Setelah menghabiskan cukup waktu untuk merenung dan menata pikiranku di bawah pohon flamboyan, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Udara dalam rumah terasa hangat dan sedikit berdebu, namun ada aroma khas bunga melati kering yang seolah menetap di dinding-dinding tuanya. Ibu Rita sudah selesai menyapu dan merapikan rumah. Pantas saja meski rumah ini sudah lama kosong, namun tetap bersih. Rupanya Ibu Rita yang merawatnya.
Aku menghampiri beliau yang sedang menyeduh teh di dapur. Uap teh menguar pelan dari cangkir porselen yang diletakkannya di atas nampan. Ibu Rita yang menyadari keberadaanku menoleh dan memintaku untuk menunggu di ruang makan saja. Tak lama kemudian ia datang dengan nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring biskuit.
"Jadi Rembulan, ada urusan apa kamu datang ke rumah ini? Aku tidak menyangka akan melihatmu lagi setelah kepindahan keluargamu. Terlebih di sini, di rumah ini."
Aku pun menjelaskan tujuanku datang ke sini untuk melakukan penelitian demi memenuhi tugas kuliahku. Sekaligus menemukan sedikit jawaban atas keanehan yang kurasakan tentang diriku sendiri, aku juga ingin mengenang masa kecil.
"Ibu, bisakah aku bertanya sesuatu?" kataku pelan, takut beliau tidak berkenan, karena setelah aku menyinggung perihal masa kecil, raut wajahnya berubah.
"Tentu saja Rembulan, ibu sudah bilang kita akan membicarakan semuanya hari ini kan? Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?" Ibu Rita menjawab dengan tenang meski ada sedikit getaran di matanya.
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Bu... bagaimana Ibu bisa langsung mengenaliku kemarin? Bahkan mengatakan bahwa aku dulu sering bermain dengan Ethan? Sudah lama sekali sejak aku pindah dari sini, dan setahuku tidak ada warga yang mengenal Ethan sebelumnya."
Ibu Rita tersenyum samar, namun sorot matanya serius. "Karena aku ingat. Matamu, cara kamu tersenyum kaku saat gugup, bahkan caramu memanggil namaku dari pintu depan. Tidak banyak anak yang seperti kamu, Rembulan. Apalagi yang begitu dekat dengan Ethan. Kalian itu seperti saudara."
"Kau tidak ingat sama sekali, Rembulan?" suara Ibu Rita terdengar pelan namun mantap, seolah ia menyampaikan kebenaran yang telah lama ia simpan rapat-rapat.
Aku memandangi wajahnya yang mulai menua. Garis-garis halus di sekitar matanya tampak semakin dalam saat ia tersenyum getir. Di tangannya, secangkir teh menghangatkan telapak yang gemetar ringan.
Ibu Rita tersenyum tipis, lalu menatap mataku dalam-dalam.
"Ethan itu nyata. Kalian sering bermain bersama dulu, di halaman belakang rumah ini. Kadang-kadang kalian membangun tenda dari seprai tua, lalu pura-pura jadi penjelajah hutan. Aku sering mengintip dari jendela dapur, melihat kalian tertawa-tawa seperti dunia hanya milik berdua."
Seketika, seberkas cahaya muncul di dalam pikiranku—bayangan kain putih melambai-lambai di bawah sinar matahari, suara Ethan memanggil namaku dari balik tenda. Tapi bayangan itu lenyap secepat ia datang.
Aku menggeleng pelan. "Tapi aku benar-benar tidak ingat, Bu. Aku tahu aku pernah bermain dengan dia, tapi tidak ada yang pernah melihatnya, tidak ada yang mengenalnya. Ibu, jujurlah padaku, aku tidak apa-apa. Ibu tahu rumor tentangku kan, aku bisa melihat hantu, aku lebih percaya Ethan salah satu dari mereka."
Ibu Rita meletakkan cangkirnya, lalu membuka laci di lemari kayu dekat meja makan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru langit. Di dalamnya, ada beberapa foto yang sudah menguning. Ia mengeluarkan dua lembar sekaligus dan meletakkannya di atas meja.
Yang pertama menampilkan seorang anak laki-laki berdiri di sampingku. Kami tersenyum lebar, berlumuran lumpur, tampak seperti habis bermain di tanah. Yang kedua adalah foto berwarna pudar namun masih cukup jelas. Tampak seorang anak laki-laki berambut coklat gelap, bergelombang halus, dengan kulit pucat yang hampir transparan. Matanya besar dan coklat kehijauan, menyiratkan keceriaan yang tenang. Senyumnya hangat, tapi ada sesuatu yang mengendap di balik matanya—seperti kesedihan yang tersembunyi rapi. Ia mengenakan sweter rajut tua dan duduk di pinggir jendela besar dengan cahaya sore yang menyinarinya dari samping. Di pojok kanan bawah tertera sebuah nama: Ethan S. Alviano.
Kemudian Ibu Rita mengeluarkan satu foto lagi. Kali ini, foto itu memperlihatkan Ethan kecil sedang bermain congklak di teras depan rumah besar di bukit itu. Di sampingnya duduk seorang anak perempuan—aku. Terlihat tawa di wajah keduanya, namun yang mencolok adalah infus yang terpasang di tangan kanan Ethan.
