***
Hilir mudik cemas, dentak-dentum jantung Kaur mengamati suasana bangunan kursus yang sepi.
Bukan jenis yang damai, juga menyenangkan seperti berada dalam perpustakaan, atau di bawah rindang pepohonan. Melainkan sepi yang mencekik erat saluran pernapasan Kaur, menekan dadanya dengan intensitas kemungkinan terburuk. Suasana di sekitar sunyi, tidak ada bangunan lain yang terlihat sejauh mata memandang. Hawa gigil merasuk ke sendi-sendi, benar-benar seperti berada di pedalaman tak berpenghuni.
Matahari sudah hampir sepenuhnya teleng ke barat, semburat rona di ufuk menerangi penglihatan Kaur kala ia mendongak pada plang besar yang sudah mengelupas dan kusam di antara tingginya pagar tembok beton yang mengelilingi. Meski begitu, huruf-hurufnya masih terbaca jelas:
KURSUS KILAT JADI ORANG DEWASA
“Mewujudkan Generasi Anti Menye-Menye”
Tak jauh darinya, berdiri seorang pria se-kaku patung penjaga makam.
Kontras dengan Kaur yang mengenakan biru denim setengah lengan bermotif lukisan Starry Night, celana kain, dan sepatu converse—seragam si Penjaga Gerbang sangatlah sederhana. Kemeja lusuh yang sudah mulai menguning di bagian kerah, celana panjang hitam ketat di betis, serta sepatu kulit tua yang terlihat seperti sudah melewati tiga dekade penuh penderitaan. Di saku dadanya, terselip sebuah pulpen yang tintanya sudah lama mengering, seperti tenggorokan Kaur sekarang.
Wajah pria itu dihiasi kumis tipis berbeda ketebalan, seperti seseorang yang pernah mencoba mencukur, tetapi menyerah di tengah jalan. Matanya cekung, mengawasi dengan sorot yang membuat orang sulit menebak, apakah ia bosan, lelah, atau sekadar kehilangan semangat hidup.
Hantu apa bukan, sih? Tapi kakinya napak tanah. Ih, apa aku harus lihat terbalik lewat kolong kakiku, ya?
Kaur menarik napas panjang, mengusir pikiran parnonya. Kemudian, mengambil dua-tiga langkah mendekat sambil menyeret koper dengan totebag terikat di pegangan.
Si Penjaga yang menyadari kehadiran Kaur, lantas menatap dari ujung kepala sampai ujung sepatu. Lalu bertanya dengan suara rendah dan malas. “Nama?”
“Kaur Majalengka,” jawabnya cepat, suara sedikit serak. Entah karena ia memang butuh air, atau ketakutan membuat suaranya kocar-kacir meninggalkannya di sini.
“Bukti penerimaan?”
Kaur buru-buru merogoh totebag-nya dan menyodorkan selembar kertas yang diberikan sang Ayah kemarin. Ia melihat tangan kapalan pria itu meraih cepat kertas, menggenggamnya sebentar. “Tunggu sini.”
Si Penjaga berbalik, mendorong pintu kecil di sisi gerbang, kemudian menghilang ke dalam.
Beberapa menit kemudian, penjaga itu kembali. “Langsung ke ruang Inspektur Mo.”
Kaur mengernyit. “Inspektur Mo?” Seingatnya, nama itu tertera di kertas penerimaan peserta kursus yang ia bawa tadi.
Pria itu hanya menatapnya sejenak tanpa menjawab. Mereka tatap-tatapan sampai gigi Kaur terasa gatal.
“Ambil kunci kamar. Lurus dan ikuti saja koridor sebelah kiri, sampai kamu melihat bangunan warna strip cokelat-hitam yang berdiri sendiri,” lanjutnya, membuka gerbang. Engsel berdecit panjang, seperti suara rintihan dari dunia lain, yang bagi Kaur juga mirip bunyi kentut ditahan tipis-tipis.
Begitu melewati gerbang, dunia di sekitarnya mendadak berubah.
Kaur sampai dibuat tercengang. “Hah?” Bahkan, ia hampir terkait kakinya sendiri.
Dari luar, bangunan kursus terlihat monoton dan tua, seolah hanya susunan beton kelabu yang dipasang pun mungkin tidak niat. Berbanding terbalik di bagian dalam, persis rancangan arsitek yang terlalu banyak mengonsumsi buku surealis sembari minum berton-ton kecubung.
