Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Hari-hari berikutnya menjadi musim yang tak terlupakan dalam hidupku. Bersama Ethan, aku menemukan dunia kecil yang tersembunyi di balik kesunyian desa. Dunia yang tidak tercatat di peta mana pun, tapi tercetak jelas di ingatan kami berdua. Kami menjelajahi tempat-tempat yang bagi orang dewasa hanyalah rerumputan liar atau bangunan reyot—namun bagi kami, itu adalah kerajaan rahasia, negeri dongeng yang kami bangun dari imajinasi dan kepercayaan.

Ethan selalu tahu jalan menuju tempat-tempat yang terasa seperti muncul dari buku cerita: sungai kecil di balik rumpun bambu, pondok tua dengan atap miring di tengah kebun teh, dan gua kecil di balik air terjun yang nyaris tak terdengar. Kami memberi nama sendiri untuk setiap tempat itu, seolah menciptakan peta rahasia yang hanya bisa dibaca oleh kami berdua.

"Ini markas rahasia kita," kata Ethan suatu hari, sambil menunjuk pondok bambu yang tersembunyi di balik semak-semak.

"Apa ada hantu di sini?" tanyaku, setengah bercanda.

"Kalau ada, mereka pasti bersahabat," jawab Ethan dengan tawa ringan, seolah segala hal yang aneh di dunia ini bukanlah sesuatu yang menakutkan.

Di pondok itu kami menyimpan 'harta karun'— batu berbentuk hati, bulu burung aneh, ranting yang mirip tongkat penyihir, dan selembar peta lusuh yang penuh coretan. Di dinding pondok bambu, kami hias penuh dengan gambar-gambar buatan tangan—gambar yang tak akan dipahami oleh siapa pun selain kami. Setiap tempat yang kami lewati diberi nama ajaib, seolah dunia kami memiliki aturan dan bahasa sendiri.

Di "Hutan Cahaya", kami pura-pura mendengar suara roh yang tinggal di antara pohon-pohon besar. Di "Danau Diam", kami merasakan keheningan yang menenangkan, seolah waktu berhenti hanya untuk kami berdua. Di "Bukit Angin", kami bentangkan daun-daun kering sebagai bendera kerajaan, seolah dunia ini adalah taman bermain kami yang tak tersentuh.

Kami juga membuat taman kecil dari bunga-bunga liar yang kami kumpulkan: kenikir, kamboja mini, melati hutan, dan bunga rumput yang tampak bersinar jika terkena sinar pagi. Aku menyebutnya "Kebun Bunga Awan." Di sana kami membuat lingkaran batu sebagai tempat duduk, berpura-pura jadi penjaga hutan, bahkan menari di bawah hujan seperti penyihir kecil yang mengendalikan cuaca. Waktu di tempat itu terasa membeku—seolah dunia memberi kami ruang untuk bernapas tanpa takut dihakimi.

Di bawah pohon flamboyan, tempat yang sudah sering kami kunjungi sejak pertama kali bertemu, kami bermain congklak dan berbagi bekal. Kami menggambar di atas daun pisang, kemudian menghanyutkannya ke sungai dengan harapan-harapan kecil. Ethan ingin menjadi penjelajah hutan, sedangkan aku—aku ingin membuka toko bunga yang bisa berbicara kepada orang-orang kesepian. Kami percaya bahwa daun pisang kami akan membawa pesan-pesan kecil itu ke langit, mengirimkan mimpi-mimpi kami ke dunia yang lebih besar.

Suatu hari, kami menemukan selembar papan kayu yang hanyut terbawa arus. Kami menuliskan nama kami dengan arang: "Ethan & Rembulan – Sahabat Selamanya." Papan itu kami gantung di pondok bambu, sebagai penanda bahwa dunia kecil itu milik kami. Tidak ada yang bisa mengusiknya, karena di sana, kami adalah penguasa—hanya kami yang tahu betapa berartinya tempat itu

Ketika malam turun, kami duduk di bawah langit terbuka, menatap bintang. “Itu namanya Mentari Malam,” ujar Ethan sambil menunjuk bintang paling terang. “Karena dia yang tetap bersinar saat semua gelap.”

Hari-hari itu seperti dongeng yang terus menulis dirinya sendiri. Kami membuat pohon keinginan dari ranting dan kertas warna-warni. Aku menulis: “Semoga kita tidak pernah berpisah.” Ethan hanya menggambar dua anak berpegangan tangan.

***

Setiap sore sepulang sekolah, aku berlari ke tepi hutan, ke bawah pohon flamboyan tua—tempat di mana kabut turun lebih cepat dari matahari. Ethan selalu lebih dulu sampai. Ia duduk bersandar di akar pohon, memandangi langit yang perlahan kehilangan warnanya.

“Hari ini kamu telat,” kataku, suatu kali, saat ia datang lebih lambat dari biasanya. Suaraku tidak menyalahkan, hanya mengingatkan, bahwa waktu yang kami habiskan bersama adalah hal yang sangat berharga.

