus.
“Aku serius, Kansa! Ayahku juga menghilang saat mencoba melakukan percobaan sihir pertamanya!” sentak Selena.
“Selena, ayolah. Kita semua tahu ayahmu tiada karena kecelakaan. Maaf, Sel, aku harus ucapin ini di depan kamu,” tutur Kansa.
“Iya, nggak apa-apa. Semua orang juga sama,” jawab Selena ketus. Ia berjalan mendahului Kansa.
Apa yang membuat Selena begitu tertarik dengan dunia sihir?
Sesampainya di rumah, Selena mendapati rumah kosong. Ini berarti ibunya belum pulang. Ia memanfaatkan kesempatan ini untuk pergi ke loteng. Entah kenapa, ibunya selalu melarang Selena untuk pergi ke tempat itu. Ia pun naik ke loteng, mencari benda-benda peninggalan ayahnya.
“Aku harus menemukan suatu petunjuk,” bisik Selena dalam hati.
Sudut demi sudut Selena perhatikan sebaik mungkin. Banyaknya debu di loteng itu tak menghentikannya mencari petunjuk. Namun… ia masih saja tak menemukan apa pun.
“Lima menit lagi ibu akan pulang. Aku harus bergegas pergi dari sini,” ucap Selena panik.
Ia berjalan terburu-buru sampai kakinya terluka karena terkena tusukan bros.
“Aduh! Apa ini?” Awalnya Selena tak memperhatikan, hingga lampu senternya jatuh dan menyoroti bros yang ternyata melambangkan sesuatu. Bentuknya seperti sebuah tongkat dan topi, dipadukan oleh warna emas yang membuatnya semakin mewah. Ditambah detail kecil berupa tulisan yang tak dimengerti Selena, memberikan kesan misterius pada bros tersebut.
“Apa ini? Bagus juga. Aku bawa saja lah. Mungkin ini punya Ibu. Akan kupakai saat prom night besok malam.”
Awalnya Selena sedikit kecewa karena tak mendapatkan petunjuk apa pun. Meskipun begitu, ia tetap ingin mendengar pernyataan Rex besok malam.
“Selena, Ibu pulang. Tolong bukakan pintunya,” ujar Lady dari depan.
“Eh, Ibu sudah pulang. Ibu dari mana?” sambut Selena sembari membukakan pintu untuk ibunya.
“Lihat, Ibu membawakanmu sebuah gaun indah, kan? Hari ini Ibu dapat diskon besar-besaran!” tutur Lady kegirangan.
Senyum Selena merekah, melihat ibunya begitu bahagia.
Selena kembali ke kamarnya dan mencoba membersihkan bros tersebut agar terlihat mengkilap saat dipakai.
“Nah, selesai. Ternyata bros ini oke juga.”
Beberapa menit kemudian, Selena tertidur dan meninggalkan bros itu di samping jendelanya yang masih terbuka. Tidur Selena tampaknya sangat pulas. Bagaimana tidak? Ia bangun hampir menjelang malam. Jika tidak dibangunkan Lady, Selena mungkin sudah masuk ke alam mimpinya.
“Astaga! Sudah setengah tujuh! Oh iya, mana bros-nya, ya?” Selena mencari bros itu di sekeliling tempat tidurnya, di dekat jendela, tapi masih saja tidak ada.
Ia tak menyadari bahwa bros itu sudah diambil Lady.
“Ibu lihat brosku nggak? Tadi ada di sini, loh!” teriak Selena dari tempat tidurnya.
“Bros ini milikmu? Bagus juga ya. Beli di mana ini?” tanya Lady seraya memperhatikan bros mewah itu.
Mendengar itu, Selena awalnya merasa bingung. Jika ibunya bertanya seperti itu, berarti bros ini bukan miliknya. Selena lantas mengambil bros itu dan berkata, “Iya dong, ini adalah bros paling mewah se-Kota Requista dan dirancang khusus hanya untuk Selena seorang!” seru Selena mencoba menggoda ibunya.