Sekonyong-konyongnya rasa frustasi Kaur kini, ia tak dapat memungkiri kekaguman pada selera aneh siapa pun yang memiliki ide untuk menjadikan bagian dalam pagar beton itu dilapisi tulisan aksara timbul sepanjang keseluruhan permukaan. Rasa-rasanya, ia bak dikurung oleh kertas kuning HU; jimat tempelan di jidat para vampir Cina.
Mungkin juga, Inspektur Mo yang dimaksud tadi memang pengusir vampir.
Kaur manggut-manggut membenarkan hipotesis absurd-nya. Sejurus kemudian, ia protes, “Lah, terus aku sejenis umbi-umbian penyedot darah, gitu?”
Semakin Kaur menapak jejak lebih dalam, semakin aneh pula bentuknya. Napas kembali tercekat mendapati bonsai-bonsai raksasa yang berjejer memiliki sketsa wajah rupa-rupa manusia dengan berbagai macam emosi depresi: marah, sedih, bingung, takut. Bingungnya, Kaur tak menemukan satu pun bonsai dengan raut bahagia, hanya ada riak pilu yang terpatri di sana.
Di sepanjang jalan setapak mirip taman berkelok-kelok yang ia pijak, adalah kaca akuarium dangkal berisi ikan-ikan lele berenang bebas sebesar lengan. Bedanya, air yang mengalir berwarna biru jernih, bukan serupa air tawar kobokan yang Kaur ketahui.
Ia mulai berhipotesis lagi.
Ya Tuhan, seperti mimpi di siang bolong. Atau, jangan-jangan pemilik bangunan kursus aslinya peternak lele yang bangkrut, terus mutusin beralih bisnis?
Kaur bergidik geli melihat bagaimana lele-lele itu berenang di bawah kakinya. Cepat-cepat ia beranjak dari sana, sepatunya mengetuk-ngetuk keras kaca akuarium disertai bunyi seretan roda koper yang membawa Kaur ke koridor panjang sesuai arahan si Penjaga.
Melewati berbagai bentuk dari ketidaksinkronan otak, yang mau tak mau Kaur akui eksentrik dan nyaris menyerupai seleranya dalam berseni. Lantai koridor hitam-putih papan catur dan pilar-pilar sanggahannya berbentuk bidak, bunga kembang sepatu se-tinggi dua meter yang di tengahnya berisi jam besar berdentang berisik, tiang lampu berliku seperti bentuk usus sembelit, rebah patung perempuan bertubuh setengah ikan dengan air bercucur dari kedua bola matanya ke dalam kolam gradasi ungu-biru menyala, sampai pada gedung yang sungguhan bengkok serupa orang membungkuk dan memberi ilusi akan menimpa Kaur kapan saja.
Dari semua hal itu, Kaur hanya paling tidak suka dengan hawa sekitar yang apa-apanya terasa menelanjangi dan mengawasi lekat, seolah-olah mereka memang bernapas.
Dua bangunan yang berdiri sendiri di ujung koridor membuat mata Kaur menyipit. Bangunan pertama berbentuk rak yang dipenuhi replika buku, di tengahnya ada pintu kayu pernis cokelat mengkilap mirip mirror glaze pada kue. Sementara bangunan satunya berbentuk cone es krim dengan ujung kotak, bercorak strip cokelat-hitam khas surjan—pakaian adat Jawa.
“Kayaknya yang dimaksud Penjaga tadi bangunan ini, deh ....”
Sebelum sempat Kaur mengonfirmasi, bahunya disenggol keras hingga ia terhuyung-huyung dan nyaris menabrak pot gantung berbentuk kepala kuda di sisi pelipis. “Aduhh! Apal—agghh! K-kuntilanak!”
Kaur membeliak horor, jantungnya bak tertelan ke perut kala melihat sosok berpakaian serba hitam, rambut legam lurus sepanjang pinggang dengan poni sebatas dagu--menutupi wajah dan bola mata kelam yang Kaur yakini pastilah berkilat tajam dan mengeluarkan darah! Setidaknya, itulah yang ia bisa raba dari penampilan kuntilanak biasanya. Meski, belum tentu benar.
Si Kuntilanak mengambil dua-tiga langkah mendekat, sehingga Kaur hampir menjerit lagi dengan kaki terlonjak alay.
Mengamati waspada ketika tangan yang seharusnya berkuku panjang bersama sisa-sisa tanah perkuburan itu merampas kasar sebuah boneka di lantai yang tak kalah seram darinya: compang-camping, berbintik hitam seperti tak pernah dicuci, benang-benangnya berantakan dan mengeluarkan sedikit busa dari kainnya. Leher si boneka nyaris putus.
Semakin Kaur melihat, semakin ingin pula ia menutup mata.
Bergeming. Saling menatap. Kaur merinding parah.
