Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
MENU
About Us  

***

Ketuk-ketukan sepatu, geladak-geluduk roda koper Kaur dan Wilona terdengar beriringan mengikuti Kurcaci yang mengaku bernama Dam. Mereka berjalan di koridor yang jaraknya beberapa meter dari sebuah lapangan hijau luas dan kosong. Sesekali Kaur akan melirik Wilona yang begitu hening, lalu pada Dam di depannya.

Ini pesertanya hanya aku dan si Kunti? Apa mungkin yang lain sudah kabur lewat jalan pintas, ya? Tapi di mana ....

“Tidak ada jalan keluar sejak gerbangnya ditutup ... jika itu yang kamu pikirkan sekarang.” Suara Dam datar dan tanpa emosi, menembus pikiran Kaur, seolah pria itu benar-benar bisa membaca pikirannya. Kaur lantas mendengus kesal, frustasi dan gelisah.

Atau lari saja? Kakiku lumayan panjang, sih. Kugetok kepala Kurcaci ini sampai dia teleng sedikit, terus kabur, deh.

Kaur mengusap dagu, berpikir keras. Ia mengambil ancang-ancang di kaki, memperkirakan kecepatan larinya. Sementara itu, Dam mendadak menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya dengan tatapan yang jelas-jelas mengisyaratkan: aku tahu apa yang kamu pikirkan.

“Eh? Apa?” Kaur otomatis tertawa kering, mengusap lehernya dengan canggung saat Dam kembali berbalik. “Cih, apa-apaan itu? Dia cenayang, kah?” gumamnya yang justru mendapat tolehan dari Wilona.

Di persimpangan koridor yang ternyata terbagi menjadi dua arah lagi, Dam berhenti. Jari pendek pria itu menunjuk arah kiri, melirik Kaur dengan tatapan kosong. “Kamu jalan ke arah sini, koridor panjang ini akan membawamu menemukan sebuah bangunan berbentuk zig-zag. Itu asrama khusus anak laki-laki. Sementara itu, aku akan mengantar dia ke asramanya.” Dam mengisyaratkan ‘dia’ sebagai Wilona yang masih bergeming menggenggam pegangan kopernya, tak menunjukkan tanda-tanda akan melarikan diri, seolah memang tak ada yang aneh dari situasi ini.

Tanpa sepatah kata lagi, Kaur menarik kopernya melewati Dam dan Wilona—langkahnya tergesa, hampir terlihat seperti terbirit. Ia benar-benar merasa cukup dengan semua lelucon aneh yang ia terima hari ini. Masih berharap jika tidur sebentar saja, ia akan bisa bangun dalam keadaan normal, kembali ke dunianya yang rapi dan teratur.  

“Ya Tuhan ... Ya Tuhan ....” Kaur mengelus dadanya sambil menghitung jumlah ubin koridor, sebuah kebiasaan yang memberinya sedikit rasa kontrol. Sungguhan tak berniat melihat sesuatu yang aneh lagi dengan mengedarkan pandangan, takut apa yang ia lihat membuat keadaan mental kian tergerus.

Jadi, ia berjalan lurus saja, lurus sampai akhirnya ia berhenti di sebuah gedung yang tak kalah aneh. Bangunan asrama itu menjulang dua lantai dengan arsitektur zig-zag tak lazim menyerupai rubik berhambur—persis yang dikatakan Dam sebelumnya. Dinding luar terbuat dari perpaduan beton kasar dan logam berwarna abu-abu kusam, diselingi jendela trapesium yang berjejer untuk setiap kamar.

Kala itu, matahari sudah sepenuhnya turun ke barat. Menyisakan gigil malam yang merayap dan menawarkan rinding hingga ke tulang-tulang.

Sebelum mendorong pintu logam berat asrama, Kaur menyempatkan untuk menyemprot gagang pintu dengan antiseptik.

“Oh astaga, apa tidak ada bangunan yang normal di sini?” Kemudian, ia mendapati dirinya terjebak di lobi kecil yang minim pencahayaan dan terasa pengap, mengingatkan Kaur dengan kamar-kamar di asylum. Langit-langit rendah dengan pipa-pipa telanjang yang meneteskan embun dingin ke lantai beton. “Memang kurang anggaran.”

