Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Hari-hari pun terus berlalu. Musim berganti dan bayangan Ethan tak pernah benar-benar hilang dari hidupku. Yang berubah hanya caraku menyikapinya. Dulu aku menunggu dalam diam—kini aku mulai bicara, meski kadang hanya dengan angin. Dan dari sanalah semuanya mulai berubah.

Rasanya seperti pagi yang dulu biasa saja, kini mendadak menjadi arena bisik-bisik yang tak pernah benar-benar berhenti. Langkah kakiku di lorong sekolah terdengar lebih berat, seolah setiap mata memaku punggungku dengan pertanyaan dan sindiran yang tak pernah diucapkan langsung. Tapi aku tahu. Mereka membicarakan aku.

‘Anak angin’ atau ‘penunggu kebun teh’, begitu mereka memanggilku sekarang. Bahkan ada yang bilang aku pengikut hantu. Lucu ya—seolah aku bagian dari cerita seram yang mereka tertawakan sambil makan bekal di kantin, seperti adegan dari film horor lokal yang murah meriah tapi ramai ditonton karena rasa penasaran. Mereka tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa aku hanyalah seseorang yang sedang mencoba bertahan. Mencoba tetap hidup, meski setengah dari hatiku hilang sejak Ethan lenyap.

Tapi aku tidak peduli. Sungguh. Mereka boleh memelintir kenyataan, menggantinya dengan lelucon yang murahan. Aku hanya ingin satu hal: Ethan.

***

Lalu mimpi itu datang lagi. Sejak ulang tahunku yang kesepuluh, mimpi-mimpi itu tidak pernah benar-benar berhenti.

Bukan mimpi biasa. Di sana, Ethan tak lagi terbaring seperti biasanya, seperti dalam mimpi-mimpiku yang dulu, saat ia duduk diam di pinggir ranjang atau berjalan menjauh tanpa menoleh. Tidak. Kali ini, ia berdiri—di antara pepohonan yang bergoyang ditiup angin hutan. Hutan yang samar tapi terasa akrab, seperti bayangan masa kecil yang pernah ada.

Ia menatapku. Senyumannya… samar. Tapi aku mengenal ekspresi itu. Itu senyum yang sama saat kami menamai bunga rumput dengan nama-nama aneh yang hanya dimengerti oleh kami berdua. Tapi ada yang ganjil. Di belakangnya, bayangan gelap bergerak. Bukan seperti orang—lebih seperti... sesuatu yang mengikuti. Atau mengintai. Gelap itu seperti hidup. Bernapas. Dan terasa dingin bahkan dalam mimpi.

Aku terbangun. Nafasku tercekat. Keringat dingin membasahi punggungku. Tapi hal paling aneh bukan mimpi itu—melainkan secarik kertas kecil di meja belajarku, yang seolah muncul dari udara:

"Jangan berhenti percaya."

Tulisannya seperti diketik dengan mesin ketik tua. Ada bekas tinta yang menipis, seolah berasal dari masa lain. Aku menatapnya lama. Dunia terasa semakin miring, tapi aku tetap berdiri. Aku harus bertahan.

Aku tahu itu bukan sekadar bunga tidur. Mimpi-mimpi tentang Ethan selalu punya rasa yang berbeda—seolah waktu memutar ulang sesuatu yang belum selesai. Seolah ia masih mencari jalan kembali padaku.

***

“Rembulan, kamu baik-baik saja?” tanya wali kelasku suatu pagi. Aku hanya mengangguk, tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa aku sedang berbicara dengan Ethan.

Kurasa kebaikan dan kekhawatiran Ibu Tati hanya sebatas formalitas saja, entah rasa kasihan seperti apa yang dimiliki guru agama tersebut padaku. Aku tak menyalahkan beliau. Tak semua orang dibekali pemahaman untuk melihat kesedihan yang tidak tampak.

Hubunganku dengan warga desa juga tidak selalu hangat. Beberapa orang dewasa memandangku dengan rasa khawatir yang tak tersembunyi. “Anak itu suka ngelamun,” kata seorang ibu warung. “Kayak lihat sesuatu yang nggak kita lihat.”

Namun ada juga yang bersimpati. Pak Dirman, penjaga sekolah yang sudah tua, sering memberiku permen dan berkata, “Orang seperti kamu itu punya mata batin. Nggak semua orang bisa. Tapi hati-hati ya, Nak, kadang apa yang kamu lihat nggak semuanya baik.”

Aku hanya tersenyum kecil mendengar itu. Kata-katanya menguatkanku, tapi juga menambah beban.

***

Hari-hari berjalan cepat. Aku berumur lima belas sekarang. Tapi rasanya seperti terjebak antara dua dunia—yang satu dipenuhi tugas sekolah, bimbingan belajar, kursus bahasa Inggris. Yang satu lagi… dipenuhi kabut, kenangan, dan Ethan.

Ia masih datang dalam mimpiku. Kadang samar, kadang jelas sekali sampai aku terbangun dan mencarinya di bawah tempat tidur. Seolah ia benar-benar di sana.