“Wilona Kaliyara dan Kaur Majalengka, benar? Kalian dipanggil ke ruangan Inspektur Mo.” Kaur kontan mengalihkan pandangan pada arah suara.
Bah?! Kenapa pula kurcaci Snow White ada di sini?!
Tak habis-habis Kaur mengalami gejala serangan jantung. Sementara si Kuntilanak berjalan lebih dulu menghampiri sang Kurcaci yang memanggil mereka di depan ruangan Inspektur Mo, meninggalkan Kaur dalam kegilaan di kepalanya. Ia bahkan bersiap berbalik dan menarik kopernya pergi.
Ya Tuhan, Ya Tuhan. Mimpi tragis macam apa ini?!
“Mau ke mana? Cepat masuk, nanti kunci asramamu diberikan ke orang lain.” Kembali dipanggil oleh si Kurcaci yang perawakannya memang benar-benar se-pendek lutut Kaur, meski wajahnya tampak begitu tua.
***
Tak ada yang bisa menyelamatkannya. Itulah yang Kaur telan mentah-mentah saat ini.
Berhadapan dengan seorang pria kisaran usia ayahnya—duduk di balik meja kayu jati berdesain miring yang anehnya tidak menjatuhkan buku-buku apa pun di atasnya. Tak lupa, si Kuntilanak berdiri bak penampakan di samping.
Pria itu, yang Kaur tahu pasti sebagai Inspektur Mo dari papan nama di atas meja, mengenakan setelan surjan lengkap blangkon di kepala. Helai rambut yang keluar dari blangkon memiliki varian dua warna. Satu dominan hitam klimis, sementara sisanya seperti jajanan rambut nenek berwarna merah muda parsial. Rasionya lebih panjang serupa rambut sambung.
Inspektur terlihat sibuk membuka loker-loker di belakang kursinya untuk mencari kunci kamar asrama.
Satu identitas epik melekat di kepala Kaur untuk menjabarkan keseluruhan Inspektur Mo: Ketua Padepokan Sakti.
“Kaur dan Wilona,” ujar Inspektur Mo, suaranya berat dan dalam.
Kaur melirik bergantian antara Inspektur Mo dan si Kuntilanak yang disebut Wilona.
“Masing-masing dari kalian punya teman se-kamar. Kamarnya akan di-rolling tiap beberapa hari sekali untuk memastikan kalian mampu beradaptasi dengan cepat.” Inspektur Mo menggeser dua kunci pada Wilona dan Kaur.
Kaur pikir, semuanya akan berakhir setelah ia mengambil kunci asrama dan segera istirahat di kamar asrama, paling tidak ia bisa menjernihkan sebentar pikirannya. Namun, salah besar. Salah total. Dan, tentu saja, salah ayahnya!
“Apalah itu?!” Telunjuk Kaur otomatis menunjuk pada sebuah puding karamel seukuran bola bowling yang merayap dan bergoyang-goyang kenyal ke arah mereka, meninggalkan jejak licin di lantai kayu bersama aroma manis lelehan gula menyebar. Kaur dan Wilona refleks saling mendekat sampai Kaur berteriak lagi pada gadis sebayanya itu. “Kamu! Menjauh!”
Wilona lantas mendengus, lalu mundur satu langkah.
Sementara Inspektur Mo terkekeh, mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, lalu berkata, “Tenanglah. Itu peliharaanku.”
“Peliharaan?! Peliharaan macam apa yang berbentuk puding karamel?! Lagipula dia, dia—“
“Brush makeup?” sela Wilona yang akhirnya berbisik, tetapi cukup untuk didengar Kaur yang berada di dekatnya.
“Hah?” Melupakan sejenak ketakutannya pada Wilona, Kaur mengerjap tak habis pikir pada sang gadis yang usai dilihat-lihat ternyata beberapa senti lebih pendek darinya.
“Kalian akan melihatnya berbeda," timpal Inspektur, berdiri dari duduknya.
“Apa maksudnya?" Tanya Kaur mencoba merapat ke dinding. Ia bergumam ngeri, "Aku benci puding karamel, dan sekarang harus melihat ... Melihat hal tidak masuk akal seperti ini?!"
“Apa pun itu, kalian akan segera mengerti. Selamat bergabung di Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa, Saudara Kaur Majalengka dan Wilona Kaliyara.” Senyum bijaksana terbit di bibir Inspektur Mo.
Kaur melihat bagaimana Inspektur mengangkat puding, berjalan mendekati tempatnya berpijak.
Jeritan Kaur pun, pecah lagi.
***
Semangat kak Rupa!
Comment on chapter 00 - Prolog