Langit pagi itu mendung dan lembab—seperti ada sesuatu yang tertahan di udara, menunggu pecah. Udara di dalam mobil terasa pengap meski jendelanya terbuka. Di sampingku, Ibu menggenggam tanganku erat, seolah takut aku menghilang. Aku tak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Kami sedang dalam perjalanan ke klinik, beberapa hari setelah malam-malam panjang yang membuatku terjaga dan menangis dalam diam, tak tahu harus mengadu pada siapa.
Aku tak tahu kapan semua ini mulai terasa asing. Seperti ada kabut yang perlahan menyelimuti dunia, membuat segalanya menjadi kabur. Awalnya hanya mimpi—mimpi tentang taman yang tak pernah kulihat, tentang suara-suara yang memanggil namaku dari balik kabut. Lalu suara itu menjadi lebih jelas. Sosok itu... Ethan, temanku sejak kecil, mulai datang kembali. Tapi bukan seperti dulu. Ada yang berubah. Suaranya kadang berbeda, tubuhnya kadang samar, dan matanya... seolah tahu terlalu banyak, seperti bisa melihat apa yang aku tak bisa katakan.
"Aku tidak bisa tidur, Bu," suaraku bergetar malam itu, penuh keputusasaan yang tak bisa kuungkapkan lebih jauh.
Ibu duduk di sampingku, meraih tanganku yang dingin. Tangannya hangat, namun tak cukup menenangkan. "Ibu tahu, Nak. Ibu dengar suara tangisanmu. Tubuhmu gemetar tiap malam, dan kamu bicara sendiri... makin sering. Besok, kita ke klinik paman. Kita cari tahu, ya? Bareng-bareng." Ibu berbicara pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri, bukan hanya aku.
Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. Dalam hatiku, Ethan berbisik: "Kau tak perlu takut, Bulan. Aku di sini."
Keesokan paginya, di ruang tunggu klinik yang terlalu putih, aku duduk merapat ke Ibu. Mainan-mainan anak tertata rapi di sudut ruangan, tapi tak satu pun menarik bagiku. Semuanya terasa hampa. Aku hanya memikirkan Ethan. Ia tak muncul pagi ini. Mungkin marah. Mungkin sedih karena aku mulai ragu. Tapi suara itu selalu ada, bahkan ketika ia tak muncul di hadapanku.
Dr. Laras adalah wanita paruh baya dengan suara lembut dan rambut disanggul rapi. Senyumnya hangat, tapi ada ketegangan di matanya, seolah ia tahu lebih banyak dari yang aku inginkan. Ia mempersilakan kami duduk di sofa kecil, kemudian membuka berkas yang diserahkan oleh Paman—yang juga seorang dokter di rumah sakit rujukan tempat klinik ini berada. Di sana tertulis ringkasan kejadian: perubahan pola tidur, kecemasan malam hari, percakapan dengan sosok tak terlihat, dan mimpi-mimpi berulang.
Ibu, dengan tangan gemetar, menyerahkan tambahan catatan tulisan tangannya. "Dia sering menyebut nama Ethan, Dok. Tapi kami tidak kenal siapa itu Ethan. Di sekolah pun tak ada yang bernama begitu."
Dr. Laras mengangguk pelan setelah membaca. Ia menoleh padaku, senyumnya tetap tak berubah, tapi ada sorot yang berbeda di matanya. "Selamat pagi, Bulan. Aku ingin dengar langsung dari kamu, ya? Ceritakan tentang Ethan."
Aku menatap ke bawah. Bibirku bergetar, kata-kata terasa sulit untuk keluar. "Dia temanku sejak kecil. Kami suka bermain di taman belakang rumah. Dia selalu datang waktu aku takut. Tapi... sekarang dia berbeda. Kadang cuma muncul di mimpi. Kadang... dia berdiri diam di pojok kamarku."
Dr. Laras mencatat, menatapku dengan perhatian. "Apa yang berbeda dari Ethan sekarang?"
Aku menarik lutut lebih dekat. "Dulu dia tertawa. Sekarang dia hanya diam, matanya kosong. Tapi... dia masih menolongku. Waktu aku jatuh di sungai, aku yakin tangannya yang menarikku. Padahal... tidak ada siapa-siapa di sana."
Dr. Laras bertanya lagi dengan tenang, "Kamu bilang dia sudah berubah... apakah kamu tahu kenapa?"
Aku terdiam. Sekilas ingatan tentang kamar rumah sakit muncul, suara mesin yang berdengung, tangisan ibu, wajah Ethan pucat dan kurus, lalu... hilang begitu saja. Tapi aku tidak tahu apakah itu nyata atau hanya mimpi.
"Kadang aku pikir... dia sudah pergi. Tapi dia selalu kembali."
Dr. Laras mengangguk perlahan, mendengarkan dengan seksama. "Apakah Ethan pernah menyakitimu, Rembulan? Atau membuatmu merasa tidak aman?"
Aku menoleh perlahan, terkejut dengan pertanyaan itu. Seperti angin dingin menerpa wajahku. "Tidak," jawabku cepat. "Dia tidak pernah menyakiti aku. Tapi... kadang dia menatapku terlalu lama. Seperti ingin bilang sesuatu. Tapi tidak bisa."
Dr. Laras mencatat lagi. Lalu ia bertanya tentang hari-hariku di sekolah. "Aku sering sendiri. Teman-teman mengejekku. Mereka tertawa saat aku bicara sendiri. Kadang mereka lempar botol. Mereka bilang aku gila. Aku cuma... berharap Ethan datang. Tapi dia tidak pernah muncul di sekolah."