Ia melirik dua buah tangga baja—satu di sisi kiri dan satu di kanan, membelah lobi dengan masing-masingnya menuju arah lantai dua. Meski, desainnya memang cukup keren.  

Ia menghela napas lagi, kemudian menyemprotkan antiseptik sepanjang ia berjalan mencari nomor kamar seperti yang tertera di kunci yang ia pegang. Kadang-kadang ia akan mendengar jeritan dan tawa di balik pintu-pintu kamar, lagi-lagi menahan diri untuk tidak melongok dan mengintip sesuatu yang tak seharusnya dilihat.

Kamar nomor 205.

Kaur berhenti begitu melihat angka 205. Tatkala ia masuk ke dalamnya bak seorang maling amatir, sekilas Kaur pikir ia salah masuk ke gua kelelawar—gelap juga suram. Atau mungkin lokasi syuting horor lokal dengan properti seadanya. Tidak ada kesan homey sama sekali, tidak ada lilin aroma terapi yang menenangkan, bahkan kasur dan bantal berbau cuci bersih yang menggoda untuk merebah. Hanya ada dua ranjang terpisah masing-masing—merapat pada dinding putih dan dipisahkan oleh sebuah meja kecil di tengah yang penuh remah-remah tak dikenal, serta dua lemari pakaian dengan setengah pintunya sudah miring bak mengidap skoliosis.

Juga, bau. Tuhan, baunya.

Udara di dalam ruangan lebih suram daripada harapan hidup cicilan rumah 30 tahun. Ada sesuatu yang tertinggal di udara—jejak-jejak keberadaan manusia purba yang terlalu lama tidak bersentuhan dengan sabun dan deterjen. Bukan bau amis seperti di warteg murah. Bukan pula bau khas ruang tunggu rumah sakit. Ini adalah bau kombinasi busuk dari pakaian seminggu tidak dicuci, snack basi, dan kotoran telinga.

Malaikat Maut, ambillah aku sekarang juga!

Tapi ... tunggu sebentar. Setan apa yang baru saja merasuki orang ini?!

Sosok berambut gondrong dengan kaus lusuh dan celana pendek penuh noda yang entah apa, sedang duduk di ranjang sebelahb kiri sambil mengupil dengan sepenuh hati. Lebih parahnya, ia baru saja meletakkan hasil eksplorasi hidungnya di tepi kasur.

Mata Kaur berkedut menyakitkan.

“Hai, Kamerad!” Si manusia jorok itu menyambutnya dengan ekspresi polos, seolah tidak sadar bahwa dirinya adalah ancaman bagi umat beradab nan tertib seperti Kaur.

Kaur tersenyum kering. “Gelandangan dari mana?”

“Gue Kasar.”

Kaur nyaris tersedak ludah. “H-hah?”

“Kasar. Nama gue. Sekasar Hadi, dari Jakarta ke Yogya demi ikut kursus ini. Panggil aja Kasar.” Nama yang luar biasa ironis, mengingat rambut tampak lebih berantakan daripada sarang burung dan kulitnya penuh bekas garukan nyamuk.

Kaur benar-benar ingin menangis.

***

Lima belas menit berlalu, dan Kaur sudah mengalami berbagai guncangan mental.

Pertama, lemari pakaian Kasar lebih mirip tempat sampah tekstil. Ada kaus kaki mengeras, celana yang sudah berubah warna, bahkan ada semacam kain dalam yang tidak seharusnya terpapar udara bebas seperti itu.

Kedua, ranjang Kasar mengeluarkan bunyi aneh setiap kali ia bergerak. Entah karena pegasnya tua atau karena sesuatu yang lain.

Ketiga! Kasar punya kebiasaan luar biasa menjijikkan: menggaruk pusar dan mencium tangannya sendiri.

Oh Tuhan Yang Kuasa, inikah ujian yang harus dijalani demi menjadi dewasa?!

“Tegang amat lo,” sahut Kasar dengan tatapan menyidik.

Kaur mengerjap. “Aku tidak tegang.”

Kasar lantas mengangkat bahu. “Kelihatannya gitu. Lo kayak siap-siap nyemprotin gue cairan merica seperti di film-film.”

Memang!

Kaur berdehem, melepaskan botol antiseptik di belakang tubuhnya—yang bersiap ia semprotkan se-muka penuh pada Kasar. Namun, urung, ia mencoba menahan diri. Menarik napas, lalu mengeluarkannya perlahan, berusaha agar rohnya tidak ikut tertarik keluar dan mati konyol di sini.

