Setiap aku bertanya tentang ketidakhadiran Bapak, Mama akan selalu menjawab, bahwa itu karena kesibukan kerja---mencari uang banyak untuk biaya pengobatanku.
Tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan? Sampai sudah hampir seminggu, aku tidak melihatnya.
Saat dilanda rindu, aku hanya bisa menatap foto Bapak di album usang. Aku melihatnya bermain kejar-kejaran bersama balita kecil yang tertawa ceria.
Saat itu, aku berpikir ... mungkinkah Bapak menjauh karena aku berubah menjadi anak yang membosankan?
Kaki lemah ini membuatku tak berdaya, tak bisa lari mengejarnya seperti dulu. Tapi bukan aku yang menginginkan ini terjadi.
Dalam sunyi---sehabis pulang sekolah, aku menulis surat kerinduan untuk Bapak.
Meski tulisannya tidak rapi. Meski kotor terkena air mata, aku mencoba meluapkan sesak di dada, berharap Bapak tidak akan pergi lagi saat membaca keluh kesahku.
Aku menuliskan ...
| Bapak, kenapa jarang pulang? Apa Bapak marah sama Dede karena suka nangis pas di terapi?
Dede janji deh, gak nangis lagi. Asal Bapak tetap di rumah.
Dede pengen di kontrol ke rumah sakitnya bareng Bapak lagi, gak mau sama Mama doang. Mama juga kayaknya kangen sama Bapak, soalnya sering ngelamun.
Kalau Bapak baca surat ini, jangan pergi lagi ya, Pak. Dede Sayang Bapak. |
Setelah selesai menulis, aku bangkit berdiri untuk pergi ke kamar satu---kamar Bapak dan Mama. Tapi baru akan membuka handle pintu sebuah suara mengagetkan.
"Mau ngapain masuk ke kamar Mama?"
Gegas, aku menurunkan tangan yang memegangi surat tadi, dan menyembunyikannya di belakang tubuh, lalu menatap si penegur.
"Enggak ngapa-ngapain, Teh. Dede cuma mau ngambil jepitan kuku. Soalnya kuku Dede udah panjang."
Bukan tanpa alasan aku berbohong, tapi aku malu, takut disangka anak manja karena merindukan Bapak.
Apalagi teman sekolahku pun sering mengejek 'Anak Mami' hanya karena aku sering mengadu pada Mama.
Tapi mungkin gerak-gerikku meragukan, karena Teh Syakira menuding. "Itu apa yang Dede sembunyiin?"
Aku mengelak mundur. "Enggak ada."
"Jangan boong! Itu di balik baju Dede."
Teh Syakira mencoba merebut benda di tanganku, tapi aku tidak pasrah. Dengan susah payah---karena memegang kruk, aku menepis tangannya.
"Teteh ngapain, sih? Udah Dede bilang enggak ada apa-apa. Kan sakit, jangan ditarik-tarik tangannya," protesku.
"Ya kalau gitu tunjukin, dong! Ngapain pake disembunyiin segala," cetusnya. "Jangan-jangan Dede habis ngambil uang Mama, ya?"
Aku melotot. Hatiku sesak oleh tuduhan itu, tega sekali dia berpikir buruk tentang adiknya sendiri. Aku mungkin nakal, tapi bukan jahat.
"Enak aja. Kata Bu Guru gak boleh ngambil uang orang tua tanpa izin, nanti masuk Neraka," ujarku.
"Sama, bohong juga gak boleh, Dek." Teh Syakira menasehatiku, lalu meminta suratnya. "Jadi sini kasih ke Teteh."
Keinginan menjadi anak baik, selalu membuatku lemah. Dengan patuh, aku memberikan apa yang diminta. Teh Syakira pun membacanya dalam diam, sesekali melirik padaku melalui ujung mata.
“Ngapain sih, Dek? Udah gede juga pengen main sama Bapak mulu. Enggak malu?" ketusnya yang terasa menyentil ulu hati.
"Ya, kan Dede cuman pengen Bapak pulang aja, Teh. Biar kita bisa sama-sama lagi kayak dulu," lirihku.
"Enggak bisalah. Orang Bapak jarang di rumah juga karena Dede."
"Karena Dede?" ulangku. "Tapi Dede enggak pernah nyuruh Bapak pergi."
"Emang enggak, tapi biaya pengobatan kamu itu mahal. Uang dari mana kita? Kalau enggak Bapak yang nyari."
Aku terbungkam oleh fakta terang, tapi gelap bagiku.
"Jadi mending Dede cepet sembuh, deh. Biar uang keluarga kita kekumpul, enggak habis terus buat terapi."
Aku ingin sekali menjawab, bahwa aku pun menginginkannya. Ingin cepat sembuh. Ingin bisa berjalan lagi. Tapi itu bukan ranahku.
Aku tidak memiliki kuasa ...