"Bagaimana perasaanmu saat semua itu terjadi?" tanya Dr. Laras, suaranya lebih lembut kali ini.
Aku menatap jendela, merasa seakan ada jurang besar yang memisahkan aku dari dunia luar. "Kosong. Seperti... duniaku patah. Seperti aku menghilang. Kadang aku berharap aku bisa jadi tidak terlihat selamanya."
Dr. Laras meletakkan catatannya dan menatapku dengan penuh perhatian. "Bulan, aku tahu ini sulit. Tapi ada kemungkinan Ethan—dan hal-hal yang kamu dengar—adalah bagian dari halusinasi. Pikiranmu mencoba melindungimu dengan menciptakan sesuatu yang menenangkan."
"Tidak! Ethan nyata!" seruku spontan, hampir tersentak. "Dia bagian dari aku. Kami... kami punya taman rahasia. Dia yang jaga aku. Dia tahu semua yang aku pikirkan. Bahkan sebelum aku sempat bilang."
Ibu menggenggam tanganku lebih erat, tapi hatiku mulai goyah. Jika Ethan adalah bagian dari pikiranku, lalu siapa yang menarikku dari sungai? Siapa yang bicara padaku saat malam turun dan dunia sunyi?
Beberapa hari berikutnya, aku mengikuti tes demi tes. Skala halusinasi untuk anak-anak, tes kepribadian, observasi perilaku, permainan kartu, menggambar, sesi bermain dengan anak-anak lain. Di balik kaca satu arah, mereka mengamatiku. Aku menjawab jujur. Kadang menangis. Kadang merasa tubuhku bukan milikku. Kadang mendengar bisikan-bisikan yang berkata: kembalilah... taman itu masih ada... dia menunggu...
Dalam sesi hasil, Dr. Laras duduk lebih tegak dari biasanya. Di hadapanku dan Ibu, ia menjelaskan pelan: "Rembulan, kamu menunjukkan gejala konsisten dari skizofrenia pada anak-anak atau lebih tepatnya: Childhood-onset Schizophrenia yang baru muncul penuh pada masa remajamu. Ini adalah kondisi langka. Gejala awal muncul sebagai distorsi persepsi: halusinasi pendengaran dan visual, delusi relasional, serta keterikatan emosional yang sangat kuat pada satu figur imajiner—dalam hal ini, Ethan."
Ibu menatapku seperti baru mengenalku kembali. Matanya sembab, seperti hilang arah. "Tapi dia... dari kecil bisa lihat hal-hal aneh. Saya pikir dia... istimewa. Bisa lihat hal-hal yang orang lain nggak bisa."
Dr. Laras mengangguk dengan sabar. "Itu mungkin. Dan saya tidak akan pernah meniadakan pengalaman Rembulan. Tapi jika persepsi itu menetap, tidak fleksibel, dan mengganggu fungsi harian—sekolah, pertemanan, bahkan tidur—maka itu bukan keistimewaan, melainkan gangguan. Kita menyebutnya gangguan persepsi."
Aku menatap lantai, hati bergetar. Suara Ethan terdengar jauh, seperti dari balik kabut. Jangan percaya mereka... mereka ingin aku menghilang lagi...
Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata. "Apakah... aku akan kehilangan Ethan?" tanyaku lirih, suaraku hampir hilang.
Dr. Laras menatapku lembut, tapi matanya serius. "Kami tidak akan mengambil apa pun darimu, Bulan. Kami hanya ingin membantumu membedakan mana yang berasal dari luar, dan mana yang tercipta di dalam. Bukan untuk menghapus Ethan, tapi untuk membuatmu lebih kuat dari ketakutanmu sendiri."
Ibu mengusap punggungku, menggenggam tanganku lebih erat, menatapku dengan mata yang penuh harap. "Kita jalani ini bersama, ya, Nak. Kamu nggak sendirian. Ibu percaya kamu bisa sembuh, seperti dulu lagi."
Aku mengangguk pelan, meski di dalam, aku merasa sesuatu mulai retak. Aku menatap Ibu, merasa sedikit lega dengan kata-katanya, tapi sesuatu di dalam hatiku mulai menyalakan keraguan. Bagaimana bisa sembuh jika apa yang aku rasakan—apa yang aku jalani bersama Ethan—mungkin hanya imajinasi? Apakah itu semua hanya halusinasi?
Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata Ibu, namun di dalam pikiranku, muncul satu pertanyaan yang mengganggu. Jika semuanya hanya halusinasi, apakah kebahagiaanku bersama Ethan juga palsu? Apakah taman rahasia kami, tawa-tawanya yang dulu menghiburku, semua itu hanya ada dalam pikiranku?
Atau... mungkin justru di sanalah letak kenyataanku yang sesungguhnya?
Normal. Kata itu melayang-layang di kepalaku. Bukan penghiburan, tapi vonis. Aku ingin bertanya: apakah menjadi aku berarti tidak normal?
Apakah aku pernah bahagia dengan cara yang nyata, atau apakah kebahagiaan itu juga adalah ilusi yang aku buat untuk menghindari kenyataan yang lebih kelam?
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, malam nanti... aku akan memanggil Ethan. Dan berharap, meski samar, ia tetap menjawabku—seperti dulu.
Suara Ethan terdengar samar di balik kabut pikiranku, seolah menjawab keraguan itu. "Jangan khawatir, Bulan. Aku selalu ada. Bahkan jika mereka memisahkan kita, aku akan tetap ada di sini."
Aku menggigit bibir, menahan air mata. Ethan... aku ingin percaya padamu, tapi bagaimana aku bisa yakin jika semuanya bisa saja hanyalah bayangan yang tercipta dari ketakutanku sendiri?