Aku menatap foto-foto itu dengan dahi mengernyit. Aku ingin mengingat, ingin merasakan kedekatan itu, namun bayangan di pikiranku masih kabur. Wajah Ethan dalam mimpiku selama ini samar, tak pernah benar-benar jelas. Melihat foto itu membuat hatiku nyeri—bukan hanya karena kejanggalan, tapi karena rasa kehilangan yang tak kumengerti.
"Aku... tidak ingat ini..." bisikku lirih.
"Itu karena tubuh dan pikiranmu terlalu kecil waktu itu untuk menyimpan luka sebesar kehilangan. Ethan sakit parah. Pneumonia akut. Ia hanya tinggal di sini sekitar empat bulan terakhir hidupnya. Tapi selama itu, kalian tak terpisahkan," jelas Ibu Rita.
Aku berdiri tiba-tiba, dada terasa sesak oleh dorongan yang tak bisa kutahan. "Tidak! Itu tidak masuk akal! Kalau dia nyata, kenapa tak ada catatan tentangnya? Aku membawa dokumen ini..."
Kugenggam map lusuh yang sudah kususun dengan rapi sejak beberapa hari lalu. Kutarik lembar demi lembar fotokopi tua.
"Ini silsilah keluarga Van Der Maes-Sutrisno yang kutemukan setelah melalukan sedikit pencarian. Keturunan terakhir yang tercatat hanyalah perempuan yang tidak menikah. Tidak ada Ethan. Dan ini..."
Kuangkat satu foto lawas—potongan koran yang mengabarkan kematian anak laki-laki keluarga Van Der Maes yang terjadi pada tahun 1987. Disebutkan bahwa ia diduga tenggelam di sungai, namun jasadnya tak pernah ditemukan. Di sudutnya, ada foto buram seorang anak lelaki. Wajahnya tidak bisa dikenali—terlalu rusak oleh waktu.
Ibu Rita memeriksanya dengan seksama, alisnya berkerut. "Seingatku itu foto Daniel Van Der Maes-Sutrisno. Dia sepupu Ayunda Retma, ibu Ethan, sekaligus anak yang ditunjuk untuk menjadi pewaris keluarga ini. Tapi sepertinya berita ini salah. Daniel jelas tidak meninggal di usia semuda itu. Memang ada kecelakaan yang terjadi pada tahun 1987, saat usia Daniel masih 7 tahun, tetapi dia berhasil selamat. Sosok dewasa Daniel bisa kamu lihat di berbagai situs internet. Dan jika kau ingin, kau bisa melihat-lihat dokumen yang tersimpan di rumah ini"
Ia menghela napas dalam. "Dokumen ini valid. Tapi ada hal-hal yang tak tercatat di atas kertas. Hal-hal yang tetap hidup karena dikenang, bukan karena ditulis. Ethan adalah salah satunya."
Aku menggigit bibir, mencoba menahan guncangan dalam dadaku.
"Kalau dia benar-benar nyata, kenapa dia tidak menolongku saat aku hampir hanyut di sungai?" tanyaku akhirnya, suara tercekat oleh emosi yang tak kumengerti.
Ibu Rita menatapku dalam, lalu menjawab pelan, "Karena dia tidak mampu, Nak. Tapi dia ada di sana. Ia melihatmu tergelincir dari kejauhan, dan karena tubuhnya sedang sangat lemah, ia tidak bisa langsung menolong. Namun ia berlari—berlari sekuat tenaga kembali ke rumah dan memanggil para pelayan. Saat mereka tiba di sungai, kamu sudah tidak ada di sana. Beberapa menit kemudian, kami mendengar kabar dari penduduk desa bahwa kamu sudah ditemukan oleh seorang warga dan dibawa ke klinik desa."
Aku membeku. Hatiku berdegup semakin kencang.
"Ethan ingin menyusulmu ke klinik. Tapi tubuhnya kolaps. Ia pingsan karena kelelahan, sekaligus mengalami serangan panik. Hari itu juga ia dilarikan ke rumah sakit. Setelah itu... dia tidak pernah kembali," suara Ibu Rita mengecil, nyaris seperti bisikan.
Aku terdiam, hatiku dihantam kenyataan yang lebih pahit dari penolakan. Rasa bersalah, kehilangan, dan bingung menyatu dalam gelombang yang sulit kutahan. Di kepalaku, sebuah kilasan muncul—seorang anak laki-laki berlari dengan langkah pincang di jalan setapak berbatu, meneriakkan namaku sambil terisak.
"Tapi kamu ada di sana, Nak. Kamu memang ada di sana," ucap Ibu Rita lembut, sambil meremas tanganku.
Di antara kebingungan, kegetiran, dan rindu yang tak terucapkan, aku hanya bisa memeluk foto itu—memeluk serpihan masa lalu yang perlahan mulai kembali, meski belum utuh sepenuhnya.
Dan entah kenapa, aku tahu ini baru permulaan.