Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

“Setiap nama yang disebut, menyisakan satu yang dilupakan. Di balik terang cerita, selalu ada bayangan yang menunggu giliran.”

***

Kepulangan kami ke Indonesia terasa seperti melangkah keluar dari dunia lain—sebuah dunia di mana kebenaran ditemukan lewat kenangan, dan luka bisa berubah menjadi cahaya. Italia tertinggal di belakang, bersama taman lavender, rumah batu tua, dan bisikan-bisikan masa lalu yang kini telah menemukan rumahnya.

Jakarta menyambut dengan panas yang padat. Gedung-gedung tinggi, suara klakson, dan aroma debu yang asing setelah udara pegunungan Italia. Tapi aku tak mengeluh. Aku butuh transisi. Aku butuh sesuatu yang tidak mengingatkanku pada lavender dan kenyataan menyedihkan.

Lain dengan Jakarta, Yogyakarta menyapa kami dengan gerimis yang menggantung di langit dan wangi tanah basah yang begitu akrab. Setelah minggu-minggu penuh tekanan dan tangis di Italia, rasanya aneh untuk kembali ke rutinitas: sibuknya kampus dan ribuan mahasiswanya, tumpukan tugas, dan suara tukang sayur setiap pagi. Dunia bergerak, dan aku dipaksa bergerak bersamanya, meski sebagian dari diriku tertinggal di Eropa—di antara deretan nisan kecil dan aroma bunga yang tak pernah mekar di sini.

Hari-hari berikutnya sibuk. Terlalu sibuk. Kami tenggelam dalam proses menyempurnakan laporan penelitian. Revisi dari dosen datang silih berganti, mencoret halaman-halaman yang kupikir sudah sempurna. Lintang tetap sabar, Dira tetap cerewet, dan aku… mencoba tetap waras. Kadang-kadang, aku membayangkan Ethan duduk di sisi jendela, menatap kami diam-diam, tersenyum puas melihat kami menyusun narasinya kembali ke dunia.

Anehnya, sejak mimpi itu—yang terakhir di Italia—aku belum kembali mengalaminya. Seolah ia ikut tertinggal di negeri jauh, terkubur bersama nisan putih Ethan. Aku bersyukur… dan sedikit curiga. Seperti sesuatu yang hilang, tapi hanya untuk menyusun ulang dirinya menjadi sesuatu yang lebih besar.

Laporan akhirnya rampung tiga hari sebelum batas akhir. Kami serahkan langsung ke dosen pembimbing, dalam map cokelat sederhana. Saat keluar dari ruangannya, untuk pertama kalinya aku merasa tubuhku ringan. Seperti menaruh beban yang kupikul selama bertahun-tahun. Seperti bisa bernapas tanpa takut terluka.

Kami rayakan kelulusan itu dengan makan malam kecil di kafe dekat kampus. Dira tertawa keras. Lintang mengeluh tentang masa depan. Aku hanya diam dan menyimak, menyimpan rasa hangat dalam hati. Rasanya… seperti hidup biasa. Tapi aku tahu, “biasa” hanyalah ilusi yang diberikan semesta sementara, sebelum badai kembali datang mengetuk.

Beberapa minggu kemudian, liburan semester datang. Dira kembali ke rumahnya di Bandung, katanya ingin “mengatur ulang hidup”. Sementara Lintang tetap tinggal, ia ingin mempersiapkan proposal untuk tugas akhirnya. Dan untuk pertama kalinya setelah semua badai itu, aku pulang ke rumah orang tuaku di Temanggung. Rumah kecil bercat putih dengan pekarangan yang selalu dipenuhi suara jangkrik dan aroma daun jambu.

Ibu menyambutku dengan pelukan hangat dan tumpukan makanan. Ayah duduk di ruang tamu sambil memutar lagu-lagu lama. Lalu dengan kecanggungan khasnya, beliau menyembunyikan haru lewat pertanyaan-pertanyaan tentang nilai. Kami tidak bicara banyak soal Italia, tapi ketika malam turun dan udara pegunungan mengendap di kulit, aku bercerita. Semuanya.

Tentang rumah tua di Cisarua, rumah batu kediaman Alviano yang tak kalah megah, tentang surat-surat Ethan, tentang Ayunda dan jejak yang kami telusuri—juga tentang makam-makam kecil yang tak pernah disebut dalam buku sejarah mana pun. Mama menangis diam-diam sambil menggenggam tanganku. Ayah hanya menunduk, kemudian berkata, “Aku bangga kamu menyelesaikannya.”

Malam itu, setelah semua cerita tertumpah dan rumah kembali sunyi, aku tidur di kamar lamaku. Poster-poster lama masih menempel di dinding. Buku harianku yang kusimpan di laci masih di sana, bersama kenangan masa remaja yang belum sempat kusentuh kembali. Semua terasa damai. Aku tertidur dengan tenang. Tak ada mimpi. Tak ada bisikan. Hanya keheningan yang nyaman.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa… utuh.

Namun, kedamaian itu hanya bertahan satu malam.

***

Mimpi itu datang lagi.

