Kepercayaan itu, mau sekukuh apa pun, tidak bisa menghentikan dunia untuk terus mencibir. Dan semakin aku mencoba diam, semakin keras suara mereka berusaha menghancurkan duniaku. Keanehan yang dulu hanya dibicarakan diam-diam, kini dilontarkan terang-terangan, seolah rasa malu sudah menjadi benda purba yang tak relevan lagi.
Seiring waktu, suara-suara ejekan menjadi lebih keras dan menusuk.
"Eh, itu dia... anak gila," bisik seorang anak laki-laki saat aku lewat di lorong sekolah. Tapi bisikan itu tidak lagi sembunyi-sembunyi—aku tahu mereka ingin aku mendengar.
Mereka ingin kata-kata itu menusuk, ingin aku bereaksi. Mereka haus akan sesuatu untuk ditertawakan, dan kebetulan aku adalah sumber yang paling mudah.
Di kantin, aku duduk sendirian seperti biasa. Bekal makan siangku dibungkus rapi oleh Ibu, seperti sebuah pelukan kecil yang dibungkus nasi dan telur dadar.
Tapi kali ini, dua anak perempuan dari kelas sebelah datang dan berdiri di hadapanku. Mereka tertawa kecil sambil saling menyikut, seolah sedang mempersiapkan lelucon terbaik mereka.
"Heh, kamu beneran ngobrol sama hantu, ya?" tanya salah satu dengan nada menggoda, tapi matanya tak menyembunyikan kekejaman.
"Eh, panggilin dong temen kamu yang nggak kelihatan itu. Suruh dia duduk bareng kita!" sahut temannya sambil tertawa terbahak-bahak
Beberapa anak lain ikut tertawa. Tertawa yang tidak lucu. Tertawa yang membuat udara di sekelilingku terasa menyesakkan, seperti pintu yang menutup perlahan di ruang sempit. Aku diam.
Tanganku mengepal di bawah meja, kukuku menekan kulit telapak tangan hingga nyaris menyakitkan. Di dadaku, sesuatu bergetar—bukan amarah, tapi rasa ingin menghilang. Ingin menjadi tak terlihat. Atau mungkin benar-benar tak ada.
Di kelas, lebih buruk lagi. Saat pelajaran berlangsung dan guru sedang menulis di papan, seorang murid laki-laki yang duduk dua baris di belakangku melemparkan kertas kecil ke arah bangkuku. Aku membukanya dengan tangan gemetar. Di kertas itu tertulis dengan tulisan tangan berantakan:
"Kau anak setan. Ngapain sekolah bareng manusia?"
Aku menatap kertas itu lama. Tanganku sempat ingin merobeknya, tapi sesuatu dalam diriku malah memilih melipatnya perlahan, lalu memasukkannya ke dalam tas. Mungkin sebagai bukti bahwa semuanya nyata. Bahwa semua ini bukan hanya perasaanku semata.
Guru tidak melihat. Atau pura-pura tidak melihat. Entah lah. Mungkin diam lebih mudah daripada melibatkan diri.
Hari demi hari, aku merasa seperti makhluk asing di antara manusia. Tidak ada yang menyapaku, tidak ada yang mengundangku bermain. Tidak ada yang menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Di perpustakaan, aku duduk di pojok yang sama, memegang buku tapi tak benar-benar membaca. Bahkan di halaman belakang, tempat aku biasa menulis puisi kecil tentang Ethan, kini terasa asing. Tanahnya seperti tak ingin dijejak lagi.
Tapi aku tetap datang ke sekolah. Tetap mengerjakan PR. Tetap diam.
Di dalam diriku, aku berusaha tetap tegar. Karena Ethan pernah berkata,
“Orang yang kuat bukan yang tidak pernah jatuh, tapi yang tetap berdiri meski terluka.”
Aku mulai bertanya dalam hati:
“Apa gunanya kuat... kalau tak ada satu pun yang mengerti? Apa gunanya tetap berdiri... kalau dunia terus mendorongku jatuh?”
Aku pernah mencoba berbicara pada Bu Ratna, guru Bahasa Indonesia yang tampak paling lembut dan paling bisa dipercaya. Aku menceritakan apa yang kulihat, dengan kata-kata yang hati-hati, nyaris berbisik—tentang sosok laki-laki tinggi yang duduk di belakang kelas meski kursinya kosong.
Wajah Bu Ratna yang semula ramah menegang. Matanya sempat melirik pintu kelas, lalu menatapku dengan ekspresi datar.
"Rembulan," katanya pelan, "kamu harus belajar membedakan kenyataan dengan khayalan. Jangan menakuti teman-temanmu."
Keesokan harinya, aku dan Ibu dipanggil ke ruang kepala sekolah. Aku dipaksa ikut duduk di sana, di kursi yang rasanya lebih sempit dari biasanya. Mereka bicara seolah aku tak ada di ruangan, seolah aku hanya sebuah masalah yang harus diselesaikan.
"Anak Ibu ini terlalu larut dalam dunia fantasi. Bisa berbahaya jika dibiarkan," kata kepala sekolah sambil melipat tangan di atas meja.
Ibu hanya mengangguk. Pipinya kaku. Aku tahu ia menahan banyak hal, tapi tak tahu harus berkata apa.
Di perjalanan pulang, ia tak bicara sepatah kata pun. Tapi malam itu, aku mendengar suara tangisnya dari dapur. Tangis yang berusaha ditekan, tapi tidak cukup pelan untuk tak kudengar dari balik pintu kamar.