Di sekolah, aku jadi semacam bintang. Tapi bukan karena nilai atau bakat. Aku jadi bintang gosip. Di kantin, aku duduk sendiri. Mereka tertawa di dekat dispenser kopi. Aku tahu mereka membicarakan aku. Aku bisa merasakan tatapan yang menusuk seperti sinar laser.

“Lihat, dia ngomong sendiri lagi,” bisik seseorang.
“Ngajak ngobrol angin?” kata yang lain. Mereka tertawa.

Aku menggigit roti lapis tuna. Rasanya seperti pasir di mulutku. Hambar. Pahit. Aku sudah lupa rasanya makan dengan tenang.

Lalu satu dari mereka, siswa kelas sebelah, berjongkok di sampingku dan berbisik, “Mau pamer pacar hantu, ya?”

Tertawa. Lagi. Seolah aku ini tontonan. Boneka rusak yang bisa mereka mainkan.

Aku berdiri. Botol air minumku jatuh, suaranya keras memantul di lantai kantin. Semua menoleh. Aku lari. Menabrak meja. Melewati lorong. Napasku berat. Seolah aku sedang berenang dalam lautan kenangan yang tak pernah mau kering.

Langit di luar masih sore. Tapi rasanya seperti tengah malam.

Pulang sekolah, hujan turun. Aku menunggu angkot sambil memegang payung rusak dan tas berat berisi buku. Payungku sobek. Setengah rambutku basah. Saat mobil datang, aku tergesa masuk—dan terpeleset.

Buku-bukuku jatuh ke aspal.

Sakit. Tapi lebih sakit lagi saat melihat makalahku basah kuyup, huruf-hurufnya luntur seperti ingatanku yang mulai terhapus. Aku memungutnya satu per satu, berharap bisa menyelamatkan apa yang tersisa.

Seorang ibu penumpang yang duduk dekat pintu turun membantu. Tangannya hangat. “Tidak apa-apa, Nak. Santai saja,” katanya. Ia memberi jarik tipis untuk menutupi tubuhku. Aku hampir menangis di situ. Tapi aku tahan. Aku harus tahan.

Di rumah, ibu sudah menunggu di luar pintu, tangan memegang payung ekstra. Ketika aku turun, ibu mengerjap, segera berlari memayungiku lalu memelukku kencang.

"Kamu kenapa, Bulan?"
"Kamu pulang basah kuyup... ibu khawatir."

Ibuku menyeka rambut basah di wajahku, turut menghapus linangan air mata yang tumpah tanpa kusadari. Matanya merah. "Kenapa tadi di sekolah..."

"Aku cuma..." Aku menelan ludah, membalikkan pertanyaan itu: "Kenapa mereka setega itu...?"

Ibuku terdiam, mencoba menenangkanku dengan pelukan. Ia tidak berani menjawab. Mungkin karena ia tahu, dunia bisa kejam bagi mereka yang berbeda.

Aku tahu ibu ingin mengerti, tapi aku juga tahu ia takut. Takut bahwa putrinya mulai menghilang bersama seseorang yang bahkan tak bisa disentuh lagi.

***

Malam itu, Ethan datang lagi.

Bukan dalam mimpi.

Tapi dalam bayangan yang terpantul di kaca lemari. Ia berdiri. Bajunya putih. Kusut. Wajahnya… pucat dengan mata kehijauan yang masih hangat.

“Kenapa kau pergi, Eth?” bisikku.

Ia tak menjawab dengan suara. Hanya satu kata yang muncul di udara, pelan dan patah-patah:

“Ma-af.”

Tanganku dingin. Tapi aku ingin menyentuhnya. Aku ingin percaya ini nyata. Aku butuh percaya ini nyata.

Lalu… ia menghilang. Seperti kabut pagi yang lenyap di tiupan angin.

Aku menyalakan senter. Ruangan kosong.

Besoknya aku menulis di buku harianku. Kutaruh di loker, di antara majalah remaja yang tak pernah kubaca.

"Aku masih melihatmu, Eth. Aku masih mendengar suaramu. Mereka boleh bilang aku gila. Tapi aku tahu kau ada."

Saat aku menutup buku itu, bel masuk berbunyi. Seorang siswa menendang lokerku sambil tertawa. “Buku curhat buat hantu, ya? Kok pakai bahasa manusia,” katanya.

Aku menatap loker itu lama. Dinginnya menembus telapak tanganku. Tapi aku tidak menangis. Karena aku masih percaya.

Dan untuk Ethan… aku akan terus percaya.

"Apa artinya waras jika semua orang hanya percaya pada yang bisa mereka lihat? Aku melihat Ethan. Aku merasa dia masih di sini. Dan bagiku, itu cukup."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
OF THE STRANGE
1094      597     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Survive in another city
124      103     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Di Bawah Langit Bumi
2180      859     86     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Yu & Way
129      106     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
MANITO
1010      744     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Ameteur
78      72     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Interaksi
359      282     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Intertwined Hearts
955      537     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
HABLUR
642      339     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
I Hate My Brother
455      321     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??