Seorang anak berdiri di tengah ruang tamu rumahku—bukan di Italia, bukan di Cisarua, tapi di sini. Di rumah tempat aku tumbuh dewasa. Wajahnya tak asing, tapi matanya… menatapku seperti menuntut sesuatu yang belum kutahu. Kali ini, ia tidak berkata apa-apa. Tapi aku tahu ia menunggu. Heningnya seperti lubang—mengisap semua suara dari dunia mimpi.

Aku terbangun dengan jantung berdebar. Pintu kamar tertutup rapat. Tapi jendela sedikit terbuka, dan tirai berayun pelan oleh angin malam.

“Namaku bukan Daniel.”

Kalimat itu tidak terdengar… tapi terukir jelas di pikiranku. Seolah seseorang menuliskannya di dinding dalam tidurku.

***

Malam kedua di rumah orang tuaku datang tanpa rencana. Langit Temanggung mendung, hujan turun tipis seperti gumam pelan yang tak ingin didengar. Aku duduk di depan jendela kamar, membaca ulang surat-surat dari Ethan yang sudah kususun rapi dalam sebuah binder. Rasanya seperti menyentuh kembali sisi lembut dunia yang nyaris lenyap. Dalam diam, aku mulai bertanya: apakah kita pernah benar-benar selesai? Atau kita hanya berhenti, lalu membiarkan sisa kisah itu membusuk di belakang?

Aku tidur lebih awal malam itu. Tidak ada alasan untuk takut. Tidak ada alasan untuk bermimpi buruk.

Tapi malam ternyata punya agendanya sendiri.

Aku kembali ke lorong gelap. Dindingnya lembap, tak ada jendela, hanya lampu redup menggantung dari langit-langit tinggi. Lorong itu tidak nyata, tapi terasa lebih nyata dari tempat tidurku. Di ujung lorong, ada pintu kayu—sama seperti dalam mimpi-mimpiku dulu. Aku tahu pintu itu. Pintu yang seharusnya menuju kamar Ethan.

Tapi kali ini, ketika kubuka, bukan Ethan yang berdiri di sana.

Seorang anak laki-laki menatapku dari balik bayangan. Wajahnya mirip, tapi tidak sepenuhnya. Kulitnya lebih pucat, matanya hitam legam, dan ada sesuatu di sana… sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki anak berusia sembilan tahun.

“Kamu… Ethan?” suaraku bergetar.

Ia menggeleng pelan. “Bukan.”

Tatapannya menembusku seperti pisau tajam. Lalu ia melangkah maju, suaranya datar dan dingin. Aku menyadari satu hal. Anak ini mulai banyak bicara.

“Aku bukan kenangan. Aku bukan harapan. Aku bukan yang kamu rawat dalam ingatan.”

Ia berhenti di depanku. Napasnya tidak terdengar, tapi udara menjadi lebih dingin.

“Aku adalah yang tidak disebut. Aku adalah yang ditinggalkan.”

Tiba-tiba, lorong itu menghilang. Aku terjatuh dalam kegelapan, mendengar suara-suara tumpang tindih—tangisan, langkah tergesa, derit pintu, dan denting kaca pecah.

Lalu suara anak laki-laki itu datang lagi. Kali ini lebih dekat. Lebih dalam. Seolah-olah berasal dari dalam tubuhku sendiri.

“Kamu harus ingat aku. Atau aku akan mengingatkanmu.”

***

Aku terbangun dengan jantung berdebar, keringat dingin membasahi leher dan punggungku. Nafasku tercekat, seperti habis berlari jauh dalam tidur. Aku duduk lama di ranjang, mencoba membedakan mimpi dan kenyataan. Tapi sensasi itu belum pergi—dingin di ujung jari, dan suara itu… masih menggema di dalam kepalaku.

Aku memandang ke luar jendela. Gelap. Tapi aku merasa sedang diawasi.

“Kamu harus ingat aku.”

Tapi aku tidak tahu siapa dia.

Atau… mungkin aku tahu. Dan memilih untuk melupakannya.

Pagi itu, saat sarapan, Ibu bertanya kenapa wajahku pucat. Aku hanya menggeleng. “Kurang tidur,” jawabku singkat.

Tapi dalam hati, aku tahu: ini bukan sekadar mimpi. Dan ini bukan tentang Ethan lagi.

Ini tentang sesuatu—atau seseorang—yang tertinggal.

Seseorang yang menolak dilupakan.

Dan ia, perlahan tapi pasti, ingin ditemukan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Finding the Star
791      579     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
XIII-A
404      322     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jenius—hingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah se...
Lost & Found Club
285      232     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
VampArtis United
493      281     2     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Pasal 17: Tentang Kita
114      36     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Jalan Pulang
169      116     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orang—kecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi… bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan da...
Warisan Tak Ternilai
160      40     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
93      74     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Harsa untuk Amerta
189      161     0     
Fantasy
Sepenggal kisah tak biasa berlatar waktu tahun 2056 dari pemuda bernama Harsa sang kebahagiaan dan gadis bernama Amerta sang keabadian. Kisah yang membawamu untuk menyelam lebih dalam saat dunia telah dikuasai oleh robot manusia, keserakahan manusia, dan peristiwa lain yang perlahan melenyapkan manusia dari muka bumi. Sang keabadian yang menginginkan kebahagiaan, yang memeluk kesedihan, yan...
Langit-Langit Patah
19      18     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...