Kaur menatap tempat tidurnya sendiri, menarik garis batas yang jelas dengan pensil sketsanya seraya mewanti pada Kasar agar tidak melewati teritorial masing-masing. Kemudian, dengan penuh perhitungan, ia menyusun seprai dan selimutnya. Harus lurus. Harus rapi. Harus sempurna. Mengatur barang-barangnya yang terlalu banyak di sisi lain ruangan, mencoba mengabaikan roman rinding di lehernya tatkala merasakan diperhatikan begitu lekat oleh Kasar.

Hening. Tidak ada lagi berbicara, dan Kaur pikir ia lumayan bisa tenang. Namun, lagi-lagi salah. Ia sepertinya terlalu cepat mengubah identitas Kasar sebagai bayangan belaka di pikirannya.

Kres. Kres. Kres.

Suara kunyahan itu membuat Kaur melirik horor, menginterupsi pekerjaannya. Ia melihat Kasar sedang makan keripik sambil duduk di kasurnya. Remah-remah berjatuhan di mana-mana; celananya, kasur dan di lantai.

Kres. Kres. Kres.

Dada Kaur mulai naik turun. Apalagi remahan keripik rupanya melewati garis yang baru ia gambar.

Sabar ... sabar ... sabar.

Kres. Kres. Kres.

Bibirnya mulai bergetar.

Kres. Kres. Kres.

Kaur mencengkeram bantalnya. Cukup sudah!

“Bisa tidak, kamu makan dengan lebih manusiawi?!”

Kasar kontan berhenti mengunyah. “Hah?”

“Remahnya ... di mana-mana! Di lantai! Di kasur! Dagumu tidak berlubang, bagaimana bisa kamu makan seperti itu?!” Histerislah Kaur. Kendati Kasar tampaknya tidak peduli. Ia bahkan sengaja mengambil sepotong keripik lagi, mengunyah lebih keras disertai kecapan yang bagi Kaur terdengar persis seekor sapi pada rumput-rumputnya. Kemudian, Kasar menaburkan remahan ke area meja yang baru saja Kaur bersihkan—jelas sebuah provokasi tak termaafkan.

Mata Kaur membeliak. “Kamu! Kamu benar-benar ... agh!” Ia kehilangan kata-kata, terlalu jijik dan marah untuk merangkai kalimat koheren. Tangannya otomatis menyemprot antiseptik lagi ke meja yang sekarang menurutnya terkontaminasi penyakit mematikan.

Aku bisa gila, aku bisa gila!! Aghh!

Aroma alkohol menyebar, membuat Kasar seperti mabuk udara hingga ia mulai kesal dan menusuk lagi titik emosi Kaur dengan berkata, “Wih, bersih banget! Jangan-jangan, lo mandi pake itu juga, ya? Berlebihan banget jadi orang.”

“Antiseptik!” Koreksi Kaur. “Dan aku tidak mandi pakai ini. Setidaknya, aku manusia bersih yang paham aturan. Tidak seperti kamu yang ... yang ... ewh!” Bergidik ngeri, mengamati jari-jari Kasar yang penuh bumbu keripik, sibuk menggaruk-garuk kulit, meninggalkan jejak kemerahan yang membuat Kaur ingin saja segera menggosok seluruh tubuh Kasar dengan cairan disinfektan. Rasa mual kembali menyeruak di perut Kaur.

“Heh, santai aja kali. Namanya juga asrama, bukan hotel bintang lima. Lagian, dunia ini emang kotor, Bro. Mau bersih kayak gimana juga, pasti ada aja kuman yang nempel. Makanya, mending santai dan bersahabat dengan mereka.” Kasar menguap lebar. Ia tak repot-repot menutup mulutnya, seolah etika kesopanan tidak pernah ada dalam kamusnya yang mungkin sudah diisi dengan berbagai partikel korotan yang mengendap ibarat bola-bola permen karet bercampur sampah milik Patrick.

Prinsip macam apa pulak itu? Bersahabat dengan kuman?!

