Setelah berbulan-bulan menjalani terapi dan rutin menelan obat, aku mulai merasakan perubahan. Ethan tidak lagi muncul dalam mimpi-mimpiku. Tak ada lagi suara lembut yang memanggil dari balik tirai malam. Tapi keheningan itu tidak pernah benar-benar sepi. Ada sesuatu yang lain—kehadiran samar yang tak bisa dijelaskan. Seperti napas hangat yang menyentuh tengkukku saat aku merasa terancam, atau desir angin di jendela ketika aku menangis diam-diam di kamar.
Kadang, saat pulang sekolah larut malam, angin malam menyapaku dengan cara yang berbeda. Seolah ada tangan tak terlihat yang memayungi dari hujan, atau tiba-tiba aroma bunga lavender kesukaanku muncul entah dari mana. Padahal, hanya Ethan yang tahu bunga itu favoritku.
Aku pernah hampir tertabrak motor saat menyeberang jalan. Langkahku terhenti di tengah, mataku kosong, pikiranku melayang karena efek obat. Dan sebelum aku sadar, tubuhku terseret mundur oleh sesuatu—bukan orang. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya semilir angin dan jantungku yang berdetak kencang. Aku berdiri di trotoar dengan lutut gemetar, mencoba mencari logika yang bisa menjelaskan hal itu.
Di lain waktu, aku terkunci di toilet sekolah. Anak-anak laki-laki iseng melakukannya. Aku tidak berteriak. Tidak menangis. Aku hanya duduk diam, pasrah. Tapi pintu itu tiba-tiba terbuka sendiri dengan suara keras, seperti didobrak. Anak-anak itu lari terbirit-birit. Aku berdiri terpaku, merasakan kehangatan aneh menyelubungi tubuhku. Seolah seseorang baru saja memelukku dan berkata, "Kamu aman."
Ethan memang tak bisa lagi menampakkan diri. Dunia kami telah terlalu jauh terpisah—digunting oleh terapi, pil penenang, dan penyangkalan. Tapi aku tahu, ia belum pergi. Ethan masih di sana. Diam. Setia. Menjaga dari kejauhan.
Setiap kali sesuatu yang tak bisa dijelaskan terjadi, aku menangis. Bukan karena takut. Tapi karena tahu Ethan belum sepenuhnya hilang. Mungkin aku tak bisa melihatnya, tak bisa mendengar suaranya, tapi sesuatu darinya masih menjangkauku—dan itu cukup untuk membuatku bertahan.
Tapi perasaan itu membuatku mulai mempertanyakan diagnosis yang selama ini kuterima. Apakah benar semua ini hanya halusinasi? Atau mungkinkah dunia spiritual memang nyata, hanya saja tidak bisa diukur dengan sains?
Jurnal harian yang dulu penuh gambar roh, simbol aneh, dan catatan mimpi kini berganti. Isinya kini dipenuhi kutipan dari buku psikologi, jadwal minum obat, dan renungan logis tentang hidup. Tapi di sela-sela itu, aku tetap menyelipkan puisi samar, simbol kecil, dan kata-kata yang hanya aku dan Ethan pahami. Aku tidak benar-benar menghapus duniaku. Aku hanya menyembunyikannya di balik logika yang bisa diterima orang lain.
Aku berusaha menyesuaikan diri agar diterima di dunia yang katanya "nyata." Tapi batinku terus memberontak. Setiap kali aku menelan pil dari psikiater, ada suara kecil yang bertanya, "Apakah kau sedang membunuh bagian dari dirimu sendiri?" Kadang aku merindukan Ethan, bukan sebagai teman imajiner, tapi sebagai bagian paling jujur dari diriku.
Namun dunia tidak menerima kejujuran itu. Dunia hanya menerima logika, statistik, dan norma. Dan dalam benturan batin itu, aku merasa seperti hidup di antara dua lapisan realitas: satu yang terlihat, satu lagi yang terasa.
Suatu malam, aku membuka kembali jurnal lamaku. Di sana, aku menulis: “Jika aku gila karena mencintai sesuatu yang tak bisa dilihat, maka biarlah aku tetap gila. Karena dalam kegilaan itu, aku merasa paling hidup.”
Aku mulai menyadari bahwa mungkin tidak semua orang akan mengerti jalanku. Tapi itu tidak membuatku salah. Dunia tempatku hidup mungkin tidak mengakui keberadaan Ethan, tapi hatiku tahu: ada dunia lain yang masih menungguku kembali, ketika aku siap menerima siapa diriku yang sebenarnya.