Aku tidak bisa mengaturnya sesuka hati. Hanya sekadar berusaha, meski dalam prosesnya, aku pun muak.
Tapi yang tidak mengalami, tak akan mengerti. Mereka hanya bisa menghakimi, tanpa peduli. Apakah mentalku kuat atau mati?!
Setelahnya, Teh Syakira pergi keluar rumah---mungkin membantu A Saga dan Mama di warung. Dia pergi sambil membawa suratku. Suara hati yang tak sampai.
Apa benar ini karena Dede, Pak?
***
Sore itu---saat libur sekolah, aku melihat ada tamu duduk di teras rumah mengobrol bersama Mama. Beliau adalah Bu Afnah, istrinya Bapak Kepala Desa.
Dengan bersandar pada sekat dinding yang memisahkan teras dan ruang keluarga, aku mengamati gestur tubuh Mama yang gelisah. Wajahnya kaku, bibir bawah di digigiti, seakan gugup.
“Jadi gimana ini solusinya, Teh Ratih? Kapan mau bayar hutang? Dari kemarin-kemarin bilangnya besok terus, tapi setiap ditagih enggak ada mulu," omel Bu Afnah.
Aku sedih karena Mama dimarahi. Tapi Mama tetap bersikap ramah. Matanya mungkin merah, seperti terselimut duka. Tapi senyum di wajah tak luntur.
"Iya, Bu. Nanti suami saya pulang, langsung dilunasi," jawab Mama.
"Bener ya saya tunggu. Jangan ada alasan lagi. Soalnya saya butuh buat bayar arisan," katanya.
"Iya, Bu. Insya Allah."
"Bagus. Jangan sampe saya nyesal ngasih hutang ke keluarga Teh Ratih."
Suara tajam itu turut menyakiti hatiku. Tidak tega rasanya melihat Mama diperlakukan tak hormat, lebih lagi oleh yang lebih muda.
Tapi anak kecil ini bisa apa? Untuk tahu permasalahan orang dewasa saja, aku harus menguping, karena mereka enggan memberitahu.
"... Niat saya kan hanya membantu sesama tetangga, Teh. Tapi kalau melunjak gini, saya enggak terima." Bu Afnah memberi peringatan pada Mama yang tersenyum aneh.
Senyum paksa, mungkin.
"Iya, maaf sudah merepotkan, Bu. Terima kasih pinjaman uangnya."
Bu Afnah mengangguk, lalu melengos pergi meninggalkan Mama yang menghela napas, terlihat gusar.
Dalam hati, aku bertanya:
"Apa kalau Dede berhenti terapi, keluarga kita enggak bakal miskin? Tapi Dede pengen bisa jalan lagi."
Aku tidak bermaksud menyalahkan diri, tapi pemikiran itu datang saat melihat kondisi keluarga ini.
Mama murung dan sering melamun. Teh Syakira, si pemaksa yang bersikap sinis. A Saga, sibuk mengelola warung tanpa libur. Dan Bapak yang tak tahu rimbanya.
Aku sendiri ... berdiri dengan kaki gemetar, menggenggam erat pegangan tongkat kruk. Dengan hati hampa, berharap ada solusi yang membuat semuanya baik-baik saja.
Tapi doaku tak terjawab.
***
Malamnya, seperti biasa, aku menonton televisi bersama Mama yang menanyangkan siaran sinetron favorit kami.
Saat jeda iklan tiba, sambil mengelus rambutku yang tidur di pangkuannya, Mama membuka topik pembicaraan mengenai hal yang selalu kuhindari.
"Dek, besok bangun pagi, ya. Kan ada jadwal terapi," titah Mama.
Aku mendongak menatapnya. Meski diterjang badai masalah, tapi semangat untuk menjemput kesembuhan tak kunjung pudar.
“Kalau terapinya libur dulu gimana, Mah?" tanyaku.
Sontak, Mama menarik tubuhku untuk bangun, hingga kini duduk sejajar saling berhadapan. Sorot itu ... terlihat kecewa.
Namun, aku kecil menganggapnya kemarahan. Terlebih saat Mama membalas, "Dede nakal lagi. Mau males-malesan terapinya, ya?"
Aku menggeleng panik. "Enggak."
"Terus kenapa enggak mau terapi?"
"Biar uangnya bisa dipake bayar studi tour teteh aja."
Mama terkekeh kecil. "Dede tuh, Mama bilang kan enggak usah di pikirin. Uang buat teteh lagi dicari sama A Saga, tenang aja."
Aku terdiam.
"Jadi enggak ada alasan buat gak terapi," kata Mama.
"Tapi Dede mau ditemenin Bapak, Mah."
Giliran Mama yang membisu. Lama sekali. Sampai akhirnya dia menjawab, "Liat besok, ya."
Tapi sampai hari itu, Bapak tak pernah datang.