“Ini bukan masalah hotel atau asrama. Ini kebersihan dasar, kesehatan! Kamu tidak jijik hidup di antara ... ini semua?!” Kaur melambaikan tangannya ke sekeliling kamar yang berantakan, pada noda berkerak di sisi Kasar—padahal seharusnya ini justru baru hari pertama mereka tinggal di sana, juga pada bau menyengat yang makin lama semakin membuat Kaur pening bukan main. “Sudah berapa lama sebenarnya kamu tinggal di kamar ini?!”

Kasar mengedikkan bahu. “Entahlah ... mungkin sehari? dua hari? Dan, jangan sebut teman-temanku menjijikkan. Mereka semua punya nama.” Kasar menunjuk satu-persatu sampah-sampahnya. “Kaos kaki ini namanya Nunu, bungkus chiki ini namanya Luna, yang ini—“

“Oke-oke! Cukup. Aku tidak mau  mendengar ocehanmu lagi. Tutup saja mulutmu itu.” Kaur meringis dan mendengus, berbaring perlahan di ranjangnya dengan hati-hati ibarat tengah melakukan ritual sakral. Ia memunggungi Kasar—lebih baik begitu, ketimbang dirinya naik pitam lagi.

Sreett ... sreett!

Suara kresek samar terdengar, menarik perhatian Kaur. Ini berbeda dari kunyahan brutal keripik Kasar, melainkan bunyi statis yang ia tebak berasal dari speaker usang di sudut atas ruangan, tepat di dekat plafon yang sedikit retak. Sementara lampu neon redup di langit-langit berkedip sekali, lalu kembali meredup, menambah tekanan keanehan yang membuat Kaur maupun Kasar menahan napas sejenak.

Aku jadi curiga ini memang lagi syuting survival di pedalaman tak berpenghuni, batin Kaur bersuara dalam benak di tengah kegusarannya.

Kemudian, suara bariton yang tegas dan tanpa kompromi menggelegar dari speaker, memenuhi setiap sudut kamar—merembet pula ke seluruh lobi asrama. Suara yang Kaur kenali milik Inspektur Mo, membangkitkan kembali ingatan tentang puding karamel tak masuk akal yang merayap di lantai.

“Kepada seluruh peserta kursus. Besok pagi, tepat pukul 06:30, semuanya sudah harus berkumpul di aula utama. Seragam lengkap sudah disiapkan di loker khusus yang ada di asrama masing-masing. Selamat malam.”

“Astaga ....” Kaur menarik napas panjang, berbaring menyamping menghadap dinding. Suara angin malam yang menyelinap lewat ventilasi terdengar pelan-pelan seperti bisikan sunyi, sementara langit-langit ruangan tetap redup tak bersahabat. Selimut yang sudah ia rapikan berkali-kali tak juga memberi kenyamanan. Setiap gerakan kecil di tempat tidur terdengar keras—seolah kasurnya terbuat dari tulang belulang yang menolak kehadiran tubuh manusia.

Ia memejamkan mata. Mencoba fokus pada hitungan mundur.

Tiga puluh ... dua puluh sembilan ... dua puluh delapan ....

Namun, justru di tengah sepi itulah pikirannya melayang. Membawa ingatannya kembali ke kamar kecil beraroma lavender tempat ia biasa tidur di rumah lama bersama ibunya. Tempat itu—hangat. Aman. Dan, yang paling penting, bersih. Ibunya selalu memastikan seprai diganti dua kali seminggu, bahkan bantal dicuci rutin dan dijemur hingga wangi matahari.

Kadang, di malam-malam sulit tidur, ibunya akan datang membawakan segelas susu panas. Ia akan duduk di tepi tempat tidur, mengelus rambut Kaur sambil bercerita—entah tentang dongeng aneh yang disusunnya sendiri, atau sekadar kisah masa kecilnya yang penuh kenakalan.

“Kalau kamu sulit tidur, coba bayangin kamu lagi mengelus awan,” begitu suara lembutnya. “Tenang. Lembut. Pelan-pelan kamu akan sampai ke mimpi.”

Kaur menahan napas. Matanya masih terpejam, tetapi sudut-sudutnya mulai terasa perih. Ia rindu, terlalu rindu untuk sekadar bisa mendeskripsikan rasanya dengan kata-kata.

Aku benci mengingat ini. Tapi itu satu-satunya hal baik  yang bisa kuingat darimu selain hari itu ....