Namun bukannya tertawa atau tersenyum, mendengar itu Lady langsung terdiam seribu bahasa. Sampai akhirnya ia berkata, “Perkataanmu mengingatkan Ibu pada ayahmu, Selena. Ia pernah mengatakan akan membuatkan Ibu benda yang dirancang khusus hanya untuk Lady seorang. Kau benar-benar duplikatnya,” tutur Lady kepada Selena.
“Ibu, bener kok. Bros ini Selena beli dari abang-abang yang jualan perhiasan,” Selena mencoba menyembunyikan identitas bros itu.
“Benarkah? Hahaha... ya sudah. Kamu mandi saja dulu,” seru Lady.
Selena bergegas mandi dan sesaat setelah itu, ada telepon masuk ke handphonenya.
“Siapa ini ya? Nomor nggak dikenal. Yaudah lah, angkat aja,” gumam Selena.
Selena:
Halo, siapa ya?
+62*******11:
Saya Rex. Prom night-nya akan dipercepat jadi malam ini, dan akan dimulai pukul 21.00. Karena ada beberapa urusan, saya baru sempat memberitahu Anda sekarang. Terima kasih.
Selena:
Apa? Nggak jelas banget sih nih orang. Hei eh, teleponnya dimatiin...
Tak lama dari percakapan itu, Selena memeriksa pesan yang terkirim kepadanya. Ternyata sejak siang tadi sudah banyak teman-temannya yang memberi tahu bahwa prom night dipercepat, termasuk Kansa yang sudah mengirim pesan spam sebanyak 99 kali.
“Wah, gawat! Aku yang salah ini. Aku harus bergegas. Pokoknya aku harus ikut! Ibuuu!” teriak Selena dari kamarnya.
Sementara Selena memakai riasan, ibunya menata rambutnya.
“Oke, udah cakep itu. Saatnya pergi. Selena, cepat! Mau pergi atau tidak?” ujar Lady dari depan rumah, sembari menyalakan klakson mobilnya.
“Iya, Bu! Iya, tinggal bawa sesuatu ini,” sahut Selena dari kamarnya lalu bergegas masuk ke mobil.
“Kamu ini emang ada-ada saja ya gebrakannya. Prom night tinggal satu jam lagi, kamu malah baru kabarin Ibu,” Lady memarahi Selena di dalam mobil.
Selena yang melihat raut kesal ibunya hanya terkekeh kecil.
Sesampainya di sekolah, sepertinya Selena sudah terlambat karena seluruh siswa telah berada di aula sekolah.
Ia berlari hingga langkahnya terhenti, lalu mulai berjalan pelan di antara kerumunan, mencari Kansa, berharap tak ada yang menyadari bahwa ia terlambat. Namun, ekspektasi selalu berbanding terbalik dengan hasilnya. Lampu sorot malah mengarah kepada Selena. Hal itu membuat semua orang memperhatikannya. Ia hanya bisa terdiam di tempat dengan senyum kikuk.
“Eumm... hai semua. Cuma mau lewat aja kok, hehehe,” ujar Selena lalu berlari menemui Kansa.
Semua orang hanya tersenyum. Karena, apalagi yang bisa dilakukan? Tertawa? Oh, jangan harap. Karena siswa Athalyn High School sangat menjunjung tinggi sikap menghargai.
“Aduh, kenapa aku ceroboh ya?” ucap Selena pelan kepada Kansa.
“Selena, kamu ketiduran ya? Aku spam berkali-kali, tetap nggak dibalas,” tutur Kansa.
“Iya, iya. Diamlah kau, berbicara terlalu keras. Aku jadi malu, tau,” lirih Selena kepada Kansa.
“Ini mulainya lama lagi, kan ya? Kok tiba-tiba banget sih?” tanya Selena.
“Iya aman, lama lagi kok. Cuma ya aku sengaja ngasih tahu Rex kalau waktunya dipercepat biar kamu cepet datangnya. Kalau soal kenapa dipercepat, aku juga nggak tahu ya,” sahut Kansa.