Di sanalah kami membangun dunia kami sendiri.

“Kalau tempat ini hilang, kamu tetap ingat, kan?” tanyanya sambil menanam kembang telang.

“Tempat ini nggak akan hilang,” jawabku. “Kita yang akan tetap di sini.”

Tapi dunia selalu punya caranya sendiri untuk menguji janji.

Suatu sore, ketika kami sedang membuat perangkap ikan dari botol bekas, aku melihat tangan Ethan gemetar.

“Kau sakit?” tanyaku.

“Kadang,” katanya sambil mencoba tersenyum. “Kata Ibu, cuma kelelahan.”

Aku ingin bertanya lebih jauh, menggali lebih dalam, tapi sesuatu dalam tatapannya membuatku menahan diri. Seperti daun yang gentar disentuh angin, aku memilih diam.

Kata “kelelahan” tiba-tiba terdengar seperti mantra yang ingin kutelusuri, tapi terlalu takut untuk menyentuh maknanya. Aku mencoba menepis kegelisahan itu, menaruhnya di dalam saku bersama batu-batu kecil dari sungai.

Beberapa hari kemudian, Ethan tidak datang.

Aku menunggu di bawah flamboyan. Di pondok bambu. Di Danau Diam. Tapi tak ada jejak. Rumahnya di atas bukit tampak kosong. Ketika aku mendekat, halaman itu seperti berhenti bernapas. Tak ada suara. Jendela tertutup rapat. Tirai bergoyang pelan seperti melambai perlahan.

Aku mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Di belakang rumah, sumur tua terlihat lebih gelap dari biasanya. Aku berdiri lama di sana, memandangi permukaan air yang tenang. Bayanganku sendiri terlihat asing. Di dalam sumur, aku merasa seolah ada yang mengawasi balik.

Beberapa hari kemudian, Ethan muncul kembali. Ia tampak lebih kurus, tapi senyumnya masih sama.

“Ayo lanjutkan petualangan kita,” katanya ringan.

Aku tidak bertanya apa-apa. Aku hanya lega. Lega karena dunia kami masih bisa bernapas.

Kami menulis cerita di buku bekas. Menggambar peta tempat-tempat baru yang ingin kami jelajahi. Tapi kali ini, Ethan lebih banyak diam. Tatapannya sering kosong. Batuknya lebih sering, disembunyikan di balik lengan baju.

Aku pura-pura tidak melihat. Lebih mudah begitu.

Hingga hari itu, di sungai.

Langit cerah. Air sungai bening. Kami bermain seperti biasa, tertawa bermain cipratan di atas batu bulat yang licin karena hujan semalam. Tapi arus datang tiba-tiba. Aku terpeleset. Terseret. Air menelan suaraku. Aku menjerit. Ethan mencoba mendekat, tapi tubuhnya kaku, matanya panik.

Seorang pemuda desa yang sedang memancing mendengar teriakanku. Ia melompat, menyelamatkanku. Dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, aku melihat Ethan menghilang perlahan seiring dengan hilangnya kesadaranku.

Kehebohan terjadi di rumah kala aku pulang dalam gendongan kepala desa, dengan tubuh menggigil. Sepanjang perjalanan aku terus memanggilnya, "Ethan... Ethan!"

Kejadian itu menyebar dengan cepat. Orang-orang bicara, mengaitkan dengan kepercayaan leluhur mereka. “Itu bukan sekadar arus,” kata seorang tetua. “Itu amarah penunggu sungai. Anak perempuan itu membawa mata yang tak seharusnya.”

Aku mulai menjadi bahan perbincangan. Semakin terkucilkan. Anak-anak menjauh. Orang dewasa mengawasi dengan tatapan penuh curiga. Di sekolah, bangku di sebelahku selalu kosong. Ibuku tidak banyak bicara, tapi matanya sering menatapku lama, seperti ingin bertanya sesuatu tapi tak pernah keluar dari bibirnya.

Tapi yang paling menyakitkan bukanlah bisik-bisik mereka.

Yang paling menyakitkan adalah... Ethan ikut diam.

Tak ada lagi Mentari Malam.

Aku mencarinya. Di pohon flamboyan. Di pondok bambu. Di Danau Diam. Tapi Ethan tak pernah datang.

Aku pergi ke rumah tua itu lagi. Masih sunyi. Papan nama kami masih tergantung, tapi mulai lapuk.

Aku duduk di sana, memeluk lututku, berharap suara Ethan akan muncul dari balik semak.

Tapi hanya angin yang lewat, membawa guguran daun flamboyan yang jatuh bergantian... seperti kenangan yang perlahan meninggalkan tempatnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
VampArtis United
1146      739     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Rumah Tanpa Dede
162      107     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Pasal 17: Tentang Kita
138      58     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Melihat Tanpamu
160      128     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Lepas SKS
179      156     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Resonantia
401      339     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Segitiga Sama Kaki
758      475     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
That's Why He My Man
1059      671     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...