Aku juga mendengar suara ayah, berbicara lirih. Tentang paman yang pernah menyarankan agar aku dibawa untuk "berobat."
Untuk "dibersihkan."
Untuk "dikembalikan ke dunia nyata."
Hari-hari berikutnya, aku menarik diri lebih dalam.
Aku datang ke sekolah seperti bayangan. Tidak menoleh, tidak menjawab. Dunia fisik makin tidak ramah, tapi dunia lain makin terbuka. Sosok-sosok di lorong sekolah mulai bicara lebih sering. Ada yang hanya lewat. Ada yang duduk lama di pojok ruangan, menatapku seperti ingin bicara tapi tak bisa.
Kadang, aku menjawab bisikan itu tanpa sadar. Dan saat itulah teman-temanku makin yakin: aku tidak waras.
Saat bel istirahat berbunyi, aku melangkah ke koridor yang dipenuhi murid berkerumun. Di antara gelak tawa dan obrolan riuh, bisikan pelan menusuk telinga—seperti gema dari ruang kosong.
"Rembulan... lihat ke sana..."
Aku menoleh perlahan. Di ujung koridor, bayangan seseorang berdiri menatapku. Sosok itu berbalik dan berjalan menjauh, tapi kursinya tetap kosong. Denyut nadiku melonjak. Tanganku menekan dinding dingin untuk menjaga agar tubuhku tak roboh.
Beberapa hari kemudian di kelas, saat guru menjelaskan matematika, aku mendadak melihat bayangan Ethan melintas di sudut kaca jendela. Mataku terpaku. Dunia luar terlihat seperti cermin rumah tua—retak, kusam, tidak bisa diandalkan. Garis-garis angka di bukuku tiba-tiba terlihat seperti kode. Tidak ada yang masuk akal. Segalanya tampak bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Suatu siang di ruang perpustakaan, suara lirih mengelilingi diriku.
"Mereka membicarakanmu... mereka menertawakanmu..."
Namun di antara rak buku yang sunyi, tidak satu pun teman terlihat.
Aku meremas buku di tanganku, dan ujung kertasnya sobek.
Entah karena marah, takut, atau hanya lelah.
Di kantin, ketika seorang teman melemparkan botol air padaku sambil berkata, "Eh, hantu! Tangkap dong!"—tanganku bergerak tanpa sadar. Botol itu terlempar balik, menghantam meja lain dan membuat keributan.
Semua menoleh. Ada yang tertawa, ada yang terdiam. Aku hanya menunduk. Wajahku tanpa ekspresi. Tapi dalam hatiku, badai berkecamuk.
Setelah lonceng pulang berbunyi, aku melangkah keluar kelas cepat-cepat. Di lorong, aku menabrak sosok Pak Dirman.
"Pak Dirman, maaf..." gumamku.
Pak Dirman menatapku dengan mata lembut.
"Tidak apa-apa, Bulan. Bapak tahu kamu sedang banyak pikiran." Ia membuka sakunya dan mengeluarkan permen karet.
"Ini untukmu," katanya, menyerahkan permen dengan senyum kecil.
"Nak—mata itu bisa jadi beban. Tapi bukan berarti harus ditutup rapat. Jangan lari dari dunia nyata, tapi jangan juga menutup dunia yang kau lihat. Pelan-pelan saja, ya?"
Aku menatap permen itu seolah itu adalah benda paling aneh dan paling menghibur di dunia. Lalu mengangguk pelan.
"Terima kasih, Pak."
Dalam perjalanan pulang, kata-kata Pak Dirman terus bergaung di kepalaku. Seolah menjadi jembatan kecil di tengah jurang besar antara kenyataan dan keyakinan.
Malam harinya, di kamarku yang remang, aku menatap langit-langit. Suaraku tersekat, mataku tak berkaca, tapi air mata memaksa turun.
Detak rasa sakit itu tetap ada. Tapi kali ini... tidak menembus permukaan.
Hatiku seperti perisai datar—menampung segalanya, tapi tak membiarkan apa pun keluar.
Hari demi hari menuju tamasya sekolah menjadi beban. Aku mulai menghindari perbincangan di kelas tentang rencana ke luar kota. Di rumah, Ibu berkali-kali bertanya, "Bulan, kamu yakin nggak mau ikut?" dan aku hanya menjawab dengan anggukan pelan yang ambigu. Aku tahu aku tak akan bisa bersenang-senang.
Suatu sore di bus saat perjalanan pulang, teman-temanku bermain congklak kecil yang dibawa dari rumah.
Mereka tertawa, bermain, mengundangku.
Tapi aku menolak.
Mataku memandang ke luar jendela, melihat pohon-pohon melintas cepat.
Rasa ingin bersama mereka telah hilang, digantikan oleh keasingan yang sulit dijelaskan.
Dalam diamku, aku tahu: duniaku terpecah. Setiap bisikan, bayangan, dan ledakan emosi yang muncul membawa aku lebih dekat ke pintu ruang psikiater—tempat di mana semua itu akan diberi nama dan penjelasan kedokteran, mungkin "gangguan", "delusi", atau "trauma".
Tapi bisakah sebuah diagnosis menjelaskan kehilangan?
Dan di balik semua itu, aku masih mendengar bisikan Ethan.
Masih merasakan kehadirannya di sela malam.
Aku menutup mataku, menahan suara itu dalam sepotong napas panjang. Meski dunia menyebutku aneh, aku tahu—aku tidak sendirian. Dan malam, bagiku, bukan lagi waktu untuk tidur. Tapi waktu untuk bertahan—di antara kenyataan dan kenangan.