Selena terus memperhatikan sekelilingnya, entah di mana kira-kira Rex berada. Ia masih ingin tahu keberadaan ayahnya. Hingga matanya menatap ke atas aula dan melihat sosok berjubah merah.
“Aneh, ke prom night kok pakai jubah? Dikira vampir kali ya...” gumam Selena, lalu naik ke atas aula untuk menjumpainya.
Selena mendapati Rex berdiri membelakanginya.
“Aku di sini. Di mana Ayahku?” tanya Selena.
Ketika Rex berbalik, pandangannya tepat tertuju ke bros yang ada dalam genggaman erat tangan Selena.
“Bros itu... dari mana?” alisnya terangkat saat mengatakan itu.
“Oh, ini dari loteng. Udah, jangan mengalihkan topik. Katakan saja, apa kau ini berbohong?” Selena mulai mencurigai Rex.
Dengan tenang Rex hanya menjawab, “Ayahmu masih hidup, tapi tidak di dunia ini. Pakai saja bros itu, mungkin saja semesta mengizinkan kamu menemuinya.”
“Dasar pembual. Menemuimu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku,” sentak Selena lalu melangkahkan kakinya pergi.
Namun sebelum langkahnya semakin jauh, Rex melantunkan permainan kata.
“Kenapa? Tidak berani memakainya ya? Apa jangan-jangan itu bros sakti?”
Sejuta pertanyaan dilontarkan Rex, mencoba membuat Selena memakai bros itu.
Selena kembali berbalik. Matanya seakan berkata, “Siapa takut?” Lalu ia memakai bros itu.
“Nah, tidak ada apa-apa kan? Sudah ya, jangan ganggu aku lagi,” sentaknya lalu melanjutkan langkahnya.
Rex hanya menyeringai, lalu menghitung mundur, “3... 2... 1... mission complete.”
Selena tiba-tiba terdiam. Tubuhnya terpaku, langkahnya membeku seperti ditahan oleh kekuatan tak kasat mata. Matanya membelalak—dunia di sekitarnya mulai memudar. Suara musik prom night yang riuh berubah menjadi gema yang jauh... lalu hening. Pandangannya perlahan memutih, hingga semuanya lenyap. Kosong. Hanya ada terang. Dan…
SRET!
Sebuah cahaya tajam berwarna biru keperakan melesat seperti ekor meteor dari langit aula, menyambar Selena tanpa menyentuhnya, tapi membungkusnya. Dalam sekejap, tubuhnya terangkat ringan, melayang, lalu menghilang dari bumi seakan ditelan langit.
Selena menutup mata. Ia merasakan angin, tapi tidak dari kipas atau cuaca. Ini angin antarbintang dingin, sunyi, namun terasa… hidup. Saat ia membuka matanya perlahan, dunia yang ia kenal sudah tak ada.
“Hah… ini…?”
Ia berdiri di tempat yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Bukan tanah, bukan langit, bukan bumi. Tapi sebuah dimensi… tak bernama.
Di sekelilingnya, planet-planet berputar lambat, mengorbit satu sama lain, seperti tarian semesta. Bintang-bintang berpendar dekat, seolah bisa diraih hanya dengan menjulurkan tangan. Di bawah kakinya terbentang jembatan cahaya ungu, seakan menggantung di antara galaksi.
“Aku… di mana?” ucap Selena pelan. Suaranya menggema, dan anehnya… seperti diterjemahkan oleh udara itu sendiri.
Sosok-sosok mulai muncul, satu per satu, melayang pelan dari kabut bintang. Mereka… bukan manusia biasa. Mata mereka bercahaya seperti berlian cair. Kulit mereka mengkilap, seperti kaca yang menyerap warna langit. Tapi ada sesuatu yang aneh mereka terlihat seperti karakter dalam novel fantasi favorit Selena, seolah pikirannya telah ditarik ke dalam lembar cerita yang selama ini hanya ia baca sebelum tidur.
Selena gemetar. Namun bukan karena takut—melainkan karena terpesona.
Ini bukan mimpi.
Ini awal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan… tapi akankah Selena berhasil kembali pulang?