Tatkala ia mulai tenggelam dalam rasa hangat itu, suara menggelegar pecah dari sisi kasur sebelah.

“Ngrokk ... Hhgrhh ....”

Kaur membuka mata perlahan.

Tunggu.

Ia menahan napas. Mencoba menyangkal. Mungkin itu suara saluran air? Atau mungkin suara angin?

“Prhhkkhh ... Hghrrhh ....”

Tidak. Itu bukan suara angin.

Ia menoleh, seolah mengintip monster dari balik selimut. Dan, benar saja—Kasar telah terlelap, telentang seperti bintang laut kehausan, mulutnya menganga, dan dari rongga itulah muncul suara aneh.

Kaur nyaris tidak bergerak, tubuhnya membatu. Ia menyipitkan mata, mencoba mengerti pola dengkuran itu. Ada jeda. Kemudian ledakan. Lalu getaran mendesis seperti ular dicekik galon air.

“Ya ampun ...,” desisnya lirih, hendak menangis. Ia kemudian duduk, menatap seisi kamar yang sunyi; kecuali dari suara  horor yang tengah berlangsung di ranjang sebelah.

Kasar ngorok.

Bukan ngorok biasa. Itu adalah level ngorok yang bisa membuat genteng copot jikalau berlanjut semalaman. Level yang bisa membuat petugas bandara salah sangka ini suara mesin pesawat mendarat darurat.

“Ya Tuhan, ini percobaan penyiksaan, kan?” lirih Kaur, memeluk bantal.

Ia mencoba menyumpal telinganya dengan gumpalan tisu, dan tidak berhasil. Ia mencoba tidur miring ke sisi yang lain, justru terdengar lebih jelas. Seperti speaker surround.

Satu sisi dirinya ingin membangunkan Kasar, tapi sisi lainnya takut kalau manusia itu akan bangun sambil mengucap mantra aneh atau malah mengupil pakai jari kaki. Ia terdiam, mematung.

Tak ada lagi ketenangan dalam hidupnya sejak ia menginjakkan kaki di tempat aneh itu. Yang ada hanya dengkuran, dan bau chiki basi yang masih tertinggal di udara.

Kaur kembali membaringkan diri pelan-pelan, menutup telinga dengan tangan dan bantal, mencoba pasrah pada takdir.

“Ini baru hari pertama, Ka. Baru hari pertama ...,” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi rasanya sudah seperti akhir dunia. Aghh!”

***

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • innda_majid

    Semangat kak Rupa!

    Comment on chapter 00 - Prolog
  • zetamol

    Kaur, kamu bisa buktikan kamu juga bisa jadi dewasa ke ayahmu. Cari bahan cicilan sekarang juga

    Comment on chapter 00 - Prolog
Similar Tags
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3159      1170     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Our Perfect Times
1139      770     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Dimension of desire
236      193     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
542      377     0     
True Story
Pertemuan tokoh pelajar yang menyimpan teka-teki kehidupan. Sekolah futuristik, tempat pendidikan favorit di generasi Superiormempertemukan sejumlah para pelajar jenius dari berbagai tempat, saling bersaing, juga mempelajari berbagai hal dalam sebuah sistem. Bercerita tentang "Pengenalan Diri Sendiri & Lingkungan"
Time and Tears
315      242     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
When Flowers Learn to Smile Again
1026      745     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
The World Between Us
2418      1041     0     
Romance
Raka Nuraga cowok nakal yang hidupnya terganggu dengan kedatangan Sabrina seseorang wanita yang jauh berbeda dengannya. Ibarat mereka hidup di dua dunia yang berbeda. "Tapi ka, dunia kita beda gue takut lo gak bisa beradaptasi sama dunia gue" "gue bakal usaha adaptasi!, berubah! biar bisa masuk kedunia lo." "Emang lo bisa ?" "Kan lo bilang gaada yang gabis...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
97      86     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
NEET
551      400     4     
Short Story
Interview berantakan bukan pilihan. Seorang pria melampiaskan amarahnya beberapa saat lalu karena berkali-kali gagal melamar pekerjaan, tetapi tidak lagi untuk saat ini, karena dia bersama seseorang. Cerita ini dibuat untuk kontes menulis cerpen (2017) oleh tinlit. NEET (Not in Education, Employment, orTraining) : Pengangguran. Note: Cover sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita...
Yu & Way
169      137     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...