Aku belajar menjalani rutinitas sebagai remaja biasa. Aku belajar menahan ekspresi, menjaga sikap, menjawab pertanyaan guru tanpa terlihat aneh. Waktu berjalan, dan perlahan aku mulai terlihat normal—setidaknya di mata orang lain.
Tapi menjadi "normal" bukan hal yang mudah. Ia menuntut latihan, pengamatan, dan pengendalian diri yang terus-menerus. Aku mengamati bagaimana anak-anak lain tertawa, bagaimana mereka bergosip di kantin, bagaimana mereka duduk di bangku taman sambil membuka bekal. Semua itu kupelajari diam-diam.
Aku mulai membawa bekal sendiri seperti kebanyakan anak lain. Nasi putih, telur dadar, dan potongan apel. Tidak lagi salad buah dengan kelopak bunga kering dan madu manuka yang dulu sering kubuat karena Ethan bilang rasanya seperti musim semi. Aku bahkan berhenti menyelipkan kertas-kertas kecil berisi mantra dalam kotak makan siang. Sebagai gantinya, kutempelkan stiker lucu bergambar hewan agar terlihat biasa saja.
Di kelas, aku mencatat dengan rapi. Tidak lagi mencoret-coret tepi buku dengan simbol aneh atau wajah-wajah asing yang pernah muncul dalam mimpiku. Aku mulai meniru gaya tulisan teman-teman agar tak terlihat berbeda. Aku mengangkat tangan saat guru bertanya, tertawa secukupnya saat teman melontarkan lelucon, dan berhenti melamun menatap jendela terlalu lama.
Aku mulai mengikuti ekskul fotografi. Aku belajar bagaimana menangkap cahaya dan bayangan, bagaimana membingkai realitas lewat lensa. Mungkin itu caraku menyiasati kerinduan pada hal-hal yang tak kasatmata. Karena lewat foto, aku masih bisa berbicara dalam diam.
Aku juga mulai mengikuti percakapan tentang serial TV, game, dan gosip selebritas. Aku membuat daftar hal-hal yang harus kuketahui agar tidak dianggap asing. Kadang aku merasa seperti sedang memainkan peran dalam panggung besar yang disebut dunia nyata.
Lalu aku mulai berteman. Ada Dira dan Lintang, dua teman yang entah kenapa bisa menerimaku tanpa tanya-tanya soal masa laluku. Mereka tidak menganggapku aneh. Tidak pernah menertawakanku. Mungkin karena mereka juga membawa sesuatu dalam diri mereka sendiri yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya.
Pertemuan kami bukan kebetulan. Saat karyawisata ke luar kota, aku sempat mengalami kejadian aneh. Aku tiba-tiba tersesat di sebuah gang sempit yang tidak ada di peta. Dira dan Lintang-lah yang menemukanku. Dan sejak saat itu, kami tak lagi asing.
Dira suka membaca puisi Rumi dan Pramoedya. Suaranya lembut, caranya bicara penuh metafora. “Kadang, dunia ini terlalu keras untuk kebenaran yang lembut. Tapi bukan berarti kebenaran itu tidak ada,” katanya suatu sore saat kami duduk di bawah pohon ketapang.
Lintang lebih logis. Ia membaca jurnal psikologi, menyukai diskusi tentang konsep kesadaran dan persepsi. Tapi ia tidak menutup diri pada dunia spiritual. “Bukan soal percaya atau tidak,” katanya, “tapi bagaimana kita memahami bahwa manusia memang kompleks. Kadang, yang disebut gangguan itu hanya cara lain semesta bicara.”
Dira mengenalkanku pada konsep archetype dari Carl Jung. Lintang meminjamkanku buku-buku tentang pengalaman spiritual lintas budaya. Bagi mereka, dunia spiritual bukan sesuatu yang harus ditakuti—melainkan bagian dari manusia yang paling purba dan paling murni.
Bersama mereka, aku mulai menulis lagi. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai jembatan—antara masa lalu dan masa kini. Aku tidak lagi memusuhi diriku sendiri. Aku belajar: mungkin tidak semua orang harus mengerti. Tapi aku tak perlu menyangkal siapa diriku.
Kadang, saat senja menyelimuti halaman sekolah dan bayangan pepohonan memanjang seperti tangan panjang waktu, aku masih menoleh ke belakang. Mencari siluet Ethan di balik cahaya jingga. Tapi yang kulihat hanya angin yang menari di rerumputan.
Dan kali ini, aku tidak menangis karena itu. Aku tersenyum kecil. Lalu melanjutkan langkah.
Karena meski tak terlihat, aku percaya: Ethan masih ada. Dan aku—aku sedang belajar untuk utuh kembali.